Tag: Nadiem Makarim

  • Pencegahan Dini Aksi Kekerasan dan Intoleransi di Sekolah

    Pencegahan Dini Aksi Kekerasan dan Intoleransi di Sekolah

    JAKARTA, BANPOS – Beberapa fakta mengkhawatirkan muncul ketika aksi kekerasan dan intoleransi yang mengatasnamkan agama dalam beberapa tahun terakhir sudah masuk di kalangan remaja dan dunia pendidikan. Sebagai contoh, di masa pandemi Covid-19, dua tahun lalu kita dikejutkan dengan penyerangan bom yang terjadi di Makassar pada 28 Maret 2021, pelakunya dalah pasangan muda suami istri. Selain itu, kita juga bisa melihat kejadian penyerangan di Mabes Polri pada 31 Maret 2021 adalah Zakiah Aini, merupakan simpatisan ISIS serta mahasiswi yang tidak selesai dalam studinya.

    Aksi-aksi terorisme dan kekerasan yang menimpa kalangan muda dan terpelajar yang terjadi di atas tidak terlepas dari adanya paham ekstremisme, radikalisme, dan intoleransi yang sudah masuk ke dalam sekolah, mulai dari TK sampai SMA. Survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta menunjukkan, radikalisme yang berkaitan dengan dukungan terhadap ide negara Islam dan intoleransi sedang mengancam guru-guru muslim di Indonesia, mulai dari TK sampai SMA. Walaupun dari segi perilaku mereka cenderung moderat, tetapi dari sisi opini persentase yang intoleran lebih besar dibanding dengan yang toleran. Kondisi tersebut sangat berbahaya, kerena opini yang radikal dan intoleran tersebut bisa menjadi jembatan bagi lahirnya perilaku yang radikal dan intoleran (Ferdiansyah, 2022).

    Maraknya paham radikalisme agama di dunia pendidikan terlihat dalam hasil riset tentang “Sikap Keberagamaan Gen Z” yang juga dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2018. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa pada level opini, pelajar kita cenderung memiliki pandangan keagamaan yang intoleran, opini radikal sebesar 58,5 persen, adapun yang memiliki opini intoleransi internal sebesar 51,1 persen, kemudian opini intoleransi eksternal sebanyak 34,3 persen.

    Sedangkan dari tinjauan terkait aksi, siswa memiliki perilaku keagamaan yang cenderung moderat atau toleran, maka dapat dilihat bahwa yang melakukan aksi radikal sebanyak 7 persen dan aksi intoleransi eksternal sebanya 17,3 persen. Yang menarik, dalam temuan tersebut bahwa aksi intoleransi internal komunitas Islam sendiri cenderung lebih tinggi, yaitu sebesar 34,1 persen. Ini menunjukan bahwa masalah kita bukan hanya pada kerukunan antar umat beragama namun juga dalam keharmonisan sesama muslim sendiri.

    Media Online dan Intoleransi di Dunia Pendidikan

    Paham ekstremisme dan intoleransi diduga masuk ke sekolah, salah satunya, melalui media online. Dalam survei PPIM UIN Jakarta disebutkan, sebagian besar guru Muslim di Indonesia menggunakan media online atau media sosial untuk mendapatkan informasi keagamaan. Dari total keseluruhan guru yang diteliti, 31,22 persen mencari informasi keagamaan melalui media online setiap saat, 30,22 persen dua sampai tiga kali sepekan, 9,17 persen sebulan sekali, 6,50 persen hampir tidak pernah, dan 5,56 persen tidak pernah sama sekali.

    Hasil survei ini juga memperlihatkan para guru sekolah lebih banyak mengakses situs radikal dan intoleran. Jumlah guru yang mengakases situs tersebut adalah 58,86 persen. Sisanya mengakses situs non-radikal. Situs radikal yang dimaksud PPIM di sini adalah Voa-Islam.com, Salafy.or.id, Panjimas.com, Nahimunkar.com, Hidayatullah.com, EraMuslim.com, dan Arrahmah.com. Sementara yang mengakses situs moderat, seperti NU Online dan Muhammadiyah.id, totalnya sekitar 41,14 persen (Nasuhi dan Abdala, 2020).

