Tag: Opini

  • Dampak Daring terhadap Kesehatan Sosial

    Dampak Daring terhadap Kesehatan Sosial

    COVID-19 melahirkan era baru Indonesia. Era di mana setiap orang harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Era di mana tidak setiap saat bisa berkumpul dengan rekan kerja, atasan, dan juga sesama teman organisasi. Maka komunikasi dalam jaringan (daring) menjadi pilihan sebagian masyarakat sekarang ini.

    Belajar, bekerja, rapat-rapat bahkan aktivitas keagamaan ada di antaranya yang dilakukan secara daring. Aktivitas daring mungkin yang paling sering menjadi perbincangan adalah dalam proses belajar mengajar.

    Daring juga memiliki dampak terhadap tumbuh kembang anak. Anak mengalami kelelahan secara fisik, karena terdampak radiasi dari laptop, dan telepon genggam.

    Dampak lainnya adalah anak-anak merasa kecanduan bermain gawai (gadget), karena aktivitas secara fisik serba terbatas. Orang tua pun tidak sanggup melakukan kontrol secara terus menerus terhadap anak yang kecanduan gawai.

    Ada kecenderungan, anak yang kecanduan main gawai lupa makan, sedangkan yang tidak gandrung bermain gawai malah kebanyakan makan. Itu semua, karena mereka lama tinggal di rumah atau jarang keluar rumah, karena khawatir terpapar Covid-19.

    Anak yang seharusnya bermain secara fisik, seperti petak umpet dan lain-lain digantikan dengan permainan yang hanya menggunakan jari. Kondisi itu jelas akan mengganggu pertumbuhan motorik kasar anak

    Tanpa menafikan aspek positif, jika anak-anak yang menggunakan gawai disurvei, dengan pertanyaan pilihan “saat menggunakan gawai, anak lebih memilih belajar atau keperluan lain” maka jawaban mayoritas akan memilih menggunakan gawai untuk keperluan lain.

    Kondisi itu, karena belum dibangun literasi digital secara maksimal. Sebagian besar anak masih menggunakan gawai untuk kepentingan lain. Padahal dengan digital orang bisa berusaha, dan bisa membuat desain tertentu, mengakses pengetahuan lebih luas.

    Saya sebagai orang tua merasakan betul bagaimana beragamnya karakteristik anak ketika menghadapi gawai. Anak kedua, Sopia, lebih banyak memanfaatkan gawai untuk mencari bacaan, seperti novel. Ketika memegang telepon genggam yang pertama dicari adalah novel. Betul memang, dibandingkan membeli, anak lebih baik mencari anak merasa cukup mendapatkan bacaan kesukaannya di smartphone.

    Selain itu, anak kedua saya memiliki hobi atau kemampuan bermain slime. Dia bisa membuat video dan dibagikan kepada teman-temannya melalui media sosial. Aksinya itu, rupanya mendapatkan respons dari teman-temannya dan akhirnya membeli.

    Sementara, anak pertama lebih suka menonton film Korea, yang kecil lebih banyak main game. Mudah ditebak, ketika hobi nonton dan bermain game maka unsur belajarnya menjadi jauh lebih sedikit.

    Dari tiga anak yang berbeda hobi dan kebiasannya, seperti anak yang sering mendengar musik dan non film akan memiliki kecenderungan ada peminatan terhadap bahasa. Yang ketiga ada kecerdasan kinestetik atau lebih spesifik memiliki kreativitas pada menu ternetu. Dia punya bakat entrepreneurship, dan telepon genggam yang dia gunakan berpotensi menghasilkan uang.

    Dari ketiga anak saya tersebut dan mungkin juga dialami orang tua lain. Tentu tidak sama dalam memberikan treatment. Semuanya bergantung pada karakteristik dan kebiasaan anak. Misalnya, anak yang kecenderungan banyak menggunakan telepon genggam untuk kepentingan bersenang-senang maka bisa dialihkan ke kegiatan fisik, seperti bermain sepeda.

    Oleh karena itu, kita semua sebagai orang tua perlu tetap mengontrol dan mengarahkan anak-anak kita, agar dalam menggunakan smartphone lebih terarah dan digunakan untuk hal-hal positif. Kita sebagai orang tua, jangan berhenti memotivasi anak untuk hal-hal yang positif.

  • Inovasi Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi

    Inovasi Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi

    PEMBELAJARAN luar jaringan (luring) atau tatap muka dan dalam bahasa Inggris di sebut ofline masih dalam tahap perencanaan, yaitu awal 2021. Saat ini, siswa dan mahasiswa masih terus melaksanakan proses pembelajaran dalam jaringan (daring), sehubungan dengan masih tingginya penyebaran covid-19.

    Bagi sebagian siswa, proses belajar daring merupakan hambatan, karena terbatas dengan sinyal, sarana dan prasarana. Meski sebagian masyarakat menganggap bahwa itu tidak menjadi masalah.

    Namun, ada satu kata yang mungkin saja dirasakan oleh semua siswa dan orang tua siswa, yaitu membosankan. Seperti kita ketahui, dalam delapan bulan terakhir ini, siswa harus belajar di rumah, lengkap dengan segala bentuk permasalahan, mulai dari bosan, keterbatasan sarana, dan tentu saja kurang asyik.

    Ada fakta yang kurang menggembirakan dari proses pembelajaran daring ini. Pembelajasan daring yang menjadi persoalan adalah pertama guru yang selama ini dilatih untuk persiapan pembelajaran daring dengan biaya mahal, relatif tidak berhasil. Dalam pengertian, tidak semua guru tidak berhasil, tetapi ada fakta bahwa para guru “kolonial” yang kurang cepat beradaptasi dengan situasi pandemi sekarang ini.

    Covid-19 memang memaksa kita untuk berubah. Berubah untuk menyesuaikan dengan era baru informasi, di mana tanpa harus bertatap muka, kita bisa menyampaikan pesan, menyampaikan materi pembelajaran dan juga bisa melaksanakan kegiatan rapat penting sekalipun.

    Istilah baru “the power of kepepet” mungkin pantas disematkan dalam kondisi kita sekarang ini. Di mana, guru dipaksa untuk melakukan proses pembelajaran secara daring dan karyawan/pegawai dipaksa bekerja dari rumah (work from home).

    Para tenaga pendidik sudah dipersiapkan untuk menghadapi proses pembelajaran daring, seperti bagaimana membuat presentasi, power point dan tentu saja melakukan pembelajaran secara daring.

    Berbeda dengan guru atau tenaga pengajar, orang tua banyak yang dihadapkan pada persoalan pengadaan alat. Apakah semua memiliki kesanggupan memiliki telepon genggam, bukan telepon genggam biasa tetapi telepon pintar (smartphone).

    Padahal, dalam proses pembelajaran daring peran orang tua sangat besar. Guru yang sudah diberi kompetensi pedagogik, termasuk bagaimana mengajar dengan pendekatan psikologis masih mengalami masalah dalam proses pembelajaran daring. Lalu bagaimana masyarakat yang tidak diberi kompetensi. Guru sudah didik dalam bidang atau kompetensi tertentu, tetapi orang tua banyak yang tidak memiliki kemampuan. Kalaupun para orang tua banyak yang berpendidikan, tetapi boleh jadi sudah banyak yang lupa, karena mereka tidak fokus dalam proses pembelajaran.

    Belum lagi, sekarang ini sudah mengalami banyak perubahan dalam kebiasaan hidup masyarakat. Dulu rumah itu adalah madrasah, di mana orang tua atau setidak-tidaknya ibu bisa membimbing anak-anaknya saat di rumah. Sekarang sudah bergeser, karena kedua orang tua banyak yang bekerja.

    Dulu hanya ayahnya yang bekerja. Dalam kultur agraris, ibu di rumah. Jadi relatif memiliki banyak waktu untuk mengatur anak. Sementara sekarang, meskipun ada kebijakan tidak masuk kantor atau bekerja di rumah (WFH), dia harus tetap bekerja.

    Apa yang harus dilakukan agar proses belajar mengajar daring tetap optimal. Tentu saja dibutuhkan suatu inovasi agar belajar daring efektif. Guru harus betul-betul merumuskan tujuan pendidikan. Guru harus menentukan beberapa kompetensi, tidak perlu semua kompetensi.

