TANGERANG, BANPOS – Pegiat Demokrasi dan Pemilu yang juga Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Ocit Abdurrosyid Siddiq, memaparkan bahwa ketika dua hari lalu MK memutuskan bahwa ambang batas syarat minimal pengusungan calon pasangan Kepala Daerah cukup setara dengan prosentase ambang batas bakal calon Kepala Daerah dari jalur perseorangan, yang memungkinkan banyak partai politik bisa mengusung calon pasangan Kepala Daerah tanpa mesti berkoalisi, banyak pihak yang mengapresiasi.
Termasuk civil society yang tergabung dalam simpul-simpul pegiat demokrasi, pengamat politik, akademisi, mahasiswa, dan kalangan lainnya.
Tiba-tiba sikap berbeda ditunjukkan oleh Sebagian besar anggota DPR RI. Khususnya mereka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM. Keputusan MK itu bisa mengancam scenario pengusungan calon Kepala Daerah yang diusung oleh mereka di berbagai daerah.
“Sikap berbeda itu bahkan ditunjukkan secara norak, dalam bentuk melakukan perlawanan atau pembegalan dengan begitu singkat terhadap putusan MK dalam bentuk akan mengesahkan RUU Pilkada. Yang dalam RUU tersebut diduga berbeda dengan putusan MK tersebut, khususnya prosentase ambang batas pencalonan serta waktu penetapan batas minimal usia calon Kepala Daerah,” kata Ocit dalam keterangan yang diterima BANPOS.
“Bagi saya ini sangat norak. Mengapa? Karena momentumnya tidak pas. Baru saja 2 hari diputuskan lalu menggagaas untuk menyiapkan aturan tandingan. Adalah wajar bila atas sikap anggota DPR RI yang demikian, lalu hari ini kelompok civil society melakukan perlawanan dengan cara turun ke jalan,” tegasnya.
Ia menjelaskan, Cara yang lebih soft seperti dengar pendapat sebetulnya bisa saja dilakukan. Namun cara-cara sharing dan curah pemikiran itu kadang hanya berakhir di sebatas catatan dalam kertas. Karenanya, aksi unjukrasa di berbagai daerah, di depan Gedung DPR RI Jakarta, yang menentang rencana DPR RI yang akan mengesahkan RUU Pilkada ini bisa menjadi pesan yang kasat mata kepada seluruh masyarakat bahwa sebagian besar aspirasi rakyat berada satu barisan bersama MK.
“Unjukrasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat hari ini bisa menjadi semacam alat pressure bagi DPR RI sehingga mereka tersadarkan bahwa kehendak rakyat itu tidak sama dengan para wakilnya,” jelasnya.
Karenanya, mendesak mereka dengan cara unjukrasa mesti kita dukung. DPR RI tidak perlu mengesahkan RUU Pilkada dan sebaiknya menerapkan putusan MK agar bisa langsung diimplementasikan, khususnya pada tahap pendaftaran calon Kepala Daerah, 27 Agustus 2024 nanti.
Ocit memaparkan, Daya desak dengan cara unjukrasa ini membuahkan hasil. Bila kemudian DPR RI hari ini menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada, memang itu yang seharusnya. Bisa jadi mereka menyadari akan kekhilafan selama ini yang diliputi oleh nafsu dan syahwat politik bagi kemenangan kelompoknya tanpa menjalaninya secara tertib aturan.
Komisioner Bawaslu periode 2018-2023 tersebut menerangkan, agar tidak kembali terjadi seperti halnya pada Pemilu 2024 lalu -ketika KPU diadukan ke DKPP karena terlambat Menyusun PKPU- KPU harus segera membuat PKPU sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut.
“Karena PKPU mesti melalui persetujuan DPR RI sebelum disahkan, maka saya berharap DPR RI tidak memanfaatkan otoritasnya untuk menghambat apalagi menggagalkan PKPU tersebut,” terangnya.
“Saya khawatir bila DPR RI “menyandera” regulasi ini, terjadi chaos sebagai akumulasi kemarahan rakyat terhadap para wakilnya yang mereka pilih sendiri pada Pemilu sebelumnya,” tandasnya. (MYU)