    Selain itu, penelitian yang dilakukam Noorhaidi Hasan dkk (2018) tentang Literatur Keislaman Generasi Milenial, ditemukan bahwa adanya situasi serba tidak pasti yang dihadapi oleh generasi milenial ketika berhadapan langsung dengan masifnya pengaruh ideologi Islamis yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan dan masa depan yang lebih menjanjikan. Hasil penelitian tersebut juga menemukan bahwa di atas narasi yang menekankan pentingnya semangat kembali kepada dasar-dasar fundamental Islam dan keteladanan generasi awal, maka berusaha membuat jarak dan demarkasi antara Islam dengan dunia terbuka (open society) yang digambarkan penuh dosa-dosa bid’ah, syirik, immoralitas dan kekafiran. Hal ini menurut riset tersebut kemudian menjadi ladang subur bagi munculnya simpatisan ideologi khilafah yang menganggap bahwa hanya sistem Islam yang dapat mengubah keadaan Ketika umat Muslim tertinggal dari dunia Barat.

    Permendikbudristek PPKSP sebagai Pencegahan Efektif

    Melihat fakta dan fenomena yang mengkhawatirkan di atas, Kemendikbudristek akhir-akhir ini mempertimbangkan pengesahan payung hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan dengan meluncurkan Merdeka Belajar ke-25 yaitu Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan tersebut dibuat dengan tujuan yang jelas untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban (Kemendikbud, 2023).

    Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, dalam beberapa tahun terakhir, Kemendikbudristek telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam merancang regulasi yang dapat mencegah dan menangani kekerasan di dalam lembaga pendidikan. Menurutnya, perlu digarisbawahi bahwa Permendikbudristek PPKSP bertujuan melindungi siswa, pendidik, dan staf pendidikan dari kekerasan selama kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar lembaga pendidikan. Mas Menteri menekankan bahwa Permendikbudristek PPKSP memainkan peran penting dalam memenuhi mandat undang-undang dan peraturan pemerintah yang bertujuan melindungi anak-anak. Peraturan ini juga menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan.

    Semoga upaya konkret dari Kemendikbudristek yang dipimpin Menteri Milenial melalui Permendikbudristek PPKSP sebagai kebijakan preventif mampu memutus rantai kekerasan dan intoleransi yang selama ini menjadi momok mengkhawatirkan di dunia pendidikan. (RMID)

  • Carut Marut PPDB Disorot Anggota DPR

    Carut Marut PPDB Disorot Anggota DPR

    JAKARTA, BANPOS – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui sistem zonasi di berbagai daerah carut marut. Berbagai masalah mencuat selama proses PPDB dilakukan. Mendengar kisruh ini, wakil rakyat di Senayan langsung mencolek Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim.

    Sejak diterapkan tahun 2017, sistem PPDB ini kerap bermasalah. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat, ada 4 persoalan yang kerap terjadi di lapangan. Pertama, migrasi atau perubahan Kartu Keluarga (KK) calon siswa agar bisa masuk sekolah yang dituju. Kedua, daya tampung sekolah yang tak sebanding dengan jumlah pendaftar.

    Ketiga, ada banyak sekolah yang malah kekurangan siswa. Terakhir, jual beli kursi. Baik melalui pungli maupun titipan dari pejabat atau tokoh di wilayah setempat.

    Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mendesak Nadiem untuk memberikan penjelasan terkait domisili dalam sistem zonasi PPDB. Menurutnya, pendiri GoJek itu juga harus mengoordinasikan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kinerja Satgas PPDB.

    Sebab, kata Huda, penipuan PPDB dengan berbagai modus akan terus terulang setiap akan memasuki tahun ajaran baru. Tidak meratanya kualitas layanan pendidikan dan pembatasan kuota peserta didik baru menjadi biang kerok terjadinya modus tersebut.

    “Banyak juga wali murid yang ingin mendapatkan slot untuk dapat belajar di sekolah negeri karena ada pembatasan biaya,” ungkap Huda di Jalarta, kemarin.

    Kondisi tersebut seharusnya menjadi teguran bagi Nadiem untuk mengaktifkan Satgas PPDB di level daerah. Caranya, dengan meminta kepala daerah untuk memimpin langsung Satgas PPDB.

