Tag: Penculikan Mahasiswa

  • Penculikan Restorative Justice di Serang Kota

    Penculikan Restorative Justice di Serang Kota

    KEPOLISIAN Resort (Polres) Serang Kota kembali melanjutkan penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas asal Kasemen. Dilanjutkannya penyidikan tersebut setelah adanya rekomendasi atas gelar perkara khusus yang diasistensi langung oleh Bidpropam dan Wasidik Ditreskrimum Polda Banten.

    Untuk diketahui, gelar perkara khusus dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama yaitu tahapan yang digelar secara terbuka dan dihadiri oleh insan pers dan pihak pelapor maupun terlapor.
    Sedangkan tahap berikutnya digelar secara internal, dihadiri oleh Bagwasidik Polda Banten, Bidkum Polda Banten, Bidpropam Polda Banten, Kapolres Serang Kota, Wakapolres Serang Kota, Kasi Pengawas, Kasi Propam, Kasikum, Kasatreskrim dan penyidik Satreskrim Polres Serang Kota.

    Gelar perkara khusus tersebut pun akhirnya menghasilkan keputusan bahwa penyidikan terhadap kasus pemerkosaan penyandang disabilitas asal Kecamatan Kasemen yang sempat dihentikan oleh Polres Serang Kota, harus kembali dilanjutkan.

    Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, melakui Kasatreskrim Polres Serang Kota, AKP David Adhi Kusuma, mengatakan bahwa surat perintah penyidikan lanjutan telah dikeluarkan untuk perkara pemerkosaan tersebut.

    “Benar, sesuai rekomendasi gelar perkara khusus, penyidikan pemerkosaan gadis difabel akan dilanjutkan,” ujar David dalam pers rilis yang diterima BANPOS, kemarin.

    Menurutnya, penghentian penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas tersebut telah menimbulkan gelombang reaksi negatif dari masyarakat. Sehingga, dilanjutkannya penyidikan perkara tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

    “Guna memenuhi rasa keadilan masyarakat, Penyidik Satreskrim Polres Serang Kota akan menyelesaikan pemberkasan terhadap dua tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan,” tutur David.

    Kembali dilanjutkannya proses penyidikan pada perkara pemerkosaan tersebut dinilai oleh Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Serang, sebagai bukti bobroknya penegakkan hukum oleh Polres Serang Kota.

    “Keputusan dilanjutkannya penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas, mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polres Serang Kota. Ini justru membuka kepada publik bagaimana bobroknya penanganan hukum oleh mereka,” ujar Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, Sabtu (29/1).

    Ega mengatakan, sejak awal pihaknya sudah merasa aneh dengan keputusan yang diambil oleh Polres Serang Kota, yang menghentikan perkara pemerkosaan penyandang disabilitas dengan dalih restorative justice.

    “Bagi kami ini sudah cacat sejak awal. Karena kok bisa kasus pemerkosaan dilakukan restorative justice. Apalagi posisi perwalian korban pada saat dilakukan perdamaian itu sarat akan kepentingan, karena diwalikan oleh istri dari pelaku,” terangnya.

    Ia menuturkan bahwa pada hasil gelar perkara khusus pun, tidak menyebutkan siapa yang bertanggungjawab pada penghentian penyidikan itu. Padahal seharusnya, jika memang terjadi kekeliruan bahkan pelanggaran terhadap aturan, harus ada yang bertanggungjawab.

    “Aneh, kalau emang ada yang dilanggar, maka siapa yang melanggar itu yang harus dihukum. Tapi dalam pemberitaan yang kami dapatkan, tidak ada yang bertanggungjawab. Kalau gitu, akan ada potensi melanggar kembali,” ungkapnya.

    Selain itu, ia pun mendesak agar motif utama diberhentikannya kasus pemerkosaan tersebut dapat diungkap. Karena menurutnya, tidak mungkin motif pemberhentian kasus tersebut hanya karena alasan kemanusiaan sebagaimana yang beredar.

    “Kami rasa tidak mungkin pemberhentian hanya karena alasan kemanusiaan. Lagi pula setahu kami, kasus yang paling dibenci oleh siapapun adalah kasus pelecehan seksual. Bahkan oleh sesama narapidana pun juga sangat dibenci. Tapi ini kok bisa-bisanya dengan mudah diberhentikan,” katanya.

    Sedikit kilas balik, Ega menuturkan bahwa dalam kurun waktu kepemimpinan Kapolres Serang Kota saat ini, yaitu AKBP Maruli, banyak terjadi tindakan yang dianggap telah melanggar aturan, bahkan mengancam demokrasi.

