Tag: Pemprov Banten

  • Kuasa Hukum Minta WH Tak Dikaitkan Dengan Kasus Hibah Ponpes

    Kuasa Hukum Minta WH Tak Dikaitkan Dengan Kasus Hibah Ponpes

    LSERANG, BANPOS – Kuasa hukum Pemprov Banten meminta agar kasus hibah Ponpes tidak dikait-kaitkan dengan Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH). Sebab menurut kuasa hukum, WH tidak berkaitan langsung dengan pelaksanaan program tersebut.

    Kuasa hukum Pemprov Banten, Asep Abdullah Busro, mengatakan bahwa pelaksanaan program pemberian dana hibah dan bansos yang dilakukan baik oleh Pemprov Banten secara kelembagaan, maupun WH selaku Gubernur Banten adalah dalam rangka melaksanakan amanat UU berdasarkan aturan yang berlaku.

    “Antara lain yaitu Pergub No.10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD Provinsi Banten yang telah mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait yaitu Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos dan PP No.12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” ujarnya dalam rilis, Sabtu (24/4).

    Selanjutnya, ia menuturkan bahwa mekanisme realisasi dana hibah dan bansos didasarkan pada inisiasi pengajuan dari masing-masing pihak pemohon dana hibah dan bansos, yang selanjutnya dilakukan proses verifikasi kelengkapan persyaratannya oleh masing-masing OPD teknis terkait dan dikaji kelayakannya, serta disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah oleh TAPD.

    “Oleh karenanya apabila terdapat lembaga penerima hibah yang fiktif, maka hal tersebut bukan menjadi tanggung jawab dari Pemprov Banten secara kelembagaan, namun merupakan tanggung jawab dari individu yang mengatasnamakan lembaga penerima hibah tersebut yang harus bertanggung jawab,” ucapnya.

    Pertanggungjawaban yang dimaksud yaitu mengembalikan dana hibah dan bansos yang sudah ditransfer oleh pihak Pemprov Banten, termasuk bertanggung jawab secara hukum pidana atas kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dalam lingkup Tindak Pidana Korupsi.

    “Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 25, 26 dan Pasal 67 Pergub No.10 Tahun 2019 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dari APBD Provinsi Banten,” terangnya.

    Ia pun menuturkan bahwa tidak relevan jika kasus itu dikaitkan kepada Gubernur Banten. Sebab pelaksanaan penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dilakukan oleh OPD teknis.

    “Gubernur Banten dalam proses pelaksanaan penandatanganan NPHD telah mendelegasikan kewenangannya tersebut kepada Kepala Dinas/OPD Teknis terkait. Sehingga tidak relevan untuk mengkaitkan Gubernur Banten dalam pelaksanaan hibah dan bansos secara teknis,” jelasnya.

    Menurutnya, pelaporan yang dilakukan oleh Gubernur Banten didasarkan pada itikad baik sebagai langkah untuk menyelamatkan uang negara, bentuk pelaksanaan monitoring dan evaluasi, untuk memastikan dana hibah dan bansos diterima oleh pihak yang berhak.

    “Juga memastikan dana tidak disalahgunakan dan diambil oleh oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab sekaligus bentuk dukungan kepada pihak Kejati Banten dalam menegakan hukum dan mewujudkan zona integritas di wilayah Banten, serta memimpin dan memberikan keteladanan kepada masyarakat Banten dalam upaya pemberantasan korupsi di Banten,” ungkapnya.

    Menurutnya, Pemprov Banten mengapresiasi dan mendukung penuh langkah penegakan hukum yang dilakukan Kejaksaan Tinggi Banten serta mengapresiasi adanya pelaporan yang dilakukan oleh element masyarakat, sebagai bentuk kontribusi positif dalam monitoring pelaksanaan dana hibah dan bansos.

    “Serta sebagai bentuk sinergi kolektif antara masyarakat, Pemprov Banten dan Kejaksaan Tinggi Banten dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi di Banten,” tandasnya. (DZH)

  • Masyarakat Pesisir Jangan Dimarjinalkan

    Masyarakat Pesisir Jangan Dimarjinalkan

    FRAKSI-fraksi di DPRD Banten menyoroti Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Banten. Mereka meminta regulasi yang disusun berpihak pada masyarakat dan tidak membuat mereka termarjinalkan.

    Dalam rapat paripurna penyampaian pendapat fraksi-fraksi DPRD Banten terhadap usulan Raperda RZWP3K, dikenal juga dengan sebutan Raperda Zona Pesisir, Juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Banten, Rahmat Abdul Gani, meminta pemprov melakukan kajian lingkungan hidup strategis. Dia berpendapat, Raperda RZWP3K ini kedepannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional dan nelayan kecil.

    Senada disampaikan Fraksi PKS DPRD Banten. Menurut juru bicaranya, Hilmi Fuad, Raperda Zona Pesisir harus memperhatikan kearifan lokal dan mengedepankan kepentingan masyarakat pesisir yang selama ini mengantungkan hidupnya dari laut.

    “Kepentingan masyarakat harus diprioritaskan, sehingga mereka tidak menjadi masyarakat yang termarjinalkan,” harapnya.