    Menurut Huda, saat Mendikbud dijabat Muhadjir Effendy bersama Kemendagri menginisiasi pembentukan Satgas PPDB. “Harusnya Satgas PPDB inilah yang harus dimintakan secara dini mengantisipasi berbagai modus kecurangan dalam PPDB, karena hampir bisa dipastikan akan selalu terjadi,” ujarnya.

    Huda menilai, sistem zonasi pada dasarnya digunakan sebagai upaya pemerataan kualitas pendidikan bagi peserta didik. Namun, pelaksanaannya harus sesuai dengan kondisi daerah. Ia pun usul ada revisi sistem PPDB ini agar disesuaikan dengan kondisi daerah.

    “Misalnya di Jakarta, tidak mengendap sistem zonasi karena membludaknya pendaftar di sekolah negeri. Akhirnya dikedepankan seleksi dengan menunda pekerjaan. Untuk yang tidak tertampung di sekolah negeri, Pemprov DKI Jakarta menggandeng sekolah swasta untuk menggelar PPDB bersama,” tutur Huda.

    Ketua DPP PSI, Furqan AMC juga meminta sistem zonasi PPDB dievaluasi total karena dianggap rawan pemalsuan dokumen. Carut marutnya sistem zonasi justru mendiskriminasikan calon siswa yang seharusnya dijamin hak pendidikannya oleh konstitusi.

    Furqan menduga, sistem PPDB akan menyulitkan anak-anak desa atau pinggiran kota mengakses sekolah negeri yang lebih bermutu di tengah kota. Selain itu, sistem PPDB ini membuat praktik pemalsuan dokumen, pungli, dan percaloan semakin marak.

    Ia mencontohkan temuan kasus 31 KK palsu calon siswa baru di SMA Negeri 8 Pekanbaru, Riau, beberapa hari lalu. “Itu hanyalah puncak gunung es yang terungkap. Besar dugaannya praktik pemalsuan KK tersebut terjadi jamak di semua kota dan kabupaten di seluruh Indonesia,” tuding Furqan.

    Apa tanggapan Kemendikbudristek? Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Dikdasmen Iwan Syahril mengatakan, pihaknya telah melibatkan inspektorat di daerah untuk menindak pelanggaran terkait KK.

    Kata dia, dalam menetapkan zonasi, Pemerintah Daerah memperhitungkan sebaran sekolah, sebaran domisili calon peserta didik, dan daya tampung yang tersedia. Iwan mencontohkan penerapan yang baik di Kabupaten Donggala, Pasuruan, Provinsi Riau, hingga Tangerang.

    “Selanjutnya ini ada permasalahan yang terkait jalur afirmasi ini yang sering kita dengar adalah pemalsuan surat keterangan tidak mampu. Misalnya di Bekasi ada orang kaya daftarkan anak dengan jalur afirmasi gitu ya, karena dia mengaku tidak mampu,” ungkap Iwan.

    Ia menyarankan adanya validasi dan verifikasi dokumen yang melibatkan Dinas Sosial. Pihaknya ingin adanya sosialisasi kepada orang tua, panitia PPDB, dan masyarakat atas sanksi hukum yang bisa didapat lantaran pemalsuan.

    Iwan juga menyampaikan permasalahan PPDB di jalur prestasi. Menurutnya, ada peserta didik yang tak lolos padahal sudah mengharumkan nama kotanya. Misalnya Kota Tangerang, ada atlet karate dapat juara dua, tapi tidak lolos jalur prestasi di Banten.

    “Solusi yang bisa kita rekomendasikan adalah Pemda dapat memberikan indikator dan formula jalur prestasi termasuk bukan hanya nilai rapor, termasuk akademik dan non-akademik. Panitia PPDB dapat menggunakan sistem informasi manajemen talenta dari Kemendikbud Ristek,” usulnya. (ENK/RMID)

  • Senayan Colek Menteri Nadiem

    Senayan Colek Menteri Nadiem

    JAKARTA, BANPOS – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui sistem zonasi di berbagai daerah carut marut. Berbagai masalah mencuat selama proses PPDB dilakukan. Mendengar kisruh ini, wakil rakyat di Senayan langsung mencolek Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.

