Tag: MK

  • Pengamat Sebut DPR RI Begal Konstitusi Secara Norak

    Pengamat Sebut DPR RI Begal Konstitusi Secara Norak

    TANGERANG, BANPOS – Pegiat Demokrasi dan Pemilu yang juga Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas), Ocit Abdurrosyid Siddiq, memaparkan bahwa ketika dua hari lalu MK memutuskan bahwa ambang batas syarat minimal pengusungan calon pasangan Kepala Daerah cukup setara dengan prosentase ambang batas bakal calon Kepala Daerah dari jalur perseorangan, yang memungkinkan banyak partai politik bisa mengusung calon pasangan Kepala Daerah tanpa mesti berkoalisi, banyak pihak yang mengapresiasi.

    Termasuk civil society yang tergabung dalam simpul-simpul pegiat demokrasi, pengamat politik, akademisi, mahasiswa, dan kalangan lainnya.

    Tiba-tiba sikap berbeda ditunjukkan oleh Sebagian besar anggota DPR RI. Khususnya mereka yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM. Keputusan MK itu bisa mengancam scenario pengusungan calon Kepala Daerah yang diusung oleh mereka di berbagai daerah.

    “Sikap berbeda itu bahkan ditunjukkan secara norak, dalam bentuk melakukan perlawanan atau pembegalan dengan begitu singkat terhadap putusan MK dalam bentuk akan mengesahkan RUU Pilkada. Yang dalam RUU tersebut diduga berbeda dengan putusan MK tersebut, khususnya prosentase ambang batas pencalonan serta waktu penetapan batas minimal usia calon Kepala Daerah,” kata Ocit dalam keterangan yang diterima BANPOS.

    “Bagi saya ini sangat norak. Mengapa? Karena momentumnya tidak pas. Baru saja 2 hari diputuskan lalu menggagaas untuk menyiapkan aturan tandingan. Adalah wajar bila atas sikap anggota DPR RI yang demikian, lalu hari ini kelompok civil society melakukan perlawanan dengan cara turun ke jalan,” tegasnya.

    Ia menjelaskan, Cara yang lebih soft seperti dengar pendapat sebetulnya bisa saja dilakukan. Namun cara-cara sharing dan curah pemikiran itu kadang hanya berakhir di sebatas catatan dalam kertas. Karenanya, aksi unjukrasa di berbagai daerah, di depan Gedung DPR RI Jakarta, yang menentang rencana DPR RI yang akan mengesahkan RUU Pilkada ini bisa menjadi pesan yang kasat mata kepada seluruh masyarakat bahwa sebagian besar aspirasi rakyat berada satu barisan bersama MK.

    “Unjukrasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat hari ini bisa menjadi semacam alat pressure bagi DPR RI sehingga mereka tersadarkan bahwa kehendak rakyat itu tidak sama dengan para wakilnya,” jelasnya.

    Karenanya, mendesak mereka dengan cara unjukrasa mesti kita dukung. DPR RI tidak perlu mengesahkan RUU Pilkada dan sebaiknya menerapkan putusan MK agar bisa langsung diimplementasikan, khususnya pada tahap pendaftaran calon Kepala Daerah, 27 Agustus 2024 nanti.

    Ocit memaparkan, Daya desak dengan cara unjukrasa ini membuahkan hasil. Bila kemudian DPR RI hari ini menunda pembahasan dan pengesahan RUU Pilkada, memang itu yang seharusnya. Bisa jadi mereka menyadari akan kekhilafan selama ini yang diliputi oleh nafsu dan syahwat politik bagi kemenangan kelompoknya tanpa menjalaninya secara tertib aturan.

    Komisioner Bawaslu periode 2018-2023 tersebut menerangkan, agar tidak kembali terjadi seperti halnya pada Pemilu 2024 lalu -ketika KPU diadukan ke DKPP karena terlambat Menyusun PKPU- KPU harus segera membuat PKPU sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut.

    “Karena PKPU mesti melalui persetujuan DPR RI sebelum disahkan, maka saya berharap DPR RI tidak memanfaatkan otoritasnya untuk menghambat apalagi menggagalkan PKPU tersebut,” terangnya.