    Sementara itu, Fraksi PAN DPRD Banten, melalui juru bicaranya Achmad Farisi mempertanyakan Raperda RZWP3K usul WH  yang sebelumnya tidak masuk dalam Prolegda 2020, tiba-tiba muncul.

    “RZWP3K adalah kebijakan  strategis yang tinggi bagi pembangunan Provinsi Banten. Kenapa tidak masuk dalam Prolegda, dan atas dasar apa harus masuk di pertengahan tahun anggaran melalui revisi Prolegda tahun 2020. Mohon penjelasan saudara gubernur,” tambahnya.

    Menurutnya RZWP3K adalah menyangkut hajat hidup orang banyak. Berdampak pada aktifitas masyarakat kecil.

    “PAN tidak berharap di kemudian hari menemukan persoalan yang diakibatkan kelalaian terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun surat dari dua menteri, kelautan dan dalam negeri, Fraksi PAN juga meminta agar surat tersebut dimasukan dalam konsideran menimbang atau mengingat. Itupun kalau dibenarkan oleh Undang-undang,” terang dia.(RUS/ENK)

  • Gugatan Bank Banten, Ichsanudin Noorsy ‘Digoda’ Tim WH

    Gugatan Bank Banten, Ichsanudin Noorsy ‘Digoda’ Tim WH

    SERANG, BANPOS – Penggugat Bank Banten kecewa dengan tindakan yang dilakukan oleh pihak Wahidin Halim (WH) selaku tergugat 1, yang mendekati saksi ahli penggugat yakni Ichsanudin Noorsy dan memintanya untuk menjadi saksi ahli tergugat. Penggugat menilai tindakan itu tidak etis untuk dilakukan.

    Salah satu penggugat, Moch Ojat Sudrajat, mengatakan bahwa dirinya kaget ketika saksi ahli mereka, Ichsanudin Noorsy, menelepon dan memberitahu bahwa dirinya didekati oleh orang yang mengaku ‘orangnya Gubernur Banten’ dan ‘adiknya Gubernur Banten’.

    “Bapak Ichsanudin Noorsy, dari pukul 07.00 sampai dengan 08.00 dihubungi oleh dua orang yang diduga dan mengaku ‘orangnya Gubernur Banten’ dengan inisial A dan yang diduga dan mengaku adik dari Gubernur Banten dengan inisial W,” ujarnya, Jumat (19/6).

    Ojat mengatakan, menurut penuturan Ichsanudin Noorsy, kedua orang yang tersebut meminta agar dirinya bersedia untuk menjadi saksi ahli untuk Gubernur Banten dalam persidangan di Pengadilan Negeri Serang.

    “Kami selaku para penggugat meyakini informasi ini benar. Karena menurut pak Ichsanudin Noorsy ada bukti (pesan) WhatsApp (WA) mereka ke WAnya Pak Ichsanudin Noorsy,” terangnya.

    Menurut Ojat, hal tersebut dapat dilihat sebagai dugaan upaya membajak saksi ahli para penggugat. Pihaknya juga menilai hal itu sebagai suatu tindakan yang tidak etis dilakukan oleh pihak lawan mereka.

    “Kami bersyukur dengan tindakan profesional yang dilakukan oleh pak Ichsanudin dengan tetap bersedia menjadi saksi ahli bagi para penggugat,” katanya.

    Ojat menegaskan, pihaknya telah mendeklarasikan kepada publik melalui diskusi terbatas pada Minggu (14/6) yang lalu dan melalui media massa, bahwa Ichsanudin Noorsy telah bersedia menjadi saksi ahli mereka selaku penggugat.

    “Sengaja kami umumkan karena hal tersebut memang dimintakan oleh pak Ichsanudin Noorsy sendiri pada saat pertemuan dengan kami pada hari Sabtu tanggal 13 Juni 2020 di kantor beliau,” tuturnya.

    Mewakili para penggugat, Ojat meminta kepada pihak tergugat 1 khususnya ataupun tergugat dan para pihak yang turut tergugat lainnya untuk dapat saling menghormati dan menjaga sikap, agar jalannua persidangan nanti tidak terganggu hal yang tak subtantif.

    “Yang kami ketahui, pihak tergugat sudah menyampaikan kesiapannya dalam menghadapi gugatan yang para penggugat ajukan. Untuk itu kami berharap tidak ada lagi tindakan-tindakan yang dilakukan yang kami nilai tidak etis,” tandasnya. (DZH)

  • Pattiro Desak Seleksi Ulang Komisi Informasi Banten

    Pattiro Desak Seleksi Ulang Komisi Informasi Banten

    SERANG, BANPOS – Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Banten mengaku sejak awal telah mengingatkan tim seleksi (timsel) Komisi Informasi (KI) Banten terkait tahapan yang tidak sesuai dengan prosedural. Akan tetapi, timsel tidak menghiraukan hal tersebut dan Gubernur Banten tetap mengeluarkan SK pengesahan struktural KI Banten periode 2019-2023.