    Kalau satu dua kompetensi sudah dimiliki maka yang lain akan mengikuti. Misalnya kalau anak sudah bisa membaca tinggal meneruskan dengan kebiasaan membaca (habit reading). Kalau di kurikulum ada sepuluh kompetensi, dalam kondisi pembelajaran daring sekarang ini, cukup diambil dua saja

    Siapa yang akan menentukan dua kompetensi prioritas, tentu saja para guru atau guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Antara guru bisa bersepakat bahwa dari sepuluh kompetensi, hanya dua kompetensi saja. Bukan ditentukan oleh pemerintah, karena khawatir menjadi keputusan politik, bukan berdasarkan keputusan akademik.

    Setelah ada keputusan kempetensi apa saja yang akan diambil, baru para guru memikirkan bagaimana cara penyampaian pelajaran daring agar bisa diterima dengan baik oleh peserta didik. Misalnya penyajian materi dengan menggunakan pendekatan animasi. Dengan pendekatan itu, anak-anak tidak bosan.

    Bagaimana kita mengevaluasi keberhasilan anak dalam belajar daring, harus melibatkan orang tua. Cara mengevaluasinya adalah dengan menggunakan projek. Orang tua beserta anak melakukan projek, misalnya soal kecakapan hidup. Bagaimana aktivitas anak membantu orang tua, seperti mencuci piring dibuat rekaman atau membiasakan diri bercocok tanam.

    Dengan pola itu, tidak perlu dijelaskan bagaimana tahapan cuci piring atau pelajaran biologi mengenal tanaman. Kelebihannya, proses belajar dengan pendekatan projek, tidak menjadi beban bagi orang. Sebaliknya, justru membantu meringankan beban orang tua.

    Intinya, selama guru bisa berinovasi, pendekatan pelajarannya tepat dan sesuai tahapan perkembangan peserta didik kultur milenial, tahapan evaluasi melalui pendekatan projek dengan melibatkan orang tua maka tidak ada problem, malah bisa menyenangkan. Dalam proses pemilihan kita mengenal efek ekor jas (coat-tail effect), dengan kata lain pihak lain akan mengikuti seseorang yang dianggap panutan.

  • Efektivitas Pembelajaran Daring dalam Pembinaan Moral Anak

    Efektivitas Pembelajaran Daring dalam Pembinaan Moral Anak

    TRANSFER ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) dari tenaga pendidik terhadap siswa, baik melalui luar jaringan (luring) maupun dalam jaringan (daring) boleh jadi akan efektif. Karena pada era teknologi informasi sekarang, orang bisa dengan bebas berkomunikasi dengan siapa pun. Bebas berkomunikasi tanpa mengenal ruang dan waktu.

    Begitupun dalam proses pembelajaran, siswa dan guru bisa tanpa batas waktu melakukan transfer ilmu pengetahuan. Umpan balik (feed back) juga bisa dengan cepat dilakukan siswa, ketika memang ada hal yang perlu ditanyakan, minta penjeasan lebih lanjut dan memberi tanggapan, termasuk jawaban atas pertanyaan guru.

    Jadi, kalau sekadar transfer ilmu pengetahuan, sepertinya tidak ada masalah. Hanya, proses pembelajaran itu bukan hanya sekadar mampu mentransfer ilmu pengetahuan dan siswa memahami apa yang disampaikan para gurunya, tetapi lebih dari itu, akhir dari proses pendidikan adalah membangun karakter dan membangun moral anak.

    Bagaimana setelah mengikuti proses pendidikan, anak bukan hanya mengetahui tata cara hormat terhadap orang tua, tetapi juga bagaimana menunjukkan rasa hormat terhadap orang tua.

    Apakah proses pembelajaran daring efektif untuk memperbaiki moral anak? Untuk mengetahui itu, pertama-tama saya ingin mengatakan bahwa moral ada tiga, ada pengetahuan dan pendidikan moral, perasaan moral dan sikap moral.

    Daring bisa menumbuhkan pengetahuan moral anak atau kemampuan membedakan yang baik dan buruk, seperti melalui tayangan video ada anak membuang sambah sembarangan dan ada anak membuang sambah di tempat sampah. Anak ditunjukan mana bagaimana cara membuang sampah yang benar dan membuang sampah secara sembarangan. Jika ada anak sudah mampu membedakan maka sudah terjadi pengetahuan moral dan itu bisa melalui daring.

    Perasaan moral bisa ditunjukan dengan bagaimana perasaan kita kalau menunggu lama. Misalnya anak ditunjukan pembelajaran melalui penayangan sebuah video seseorang yang sedang menunggu seseorang. Dalam video itu digambarkan bagaimana perasaan seorang anak ketika dihadapkan dalam posisi menunggu, apalagi menunggu dalam waktu yang sangat lama. Intinya akan tergambar bahwa menunggu sangat membosankan.

    Maka pesan yang diharapkan dari penayangan itu adalah anak tidak datang terlambat, karena dia tahu betapa kesalnya anak-anak lain, ketika menunggu dirinya.

    Soal sikap moral bisa dilakukan dengan memberikan keteladanan terhadap anak didik. Sikap moral juga soal pilihan (choicde), lalu anak menentukan pilihan, seperti setuju atau tidak setuju. Pada batasan seperti itu pendidikan moral bisa dilakukan dengan daring.

    Kebanyakan orang mendefinisikan pendidikan moral adalah pembiasaan dan keteladanan. Ketika bicara keteladanan dan pembiasaan tidak bisa dilakukan dengan daring.

    Dalam situasi daring, guru harus mengerti pendidikan moral, karena ketika tidak mengetahui berpotensi terjadi miss konsepsi, dan tidak bisa membedakan pengetahuan perasaan moral, dan sikap koral. Kalau hanya mengetahui pengetahuan moral maka proises pembelajaran daring menjadi gagal.

    Jika sudah mengetahui, evaluasinya sangat sederhana. Guru cukup memberikan projek terhadap anak didik, seperti projek aktivitas keseharian (daily activity).

    Inti dari pendidikan bermutu adalah guru yang bermutu, Oleh karena itu, harus ada peningkatan mutu guru. Kedua jika pengetahuan tentang moral tidak merata atau hanya mengetahui tentang pengetahuan moral maka suka atau tidak suka kita kembali kepada pikiran lama bahwa pendidikan moral melalui pembiasan dan keteladan dan kebiasan dan keteladan tidak bisa melalui daring.

  • Salaman di Era Pandemi

    Salaman di Era Pandemi

    GARA-gara korona, kita ganti salaman kita. Gara-gara korona, jadi sering cuci tangan. Penggalan lirik lagu Project Pop, yang merupakan gubahan dari lirik lagu “Gara-gara Kahitna” kurang lebih sama maknanya dengan pesan yang sering disampaikan pemerintah atau juga pihak lainnya, yaitu jaga jarak (pshycal distancing) dan sering cuci tangan pakai sabun.

    Pesan yang ingin dicapai antara lain bagaimana kita tetap menjalin silaturahmi atau hubungan sosial, tetapi tetap menjaga jarak, mengganti salaman (jabat tangan) dengan bahasa nonverbal lain yang maknanya kurang lebih sama dengan salaman.

    Jika biasanya bersalaman itu dengan bersentuhan tangan erat-erat, bahkan berujung pelukan, sekarang ini cukup dengan salaman jarak jauh, seperti menganggukan kepala, adu kepal tangan pertanda persahabatan, termasuk menggunakan bahasa nonverbal lain selain salaman.

    Salam-salaman pada setiap momentum Lebaran, acara pernikahan atau saat bertemu dengan teman, saudara dan lain-lain sudah merupakan kebiasaan kita sejak lama. Rasanya, silaturahim secara langsung tidak lengkap tanpa salaman. Salaman pada saat menghadiri acara pernikahan biasanya dilakukan saat sungkeman dan penyampaian ucapan selamat dari para undangan.

    Dalam situasi pandemi, bahkan di beberapa daerah di Banten masih menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pemerintah dan masyarakat banyak yang menggelar kegiatan, seperti rapat, sosialisasi, dan acara pernikahan. Selain itu, memasuki bulan Rabiul Awal sekarang ini banyak masyarakat yang menggelar peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

    Namun, kegiatan tersebut dilaksanakan dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan, seperti membatasi jumlah masyarakat yang hadir dalam suatu ruangan atau tempat acara.