    “Saya khawatir bila DPR RI “menyandera” regulasi ini, terjadi chaos sebagai akumulasi kemarahan rakyat terhadap para wakilnya yang mereka pilih sendiri pada Pemilu sebelumnya,” tandasnya. (MYU)

  • HNW Harap Putusan MKMK Kembalikan Marwah Berkonstitusi

    HNW Harap Putusan MKMK Kembalikan Marwah Berkonstitusi

    JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid berharap agar putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang akan dibacakan Selasa (07/11/2023) dapat menyelamatkan marwah kehidupan berkonstitusi.

    Serta dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap MK sebagai lembaga peradilan pengawal pelaksanaan mlkonstitusi.

    HNW sapaan akrabnya mengatakan, kepercayaan masyarakat terhadap konstitusi dan lembaga MK selaku pengawal konstitusi sangat menurun pasca putusan MK yang mengabulkan judicial review usia Calon Wakil Presiden (Cawapres).

    Karena dianggap memberikan karpet merah kepada keponakan dari ketua Mahkamah Konstitusi yang kebetulan adalah putra Presiden Joko Widodo, yaitu Gibran Rakabuming Raka, untuk mudah maju sebagai cawapres pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

    ‘”Pasca putusan MK itu, saya mendengar dan membaca banyak sekali keluhan dari berbagai komponen masyarakat yang cinta konstitusi dan reformasi, sehingga berdampak pada munculnya ketidakpercayaan yang meluas terhadap MK,” kata HNW, Selasa (07/11/2023).

    Bahkan, tidak sedikit yang menyindir MK sebagai Mahkamah Keluarga atau Mahkamah Keponakan. Ini jelas sangat menyedihkan karena MK justru didirikan di era Reformasi sebagai lembaga peradilan yang kredibel, untuk melaksanakan Konstitusi, untuk mewujudkan cita-cita Reformasi antara lain untuk penegakan hukum dengan memberantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

    “Bukan malah membuka lebar pintu kembalinya nepotisme akibat dari dikabulkannya uji materiil soal dimudakannya usia Cawapres,” kata HNW.

    Apalagi, lanjutnya, terjadi perkara pemeriksaan kode etik ini terhadap Ketua MK Anwar Usman karena dinilai melanggar kode etik dalam pemeriksaan dan pembuatan putusan perkara itu.

    “Masyarakat juga memantau proses persidangan dugaan pelanggaran kode etik yang diperiksa oleh MKMK ini. Dan ada banyak fakta-fakta persidangan kode etik yang terungkap oleh para pelapor dan proses pemeriksaan di sidang,” tuturnya.

    Beberapa fakta yang terungkap adalah, ada 21 aduan dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim MK, seluruh hakim MK dilaporkan, dengan Ketua MK Anwar Usman yang memperoleh laporan terbanyak.

    Selain itu, hampir semua pelapor ingin membatalkan putusan terkait syarat usia cawapres. Ketiga, banyak hakim MK terlihat sedih saat pemeriksaan, bahkan salah satu hakim MK yakni Prof. Enny Nurbaningsih menangis saat diperiksa. Keempat, ada dugaan kuat Ketua MK Anwar Usman berbohong kala tidak ikut rapat permusyawaratan hakim (RPH).

    Kelima, fakta baru bahwa dokumen permohonan perbaikan uji materi usia Cawapres yang akhirnya dikabulkan MK itu, ternyata tidak ditandatangani oleh pemohon dan kuasa hukumnya.

    Apalagi, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie juga sudah menyampaikan secara terbuka kepada publik bahwa memang ada permasalahan di internal MK.

    “Maka wajarnya MKMK harus berani dengan tegas membuat putusan yang adil hingga penjatuhan sanksi kepada hakim konstitusi yang telah terbukti melakukan pelanggaran etika maupun aturan di lingkungan MK, berdasarkan fakta persidangan yang disampaikan oleh Ketua MKMK,” sarannya.

    Jangan sampai, lanjutnya, putusan MKMK ini nanti malah dinilai publik masuk angin, yang akan membuat publik semakin tidak percaya dengan hukum dan lembaga penegakkan hukum, dengan segala dampak lanjutannya. Termasuk ketika MK kelak akan menangani sengketa hasil pemilihan legislatif dan pemilihan presiden.