    Alhasil, SK Gubernur Banten tersebut pun digugat perdata oleh salah satu aktifis keterbukaan informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Hal ini menurut Pattiro Banten perlu segera dilakukan evaluasi dan dilakukan seleksi ulang, dengan harapan kualitas komisioner KI Banten dapat sesuai dengan yang diharapkan masyarakat.

    Peneliti Pattiro Banten, Siti Kholisoh Ahyani, mengatakan bahwa sejak awal pihaknya telah mengingatkan timsel berkaitan dengan tahapan yang tidak sesuai dengan prosedur. Hal ini berpotensi mengakibatkan adanya gugatan.

    “Sudah sejak awal Pattiro Banten telah mengingatkan tim seleksi KI akan tahapan-tahapan seleksi Komisioner KI Banten yang tidak taat prosedur,” ujarnya dalam rilis yang diterima BANPOS, Sabtu (14/6).

    Ia mengatakan, beberapa tahapan seleksi yang telah melanggar prosedur yakni terkait jeda waktu tahapan pengumuman pendaftaran dengan waktu tahapan penerimaan pendaftaran.

    Pengumuman pendaftaran yang dilakukan sejak tanggal 1 Februari lalu, sedangkan pelaksanaan penerimaan dilakukan pada 11 Februari hingga 22 Februari 2019.

    “Padahal jika dilihat dalam Perki No. 4 Tahun 2016, disebutkan bahwa tahapan pengumuman pendaftaran dilaksanakan selambat lambatnya dua hari kerja sebelum penerimaan pendaftaran dimulai. Artinya, jika mengacu pada perki tersebut, tahapan penerimaan seharusnya sudah bisa dilakukan pada 4 Februari 2019,” tuturnya.

    Ketidaksesuaian prosedur yang kedua yakni rentang waktu antara pengumuman hasil seleksi administratif dengan tahapan seleksi potensi. Ia menuturkan bahwa tahapan seleksi tertulis yang dilaksanakan pada 13 Maret seharusnya bisa dilaksanakan pada 11 Maret 2019, jika timsel mengacu pada Perki no. 4 tahun 2016 tersebut.

    “Dalam perki disebutkan bahwa timsel melakukan tes tertulis atau potensi dalam waktu paling lambat 5 hari kerja sejak pengumuman hasil seleksi administrasi. Selanjutnya pada waktu pengumuman hasil pun terlambat. Seharusnya pengumuman sudah bisa dilakukan pada 15 Maret 2019, mengingat tes potensi menggunakan CAT sudah dapat diketahui hasilnya di hari yang sama. Namun timsel mengumumkan hasil pada 18 Maret,” terangnya.

    Siti mengaku, sejak awal Pattiro Banten telah melakukan audiensi dengan timsel KI dan menyampaikan penilaiannya akan proses seleksi KI yang tidak sesuai dengan prosedur.

    Dengan audiensi itu diharapkan agar timsel melakukan perbaikan dalam seleksi Komisi Informasi (KI) Banten; sehingga menghasilkan komisioner yang kredibel, memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan keterbukaan informasi di Provinsi Banten.

    “Akan tetapi proses seleksi yang belum terpenuhi ternyata sudah ada penetapan SK Gubernur yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023. Penetapan komisioner KI terpilih ini akhirnya memicu persoalan sengketa proses seleksi KI Banten dikemudian hari,” tegasnya.

    Selain itu, ia menyayangkan bahwa proses seleksi KI Banten yang menghabiskan anggaran sekitar Rp447 juta yang bersumber dari DPA Diskominfo Banten, ternyata menghasilkan seleksi yang bermasalah.

    “Dengan anggaran hampir setengah miliar itu seharusnya menghasilkan kualitas calon komisioner yang menjunjung tinggi keterbukaan, diharapkan publik dan dengan pelaksanaan tahapan yang dijalankan sesuai dengan perki No 4 tahun 2016,” katanya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Pattiro Banten, Angga Andrias, menegaskan bahwa Pemprov dan DPRD Provinsi Banten harus segera melakukan evaluasi keseluruhan dalam proses seleksi komisioner KI itu. Menurutnya, Pemprov Banten harus melakukan seleksi ulang komisioner KI Banten itu.

    “Apakah seleksi dari awal atau hanya mengulang dari tahapan yang belum dilaksanakan, yakni uji publik, itu nanti melihat hasil sidang perdata yang saat ini sedang berjalan,” tandasnya. (DZH/PBN)

  • Patok Tarif Tidak Wajar, Penumpang Bus Diturunkan di Tengah Tol

    Patok Tarif Tidak Wajar, Penumpang Bus Diturunkan di Tengah Tol

    SERANG, BANPOS – Masyarakat mengeluhkan tindakan kondektur dan supir bus yang mematok tarif tidak wajar dengan alasan sepi penumpang. Bahkan apabila tidak mau membayar tarif tersebut, mereka dipaksa agar turun dari bus itu meskipun sedang di tengah jalan tol.

    Kepada BANPOS, salah satu penumpang bus jurusan Merak – Kp. Rambutan dengan nomor polisi B 7887 IS, Bahari, mengaku bahwa dirinya sedang ingin pulang ke Balaraja dari Kota Serang. Namun ternyata, kondektur bus tersebut meminta tarif yang tidak wajar, bahkan disebutnya seperi memeras.