    Dalam kondisi normal, memberikan ucapan selamat disertai salaman (berjabat tangan) kepada kedua mempelai adalah sesuatu yang sangat biasa dilakukan. Tidak sedikit juga teman dekat dan keluarga dekat mengucapkan selamat disertai pelukan, cium pipi kiri dan kanan.

    Begitupun saat kita menghadiri undangan pertemuan dan menghadiri peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dan dalam berbagai kegiatan, termasuk menghadiri kampanye politik, biasanya disertai dengan salaman.

    Ketika mengganti salaman dengan simbol lain yang mungkin saja asing atau kurang familiar dalam keseharian kita, apakah makna silaturahmi itu berkurang?

    Tentu sangat bergantung dari cara kita memaknai dan cara kita menyadari kondisi Bangsa Indonesia, bahkan dunia saat ini dan bagaimana kita bisa beradaptasi dengan situasi terkini, di mana hampir seluruh dunia sudah terpapar virus korona. Sebagian dari kita khawatir ketika bertemu atau bersentuhan dengan tetangga, teman, bahkan dengan saudara sendiri. Bukan hanya khawatir tertular virus korona, tetapi juga khawatir menularkan virus yang banyak menyebabkan kematian tersebut.

    Karena saat ini, kita tidak pernah mengetahui seperti apa kondisi kesehatan teman, saudara dan tetangga kita, bahkan kondisi kesehatan kita sendiri, sebelum dites melalui PCR (polymerase chain reaction). Kita memang sudah dikenalkan ciri-ciri klinis masyarakat yang terserang virus korona, tetapi banyak juga masyarakat yang tidak memiliki gejala apa pun sebelumnya alias OTG, ternyata dinyatakan positif korona.

    Belakangan, memang masyarakat sudah tidak terlalu panik dan khawatir menghadapi situasi sekarang ini. Masyarakat sudah kembali terbiasa bertemu dengan sesama teman, keluarga, dan kolega. Hanya, dalam setiap pertemuan masyarakat masih tetap menjaga jarak, menghindari sentuhan, memakai masker dan menghindari kerumunan. Tidak sedikit pula masyarakat yang benar-benar sudah membangun hubungan secara normal, seperti salaman, pelukan hingga mencium tangan orang yang dihormati.

    Salaman dalam istilah komunikasi merupakan bagian dari cara manusia melakukan komunikasi, lebih tepatnya komunikasi nonverbal. Fungsi komunikasi nonverbal, seperti salaman, rangkulan, tepukan pundak, menggelengkan kepala, menundukan kepala, dan lain-lain, kurang lebih sama dengan komunikasi verbal.

    Salaman atau pegangan tangan termasuk dalam kategori komunikasi nonverbal berupa sentuhan. Menurut Dedi Mulyana dalam Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar (edisi revisi 2017) sentuhan bisa berupa tamparan, pukulan, cubitan, senggolan, tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabat tangan), rabaan, hingga sentuhan lembut sekilas.

    Semua bentuk komunikasi nonverbal tersebut memiliki makna yang berbeda. Makna salaman atau berjabat tangan, masih menurut Dedi Mulyana, bisa berbeda, bergantung dari konteksnya. Jabatan tangan kepada kawan lama bisa berarti “Saya senang bisa bertemu kamu lagi”, salaman kepada teman sejawat yang baru lulus S2 atau S3 di luar negeri “Selamat atas keberhasilan Anda” atau salaman dengan tetangga yang kita kunjungi saat Lebaran maknya adalah “Marilah kita saling memaafkan dan melupakan kesalahpahaman yang pernah terjadi di antara kita”.

    Di era digital sekarang ini, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menyampaikan ucapan selamat pernikahan, ucapan atas kelahiran buah hati dan bentuk ucapan lainnya. Kalau pun ingin tetap menyampaikan ucapan selamat secara langsung, bisa juga dengan mengubah cara bersalaman. Jika dalam kondisi normal, kita biasa pegangan tangan, bahkan rangkulan, dalam kondisi pandemi korona sekarang ini, bisa juga mengganti dengan salaman berjarak atau tanpa bersentuhan. Kalaupun bertentuhan, tidak menggunakan bagian tangan yang biasa langsung bersentuhan dengan rongga tubuh.

    Untuk mencairkan suasana silaturahmi, kita bisa menyampaikan prolog atau dengan pernyataan basa basi supaya antara satu dengan yang lainnya tidak saling menyinggung. Misalnya dengan menyampaikan “salam anti korona” atau pernyataan lain yang menunjukkan bahwa sekarang ini kondisinya berbeda. Cara lainnya adalah dengan menyampaikan permintaan maaf atau mengucapkan selamat melalui komunikasi verbal atau lisan.

    Melalui komunikasi verbal, kita bisa menyampaikan apa pun dalam upaya membangun silaturahmi dengan sesama, misalnya menyampaikan permintaan maaf, mengucapkan selamat, menyampaikan sesuatu keprihatinan atau bahkan sebaliknya menciptakan suasana yang akrab dan menyapa teman, sahabat, dan saudara saat bertemu.

    Memang sulit mengubah kebiasaan, seperti bersalaman dengan cara mencium tangan orang yang kita hormati, tetapi dengan kondisi saat ini kita diharapkan bersama-sama berupaya menerima kenyataan.

    Ini merupakan ikhtiar kita supaya dapat memutus mata rantai penyebaran covid-19. Semoga, pandemi korona segera berakhir, sehingga kita bisa beraktivitas dan bersilaturahmi seperti sedia kala. Aamiin..

  • Covid Membunuh Masa Depan Demokrasi

    Covid Membunuh Masa Depan Demokrasi

    PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) sejatinya merupakan sarana bagi masyarakat untuk menentukan kebebasan berpolitik, kebebasan memilih, kebebasan berekspresi, dan kebebasan berkumpul, bertatap muka dan berserikat.

    Pun demikian dengan kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diberikan kebebasan untuk mengajak masyarakat, baik langsung dalam sebuah pertemuan besar maupun tidak langsung. Mereka juga diberi kuasa untuk menyampaikan gagasan secara terbuka, sehingga masyarakat secara detail bisa melihat, siapa kandidat yang layak dipilih.

    Pilkada serentak 2020 sangat berbeda dengan pilkada yang dilaksanakan sebelum-sebelumnya. Bila sebelumnya, kandidat bebas mengumpulkan massa dalam jumlah besar, bebas menyapa pemilih dari jarak yang sangat dekat sekalipun dan menyalami masyarakat tanpa batas, sekarang kondisinya sangat berbeda.

    Para kandidat dan antarpemilih harus betul-betul melaksanakan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan pakai sabun. Dalam kampanye tatap muka, kandidat tidak bebas mengumpulkan pendukung dalam jumlah banyak, karena ada batasan tersendiri, seperti untuk daerah zona oranye hanya diperkenankan mengumpulan masyarakat maksimal 50 orang.

    Perlu digarisbawahi, salah satu hal penting dalam demokrasi adalah kebebasan untuk berkumpul. Kebebasan untuk berkumpul juga berarti kebebasan berserikat. Ketika berkumpul akan muncul adu gagasan dan dari gagasan akan mengkristal menjadi sebuah pergerakan.

    Sekarang ada semacam pembatasan dengan argumen tidak sesuai dengan protokol kesehatan. Jika disalahgunakan bisa menyebabkan demokrasi kita mati. Oleh karena itu, harus hati-hati betul dalam menggunakan asas ini. Jangan sampai, Covid-19 bukan hanya berbahaya untuk kesehatan tapi juga untuk demokrasi.

    Memang, seseorang boleh berkumpul yang penting menjaga 3 M, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, dan memakai masker. Sangat sederhana, kita harus membiasakan diri mencuci tangan pakai sabun dan bagaimana menghindari kerumunan. Kalaupun harus berkumpul, kita harus tetap menggunakan aturan main, sadar akan kesehatan dan masa depan masing-masing, sehingga tidak menjadi persoalan.

    Mestinya, dalam sebuah demokrasi, perkumpulan itu tidak tidak dibatasi. Pembatasan cukup pada norma, seperti boleh berkumpul 50 orang, bukan dibunyikan dilarang. Karena dalam setiap perkumpulan mereka bisa adu gagasan dan menumbuhkan kebebasan berpendapat.