    Sejak diterapkan tahun 2017, sistem PPDB ini kerap bermasalah. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mencatat, ada 4 persoalan yang kerap terjadi di lapangan. Pertama, migrasi atau perubahan Kartu Keluarga (KK) calon siswa agar bisa masuk sekolah yang dituju. Kedua, daya tampung sekolah yang tak sebanding dengan jumlah pendaftar.

    Ketiga, ada banyak sekolah yang malah kekurangan siswa. Terakhir, jual beli kursi. Baik melalui pungli maupun titipan dari pejabat atau tokoh di wilayah setempat.

    Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda mendesak Nadiem untuk memberikan penjelasan terkait domisili dalam sistem zonasi PPDB. Menurutnya, pendiri GoJek itu juga harus mengoordinasikan para pemangku kepentingan untuk meningkatkan kinerja Satgas PPDB.

    Sebab, kata Huda, penipuan PPDB dengan berbagai modus akan terus terulang setiap akan memasuki tahun ajaran baru. Tidak meratanya kualitas layanan pendidikan dan pembatasan kuota peserta didik baru menjadi biang kerok terjadinya modus tersebut.

    “Banyak juga wali murid yang ingin mendapatkan slot untuk dapat belajar di sekolah negeri karena ada pembatasan biaya,” ungkap Huda di Jalarta, kemarin.

    Kondisi tersebut seharusnya menjadi teguran bagi Nadiem untuk mengaktifkan Satgas PPDB di level daerah. Caranya, dengan meminta kepala daerah untuk memimpin langsung Satgas PPDB.

    Menurut Huda, saat Mendikbud dijabat Muhadjir Effendy bersama Kemendagri menginisiasi pembentukan Satgas PPDB. “Harusnya Satgas PPDB inilah yang harus dimintakan secara dini mengantisipasi berbagai modus kecurangan dalam PPDB, karena hampir bisa dipastikan akan selalu terjadi,” ujarnya.

    Huda menilai, sistem zonasi pada dasarnya digunakan sebagai upaya pemerataan kualitas pendidikan bagi peserta didik. Namun, pelaksanaannya harus sesuai dengan kondisi daerah. Ia pun usul ada revisi sistem PPDB ini agar disesuaikan dengan kondisi daerah.

    “Misalnya di Jakarta, tidak mengendap sistem zonasi karena membludaknya pendaftar di sekolah negeri. Akhirnya dikedepankan seleksi dengan menunda pekerjaan. Untuk yang tidak tertampung di sekolah negeri, Pemprov DKI Jakarta mengandeng sekolah swasta untuk menggelar PPDB bersama,” tutur Huda.

    Ketua DPP PSI, Furqan AMC juga meminta sistem zonasi PPDB dievaluasi total karena dianggap rawan pemalsuan dokumen. Carut marutnya sistem zonasi justru mendiskriminasikan calon siswa yang seharusnya dijamin hak pendidikannya oleh konstitusi.

    Furqan menduga, sistem PPDB akan menyulitkan anak-anak desa atau pinggiran kota mengakses sekolah negeri yang lebih bermutu di tengah kota. Selain itu, sistem PPDB ini membuat praktik pemalsuan dokumen, pungli, dan percaloan semakin marak.

    Ia mencontohkan temuan kasus 31 KK palsu calon siswa baru di SMA Negeri 8 Pekanbaru, Riau, beberapa hari lalu. “Itu hanyalah puncak gunung es yang terungkap. Besar dugaannya praktik pemalsuan KK tersebut terjadi jamak di semua kota dan kabupaten di seluruh Indonesia,” tuding Furqan.

    Apa tanggapan Kemendikbudristek? Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Dikdasmen Iwan Syahril mengatakan, pihaknya telah melibatkan inspektorat di daerah untuk menindak pelanggaran terkait KK. Kata dia, dalam

    menetapkan zonasi, Pemerintah Daerah memperhitungkan sebaran sekolah, sebaran domisili calon peserta didik, dan daya tampung yang tersedia. Iwan mencontohkan penerapan yang baik di Kabupaten Donggala, Pasuruan, Provinsi Riau, hingga Tangerang.

    “Selanjutnya ini ada permasalahan yang terkait jalur afirmasi ini yang sering kita dengar adalah pemalsuan surat keterangan tidak mampu. Misalnya di Bekasi ada orang kaya daftarkan anak dengan jalur afirmasi gitu ya, karena dia mengaku tidak mampu,” ungkap Iwan.