    “Hari ini saya diperas untuk membayar ongkos dari Serang ke Balaraja sebesar Rp50ribu, yang biasanya hanya Rp10-20ribu. (Penumpang) sebelah saya mau ke Rambutan diperas Rp200ribu,” ujarnya, Sabtu (13/6).

    Ia pun mengaku tidak mau membayar, sebab menurutnya tarif yang dipatok sangat tidak sesuai dengan tarif biasanya. Ia pun diturunkan paksa di tengah jalan tol.

    “Supir dan kondekturnya menurunkan saya di tengah Tol dan saya harus berjalan sepanjang kurang lebih 1 km menuju rest area. Sebelum saya sudah ada dua orang yang diturunkan paksa dan disepanjang jalan masih terlihat ada yang diturunkan juga,” tuturnya.

    Bahari menegaskan, seharusnya kondektur dan supir tidak boleh mematok tarif yang tidak wajar, dengan alasan sepi penumpang akibat Covid-19. Sebab para penumpang pun juga terdampak Covid-19 secara ekonomi.

    “Jangan berlindung dengan alasan sedikitnya penumpang. Semua juga sedang sulit. Tapi jangan seenak saja menaikkan ongkos,” tegasnya.

    Saat ditanya apakah ia merekam atau mengambil foto bus tersebut, ia mengatakan dirinya terlampau kesal sehingga lupa. Akan tetapi ia mencatat nomor polisi dari bus tersebut.

    “Bus jurusan Kampung Rambutan – Merak dengan nomor polisi B 7887 IS,” jelasnya.

    Ia pun meminta kepada Dishub Provinsi Banten agar dapat menindak tegas armada bus yang disebut memeras penumpang itu.

    “Tolong tindak tegas armada bus yang memeras penumpang dan buat aturan jelas tentang ongkos transportasi umum. Mohon kepada Dishub Provinsi Banten,” tandasnya. (DZH)

  • Klaster Mudik Tambah Kasus Positif Covid-19

    Klaster Mudik Tambah Kasus Positif Covid-19

    SERANG, BANPOS – Salah satu pegawai negeri sipil (PNS) di Pemprov Banten terkonfirmasi positif Covid-19. Diduga pasien ke-17 Kota Serang itu terpapar Covid-19 akibat mudik ke zona merah. Sehingga, Pemkot Serang telah menambah klaster mudik sebagai klaster yang dominan dalam menambah kasus di Kota Serang.

    Juru Bicara gugus tugas penanganan Covid-19 Kota Serang, W. Hari Pamungkas, mengatakan bahwa pasien ke-17 itu merupakan warga Kelurahan Serang, Kecamatan Serang.

    “Laki-laki inisial AS. Umur 44 tahun bekerja sebagai ASN di Pemprov Banten. Sempat menjalani rapid test pada 7 April yang lalu, hasilnya non reaktif,” ujarnya saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (11/6).

    Akan tetapi, AS diketahui memiliki riwayat perjalanan ke daerah yang ditandai sebagai zona merah pada 26 Mei yang lalu. Diduga AS melakukan perjalanan itu untuk menjalani tradisi lebaran yakni mudik.

    “Iyah jadi pada 26 Mei beliau melakukan perjalanan ke zona merah. Kemungkinan memang untuk mudik lebaran. Jadi ini menambah kasus dari klaster mudik,” terang Kepala Diskominfo Kota Serang itu.

    Usai pulang ke Kota Serang, Hari mengatakan bahwa AS menjalani tes swab di Labkesda Provinsi Banten pada 28 Mei yang lalu. Hal itu kemungkinan karena AS merasa tidak enak badan sehingga secara mandiri melakukan tes swab.

    “Jadi mungkin karena sehabis pulang dari zona merah badannya tidak enak, jadi beliau langsung tes swab di provinsi. Itu pada tanggal 28 Mei. Hasilnya keluar pada 8 Juni kemarin,” ucapnya.

    Untuk tracking, Hari menuturkan bahwa hari ini keluarga intinya yang melakukan kontak erat sudah dilakukan tes swab. Hasilnya menunggu beberapa hari kedepan dengan catatan mereka melakukan isolasi mandiri.

    “Barusan sudah dilakukan tes swab kepada keluarga intinya. Keluarganya terdiri dari satu orang istri dan tiga orang anak,” jelasnya.

    Saat ini, Gugus Tugas penanganan Covid-19 Kota Serang bersama Puskesmas setempat sedang membujuk AS agar dapat dirawat di RSUD Banten.

    “Kami sedang membujuk. Sekarang pihak Puskesmas yang sedang membujuk. Kalau malam ini belum ada hasil, besok (hari ini) Diskominfo yang akan turun untuk membujuknya,” tandas Hari.