    “Sehingga, sudah selayaknya segala yang bermasalah di MK harus segera dikoreksi untuk menyelamatkan cita-cita reformasi (menolak korupsi dan nepotisme) dan prinsip Indonesia sebagai negara hukum bukan negara kekeluargaan, sebagai NKRI bukan sebagai negara kerajaan,” pungkasnya.(RMID).

    Berita Ini Telah Tayang Di RMID https://rm.id/baca-berita/parlemen/195867/hnw-harap-putusan-mkmk-kembalikan-marwah-berkonstitusi.

  • Prof. Lili: Dibajak Elite, Demokrasi Alami Kemunduran

    Prof. Lili: Dibajak Elite, Demokrasi Alami Kemunduran

    JAKARTA, BANPOS – Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Lili Romli mengaku kecewa dengan berbagai praktek dinasti politik yang ada di Indonesia.

    Menurut Prof. Lili, penyebutan dinasti politik diawali dengan membajak dan membonsai demokrasi. Praktek ini untuk negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

    “Bukan hanya itu saja, politik dinasti saat berkuasa dan untuk mempertahankan kekuasaannya memberlakukan aturan main tertutup atau close game,” kata Prof. Lili dalam keterangannya, Senin (06/11/2023).

    Banyak kasus di Indonesia, tambah dia, karena demokrasi elektoral hanya sekadar formalitas. Hal itu terjadi karena semua kekuatan politik dikendalikan, media massa dilemahkan, dan civil society dikooptasi. Dinasti politik juga menguasai sumber daya ekonomi dan bahkan koruptif.

    “Kalau di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak menunjukkan hal yang positif. Itu karena prosesnya membajak demokrasi dan ketika berkuasa mereka koruptif,” tuturnya.

    Lili menyebut negara-negara maju juga ada dinasti politik yang melalui proses sesuai dengan prosedur demokrasi. Tidak ujug-ujug berkuasa. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui.

    Misalnya melalui pengkaderan dan rekrutmen politik yang sama seperti kader lain.

    “Mereka juga memiliki kualifikasi dan kapasitas yang baik sehingga ketika berkuasa juga berhasil dengan baik, tidak koruptif. Jika gagal, publik tidak akan memilihnya kembali, ada punishment,” sambungnya.

    Lili menilai jika kondisi dinasti politik berlanjut, bukan tidak mungkin demokrasi akan meradang. Sebagai proyeksi ke depan, jika politik dinasti tetap bercokol dan menang dalam Pemilu, demokrasi Indonesia akan terancam.

    “Sekarang saja demokrasi Indonesia mengalami kemunduran, apalagi nanti jika yang berkuasa dinasti politik,” ujarnya.

    Di kesempatan sama, pakar Ilmu politik dari Universitas Airlangga, Prof. Kacung Marijan menilai, subur tidaknya dinasti politik tergantung oleh mekanisme kontrol.

    “Kontrolnya bisa dua. Pertama adalah di level proses pemilihannya. Ketika masyarakat anggap itu tidak baik, masyarakat bisa secara kolektif menolak dan tidak memilihnya,” sebut Prof Kacung.

    “Ketika calonnya itu sudah terpilih, bagaimana terjadi proses kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan bisa dihindari. Dalam hal ini lewat DPR,” lanjut Prof. Kacung.

    Legislator, aku dia, memiliki fungsi pengawasan yaitu melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang, APBN dan kebijakan Pemerintah.

    “Kalau DPR-nya lebih kuat, harusnya kontrol kepada Pemerintah harus lebih kuat,” kata Kacung.

    Menurutnya, dinasti politik terjadi karena proses rekruitmen politik yang tidak demokratis.

    “Proses rekrutmen politik dinasti itu dibangun dan dibungkus melalui pemilihan secara demokratis formal. Hal ini terlihat di sejumlah daerah. Misal, habis jadi kepala daerah, istri atau anaknya yang gantikan,” tutup Prof. Kacung.(RMID).

  • Putusan MK Hari Ini Soal Batas Usia Capres 70 Tahun Molor 40 Menit Prabowo Aman?

    Putusan MK Hari Ini Soal Batas Usia Capres 70 Tahun Molor 40 Menit Prabowo Aman?

    JAKARTA, BANPOS – Calon presiden (capres) Prabowo Subianto akhirnya bisa melenggang ke KPU, Rabu (25/10) nanti. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan yang meminta usia capres dibatasi maksimal 70 tahun.