    Ketika dalam pertemuan itu menyepakati sesuatu sepakat maka dilanjutkan dengan aksi bersama. Kalau hanya menjadi pemikiran akan menjadi wacana.

    Dalam kondisi sekarang ini, diperlukan kreativitas dalam penyampaian gagasan. Keterbatasan berkumpul secara fisik, tetapi tetap terhubung dan bebas mengeluarkan gagasan. Tapi tidak cukup, karena harus bisa menggerakkan orang untuk memilih dan melakukan perubahan-perubahan di masyarakat.

    Dalam kondisi normal, pandemi tidak akan mengganggu. Tetapi ketika ada unsur politis, pandemi bisa jadi alat politik. Banyak contoh lain yang membungkam demokrasi. Demokrasi tidak sehat karena ada moralitas politik yang tidak berjalan. Bisa menjadi alat sekelompok tertentu, seperti menjadi alat untuk menekan. Akhirnya kebebasan berekspresi dan demokrasi terganggu.

    Kalau berhenti pada jargon negara hukum, hukum bisa menjadi alat kekuasaan atau kelompok tertentu yang memiliki power dan akhirnya mengganggu.

    Namun, kalau on the track, pelaksanaan Pilkada pada masa pandemi tidak akan bermasalah. Misalnya, moralitas berjalan, literasi digital dalam kampanye politik berjalan, kemudian jaringan partai dan relawan berjalan.

    Kesimpulan saya adalah, Covid-19 bisa membunuh masa depan demokrasi dan yang muncul adalah demokrasi prosedural, kebebasan dibatasi, dan gerakan masyarakat dicurigai. Namun, demokrasi tidak terganggu jika prasyarat terpenuhi, seperti moralitas politik, literasi digital, dan jaringan politik bergerak.

  • Urban Farming di Era Pandemi

    Urban Farming di Era Pandemi

    PANDEMI Covid 19 telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi kehidupan warga masyarakat. Kehidupan sosial harus mematuhi protokol kesehatan, dari mulai memakai masker, sering cuci tangan, menggunakan hand sanitizer hingga harus menjaga jarak.

    Pada banyak tempat, gelombang merumahkan tenaga kerja dan juga pemutusan hubungan kerja dari perusahan-perusahan yang bergerak di bidang pariwisata dan industri semakin besar.

    Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah adanya pengangguran yang jika tidak segera diantisipasi oleh pemerintah akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan social dan politik.

    Dalam konteks pertanian, penyediaan kesempatan kerja masih memungkinkan tertampung pada berbagai jenis dan bentuk usaha pertanian. Secara nasional, sektor pertanian memiliki peran dalam menyediakan pangan dan kesempatan kerja selain peran penting lainnya dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan (Cahya, 2014; Handayani, et al, 2018).

    Oleh karena itu, sektor pertanian masih menjadi pilihan bagi tenaga kerja yang terkena dampak pandemic Covid-19 baik sebagai sumber mata pencaharian yang utama maupun sampingan.

    Dari fakta yang ada, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis moneter 97-98 maupun krisis akibat pandemic Covid-19 2019-2020.

    Meskipun sektor pertanian berpotensi besar dalam menampung jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan sektor lainnya, namun karena kontribusinya terhadap PDB tidak sebesar sektor industri dan perdagangan, maka arah kebijakan pembangunan tidak menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Akibatnya swasembada pangan sulit dicapai seperti yang pernah diraih pada tahun 1984.

    Banyak faktor yang menyebabkan kesulitan berswasembada pangan, diantaranya karena kualitas SDM pertanian, dukungan sarana dan prasarana pertanian, teknologi, finansial hingga kebijakan importasi pangan yang tidak berpihak kepada ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian di dalam negeri. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata tetapi juga masyarakat, dunia perguruan tinggi dan swasta.

    Ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian yang digeluti masyarakat baik di perkotaan maupun kawasan penyangganya selama masa pandemi ini yang cukup dominan adalah urban farming (Pertanian perkotaan). Urban farming merupakan praktek budidaya tanaman dan ternak/ikan di dalam lingkungan perkotaan dan sekitarnya.

    Pertanian perkotaan merupakan pertanian yang terintegrasi ke dalam ekonomi dan ekosistem perkotaan. Salah satu pemicu hegemoni ini adalah gaya hidup, dalam hal ini pertanian perkotaan seringkali diasosiasikan dengan sehat, hemat, dan ramah lingkungan. Produksi pangan di kawasan perkotaan dapat dipandang sebagai peluang menghasilkan makanan segar dan berkualitas tinggi, meskipun hanya menggunakan ruang terbatas mencakup budidaya menggunakan tanah, hidroponik, dan rumah kaca (Resh, 2001).

    Beberapa manfaat dari urban farming antara lain; (i) manfaat ekonomis; (ii) manfaat kesehatan; dan (iii) manfaat lingkungan.

    Secara ekonomis, urban farming yang dikelola secara modern dengan menggunakan aplikasi teknologi dapat memberikan tambahan penghasilan karena menghasilkan produk-produk tanaman yang berkualitas dan memiliki pasar spesifik.

    Produk-produk yang dihasilkan oleh kegiatan urban farming relatif bersih, segar dan sehat sehingga selain dapat dikonsumsi sendiri juga dijual pada pasar-pasar tertentu, misalnya super market atau bahkan online marketing.

    Dalam kaitannya dengan manfaat lingkungan pengelolaan urban farming termasuk ramah lingkungan karena berupaya meminimalisir penggunaan pestisida dan pupuk kimia serta mengutamakan penggunaan kompos, bahan organik dan bakteri dekomposer sebagai penyedia hara alamiah.

    Dengan kultur teknis demikianlah maka produk urban farming memiliki citra baik sebagai produk pertanian ramah lingkungan, higienis, sehat, bergizi dan segar sehingga mampu meraih pembeli pada segmen menengah ke atas. Produk-produk urban farming yang pada umumnya berupa sayuran dan buah-buahan segar itu diproduksi oleh warga kota dan kawasan penyangganya mulai dari pekarangan rumah, kebun-kebun milik RT/RW, lahan-lahan kosong milik masjid, sekolah, pondok pesantren, developer hingga milik pemerintah dengan teknologi biasa (menggunakan tanah dan kompos) pada tanah lapang, menggunakan polybag disusun dalam rak secara vertikal, menggunakan hidroponik bahkan aquaponik (integrasi tanaman dan ikan) dalam suatu wadah pada musim pandemic ini sedang tumbuh menjamur.

    Studi terhadap kegiatan urban farming berbasis pekarangan yang dikembangkan kaum wanita yang tergabung pada Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Ciruas, Baros dan Keramatwatu menunjukan bahwa sebanyak 82,86% pengurus dan anggota KWT yang berpartisipati aktif mengelola kebun pekarangan didorong karena ingin meningkatkan pendapatan dan pada musim pandemi ini sebanyak 68,57% termotivasi karena ingin berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.

    Hal ini sejalan dengan pendapat Fauzy et al, (2018) yang menyatakan bahwa urban farming yang dikembangkan warga kota selain memberikan kontribusi terhadap kebutuhan logistic pangan, kesehatan juga kenyamanan lingkungan dan nilai estetika karena memiliki nilai seni dan memiliki daya tarik tertentu antara lain berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.

    Namun demikian dari segi pendapatan sebanyak 68,57% menyatakan bahwa hasil bertani di pekarangan rumah belum menjadi andalan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarganya berasal dari luar usaha tani yaitu dari pendapatan suami yang bekerja di sektor formal maupun informal (91,42%). Hanya saja jika sewaktu-waktu suaminya terkena PHK maka sebanyak 45,71% menyatakan bahwa produk olahan memiliki prospek yang baik untuk menjadi andalan pendapatan keluarga. Dengan demikian pengembangan produk pertanian dari pekarangan dan dari jenis kegiatan urban farming lainnya perlu melangkah dari produk segar ke produk olahan.

    Terkait ini, dukungan teknologi, finansial dan pasar dari pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi diperlukan agar produk-produk olahan dari KWT dan kegiatan urban farming dapat berkembang dengan baik.
    Kegiatan urban farming yang berorientasi pasar dan dikelola secara pribadi beserta komunitasnya adalah apa yang telah dilakukan oleh Farm Hydro (FH) di Kota Serang.