    Untuk diketahui, hingga saat ini Kota Serang sudah mencatat sebanyak 17 kasus terkonfirmasi positif. Sebanyak 9 pasien masih menjalani perawatan, 7 dinyatakan sembuh dan satu pasien dinyatakan meninggal dunia. (DZH)

  • SK Gubernur Banten Digugat

    SK Gubernur Banten Digugat

    SERANG, BANPOS – Pemprov Banten dalam pelaksanaan seleksi Komisi Informasi (KI) Banten disebut tidak mengikuti tahapan yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (PerKI) nomor 4 tahun 2016. Dalam seleksi itu, Pemprov Banten tidak menjalankan tahapan uji publik bagi 15 calon Komisioner KI.

    Karenanya, Gubernur Banten, Wahidin Halim, selaku pihak yang mengeluarkan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019 yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023 digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena SK itu dianggap tidak sah.

    Diketahui, gugatan tersebut dilakukan oleh salah satu pegiat informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Saat ini proses persidangan di PTUN tersebut akan memasuki tahap pembacaan replik dari penggugat atas jawaban eksepsi yang disampaikan oleh tergugat.

    Kepala Bidang Aplikasi Informatika dan Komunikasi Publik pada Diskominfo Provinsi Banten, Amal Herawan Budhi, membenarkan bahwa terdapat gugatan terhadap Gubernur Banten dengan objek gugatan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019.

    “Itu masih berproses yah, replik dan duplik. Baru hari Rabu kemarin ada sidang. Jadwalnya sampai Agustus nanti,” ujar Amal Herawan Budhi saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (7/6).

    Menurutnya, gugatan tersebut karena disebutkan ada tahapan yang tidak dilakukan dalam seleksi Komisioner KI Banten, yakni uji publik.

    “Kalau lihat substansinya itu kan ada yang terlewatkan yah. Karena kebetulan produk SK Gubernur yang keluar itu merupakan subtansi dari langkah yang tidak dilakukan oleh DPRD pada saat uji publik. Jadi gugatannya itu dalam seleksi tidak meminta pendapat dari publik,” katanya.

    Namun berdasarkan hasil komunikasi dengan DPRD Provinsi Banten, Amal menerangkan bahwa pihak DPRD mengatakan telah melakukan uji publik dengan meminta pendapat dari para konstituennya.

    “Jadi pak Ojat selaku penggugat menganggap bahwa DPRD tidak melaksanakan tahapan uji publik. Tapi kami konfirmasi kepada Komisi I mereka menyatakan bahwa mereka kan punya konstituen. Mereka ada yang menanggapi itu. Jadi di iklan koran tidak disebutkan klausul itu,” ucapnya.

    Oleh karena itu, DPRD Provinsi Banten langsung melakukan tahapan uji kelayakan dan kepatutan kepada 15 calon Komisioner KI tersebut dan menghasilkan 5 nama Komisioner KI yang akhirnya disahkan melalui SK Gubernur, yang saat ini menjadi objek gugatan.

    Menurutnya, gugatan tersebut lebih mengarah pada personal komisionernya, bukan pada instansi Komisi Informasinya. Bahkan ia mengatakan bahwa seharusnya yang menjadi tergugat dua merupakan DPRD Provinsi Banten, bukan KI Banten.

    “Dari sisi gugatannya juga disitu yang tergugat dua malah KI yah. Seharusnya kalau menurut saya sih yang ikut tergugat adalah DPRD yah,” terangnya.

    Namun menurutnya, apabila PTUN memutuskan bahwa gugatan yang dilakukan oleh penggugat diputuskan menang, maka Pemprov Banten akan mengikuti segala keputusan hukum yang ditetapkan.

    “Itu harus keputusan hukum ketika selesai gugatan. Kalau kami kan akan mengikuti saja keputusannya seperti apa,” ucapnya.

    Terpisah, Ojat Sudrajat selaku penggugat mengatakan bahwa gugatan yang ia lakukan merupakan langkah hukum atas adanya tahapan seleksi yang tidak dilakukan oleh Pemprov Banten. Tahapan itu yakni uji publik.

    “Tahapan yang diduga tidak dilakukan yaitu uji publik yang seharusnya dilakukan sebelum fit and proper test. Hal itu diatur dalam PerKI Pusat nomor 4 tahun 2016 tentang pedoman pelaksanaan seleksi dan penetapan Komisi Informasi pasal 19 ayat 3,” ujarnya kepada BANPOS, Sabtu (7/6).

    Ojat menilai, DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik karena Gubernur Banten dalam surat yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten dengan nomor 555/3779-Diskominfo/2019, hanya meminta DPRD melakukan uji kepatutan dan kelayakan saja.

    “Kalau saya melihatnya kenapa DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik, karena surat dari Gubernur pada tanggal 5 November 2019 hanya meminta uji kepatutan dan kelayakan kepada DPRD Provinsi Banten, tidak meminta uji publik kepada dewan,” terangnya.

    Terkait pernyataan dari pihak Diskominfo Provinsi Banten yang mengatakan bahwa DPRD telah melakukan uji publik melalui konstituennya, Ojat mengaku hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia meminta agar segala pernyataan dapat berlandaskan aturan yang.