    Putusan MK ini dibacakan langsung oleh Ketua MK Anwar Usman. Meskipun bacaan putusan sempat molor hingga 40 menit dari yang dijadwalkan pukul 10.00 WIB.

    “Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman Senin (23/10). “Kehilangan objek,” sambungnya.

    Perlu diketahui, sebelumnya gugatan yang meminta batasan maksimal usia capres 70 tahun itu diajukan oleh tiga orang yakni Wiwit Ariyanto, Rahayu Fatika Sari, dan Rio Saputro. Lalu gugatan itu dikuasakan kepada Aliansi 98.

    Gugatan dengan nomor perkara 102/PUU-XXI/2023 ini meminta MK agar membatasi usia capres maksimal 70 tahun. Selain itu, mereka juga meminta agar capres tidak pernah terlibat dalam kasus pelanggaran HAM.

    Pemohon lain, Rudi Hartono juga mengajukan uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Perkara dengan nomor 107/PUU-XXI/2023 juga diputuskan hari ini.

    Dalam gugatannya, Rudy Hartono juga meminta agar usia capres/cawapres dibatasi 70 tahun. Karena menurutnya, usia sangat menentukan kemampuan seseorang dalam memimpin.

    Sementara gugatan pemohon Gulfino Guevarrato meminta MK agar capres yang sudah dua kali maju di Pilpres tidak lagi diperkenankan nyapres. (RMID)

    Berita Ini Telah Tayang Di RMID https://rm.id/baca-berita/pemilu/193813/putusan-mk-hari-ini-soal-batas-usia-capres-70-tahun-molor-40-menit-prabowo-aman

  • Debat Capres Paling Cocok di Perguruan Tinggi

    Debat Capres Paling Cocok di Perguruan Tinggi

    JAKARTA, BANPOS – Kampanye di lembaga pendidikan dipersempit hanya untuk Perguruan Tinggi. Model kampanyenya bisa debat, seminar, workshop, dialog politik, atau talk show. Terpenting, mengedepankan asas dan prinsip keadilan.

    Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan metode kampanye yang boleh dilakukan di lembaga pendidikan. Aturan tersebut akan dituangkan dalam rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Perubahan atas PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum (Pemilu).

    “Kampanye di fasilitas pendidikan harus sesuai karakter pendidikan, yaitu mengedepankan karakter intelektual,” jelas Komisioner KPU Bidang Teknis Penyelenggaraan Pemilu Idham Holik da­lam keterangannya, kemarin.

    Idham menjelaskan, kampanye di fasilitas pendidikan diperbolehkan den­gan metode debat, seminar, workshop, dialog politik, atau talk show.

    Dia mengingatkan, kampanye tidak boleh mengganggu kegiatan proses pen­didikan, baik belajar mengajar ataupun perkuliahan.

    Seluruh bentuk kampanye di kampus, kata Idham, harus mengedepankan asas dan prinsip keadilan. KPU akan mewa­jibkan penyelenggara mengundang lebih dari satu peserta pemilu.

    “Jadi dalam satu forum itu tidak hanya satu peserta Pemilu atau calon anggota legislatif (caleg). Tapi seluruh peserta Pemilu atau semua caleg, sehingga akademik atmosfernya terwujud,” jelasnya.
    Idham juga menegaskan, kampanye di lembaga pendidikan harus sudah mendapatkan izin dari penanggung jawab tem­pat pendidikan dan tidak menggunakan atribut kampanye.

    KPU, kata dia, masih perlu melaku­kan pembahasan lebih lanjut sebe­lum dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Perubahan atas Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
    “Akan kami matangkan dan kami tu­angkan dalam keputusan,” katanya.

    Pengamat Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Firman Manan menilai, kampanye di lembaga pendidikan akan lebih ideal dan punya nilai strategis bila dibandingkan dengan di ruang publik atau lapangan.

    Kata dia, kampanye di lembaga pen­didikan tidak akan terjadi hal-hal yang bersifat artifisial atau hiburan, bahkan bagi-bagi uang.

    “Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menjadi pola anyar dalam pelaksan­aan kampanye, terutama bagi para peserta pemilu,” kata Firman.

    Namun, Firman tidak menampik bi­la kampanye di lembaga pendidikan, ada beberapa pihak yang tidak boleh terlibat dalam proses kampanye. Seperti, dosen sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) harus netral.

