Tag: Museum Multatuli

  • Tandangi Museum Multatuli, Adian Napitupulu: Sejarawan Bonnie Triyana Diwarisi Tugas Sejarah dari Multatuli

    Tandangi Museum Multatuli, Adian Napitupulu: Sejarawan Bonnie Triyana Diwarisi Tugas Sejarah dari Multatuli

    LEBAK, BANPOS – Tokoh reformasi, Adian Napitupulu, berkunjung ke Museum Multatuli, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, Sabtu (1/7).

    Kunjungannya ini dilakukan sebagai bentuk refleksi atas perjuangan masyarakat Lebak dalam melawan kolonial.

    Adian, yang saat ini menjabat anggota DPR RI ini menilai Lebak beruntung memiliki sosok sejarawan seperti Bonnie Triyana, yang rela berbagi ilmu dengan membangun oase peradaban lewat Museum Multatuli.

    Menurutnya, cerita perjuangan dalam melawan kolonial perlu ditularkan kepada generasi muda.

    Mengingat, Lebak dapat merubah pikiran dunia dengan kritikan Douwes Dekker melalui karyanya yang terkenal, Max Havelaar.

    “Kalau rakyat Banten seperti yang diceritakan Bonnie, mereka harus bangga menjadi orang yang lahir dari Lebak. Lebak ternyata pernah merubah pikiran dunia. Bukan jalan tanah jadi aspal, tapi cara berpikir. Ini baru yang gua dapatkan tadi (di Museum Multatuli),” katanya.

    Ia menerangkan, Douwes Dekker yang memiliki nama pena Multatuli memiliki pemikiran terbuka dengan menyadari kemewahan kolonial hasil dari rampasan masyarakat miskin di Lebak.

    “Apa yang kita pelajari dari Mulatulili? Dia orang Belanda, hadir di sini (Lebak), matanya terbuka. Kemewahan di Belanda berasal dari kemiskinan di Lebak, sehingga pemikirannya terbuka dan melawan,” tuturnya.

    Menurut Adian, cerita yang utuh dalam Museum Multatuli harus diperjuangkan semangatnya demi memajukan Bangsa Indonesia.

    Sebab, kolonialissme bisa muncul dengan istilah baru dengan keburukan yang sama seperti tempo dulu.

    Namun, kata dia, mempelajari kolonialisme tidak dimaknai ekspesi dendam, tapi mencegah keberulangan peristiwa silam yang tidak baik.

    “Orang yang mau memperjuangkan, merawat, mengurus dan membagikan cerita semacam ini adalah orang langka. Tidak banyak orang yang mau menginisiasi museum, mengumpulkan barang yang sudah dibawa ke Belanda, lalu dibawa lagi,” ujarnya.

    Adian mengaku, dengan menceritakan berulang seperti yang dijelaskan Bonnie Triyana, menjadi salah satu bentuk untuk mencegah penindasan serupa.

    “Sejarah tidak sederhana, setiap keping peristiwa berharga. Salah satu orang Banten terbaik ada di sini, di samping saya, ya Bonnie ini,” ucapnya.

    Ia menjelaskan, saat ini Indonesia butuh politisi muda yang tidak menampilkan banyak gaya dengan pakaian yang mahal.

    Tapi Indonesia membutuhkan sosok politisi muda yang memiliki pemikiran dan kepedulian terhadap rakyat serta kemajuan daerah.

    “Gua di sini untuk Bonnie. Kita butuh politisi muda yang tidak gaya-gayaan. Nilainya tidak hilang meski tidak pakai jam mahal, gelang mahal, sabuk mahal. Kehormatan kita tidak hilang, kehormatan kita dari keberpihakan kita,” jelasnya.

    Ia menyebutkan, perlu sosok yang mengerti sejarah dalam tubuh lembaga wakil rakyat untuk melihat Indonesia Lebih baik 25 tahun ke depan.

    “Yang dipilih bukan hanya namanya, tapi perilakunya. Kenapa kita harus mendukung caleg muda? Karena dia (Bonnie) mengerti sejarah, karena kita ingin melihat Indonesia 25 tahun ke depan menjadi lebih baik,” tandasnya.

    Di tempat yang sama, sejarawan Indonesia Bonnie Triyana menjelaskan bahwa Museum Multatuli digagas atas dasar kemanusiaan yang antikekerasan dan antipenindasan.

    “Museum membawa gagasan kemanusiaan anti kekerasan, anti penindasan,” ujarnya, saat menerangkan konsep Museum Multatuli.

    Bonnie Triyana yang maju sebagai calon anggota DPR RI Dapil Banten 1 ini menerangkan, sosok Saidjah-Adinda merepresentasikan perjuangan masyarakat dalam melawan kolonial.

    “Saidjah-Adinda berasal dari kampung yang tertindas, merantau, dan melawan kolonial, hingga akhirnya meninggal,” ungkapnya.

    Sehingga, pihaknya berharap semangat dan perjuangan dari tokoh-tokoh di dalam Museum Multatuli yang harus diabadikan dalam bingkai keberpihakan terhadap rakyat.

    “Semangat ini yang kita abadikan dan disematkan menjadi nama museum,” tandasnya. (MUF)

  • Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    LEBAK, BANPOS – Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat.

    Meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

    Hal itu diungkapkan pria asal Lebak itu dalam pidato kebudayaan yang disampaikan di hadapan ratusan warga yang hadir dan berkumpul di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6) malam.

    “Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya,” ujarnya.