    “Gini ya, syarat melakukan uji publik itu pada pasal 19 ayat 3 berbunyi paling lambat tiga hari setelah diterimanya nama-nama calon Komisioner KI yang diajukan oleh Presiden/Gubernur/Walikota/Bupati, DPR atau DPRD mengumumkan nama-nama tersebut pada dua surat kabar nasional dan/ local untuk dua kali terbit dan dua media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut, untuk mendapatkan masukan atau penilaian dari setiap orang,” jelasnya.

    Dalam jawaban eksepsi tergugat, Ojat mengatakan tergugat melampirkan bukti bahwa mereka telah mempublikasikan hal tersebut kepada media massa. Akan tetapi, Ojat menegaskan hal tersebut tidak sesuai dengan aturan. Sebab, tanggal yang tertera dalam publikasi telah melewati waktu yang ditentukan yakni tiga hari setelah diterima nama-nama calon KI.

    “Begini aja, ini surat tanggal 5 November. Diterimanya tanggal 8 November. Seharusnya kalau memang mereka mengikuti aturan, paling lambat dalam mempublikasikannya yaitu tanggal 11 November. Tapi bukti yang dilampirkan justru publikasi pada tanggal 1 hingga 3 Desember,” terangnya.

    Selain itu, publikasi yang dilampirkan dalam jawaban eksepsi pun menurut Ojat, bukanlah publikasi 15 nama calon Komisioner KI. Akan tetapi, publikasi bahwa akan dilakukannya uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Provinsi Banten. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan aturan.

    “Nah sekarang kalau mereka berargumentasi bahwa dewan memiliki konstituen, lalu bagaimana dengan masyarakat yang dianggap bukan konstituennya bagaimana. Artinya itu sudah mulai mengotak-ngotakkan masyarakat. Padahal uji publik itu bisa siapa saja,” tegasnya.

    Mengenai gugatan yang dianggap tidak tepat sasaran karena menjadikan KI sebagai pihak yang tergugat, Ojat mengaku itu merupakan hal yang keliru. Sebab, ia sama sekali tidak menggugat KI Banten, akan tetapi menggugat Pemprov Banten dalam hal ini Gubernur Banten selaku pihak yang mengeluarkan SK.

    “KI tidak saya gugat, yang saya gugat adalah Pemprov dalam hal ini pak Gubernur karena yang mengeluarkan SK adalah beliau. Saya juga tidak menggugat dewan, karena dewan tidak mengeluarkan SK tersebut. Kecuali memang dewan yang mengeluarkan SK. Adapun KI menjadi tergugat intervensi dua, itu bukan saya yang menentukan. Dewan pun menjadi tergugat intervensi satu, namun memang tidak mengambil haknya untuk memberikan jawaban,” ungkapnya.

    Ojat menerangkan, akhir dari gugatan yang ia inginkan sudah pasti sama dengan yang tertera dalam petitumnya. Yakni agar pengadilan dapat mengabulkan gugatan secara sepenuhnya, menyatakan batal atau tidak sahnya SK Gubernur, mewajibkan tergugat untuk mencabut SK dan tergugat membayar biaya perkara.

    “Apabila gugatan dimenangkan, maka masalah strukturalnya dirubah atau diulang seleksinya, itu kembali kepada hak prerogratif pak Gubernur. Namun secara otomatis kepengurusan yang sekarang ini batal,” ucapnya.

    Selain itu, apabila memang gugatan yang ia sampaikan dimenangkan oleh PTUN, maka dalam petitum kedua yang ia sampaikan adalah agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Kenapa? Karena ternyata saya melihat DPA KI yang bermasalah. Dalam DPA mereka itu disahkan tanggal 27 Desember 2019. Tapi mereka menggunakan standar satuan harga (SSH) yang justru Pergubnya baru disahkan pada 30 Desember 2019,” katanya.

    Menurutnya, hal tersebut memiliki potensi adanya kerugian keuangan daerah pada kejadian tersebut. Oleh karena itu, berlandaskan UU nomor 30 tahun 2014 pasal 65, ia meminta agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Jadi ketika ada penundaan, maka apabila mereka meminta banding, ini tidak bisa berjalan seperti biasa. Artinya, kegiatan normatifnya tidak akan bisa dilakukan,” tandasnya. (DZH/ENK)

  • Hadapi New Normal, Tangerang Raya Tambah PSBB

    Hadapi New Normal, Tangerang Raya Tambah PSBB

    SERANG, BANPOS – Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) Tangerang Raya akan memasuki tahapan ketiga. Tahapan ini sekaligus persiapan untuk menerapkan kebijakan New Normal yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.

    Demikian disampaikan oleh Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH). WH mengatakan bahwa PSBB tahap ketiga diperlukan untuk membiasakan masyarakat akan kebijakan New Normal, hingga menjadi suatu budaya di masyarakat.

    “PSBB dimaksudkan membiasakan masyarakat untuk sadar sehingga menjadi suatu budaya. Suatu New Normal itu memang harus melalui institusionalisasi dan internalisasi. Ini merupakan bagian dari perubahan sosial dan budaya,” ujarnya, Minggu (31/5).