    “Tapi ada mahasiswa sebagai pemilih muda yang harus disentuh oleh informasi-informasi tentang kampanye,” usulnya.

    Bahkan, kata Firman, kampanye di lem­baga pendidikan bisa menjadi pendongkrak citra partai politik (parpol) yang dianggap kurang baik di mata calon pemilih, khusus­nya mereka yang masih muda.

    Sebagai informasi, KPU bakal melarang kampanye di sekolah meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan kampanye di tempat pendidikan.

    Aturan tersebut dimuat dalam Pasal 72A ayat (4) rancangan revisi peraturan KPU (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yang saat ini masih dalam tahap uji publik.

    Dalam aturan itu, tempat pendidikan yang diperbolehkan untuk kampanye adalah per­guruan tinggi. Maka dari itu, kampanye di sekolah tidak dapat dilakukan.

    “Tempat pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pergu­ruan tinggi yang meliputi universitas, in­stitut, sekolah tinggi, politeknik, akademi, dan/atau akademi komunitas,” tulis revisi PKPU Nomor 15 Tahun 2023.(PBN/RMID)

  • Kampus Oke, Sekolah No!

    Kampus Oke, Sekolah No!

    JAKARTA, BANPOS – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menanggapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan lembaga pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk berkampanye.

    Dia menyatakan, tidak apa-apa jika kampanye dilakukan di kampus. Sebab menurutnya, kampus sebagai lembaga akademik, mampu membuka ruang diskusi yang sehat dan terbuka.

    Dalam kaitannya dengan berbagai program dan gagasan dari masing-masing calon untuk kepentingan bangsa dan negara.

    “Saya kira 100 persen dari mereka (mahasiswa) sudah memiliki hak pilih. Selama kampus dapat menjaga kondusivitasnya, saya kira itu memungkinkan,” ujar Muhadjir saat menjadi narasumber pada segmen “Apa Kabar Indonesia Malam” dengan topik “Ketika Kampus dan Sekolah Jadi Ajang Kampanye” yang disiarkan secara langsung melalui kanal televisi TVOne, seperti keterangan yang diterima RM.id (BANPOS Grup), Selasa (29/8).

    Berbeda dengan kampus, Muhadjir menegaskan penyelenggaraan kampanye di sekolah dirasa akan menimbulkan permasalahan yang lebih rumit mengingat kesiapan para siswa dan sekolah dalam penyelenggaraan kampanye.

    Pengelolaan sekolah yang menjadi wewenang konkuren dari pemerintah daerah pun turut menjadi salah satu alasannya.

    “Ini akan rumit, kita tahu masing-masing kepala daerah memiliki corak warna bendera masing-masing, bisa dibayangkan akan serumit apa nanti pengaturan serta pencegahan yang harus dilakukan. Belum lagi sekolah Madrasah dan Aliyah yang menjadi wewenang Kementerian Agama,” tuturnya.

    Apalagi, diingatkan Muhadjir, para siswa di level sekolah telah mengalami learning loss selama masa pandemi Covid-19 berlangsung.

    Berdasarkan data Kemendikbudristek, dalam kurun waktu dua tahun saat pandemi, para siswa telah mengalami kehilangan momentum dalam belajar serta tidak mendapatkan pembelajaran yang utuh dari sekolah.

    Menurutnya, pemulihan sekolah dalam mengejar ketertinggalan selama dua tahun masa pandemi lebih penting untuk dilakukan demi memperbaiki kualitas pendidikan dan pembelajaran sekolah yang lebih baik.

    “Ini ongkos yang mahal jika kita kemudian harus menjadikan sekolah sebagai ajang kampanye politik. Biarlah guru-guru bekerja memulihkan keadaan untuk mengantar siswa-siswanya belajar sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri,” tuturnya.

    Sebagaimana diketahui, Keputusan MK yang merevisi materi Pasal 280 ayat (1) huruf h UU tentang Pemilu menjadi polemik baru di tengah arus perbincangan Pemilu 2024.

    Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 memperbolehkan lembaga pendidikan dijadikan sebagai salah satu tempat untuk berkampanye.

    Hal itu kemudian membuat tenaga pendidik resah, yang salah satunya disuarakan Forum Serikat Guru Indonesia, beberapa waktu yang lalu.