    Ia menyarankan adanya validasi dan verifikasi dokumen yang melibatkan Dinas Sosial. Pihaknya ingin adanya sosialisasi kepada orang tua, panitia PPDB, dan masyarakat atas sanksi hukum yang bisa didapat lantaran pemalsuan.

    Iwan juga menyampaikan permasalahan PPDB di jalur prestasi. Menurutnya, ada peserta didik yang tak lolos padahal sudah mengharumkan nama kotanya. Misalnya Kota Tangerang, ada atlet karate dapat juara dua, tapi tidak lolos jalur prestasi di Banten.

    “Solusi yang bisa kita rekomendasikan adalah Pemda dapat memberikan indikator dan formula jalur prestasi termasuk bukan hanya nilai rapor, termasuk akademik dan non-akademik. Panitia PPDB dapat menggunakan sistem informasi manajemen talenta dari Kemendikbud Ristek,” usulnya.

    Di dunia maya, berbagai keluhan disampaikan warganet terkait carut marut sistem PPDB. “Gue nggak ngerti kenapa sampai ada sistem zonasi buat sekolah? Sama ratakan dulu seluruh sekolah, pendidik, baru dah bisa pakai sistem zonasi. Sekolah di kampung sama di kota ya jelas beda. Mau mencerdaskan saja harus dibatasi. Aneh,” sesal @itdatsht.

    “Ruwet. Yang rumahnya pada jauh ke sekolah negeri akhirnya pada milih swasta,” aku @withfadhilan. “Emang tujuannya zonasi kan buat ‘bagi kue’ ke swasta,” sahut @metalomania. “Dihapuskan saja sistem zonasi ini. Lebih baik kembali ke sistem lama, pakai NEM (Nilai Ebtanas Murni),” usul @MohaAbant. “Bukan Indonesia kalo gak ada kata curang dan melakukan segala cara sekalipun gak benar…,” ledek @dududsyalala. (RMID)

  • Refleksi Jelang Empat Tahun Merdeka Belajar

    Refleksi Jelang Empat Tahun Merdeka Belajar

    JAKARTA, BANPOS – Masih terekam saat Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim menyampaikan pidato pada Hari Guru 25 November 2019. Pidoato ini menjadi cikal bakal publisitas kebijakan Merdeka Belajar pertama kali, setelah beberapa hari sebelumnya di-upload di situs web resmi Kemendikbud pada 22 November 2019 dan naskah pidato tersebut viral di media sosial.

    Beberapa poin bisa kita garisbawahi dari naskah pidato tersebut, bahwa proses belajar memerlukan perubahan yang selama ini sangat membelenggu, terutama karena baik guru maupun murid selalu dituntut untuk mengejar nilai yang hanya berpusat pada kemampuan kognitif. Sering kali guru hanya disibukkan dengan beban administrasi yang kian menumpuk sehingga menurunkan perhatiannya terhadap kebutuhan para peserta didik yang esensial, hingga lupa akan tujuan pembelajaran dan pendidikan yang sebenarnya. Pada akhirnya guru menjadi minim kreativitas, minim inovasi, dan hanya sekadar menggugurkan tugas kepengajarannya.

    Hal ini diperkuat dengan pendapat Azyumardi Azra (2003:180) bahwa proses pendidikan di sekolah dewasa ini sangat membelenggu peserta didik, dan bahkan juga para guru. Hal ini bukan hanya karena formalisme sekolah–tetapi juga dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)–yang cenderung sangat ketat, juga karena beban kurikulum yang sangat berat (overloaded). Akibatnya, hampir tidak tersisa lagi ruang bagi para peserta didik untuk mengembangkan imajinasi dan kreativitas kognisi, afeksi, dan psikomotoriknya.

    Dengan keadaan yang seperti ini, perkembangan yang sejatinya dicapai oleh peserta didik jauh panggang dari api. Kompetensi yang seharusnya dimiliki mereka sebagai bekal dalam menghadapi masa depan tidak dimiliki. Lihatnya zaman semakin berkembang, revolusi industri terus berganti, tapi para penerus masa depan kita masih tertatih-tatih dalam menghadapinya. Jangankan untuk menjadi inovator, menjadi imitator pun belum mampu. Mereka hanya sibuk menjadi konsumtor. Belum lagi, dekadensi moral yang semakin merajalela di kalangan pelajar, kekerasan, narkoba, pergaulan bebas seolah menjadi berita sehari-hari.