    Menurut WH, pelaksanaan PSBB tahap ketiga berdasarkan hasil evaluasi dari PSBB sebelumnya. Hal itu merupakan langkah dari Pemprov Banten beserta pemda kota/kabupaten Tangerang Raya, dalam memutus mata rantai penyebaran Covid-19 di seluruh wilayah Banten.

    “Dimana kategori zona merah grafiknya menurun dan tetap dapat mengamankan wilayah zona Barat yang selama ini dalam kategori zona kuning. Itu sebabnya dalam penerapannya sekarang diperlukan kesesuaian waktu dengan daerah lain di luar Banten,” ucapnya.

    Saat ini, lanjut WH, kasus positif Covid-19 di Provinsi Banten sudah melandai. Provinsi Banten saat ini berada di posisi tujuh besar, yang sebelumnya berada pada posisi empat zona merah sebagai provinsi epicentrum.

    “Kesembuhan cukup tinggi, sudah bagus. Yang meninggal sudah turun. Tapi pasien dalam pangawasan ada kenaikan. Kasus terkonfirmasi positif mengalami penurunan, namun belum signifikan. Secara persentase sudah mengalami kemajuan yang cukup berarti,” terangnya.

    Pada PSBB tahap ketiga ini, WH menuturkan bahwa beberapa area akan mulai kembali dibuka, salah satunya yakni tempat ibadah. Masyarakat sudah boleh melaksanakan ibadah di tempat ibadah dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

    “Sementara untuk sekolahan (akan) tetap belajar di rumah (karena) masih akan diperpanjang hingga 15 Juni 2020. Serta terakhir akan mulai diberlakuan secara ketat berbagai protokol kesehatan di tempat-tempat keramaian yang secara bertahap sesuai fase New Normal akan mulai beroperasi,” katanya.

    “Jadi PSBB tahap ketiga ini merupakan tahap awal sebelum pemberlakuan New Normal. Namun dengan berbagai evaluasi yang terus dilakukan dengan daerah Tangerang Raya,” tandasnya. (DZH)

  • Dinilai Maladministrasi, WH Diminta Sanksi Pansel Lelang Jabatan

    Dinilai Maladministrasi, WH Diminta Sanksi Pansel Lelang Jabatan

    SERANG, BANPOS – Tidak dilanjutkannya open bidding atau lelang jabatan yang baru saja dilakukan oleh panitia seleksi (Pansel) yang diketuai langsung oleh Sekda Banten Al Muktabar, dianggap tidak sesuai aturan dan masuk kategori maladminiatrasi. Pansel wajib diberikan sanksi oleh gubernur selaku pejabat pembina kepegawaian.

    Akademisi Untirta,Gandung Ismanto, Senin (16/12) mengungkapkan, pembatalan open bidding secara sepihak oleh Pansel, tidak memiliki dasar hukum, bahkan cenderung menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    “Merujuk pada PermenPAN-RB Nomor 15/2019 tentang Tata Cara Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi, Tugas Utama Pansel adalah menyelenggarakan seluruh tahapan seleksi, assesmen hanyalah bagian kecil dari proses seleksi sehingga tidak boleh menjadi satu-satunya dasar untuk mengambil keputusan, apalagi penghentian proses seleksi,” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, Pansel menghentikan tahapan lelang jabatan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) dan Asisaten Daerah (Asda) I Banten.

    Dihentikanya pengisian jabatan eselon II disebabkan jumlah peserta yang lolos tes asessment atau penilaian tak memenuhi kuota minimal yang dipersyaratkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 38 Tahun 2017.

    Hasil seleksi penilaian diumumkan melalui surat Pansel JPT Pratama Pemprov Banten nomor 130-PANSEL.JPTP/2019 tertanggal 13 Desember.

    Untuk seleksi jabatan Asda I, nilai tertinggi diperoleh Moch Poppy Nopriadi (Pemkot Serang) dengan nilai 77,5. Selanjutnya Hery Yulianto (Pemprov Banten) 62,5, Untung Saritomo (Pemprov Banten) 62,5, Septo Kalnadi (Pemprov Banten) 60 dan Deni Koswara (Pemkot Tangerang) 60. Iwan Ardiansyah Sentono (Pemprov Banten) 57,5, Agus Mintono (Pemprov Banten) 55, Rikrik Hermawan (Pemprov Banten) 50 serta R Sigit Nugrohadi dengan nilai (Pemkot Tangerang Selatan) 45.

    Sementara untuk jabatan Dindikbud nilai tertinggi diperoleh Ardius Prihantono (Pemprov Banten) dengan 72,5 diikuti Hudori KA (Pemkot Serang) dengan 70. Selanjutnya, Lilik Hidayatullah (Pemprov Banten) 67,5, Lukman 65, Ade Ahmad Kosasih (Pemprov Banten) 62,5 dan Supandi (Pemprov Banten) dengan nilai 52,5

    Menurut Gandung, dalam PermenPAN-RB tersebut, asessmen adalah bagian dari seleksi kompetensi, yaitu kompetensi manajerial saja. Masih ada seleksi kompetensi bidang yang nilainya bersifat akumulatif dengan bobot tertentu.