    Dalam catatan miliknya, paling tidak ada 10 hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang.

    Seperti halnya sektor pendidikan, Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

    “Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu,” ucapnya.

    Sementara, bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme yaitu masih berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia.

    Sejak terbentuknya VOC pada 1602, mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas.

    “Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu,” tuturnya.

    Menurutnya, feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki.

    “Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya,” terangnya.

    Sementara itu, Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti, bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya.

    Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya, agar jabatannya bisa bertahan.

    “Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral,” ungkapnya.

    Bonnie juga menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya.

    Hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.

    Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812, merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah.

    Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat ‘mitos pemalas’.

    Trauma terhadap paham kiri dan kanan juga jadi hal lain yang disorot Bonnie. Kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespon segala hal yang terjadi di status quo, oleh sebab itu Bonnie tegas menolak mitos buruh pemalas.

    “Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja,” kata Bonnie.

    Selain itu, Bonnie juga memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah.

    “Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi,” jelasnya.

    Saat itu, Bonnie ikut mengecam patriarki dalam politik. Menurutnya, kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis, yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.

    Terakhir, Bonnie menyorot apartheid dalam pembangunan kota. Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.

    “Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit,” tandasnya. (MUF)

  • Ganjar Hadir di Lebak, Rano Karno Beri Pesan Jaga Kesinambungan Pembangunan di Banten

    Ganjar Hadir di Lebak, Rano Karno Beri Pesan Jaga Kesinambungan Pembangunan di Banten

    LEBAK, BANPOS – Ganjar Pranowo didampingi Rano Karno melakukan kunjungan ke Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (29/4). Dalam kesempatan itu, Rano Karno yang merupakan anggota Komisi X DPR RI mengajak Ganjar mengunjungi Museum Multatuli.

    Ganjar sampai di Museum Multatuli sekitar pukul 14.45 WIB, langsung disambut oleh Rano Karno, Bonnie Triyana sejarahwan yang juga inisiator Museum Multatuli, Ketua DPD PDI Perjuangan Banten Ade Sumardi, dan seluruh Ketua DPC PDI Perjuangan se-Banten. Ganjar bersama rombongan langsung masuk ke Museum Multatuli.

    Rano Karno mengungkapkan alasan mengapa dirinya mengajak Ganjar mengunjungi Museum Multatuli. Karena kata dia, Multatuli adalah inspirasi bagi banyak orang tentang cita-cita keadilan dan kemanusiaan.

    “Pak Ganjar hadir di sini untuk memperjuangkan itu semua: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Rano di Museum Multatuli.

    Rano Karno juga mengingatkan bahwa Bung Karno pernah mengunjungi Rangkasbitung dan kunjungan Ganjar Pranowo ini juga menjadi semacam tapak tilas dari perjalanan Bung Karno.

    “Jangan lupa, Bung Karno pernah ke Rangkasbitung. Jadi kunjungan Pak Ganjar ini adalah tapak tilas dari perjalanan Bung Karno untuk menghayati lebih dalam apa yang diperjuangkan dan dicita-citakan oleh Bung Karno,” ujarnya.

    Saat ditanya apakah ada pesan khusus dari Rano Karno untuk Ganjar yang telah dideklarasikan oleh PDI Perjuangan sebagai calon presiden, Rano mengatakan dirinya berharap kepada Ganjar untuk melanjutkan pembangunan nasional yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi di Banten.

    “Secara khusus, saya berharap Pak Ganjar melanjutkan pembangunan nasional yang sudah dilakukan oleh Pak Jokowi. Banten ini berdampingan langsung dengan Jakarta, tentu kita berdoa yang terbaik untuk Pak Ganjar Pranowo sebagai Presiden periode 2024-2029 dalam melanjutkan pembangunan dan terus meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia,” jelas Rano.

    Presiden Jokowi telah memberikan 14 proyek nasional di Banten. Rano berharap Ganjar tidak melupakan Banten.

    “Saya menyampaikan kepada Mas Ganjar bahwa presiden Jokowi memberikan hadiah 14 proyek nasional di Banten. Tadi Mas Ganjar melewati tol yang dibangun Pak Jokowi. Artinya mudah-mudahan Mas Ganjar melanjutkan pembangunan di Banten dan tidak melupakan Banten,” katanya.

    Sementara itu, Ganjar mengatakan dirinya mendapat banyak pengetahuan penting tentang Museum Multatuli.

    “Tempat bersejarah telah dibangun. Apa yang pernah dituliskan Multatuli menjadi banyak inspirasi perasaan orang untuk memanusiakan manusia, kemudian berjuang melawan penindasan. RA Kartini dan Bung Karno pun terinspirasi, mudah-mudahan generasi muda paham akan hal ini,” ujar Ganjar.

    Ganjar mengatakan ada banyak hal menarik, salah satunya nilai-nilai yang diadopsi oleh para pahlawan nasional kita.

    “Ya, tentu saja yang menyebarkan nilai pemberontakan itu dari mereka diadopsi oleh para pahlawan kita saat itu. Ini ada orang Belanda yang menyampaikan kepada rajanya dengan tulisan. Apa yang kamu inginkan dari penjajahan ini? Sampai kapan? Nah, itu dalam dan yang hebat dari beliau sebagai sastrawan sehingga dibuat dengan novel percintaan yang jauh lebih halus. Linguistik bisa diterima, ada kisah percintaan, dan di dalamnya ada nilai-nilai kemanusian yang diangkat,” tandasnya. (MUF)