    Hal ini tentu menjadi bahan evaluasi pada sistem pembalajaran kita di sekolah, lebih jauh lagi tentang sistem pendidikan yang dirasa belum bisa menjawab semua problematika ini. Meskipun semua ini tentu saja bukan hanya menjadi tanggung jawab pembelajaran di sekolah, tetapi juga di rumah dan di lingkungan. Namun, pada dasarnya sekolah seharusnya menjadi tempat belajar yang kondusif dalam membentuk para peserta didik.

    Oleh karena itu, perlu adanya perubahan dalam proses belajar. Guru dan peserta didik harus dimerdekakan dari keterbelengguan yang selama ini membatasi mereka. Belajar yang selama ini selalu berpusat pada guru, diarahkan untuk berpusat pada murid. Jadikan murid sebagai partner dalam berdiskusi di dalam kelas, hargai pendapat mereka, dorong ide-ide mereka, bangunlah suasana belajar yang menyenangkan dan membahagiakan. Ubah belajar yang membosankan, ajak mereka berjalan ke luar ruang kelas, mengamati alam, mengamati dunia yang sebenarnya. Proyeksikan ide-ide mereka menjadi suatu gerakan yang membangun kepercayaan diri mereka.

    Hingga saat ini, sudah ada 24 episode kebijakan Merdeka Belajar yang dikeluarkan. Episode 1 terkait 4 pokok kebijakan Merdeka Belajar yang salah satunya cukup fundamental yaitu tahun 2020, USBN akan diganti dengan ujian (asesmen) yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian untuk menilai kompetensi siswa dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis dan/atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya). Dengan arahan kebijakan ini, guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar siswa. Tahun 2020, UN dilaksanakan untuk terakhir kalinya. Tahun 2021, UN diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari literasi, numerasi, dan survei karakter. Yang terakhir kebijakan jilid 24 terkait transisi PAUD ke SD yang menyenangkan.

    Penerapan kebijakan Merdeka Belajar, khususnya di sekolah, yang terangkum dalam bentuk Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) belajar merupakan sebagian solusi masalah pendidikan yang sedang dihadapi. Penerapannya bukan tanpa hambatan, para ahli berpendapat, beberapa rintangan dalam implementasi kurikulum ini. Pertama, kurangnya pengalaman guru dalam penerapan merdeka belajar yang disebabkan pengalaman guru di bangku kuliah dan kebiasaan mengajar satu arah yang sudah terlama lama diterapkan. Kedua, keterbatasan rujukan dan referensi karena minimnya literatur yang membahas merdeka belajar dan penerapannya. Ketiga, ketidakmerataan akses yang di beberapa wilayah. Keempat, kurangnya kompetensi atau skill yang dimiliki guru dalam melakukan pembelajaran yang kreatif dan inovatif, terutama dalam penggunaan media digital.

    Namun, hal ini tidak lantas membuat Kemendikbudristek menyerah. Justru, beberapa kebijakan selanjutnya menjadi solusi dari masalah tersebut. Terkait kurangnya pengalaman guru dan minimnya literasi serta keterbatasan akses, Kemendikbudristek menggagas kebijakan program organisasi guru penggerak, sekolah penggerak dan platform Merdeka Mengajar yang di dalamnya terdapat berbagai pelatihan untuk guru yang dapat dilakukan secara mandiri di mana pun dan kapan pun.

    Dalam platform Merdeka Mengajar, guru kini sudah bisa menerapkan berbagai metode pembelajaran. Platform ini bertujuan untuk mempermudah guru dalam mencari dan mendapatkan informasi tentang pembelajaran. Mendapat referensi dari berbagai perangkat ajar yang dibutuhkan. Proses pembelajaran yang disusun di platform memberikan inovasi dalam mengajar. Guru sudah praktis mendapat RPP, materi, modul, video pembelajaran, hingga asesmen bahkan analisis diagnostik dari asesmen yang sudah dilakukan. Selain itu, guru juga dapat mengambil inspirasi dari guru-guru lain di seluruh Indonesia dengan mengaplikasiannya di sekolah tempat mengajar.