    FH selain menyelenggarakan pelatihan hydroponic bagi pemula bersama komunitasnya telah berhasil mensuplai kebutuhan sayuran segar ke pasar-pasar retail modern di Kota Serang, Kota Cilegon dan Tangerang.

    Sementara itu dari dunia pondok pesantren yang dipelopori oleh 12 pondok pesantren dari Kabupaten Lebak, Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kota Serang Provinsi Banten dengan “Gerakan Tanam Porang” di pekarangan dan lahan terbuka/bertegakan telah muncul sebagai varian baru dalam konteks pengembangan urban farming.

    Gerakan tanam porang yang telah menghimpun kekuatan empat pilar ini (Pemerintah Provinsi Banten sebagai penyedia pupuk organik, UPZ BAZNAS Pemprov Banten sebagai penyedia benih, Tim Manajemen Porang FSPP Provinsi Banten sebagai pengelola dan pondok pesantren sebagai penyedia lahan produksi) telah berhasil menanam porang sebagai upaya meningkatkan keanekaragaman dan ketahanan pangan diluar beras pada pada era pandemi.

    Konsep kerjasama empat pilar ini menempatkan mustahik fakir miskin sebagai pemilik benih dan berfungsi sebagai pengawas kegiatan tanam porang. Hasilnya setelah dikurangi biaya benih dan biaya operasional dibagi tiga yaitu sebanyak 40% untuk mustahik fakir miskin, 20% untuk tim pengelola porang (TMP) dan sebanyak 40% untuk pondok pesantren selaku penyedia lahan produksi.

    Inovasi ini, alhamdulilah mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat dengan diraihnya penghargaan Provinsi Banten sebagai Provinsi Berinovasi oleh Gubernur Banten beberapa waktu lalu. Prestasi ini patut disyukuri sebagai motivasi agar masyarakat Banten dan dunia pondok pesantren secara kreatif terus mengembangkan pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan baik di era pandemi ini maupun di masa mendatang.

    Wallahu’alam.

  • Porang dan Pemberdayaan Mustahik

    Porang dan Pemberdayaan Mustahik

    PORANG saat ini sedang ramai dibicarakan karena diyakini sebagai komoditas ekspor dan sumber karbohidrat masa depan.

    Petani sedang bergairah menanam Porang karena harga Porang saat ini sangat menguntungkan dan terus mengalami kenaikan dari tahun ketahun. Bahkan, pabrik pengolahan Porang untuk ekspor seakan berebut bahan baku untuk memenuhi kapasitas produksinya.

    Menurut laman resmi Kementerian Pertanian RI, Porang adalah tanaman penghasil umbi yang dapat dimakan, merupakan anggota marga Amorphophallus.

    Dari segi penampilan serta manfaatnya Porang memang mirip dengan suweg dan walur sehingga sering kali dirancukan dengan kedua tanaman tersebut. Mengingat manfaat Porang dan prospek pasarnya yang cukup baik maka kedudukan tanaman Porang sangat potensial dikembangkan di tengah Pandemi Covid-19 sebagai salah satu komoditas yang bisa diandalkan dalam mengentaskan kemiskinan dan mengatasi pengangguran.

    Porang secara alami tumbuh pada musim hujan pada lahan tegalan, pemakaman dan di bawah tegakan tanaman kehutanan dan perkebunan. Porang termasuk tanaman yang toleran dengan naungan hingga 60%. Porang dapat tumbuh pada jenis tanah subur maupun marginal pada ketinggian 0 sampai 700 m dpl.

    Di kawasan hutan, Porang ditanam di bawah pohon kayu-kayuan yang secara bersamaan dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan dan papan. Saat ini Porang sudah dibudidayakan secara cukup intensif di areal terbuka bahkan di pekarangan dengan menggunakan polybag yang ditanam secara bersusun. Penanaman Porang menggunakan benih, biasanya digunakan dari potongan umbi batang maupun umbinya yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung.

    Saat musim tanam tiba (September-November) kebutuhan akan benih Porang cukup tinggi sehingga turut mengerek harga benih terutama yang bersumber dari katak (bulbil). Sebagai gambaran, harga benih Porang yang bersumber dari katak (bulbil) pada awal September tahun 2020 ini di Provinsi Banten dijual pada kisaran harga Rp120.000,- hingga Rp135.000,- per kg (dengan jumlah berkisar antara 250-350 butir per kg) kini, dalam waktu 15 hari saja sudah naik pada kisaran harga Rp250.000,- hingga Rp285.000,- per kg.

    Perubahan harga benih Porang ini mirip dengan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berubah setiap hari. Harga benih Porang akan menurun saat musim tanam terlewati.

    Tanaman Porang dipanen perdana pada umur 7 bulan setelah tanam. Pada panen perdana Porang akan menghasilkan umbi seberat 0,5-1 kg dan menghasilkan katak 1-2 butir per pohon. Sedangkan panen kedua pada umur 15 bulan setelah tanam. Pada panen kedua Porang akan menghasilkan umbi seberat 1-2 kg dan menghasilkan katak 3-5 butir per pohon. Pada musim panen umbi basah dijual pada harga Rp5.000,- hingga Rp8.000,- per kg dan katak dijual pada kisaran harga Rp100.000,- hingga Rp150.000,- per kg (dengan jumlah berkisar antara 250-350 butir per kg).

    Selain umbi basah Porang juga dijual dalam bentuk olahan (dibuat chip/keripik) dijual dengan harga Rp50.000 per kg (chip kering matahari) dan Rp60.000 per kg (chip kering oven). Rendemen Porang (perubahan umbi basah menuju olahan berada pada kisaran 10% hingga 20%). Rendemen tertinggi dicapai pada saat panen terjadi pada musim kemarau sedangkan terendah terjadi pada musim hujan.

    Jika jarak tanam yang digunakan 0,5 m x 0,5 m maka dalam satu hektar terdapat 40.000 tanaman. Benih yang dibutuhkan sebanyak 160 kg dengan asumsi per kg benih katak terdapat 250 butir. Jika diasumsikan benih yang tumbuh sebanyak 28.000 tanaman (70%) dan berat umbi basah pada panen pertama rata-rata 0,5 kg per tanaman maka akan didapat sebanyak 14 ton umbi basah dan panen katak sebanyak 224 kg (70% x 40.000 tanaman x 2 katak per pohon dibagi 250 butir per kg).

    Jika harga umbi basah saat panen Rp5000 per kg dan harga katak Rp100.000,- maka pendapatan usaha tani Porang dari umbi basah sebanyak Rp70.000.000,- dan dari katak (bulbil) Rp22.400.000 dikurangi dengan biaya operasional sebanyak Rp35.000.000,- terdiri dari biaya benih 160 kg (Rp24.000.000,-), kapur 1000 kg (Rp1000.000,-), pupuk kandang 2000 kg (Rp2.000.000,-) dan tenaga kerja sejak tanam hingga panen (Rp8.000.000,-). Pada panen perdana pendapatan usaha tani Porang membukukan Rp 57.400.000,-. Artinya pada panen perdana saja modal sudah berhasil dikembalikan. Pada panen kedua akan didapatkan umbi basah sebanyak 28 ton dan panen katak sebanyak 336 kg. Jika umbi basah diolah jadi chip/keripik dengan rendemen 15% x 28 ton menghasilkan 4,2 ton (4200 kg chip).

    Jika harga Porang Chip Rp50.000 per kg maka dengan menjual umbi chip akan mengantongi pendapatan sebanyak Rp210.000.000,- dan dari panen katak sebanyak Rp50.400.000,-. Sehingga total pendapatan pada panen kedua mencapai Rp260.400.000,-. Akan tetapi jika yang dijual umbi basah maka pendapatnnya menjadi Rp190.400.000,- (jual umbi basah Rp140.000.000,- dan katak Rp50.400.000,-.

    Hitung-hitungan pendapatan sebagaimana tersebut di atas antara lain yang mendorong minat petani terhadap Porang saat ini cukup tinggi. Dari segi pembiayaan relatif terjangkau, perawatan tidak terlalu sulit dan harga umbi basah, umbi chip dan katak tergolong bagus.