    “Setelah ini harusnya Pansel mengundang para calon untuk mengikuti seleksi wawancara dan penelusuran jejak rekam. Penilaian harusnya bersifat akumulatif, bukan sistem gugur. Sehingga seharusnya Pansel mengolah nilai para calon dari keseluruhan tahap seleksi untuk ditentukan peringkat nilainya. Tga calon dengan nilai tertinggi inilah yang disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian sebagai hasil akhir dari pelaksanaan tugas Pansel,” ungkapnya.

    Oleh karenanya, pembatalan sepihak oleh Pansel merupakan bentuk maladministrasi, yaitu ketidakpatuhan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula dengan standar nilai 70 yang disebut-sebut sebagai alasan penghentian proses seleksi, yang sama sekali tidak ada dasar hukumnya.

    “Gubernur (Wahidin Halim atau WH) sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian harus menegur dan memberi sanksi Pansel, karena bagaimanapun keputusan penghentian ini berpotensi merugikan keuangan daerah, karena dana yang telah dikeluarkan tidak menghasilkan luaran dan outcome yang diharapkan,” terangnya.

    Demikian pula dengan keputusan Pansel yang secara nyata merugikan para peserta open bidding yang dirugikan hak-haknya karena proses seleksi yang tidak obyektif, rasional, dan adil tersebut.

    Hal senada disampaikan Ketua LSM Kumpulan Pemantau Program dan Pembangunan Banten (LSM KP3B) Arie Cahyadi. Menurutnya, alasan penghentian lelang jabatan karena peserta yang lolos tes asessment atau penilaian tak memenuhi kuota minimal, tidak masuk akal. Menurutnya, pada lelang jabatan sebelumnya, beberapa peserta juga tak memenuhi nilai minimal 70, tetapi lelang tetap dilanjutkan.

    “Penyetopan lelang ini mencurigakan. Karena pansel seolah-olah menerapkan standar ganda dalam proses lelang. Bila lelang sebelumnya tak ada nilai minimal yang dipersyaratkan, kenapa sekarang itu menjadi alasan menghentikan proses lelang,” kata Arie.(RUS/ENK)

  • Kota Serang Lahir Kepaksa

    Kota Serang Lahir Kepaksa

    SERANG, BANPOS- Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Serang, Zaenal Abidin menyebut Kota Serang terlahir karena dipaksakan. Hal itu diungkapkan menanggapi ucapan Wakil Walikota Serang, Subadri Usuludin yang terus meminta aset Kota Serang yang hingga saat ini masih ditempati oleh Pemerintah Kabupaten Serang.

    “Saya termasuk orang yang mendirikan Kota Serang, Pemkot jangan mendesak terus,” tegasnya.

    Ia juga menyatakan, Anggota DPRD Kota Serang dan Pemerintah Kota Serang itu anggota baru, dan tidak mengerti proses terlahirnya Kota Serang. Berdirinya Kota Serang, kata dia, dikarenakan adanya hasil analisis dari Profesor Syahdu yang menyatakan Kabupaten Serang layak untuk dibagi menjadi tiga bagian yaitu Serang Barat, Serang Tengah (Kota Serang) dan Serang Timur. Akan tetapi pada saat itu, lanjut dia, pembentukan Kota Serang terlalu cepat secara teknis.

    “Saya Ketua Pansus Pemekaran Kota Serang,” terangnya.

    Berdasarkan penuturannya, adanya pemekaran Provinsi Jawa Barat yang melahirkan Provinsi Banten pada tahun 1999, seharusnya pada saat itu ibu kota Provinsi harus berbentuk Kota. Ia juga mengatakan, berdasarkan Undang-Undang pemekaran Provinsi Banten, tersirat nama Serang dan tidak menyatakan Kabupaten maupun Kota Serang.

    “Pada waktu itu para politisi mengambil kesempatan untuk membentuk Kota Serang. Lumayan, ada lowongan kerja 45 calon anggota dewan di Kota Serang, pada waktu itu yang tidak jadi, bisa jadi anggota dewan serta ada lowongan dibagian eksekutif,” jelasnya.

    Zaenal juga mengatakan, pada waktu itu tidak ada pemikiran atas pembagian aset Kabupaten Serang Ke Kota Serang. Ia menyebut Kabupaten Serang dan Kota Serang layaknya sebagai ibu dan anak.

    “Kota Serang lalu mau mengusir Kabupaten Serang, bukan begitu seharusnya,” terangnya.

    Menurutnya, Kota Serang harus memikirkan keuangan Kabupaten Serang jika membuat Puspemkab Serang secara serentak. Jika pembangunan Puspemkab dilakukan serentak, kata dia, maka Kabupaten Serang akan bangkrut.

    “Jika diambil semua aset Kabupaten Serang, pelayanan kepada masyarakat bagaimana,” ujarnya.

    Saat ini, pihaknya telah menagih janji dari Pemprov Banten, untuk memberikan bantuan dalam palaksanaan pembangunan Puspemkab Serang, dengan memberikan bantuan sebanyak Lima Persen.

    “Hey, Provinsi mana janjinya, tolong bangunin dong dua atau tiga gedung Organisasi Perangkat Daerah (OPD),” pungkasnya. (MUF)