    “Sebagai contoh, ketika demisioner Ketua Umum HMI MPO Cabang Serang dan pimpinan Komisariat Unbaja periode kemarin ditangkap dan ditahan selama hampir satu hari oleh Satreskrim Polres Serang Kota, hanya karena kami ingin menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo,” ujarnya.

    Ia mengatakan bahwa hal tersebut sudah sangat mencederai demokrasi, dan melanggar aturan. Karena menurutnya, dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tidak ada larangan untuk menyampaikan aspirasi di hadapan Presiden.

    “Terlebih kami sangat ingat betul, kami tidak berorasi atau unjuk rasa seperti halnya yang biasa dilakukan. Kami hanya ingin membentangkan poster dengan tulisan ayat suci al-Quran, mendoakan beliau (Jokowi) agar menjadi pemimpin yang adil,” katanya.

    Termasuk pada saat akan digelar aksi protes di Markas Polres Serang Kota, dimana pada saat itu anggota dari Polres Serang Kota menghalau massa aksi di persimpangan lampu merah menuju Mapolres.

    “Kan sudah jelas bahwa dalam Undang-undang nomor 9 itu, Markas Kepolisian tidak termasuk tempat yang dilarang untuk menggelar unjuk rasa. Maka dari itu, ini jelas-jelas merupakan bobroknya Kapolres Serang Kota dalam memimpin,” tegasnya.

    Ia pun mendesak agar Kapolres Serang Kota untuk secara jantan mengakui kesalahan dari para anak buahnya, baik dari kasus penculikan hingga pemberhentian penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas.

    “Tidak ada anak buah yang salah, tapi pimpinannya yang salah. Karena tentu baik tindakan penculikan maupun pemberhentian kasus pemerkosaan itu atas persetujuan Kapolres. Jadi lebih baik minta maaf dan mundur atau silahkan pimpinan baik Polda maupun Polri segera mencopot Kapolres Serang Kota. Dari pada wilayah hukum di bawah Polres Serang Kota ini terus tidak kondusif,” tegasnya.

    Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon tidak mau merespon banyak mengenai hal tersebut. Ia pun menyuruh agar pihak yang mendesak agar Kapolres meminta maaf dan mengundurkan diri untuk datang ke Polres Serang Kota.

    “Suruh datang ke Polres aja, nanti kita temui. Datang ke Polres nanti dihadapkan pada Kasatreskrim yang bagian penyidikan, nanti tinggal ketemu. Begitu aja. Ini kan atas nama Polres, nah penanganan penyidikan ada di Reskrim, nanti siapa yang mengoordinir silahkan ketemu, biar kami tahu,” katanya.

    Sementara Kabid Humas Polda Banten, Kombes Shinto Silitonga, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp belum kunjung membalas.

    Untuk diketahui, dilaksanakannya gelar perkara khusus oleh Polda Banten atas penghentian penyidikan kasus pemerkosaan disabilitas asal Kasemen, lantaran banyaknya protes yang dilakukan oleh masyarakat dan rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas.

    Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti, mengatakan bahwa Kompolnas akan melakukan klarifikasi terhadap perkara tersebut. Ia pun meminta agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang ditugaskan pada perkara itu.

    “Kami merekomendasikan Wassidik dan Propam turun untuk memeriksa penyidik kasus tersebut,” ujar Poengky dalam rilis yang diterima.

    Poengky menilai, kasus perkosaan bukan merupakan delik aduan. Sehingga meskipun pelapor bermaksud mencabut kasus, proses pidananya tetap harus berjalan. Selain itu, restorative justice pun tidak bisa dilakukan untuk kasus pemerkosaan.

    “Alasan restorative justice itu untuk kasus-kasus pidana yang sifatnya ringan. Bukan kasus perkosaan, apalagi terhadap difabel yang wajib dilindungi. Dalam kasus ini, sensitivitas penyidik harus tinggi,” tegas Poengky.

    Ia pun menyayangkan jika penyidik menghentikan penyidikan terhadap dua pelaku dugaan perkosaan, dengan alasan laporan sudah dicabut. Ia menegaskan bahwa polisi memiliki tugas melakukan kontrol sosial dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan.

    “Alasan pencabutan laporan karena adanya perdamaian dengan cara kesediaan pelaku untuk menikahi korban yang telah hamil 6 bulan juga perlu dikritisi, mengingat pelaku sebelumnya telah tega memerkosa korban. Sehingga aneh jika kemudian menikahkan pelaku pemerkosaan dengan korban,” tuturnya.

    (MUF/ENK)