    Kunci dari usaha tani budidaya Porang pertama kali berada pada ketersediaan benih berkualitas yang menjamin daya tumbuhnya di atas 70%. Faktor ini pula yang menggugah Gubernur Banten mendorong agar Dinas Pertanian Provinsi Banten segera melakukan kegiatan seleksi dan sertifikasi benih setelah Gubernur Banten memahami bahwa benih Porang yang dibudidayakan di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat dan telah diekspor ke manca negara itu ternyata bersumber dari Provinsi Banten tepatnya dari Kecamatan Mancak dan Gunung Sari Kabupaten Serang Provinsi Banten.

    Faktor berikutnya adalah pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap produk tanaman sehat yang tumbuh diluar dan didalam negeri sehingga menumbuhkan permintaan akan produk-produk pertanian sehat.

    Dalam konteks ini tanaman Porang antara lain menyumbang kandungan Glucomannannya yang merupakan serat alami yang mudah larut dalam air dan biasa digunakan sebagai aditif makanan sebagai emulsifier dan pengental, dapat digunakan sebagai bahan pembuatan lem ramah lingkungan dan pembuatan komponen pesawat terbang.

    Pemilihan komoditas Porang untuk dibudidayakan oleh masyarakat secara meluas diyakini akan bisa mensubstitusi sumber karbohidrat dari beras Padi ke beras Porang. Salah satu contohnya adalah beras Jepang yang dikenal dengan Shirataki.

    Keunggulan dari beras Porang antara lain disamping cukup enak, juga memiliki kadar glukosa yang rendah sehingga cocok untuk memenuhi kebutuhan diet terutama bagi penderita penyakit diabetes.

    Seandainya beras Porang bisa mensubstitusi beras padi maka kebutuhan beras nasional yang besar sehingga mengharuskan Indonesia terus mengimpor dalam jangka panjang akan bisa dikurangi. Dalam konteks situasi Pandemi yang hingga kini belum dapat dipastikan kapan akan berakhir serta situasi perekonomiaan nasional sedang menuju resesi maka kehadiran Porang tidak hanya mendukung ketersediaan logistic pangan juga memiliki prospek untuk berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi negara karena produknya dapat dikekspor ke manca negara.

    Sedemikian pentingnya kedudukan tanaman Porang baik dalam mendukung ketersediaan logistic pangan dan prospek kontribusinya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional maka pemilihan komoditas Porang sebagai instrument pemberdayaan mustahik khususnya fakir dan miskin serta kaum pengangguran tampaknya tepat untuk dilakukan.

    Oleh karena itu Forum Silaturrahim Pondok Pesantren (FSPP) Provinsi Banten melalui Tim Manajemen Porang (TMP) bekerjasama dengan UPZ BAZNAS Provinsi Banten menjalin kerjasama kemitraan memberdayakan mustahik melalui usaha tani budidaya Porang di lahan-lahan milik pondok pesantren.

    Skema kerjasamanya adalah, menempatkan mustahik yang mendapatkan alokasi dana dari UPZ BAZNAS Provinsi Banten melalui pos fakir misikin sebagai investor menitipkan dananya kepada TMP FSPP Provinsi Banten lalu TMP FSPP Provinsi Banten bekerjasama dengan pondok pesantren selaku pemilik lahan. Kewajiban pondok pesantren adalah membentuk Tim Teknis Porang (TTP) dan kewajiban TMP FSPP Provinsi Banten membina mental, teknologi, menyediakan benih dan sarana produksi lainnya sedangkan mustahik selaku investor berkewajiban sebagai pengawas kegiatan usaha tani budidaya Porang ini.

    Setelah dikurangi dengan biaya operasional hasil bersihnya dibagi tiga dengan proporsi 40% untuk mustahik selaku investor, 20% untuk TMP FSPP Provinsi Banten selaku pengelola dan 40% untuk pondok pesantren selaku penyedia lahan budidaya.

    Jika skema ini berhasil perluasan usaha tani budidaya Porang akan menyasar lahan-lahan milik masjid atau milik masyarakat, swasta dan atau milik negara yang tidak termanfaatkan (tidur) untuk ditanami Porang sebagai sarana pemberdayaan ekonomi, menggerakan fikiran dan raga dan tentu saja menanam harapan atau optimisme. Wallahu’alam.
    (*)

  • Covid-19 Meningkat, Kewaspadaan Menurun

    Covid-19 Meningkat, Kewaspadaan Menurun

    ANGKA kasus covid-19 di Indonesia sebenarnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pemerintah mengumumkan rasio kepositifan atau Positivity Rate Testing Covid-19 sebesar 18,76 persen pada 3 September 2019 setelah menemukan 3.622 kasus baru dari 19.306 yang dilakukan pengetesan, secara keseluruhan positivity rate di Indonesia sebesar 13,62 persen terdapat kasus positif 184.268 dari 1.353.291 orang yang dilakukan tes.

    Angka positivity rate di Indonesia masih diatas 10 persen, padahal World Health Organization (WHO) menetapkan ambang batas aman bila positive rate dibawah 5 persen. Positive Rate adalah persentase orang yang memiliki hasil tes positif covid-19 dibandingkan jumlah orang yang di tes, tingginya positive rate mengindikasikan sebaran covid-19 di Indonesia mengalami peningkatan signifikan, khususnya dibeberapa kota besar seperti Jakarta, kasus hariannya pada 3 September bahkan mencetak rekor baru sebanyak 1.406 kasus.

    Realitas saat ini bila dibandingkan saat awal kali sebaran virus covid-19 masuk di Indonesia (Outbreak), tingkat kewaspadaan masyarakat menurun, padahal kasus covid-19 mengalami lonjakan. Menurunnya ketakutan masyarakat seiring dengan kebosanan dan tuntutan ekonomi.

    Infeksi virus covid-19 makin masif terjadi dikarenakan, adanya pasien positif covid yang tanpa gejala masih berinteraksi sosial namun, tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi virus, imbauan dan sanksi karena tidak memakai masker, menjaga jarak, belum berjalan secara efektif, hal ini seiring menurunnya tingkat kewaspadaan masyarakat, juga kejenuhan hidup dimasa pandemi yang sarat dengan berbagai aturan.

    Umat manusia benar-benar sedang diuji dengan covid-19. Disisi lain, negara dan masyarakat sudah lelah menghadapi pandemi yang dampaknya sangat terasa, baik secara kesehatan, pendidikan, sosial dan ekonomi. Kondisi sulit ini bagi seorang muslim hendaknya disikapi dengan tetap bersabar dan, berpedoman pada tuntunan Rasulullah dalam menghadapi wabah (Tha’un).

    Rasulullah Saw bersabda : “Tha’un (wabah penyakit menular) adalah suatu peringatan dari Allah Subhanahuwata’ala untuk menguji hamba-hamba-Nya dari kalangan manusia. Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit dari suatu negeri, janganlah kamu masuk di negri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya.” (HR.Bukhari dan Muslim).

    Upaya untuk mengetahui yang sakit dan yang sehat harus terus diupayakan, agar yang sakit dapat segera dipisahkan dengan yang sehat, sebagaimana anjuran Nabi Shallahu’alaihi wasallam, “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat” (HR.Bukhari dan Muslim).

    Sebetulnya metode karantina dan isolasi jauh hari telah diajarkan oleh Nabi Muhammad. Dimasa Nabi, pernah terjadi wabah kusta yang infeksius dan mematikan, kemudian Nabi melarang umatnya untuk dekat dengan yang terkena penyakit tersebut.

    Hendaknya kita tetap waspada dengan meningkatnya virus covid-19, upaya menghindari virus haruslah kita lakukan, serta menjauhi hal-hal yang mendatangkan mudarat bagi kita.

    Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda “Tidak boleh berbuat madlarat dan hal yang menimbulkan madlarat” (HR.Ibn Majah dan Ahmab Ibn Hambal dari Abdullah ibn Abbas).

    Tidak hanya diri kita, keluarga kita pun dianjurkan untuk tetap waspada, khususnya anak-anak, bila tidak ada keperluan yang cukup mendesak, hendaknya mencari keselamatan bagi anak, dengan tidak membawa anak berinteraksi sosial dengan banyak orang selama masa pandemi.

    Kewaspadaan atas sebaran covid-19 penting terus kita jaga, mengingat jumlah korban semakin meningkat, kita juga berduka atas wafatnya ratusan dokter yang terinfeksi virus covid-19, juga meninggalnya saudara kita yang lain.

    Namun kami mendoakan mereka semua, khususnya umat Islam yang wafat disebabkan terinfeksi virus covid-19, untuk mendapatkan tempat terbaik disisi Allah.