    Dalam platform Merdeka Mengajar, terdapat fitur pelatihan mandiri. Dengan pelatihan-pelatihan mandiri ini, guru dapat memperoleh pengetahuan baru, wawasan yang luas mengenai pembelajaran yang mutakhir saat ini, sehingga dapat mempertajam skill dalam mengajar yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pelatihan-pelatihan ini bisa dengan mudah diikuti oleh guru di mana pun dan kapan pun.

    Selain itu, guru yang merdeka adalah guru yang bisa berkolaborasi dan berbagi. Pada platform Merdeka Mengajar, guru bisa menampilkan video-video motivasi ataupun produk-produk hasil dari project base learning di sekolahnya sehingga menjadi inspirasi bagi-bagi guru lain, dan dapat diakses oleh semua guru di Indonesia.

    Platform Merdeka Mengajar menawarkan lima item yang terbagi ke dalam kategori seperti pengembangan para pendidik dan kegiatan pembelajaran. Produk-produk pengembangan guru antara lain: (1) Video Inspiratif, yang menjadi sumber peningkatan kompetensi pendidik, berisi video-video motivasi pilihan yang dibuat oleh Kemendikbud dan para ahli. (2) Guru dapat melakukan pelatihan secara individu kapanpun dan dimanapun dengan Pelatihan Mandiri, yang mencakup berbagai materi pelatihan singkat. (3) Proof of My Work, yang digunakan untuk mendeskripsikan kinerja, kompetensi, dan prestasi selama melaksanakan profesi keguruan dan profesi utama, merupakan tempat dokumentasi karya.

    Selain itu, MMP berfungsi sebagai tempat bagi kolega untuk memberikan komentar dan berbagi strategi sukses. Produk untuk kegiatan belajar mengajar antara lain: a. Penilaian Siswa, yaitu membantu guru dalam melakukan analisis diagnostik literasi dan numerasi dengan segera sehingga mereka dapat menerapkan pembelajaran yang relevan dengan tahap perkembangan dan akademik anak-anak. b. Kit Pengajaran, yang mencakup berbagai alat bantu mengajar untuk meningkatkan tugas belajar dan mengajar, seperti buku teks, alat peraga, modul pengajaran, dan alat bantu proyek (Sumandya, 2022).

    Prabowo et al., (2021) menyatakan, pengetahuan teknologi, khususnya penggunaan PMM, dan pembuatan media pembelajaran yang dijadikan konten dari PMM merupakan hal yang perlu dilakukan agar guru memiliki keterampilan yang diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain, PMM dapat menjadi teman bagi guru dalam mengembangkan diri untuk menginspirasi dan mengajar lebih baik. Oleh karena itu, penggunaan MMP diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang lebih inovatif dan menarik (Ngadiluwih, 2022).

    Selain itu, implementasi kurikulum ini mendukung tunjangan profesi guru dan jaminan jam mengajar. Platform Mengajar Merdeka juga membantu pelaksanaan Kurikulum Mandiri dengan memberikan dukungan jaminan dan tunjangan jam profesi guru. Guru dapat mendapatkan inspirasi, referensi, literasi, dan pemahaman dalam upaya mengimplementasikan Kurikulum Mandiri dengan bantuan Platform Merdeka Mengajar. Para guru dapat mengandalkan Platform Merdeka Mengajar sebagai motor penggerak dalam pengembangan siswa-siswi Pancasila. Platform Pengajaran Merdeka melayani tiga tujuan: meningkatkan efektivitas pengajaran kurikulum Merdeka, memperluas pengetahuan seseorang tentang ide-ide baru, dan menciptakan karya atau produk.

    Namun, isu kesejahteraan guru masih menjadi PR bagi pemerintah. Sampai saat ini, masih banyak guru-guru yang mendapatkan honor jauh dari UMR, masih banyak guru-guru honorer yang belum diangkat menjadi PNS maupun P3K, dan masih banyak juga guru-guru P3K yang belum mendapat penempatan.

    Nurlaeli: Wakil Kepala SMK Islam Insan Mulia Tangerang, Guru Pendidikan Agama Islam SD Muhammadiyah Bojong Nangka Tangerang.(RMID)