    Narasumber dalam agenda itu di antaranya, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, serta Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti. (PBN/RMID)

  • Kampanye di Sekolah Dewasakan Demokrasi

    Kampanye di Sekolah Dewasakan Demokrasi

    SERANG, BANPOS – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru, saat ini mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Asalkan tanpa adanya atribut kampanye yang ditampilkan. Hal tersebut tertuang dalam putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023.

    Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) PKS Kota Serang, Hasan Basri mengaku putusan yang MK putuskan merupakan salah satu hal yang baik untuk menumbuhkan jiwa demokrasi para siswa dan mahasiswa. Karena sebuah kampanye di sekolah juga menjadi salah satu ajang yang bagus untuk mendiskusikan gagasan yang inovatif dan inspiratif.

    “Responnya bagus ya. Misalnya anak-anak di sekolah dan di kampus sudah mulai belajar berdemokrasi. Jadi anak-anak sudah belajar berdemokrasi,” ujarnya, Kamis, (24/8)

    Hasan menjelaskan, bahwa para siswa dan mahasiswa ini merupakan stok pemimpin masa depan. Jadi memang sejak dini perlu untuk dikenalkan tentang demokrasi yang baik.

    “Kalau steril, kan kapan mereka akan belajar. Apalagi sekarang pendidikan demokrasi juga sudah masuk di sekolah-sekolah. Jadi misalnya mereka ada kunjungan ke kantor pemerintahan ke DPRD-nya,” jelasnya.

    “Pemilihan ketua OSIS yang ada di sekolah pun sudah mirip-mirip pemilihan umum. Artinya memang sudah mulai dikenalkan. Tentu lebih jauh dari itu, bagus juga kalau putusan MK membolehkan kampanye di lingkungan sekolah dan kampus terutama karena itu merupakan proses pembelajaran bagi mereka,” tambahnya.

    Hasan mengungkapkan, mungkin dalam pelaksanaannya saja yang perlu untuk lebih di tata lebih kepada pemahaman dan memberikan wawasan terkait gagasan-gagasan yang saat ini menjadi hal-hal yang dikampanyekan oleh para calon legislatif maupun calon kepala daerah.

    “Hanya mungkin pada metodologinya saja atau caranya yang harus di tata biar berbeda caranya. Kalau di sekolah atau di kampus itu lebih elegan. Mungkin kampanye di sekolah dan di kampus itu lebih kepada kampanye-kampanye gagasan. Misalnya bisa dikemas tentang bagaimana kita mendiskusikan gagasan-gagasan pembangunan untuk daerah dan sebagainya,” ungkapnya.

    “Dan bebas disitu, mau calon kepala daerah, calon anggota dewan. Diundang di kampus, diskusi, berdebat tentang gagasan bagaimana memajukan daerah,” tambahnya.
    Menurut Hasan, MK mengeluarkan putusan itu tentu berdasarkan dengan kajian-kajian yang matang. Dan memang, hal tersebut bisa berdampak baik bagi perkembangan demokrasi yang ada di daerah maupun negeri ini.

    “Insyaallah secara demokrasi kita semakin dewasa. Karena di sekolah atau kampus, siswa bisa diajak diskusi tentang gagasan, mau dibawa kemana negeri ini, daerah ini, nanti akan ada pengayaan dari teman-teman di sekolah atau di kampus itu,” ucapnya.

    Hasan juga mengaku bahwa hal tersebut juga menjadikan sebuah kampanye menjadi lebih hidup. Karena kampanye tidak hanya dengan tema-tema kampanye yang cuma begitu-begitu saja. Seperti amanah dan membela rakyat. Tetapi seperti apa konsep dan implementasinya saat mendapat jabatan bisa lebih jelas.

    “Kalau ditanya, misalnya caleg buat baliho ada tag line seperti jujur dan amanah, itu seperti apa implementasinya. Misalnya dia mendapatkan jabatan sebagai kepala daerah atau anggota dewan. Kan itu susah, tidak terukur. Tetapi kalau kita punya gagasan untuk membangun daerah dikampanyekan di sekolah, di kampus, wah itu mantap. Karena nantinya, gagasan itulah yang menjadi tema-tema perjuangannya ketika terpilih,” tandasnya.(CR-01)