    Dalam sebuah hadits nabi, setiap umat muslim yang menghadapi ujian wabah dan, mengalami kematian akibat wabah, disebutkan janji surga dan pahala yang besar, bagi siapa saja yang tetap bersabar ketika menghadapi wabah penyakit, “kematian karena wabah adalah surga bagi tiap muslim (yang meninggal karenanya). (HR.Bukhori).

    Semoga Allah lindungi kita semua dari virus ini dan memberikan keselamatan dan segera mengangkat wabah ini.

    Amiin.

    Wallahua’lambisshawab

  • Tradisi Lebaran Yatim Dimasa Pandemi

    Tradisi Lebaran Yatim Dimasa Pandemi

    SETIAP bulan Muharram terdapat tradisi yang dilaksanakan masyarakat muslim Banten secara turun temurun, yakni lebaran anak Yatim. Apa itu lebaran? Apa yang melatarbelakangi lebaran Yatim? Ritual apa yang dilakukan? Tulisan ringkas ini mencoba menguraikannya dalam latar Pandemi Covid-19.

    Hakikat lebaran
    Lebaran dalam bahasa Jawa artinya sudah-an. Lebar berarti selesai. Kata lebaran biasa digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan umat Islam di Indonesia sesudah menyelesaikan tugas atau kewajiban. Misalnya lebaran fitrah yang dilaksanakan setiap tanggal tujuh Syawwal setelah menyelesaikan puasa Sunnah Syawwal enam hari dari tanggal dua hingga tanggal tujuh.

    Lebaran juga identik dengan makna hari raya. Dalam perayaan itu terkandung keyakinan-keyakinan tertentu, dan merupakan suatu momentum untuk pengagungan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hari raya itu segala rasa suka cita diekspresikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pada hari itu semua berpesta dengan makanan dan minuman yang halal, mengenakan pakaian terbaik dan harum mewangi, serta pada hari itu diharamkan berpuasa. Pada hari itu semua harus bergembira dan tidak boleh ada yang bersedih hati. Tidak boleh ada yang kelaparan karena tidak makan. Islam menghadirkan dua hari raya: Iedul Fitri dan Iedul Adha.

    Iedul Fitri dirayakan pada tanggal 1 Syawwal setelah selesainya kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan. Di akhir bulan Ramadan terdapat sepuluh hari yang istimewa untuk i’tikaf dan di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat satu malam ganjil penuh berkah bernama “lailatul qadar” yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan. Sedangkan iedul Adha terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dilanjutkan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dengan amalan berkurban. Menyembelih hewan ternak berupa kambing, domba, sapi, kerbau atau onta. Pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan waktu istimewa dan dianjurkan banyak berdzikir dan melaksanakan amal sholeh. Pada tanggal 9 Dzulhijjah dianjurkan puasa ‘Arafah. Rasulullah menyebutkan bahwa “Tiada hari yang amal shalihnya lebih Allah cintai dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali”. [HR. Bukhari].

    Lebaran dipandang sebagai hari kemenangan. Maka, semua orang harus bergembira. Kegembiraan itu diekspresikan dengan makan dan minum diiringi musik dan lagu. Para ahli hukum Islam sepakat tentang bolehnya nyanyian dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, hukum bernyanyi diiringi musik ada dalam perselisihan. Sebagai melarang dengan alasan cenderung melalaikan orang dari dzikir kepada Allah, sholat, dan baca Al Qur’an. Sebagian lagi seperti para ahli sufi membolehkan sebagai media kontemplasi, membangkitkan semangat juang, menumbuhkan kerinduan beribadah dan menasehati dalam kebajikan.

    Keistimewaan Muharam
    Tradisi lebaran yatim dilaksanakan pada hari Asyura tanggal 10 bulan Muharram. Kita maklumi, bahwa bulan Muharram merupakan salah satu bulan haram yang dilarang berperang. Pada bulan Muharram sebagai titik nol kalender peradaban Islam, umat Islam disunahkan membaca doa akhir tahun dan awal tahun. Selanjutnya memasuki hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram, umat Islam disunahkan menjalankan puasa Tasua dan Asyura.

    Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura, tidak diwajibkan kamu melakukan puasanya, tetapi saya berpuasa. Barang siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah, dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa, hendaklah ia berbuka (HR Bukhari dan Muslim).

    Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya hari Asyura adalah termasuk hari-hari (yang dimuliakan) Allah. Barang siapa yang suka berpuasa, berpuasalah. (Muttafaq ‘alaihi)

    Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi memperhatikan puasa satu hari yang diutamakannya atas yang lainnya selain hari ini, hari asyura dan bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

    Rasulullah ditanya tentang Puasa Asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim).

    Ritual puasa pada tanggal 10 Muharam ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai rasa syukur kepada Allah atas kemenangan dan kemerdekaan yang mereka peroleh dari penjajahan Firaun dan tentaranya yang tenggelam di Laut Merah. Bahkan dalam satu riwayat sudah dilakukan oleh umat Nabi Nuh dan menjadi kebiasaan orang Quraisy di masa jahiliyah. Untuk membedakan puasa Asyura dalam tradisi Islam dengan kebiasaan umat terdahulu, umat Islam disunahkan juga untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharam.

    Dari Abu Musa al-Asy’ari RA, dia berkata, Hari Asyura itu diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikan sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda, Berpuasalah pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

    Dari Aisyah RA, dia berkata, Hari Asyura adalah hari yang dipuasakan oleh orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, ‘Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka.” (Muttafaq alaihi).

    Dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW ditanya, ‘Shalat apa yang lebih utama setelah shalat fardhu? Nabi menjawab, ‘Shalat di tengah malam’. Mereka bertanya lagi, ‘Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?’ Nabi menjawab, ‘Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

    Memuliakan Yatim
    Lebaran yatim dilaksanakan berdasarkan riwayat, bahwa “Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yg diusap satu derajat“. Mengusap kepala yang dimaksudkan adalah memuliakan anak Yatim dengan pengasuhan dan pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak. Kegiatan pemuliaan anak Yatim ini bernilai ibadah yang tinggi.

    Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
    “Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.” (HR. Bukhari Muslim)

    Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi, beliau bersabda: “Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.” [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya]. (HR. Bukhari)

    Ritual lebaran yatim sebagaimana lebaran yang lainnya mengandung unsur kegembiraan. Makan bersama fakir miskin dan anak-anak yang terlantar serta memberikan harapan terkait masa depan mereka sebagai tunas bangsa. Pada momentum ini bertemu kepedulian keluarga yang kaya dengan doa anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan.

    Lebaran Yatim menjadi momentum pengamalan Al Qur’an surat Al Ma’un dan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Lebaran yatim menjadi pemantik gerakan orang tua asuh, termasuk bidang pendidikan. Dengan demikian, tradisi ini sangat membantu pemerintah dalam menanggulangi dampak sosial ekonomi Covid-19.

    Wallahu a’lam.

  • Penghakiman Yang Prematur

    Penghakiman Yang Prematur

    SAYA tuliskan ini sebagai buah pikir dan perantara rasa resah saya atas “labelling” false & misleading information yang diberikan oleh media bernama Tirto.id kepada sahabat saya Dharma Pongrekun berkenaan tentang “pendapat” nya mengenai candu gawai. Simak ulasan saya:

    Saya menjadi teringat petuah yang disampaikan oleh Bapak Proklamator Indonesia Ir. Soekarno yang begitu menggugah dalam konteks saat ini.

    “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun,”

    ucap Bung Karno.

    Saya rasa konsep pemahaman dasar inilah yang membimbing Bung Karno menjadi sosok pembeda di saat itu. Beliau berani menyuarakan gagasannya kepada dunia hingga saat itu Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani.

    Beliau berani untuk keluar dari ‘trek’ dimana dunia saat itu sedang dalam situasi perang dingin antara blok barat dengan blok timur. Dengan briliannya beliau menginisiasi Gerakan Non-Blok dan mengajak negara-negara dunia ketiga untuk ikut serta dengan Gerakan Non Partisan tersebut. Sikap heroik Bung Karno membuat nama beliau harum bahkan sampai sekarang diantara negara-negara yang menghormati beliau.

    Hal tersebut dapat terjadi karena beliau berani untuk mengambil pandangan soal kebenaran pada era itu, tidak melulu soal mendukung Barat ataupun berpihak ke Timur. Beliau menerapkan kebenaran versinya sendiri dimana perdamaian dunia dapat dicapai dengan tanpa harus memihak

    Apa yang dapat dipetik? Sederhananya, there is no absolute truths. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan kebenaran menurut versinya sendiri.

    Saya bukan penganut aliran relativism, namun saya meyakini bahwa setiap pendapat, setiap pemikiran, ataupun setiap pandangan adalah hak yang dimiliki oleh seseorang manusia sebagai sebuah entitas yang bebas. Kemelut dalam hidup tidak melulu dapat diselesaikan oleh ragam teori yang ada saat ini, sebab setiap ilmu pengetahuan akan selalu menyisakan ruang kosong dan menjadikannya itu sebagai sebuah misteri.

    Perlukah setiap manusia untuk menemukan jawaban atas kekosongan itu? Tentu perlu.

    Tapi, apakah setiap manusia “mampu” menemukannya?

    Nah, jawabnya belum tentu.

    Dengan pembuka di atas, lantas saya ingin menuliskan tentang sebuah kegelisahan yang merundung lobus frontal otak saya atas sebuah artikel yang diterbitkan oleh media Tirto.id dalam kolom “periksa fakta”.

    Sudah ratusan artikel periksa fakta yang dimuat oleh Tirto.id, sampai akhirnya seorang rekan saya mengirimkan link artikel dari Tirto.id yang menyematkan label false & misleading terhadap sebuah postingan instagram seorang petinggi Polri yakni Komjen Polisi Dharma Pongrekun.

    Saya kembali membaca postingan Dharma secara utuh dan mengesampingkan terlebih dahulu narasi yang dibangun oleh Tirto.id.

    Secara substansi, saya melihat kegelisahan seorang Dharma akan candu manusia pada gawai atau gadget yang sudah sedemikian rupa merusak susunan luhur tubuh kita, atau dalam konteks ini, Dharma menyebutnya, ‘manusia dijauhkan dari fitrahnya’.

    Keterikatan manusia dengan gadget memang tidak dilakukan secara sporadis, semua bertahap dengan anak-anak tangga yang telah kita lewati bersama.

    Setiap pembaharuan fitur smartphone hari-hari ini, tanpa kita sadari memang membuat rasa candu itu mulai muncul dan berkembang di dalam jiwa kita.

    Beragam surveyor melakukan penelitian tentang berapa jam dalam sehari manusia menghabiskan waktunya menggunakan smartphone.

    Ada yang menyebutkan bahwa kita habiskan 3 jam, 4 jam, 5 jam bahkan 8 jam dalam satu hari untuk memainkan gadget.
    Bukankah itu sebuah sinyalemen yang patut kita cemaskan?

    Sesungguhnya, poin terpenting yang ingin Dharma sampaikan adalah awareness kita harus dibangkitkan kembali untuk mengantisipasi sisi buruk penggunaan gadget yang berlebihan dan ditakutkan apabila kita tenggelam dalam rasa candu yang pada akhirnya merusak body intelligent kita.

    Keliru Memahami Tujuan

    Terdapat setidaknya dua kesalahan fundamental yang dilakukan oleh Tirto.id dalam sebuah artikel berjudul ‘Komentar Dharma Soal Gawai, Candu dan Perusakan Sel, Hoaks/Fakta?.

    Kesalahan pertama adalah, bagaimana penulis mencoba untuk menelaah satu persatu makna dari frasa yang dituliskan oleh Dharma dengan pemahaman penulis sendiri tanpa mencoba memahami alur pemikiran dari pemilik postingan.

    Padahal di akhir kalimat, Dharma menyampaikan tujuan dari alur pikir yang ia sampaikan. Beliau memberikan nasihat “Dengan hidupmu, taburlah kebaikan. Dengan Gadget-mu, beritakan kebenaran”.

    Logika sederhananya mudah, untuk apa beliau memberikan sebuah nasihat soal memberitakan kebenaran jika informasi yang beliau sampaikan mengandung kebohongan.

    Dalam postingan juga sangat jelas bahwa Dharma mengajak agar setiap orang untuk mengembalikan fokus kepada jati diri manusia sebagai ciptaan Tuhan.

    Artinya dengan postingan tersebut, Dharma menyampaikan, agar jangan sampai manusia tenggelam dalam menggunakan Gadget, sehingga melupakan esensi dirinya untuk hidup di muka bumi ini.

    Postingan yang disampaikan Dharma adalah sebuah refleksi untuk mengingatkan, bukan untuk menakutkan apalagi menyesatkan, dan Tirto.Id keliru untuk memahami hal tersebut dengan menyimpulkan sangat tergesa-gesa bahwa informasi yang disampaikan dalam postingan Dharma sebagai informasi yang salah dan menyesatkan.

    Kesalahan yang kedua adalah, Tirto.id dalam menuliskan artikel tersebut sama sekali tidak melakukan konfirmasi terhadap Dharma, padahal artikel yang dibuat berpotensi merugikan nama baik dari Dharma.

    Dharma Pongrekun adalah Pejabat Negara yang mengemban amanah sebagai Wakil Kepala Badan Sandi dan Siber Negara yang juga seorang Polisi dengan pangkat Komjen Polisi. Artikel yang menghakimi sebuah narasi dari Dharma adalah kebohongan, dapat berdampak kepada kredibilitas dan integritas beliau.

    Sehingga Tirto.id seharusnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu agar Dharma tidak merasa pribadinya dirugikan dan dapat menjelaskan makna sesungguhnya dari postingan beliau.

    Menghakimi seseorang memang sangatlah mudah, padahal Hakim sendiri sebagai penegak hukum melakukan tugasnya dengan harus mengkonfirmasi dahulu baik kepada terdakwa, tersangka dan saksi, untuk pada akhirnya menentukan seseorang bersalah atau tidak di mata hukum.

    Artikel yang ditulis oleh Tirto.id jelas telah melakukan penghakiman yang prematur terhadap postingan Dharma.

    Seharusnya ada konfirmasi ulang yang dilakukan oleh Tirto.id yang paham akan kode etik jurnalistik dan dalam rangka menghormati Dharma sebagai seorang individu dan pejabat negara.

    Melakukan konfirmasi merupakan hal yang sangat penting dalam rangka menjaga keberimbangan karya jurnalistik. Sehingga setelah sebuah karya jurnalistik telah diterbitkan atau disebar ke publik, tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau trial by the press.

    Sebagai sebuah media, Tirto.id seharusnya paham betul hal tersebut, sebuah karya jurnalistik yang memberitakan seseorang haruslah memiliki Cover both side agar pemberitaan tersebut menjadi lebih kredibel dan tidak terkesan framing menjatuhkan pihak tertentu .

    Ah, rasanya saya percuma bercerita panjang tentang maksud dan tujuan ini, apabila batu pijak kita berbeda.

    Jika penulis artikel Tirto.id memiliki waktu yang cukup, mungkin ia tidak perlu berhenti pada satu postingan itu saja. Ia harus lebih memahami maksud dan tujuan terdalam sang pemilik informasi. Apakah dengan melakukan re-checking pada jurnal ilmiah, lantas artikel Tirto.id dapat dibenarkan untuk menancapkan bendera false & misleading information pada postingan Dharma?

    Saya kembali mengajak pembaca untuk melakukan kontemplasi atas kehidupan ini.

    Ingatlah bahwa sejak dulu manusia senantiasa berupaya untuk mencari kepastian ketika menghadapi atau bersentuhan dengan realitas hidup yang dijalani oleh masing-masing kita.

    Dharma sedang melakukan itu, ia tidak serta-merta menerima begitu saja tradisi historis yang telah terbangun kokoh hari ini.

    Jika kebiasaan seperti Tirto.id ini dipelihara, saya takut bahwa ke depan, tidak ada lagi pendobrak kredo teknologi dan pada akhirnya kita hanya menerima saja tanpa mengetahui maksud dan tujuan ragam ciptaan teknologi hari-hari ini.

    Apakah kelak kita hanya akan menjadi entitas yang berpangku pada metode-metode periksa fakta seperti kasus diatas? Jika opini dan pemikiran kita selalu dibenturkan dengan textbook yang secara turun-temurun menjadi asupan rutin dalam masa pendidikan, maka sejatinya iklim seperti ini sangat tidak baik.