Tag: pendidikan

  • Puluhan Ribu Anak Kabupaten Tangerang Putus Sekolah

    Puluhan Ribu Anak Kabupaten Tangerang Putus Sekolah

    TANGERANG, BANPOS – Angka putus sekolah di Kabupaten Tangerang hingga akhir tahun ini, mencapai 21 ribuan. Puluhan ribu anak putus sekolah itu, terdiri dari tingkatan SD hingga SMP, dengan berbagai latar belakang dan alasan putus sekolah.

    Kepala Disdik Kabupaten Tangerang, Dadan Gandana, mengatakan bahwa puluhan ribu pelajar yang gagal sekolah itu merupakan data hingga Oktober 2023.

    “Berdasarkan data Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) sampai dengan Oktober 2023, jumlah peserta didik yang dinyatakan DO atau lulus tidak melanjutkan di Kabupaten Tangerang mencapai 21.829 peserta didik,” katanya, Selasa (14/11).

    Ia menerangkan, tingginya angka putus sekolah tersebut terjadi lantaran tidak tercatatnya proses kepindahan peserta didik ke Sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik), seperti perpindahan pelajar dari sekolah formal ke nonformal, hingga mereka yang melanjutkan pendidikan di luar negeri.

    “Masalah kesalahan menginput ataupun meneruskan ke jenjang berikutnya yang tidak terkoneksi di Sistem Dapodik ini masih sering terjadi, padahal mereka masih melanjutkan sekolah,” tuturnya.

    Ia mengungkapkan, untuk menyikapi tingginya angka peserta didik yang putus sekolah itu, Disdik bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (DPMPD) Kabupaten Tangerang akan menyelenggarakan kegiatan penuntasan angka putus sekolah.

    Hal itu dilakukan dengan memberikan program beasiswa pendidikan kesetaraan mulai dari Paket A, Paket B, sampai Paket C.

    “Program beasiswa pendidikan kesetaraan Paket A hingga Paket C ini diprioritaskan untuk anak usia 7 sampai dengan 21 tahun serta masyarakat usia di atasnya,” ujar Dadan Gandana.

    Nantinya, pelaksanaan program tersebut akan menggandeng Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Diskominfo, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, dan Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Tangerang.

    “Selain kolaborasi dengan sesama OPD, kami memerlukan dukungan dari unsur organisasi dan instansi yang akan berkaitan, di antaranya forum Camat, APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), FK-PKBM (Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), Ikatan Penilik Indonesia (IPI) Kabupaten Tangerang, unsur perguruan tinggi, Kepala Satuan Pendidikan Negeri seperti MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (K3S), dan UPT SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Kabupaten Tangerang,” tandasnya. (DZH/ANT)

  • Yang Mengganjal Belum Jadi Prioritas

    Yang Mengganjal Belum Jadi Prioritas

    ANGKA putus sekolah (ATS) memang menjadi hal yang mengganjal di era kemerdekaan. Menjadi tugas negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus ditunaikan, termasuk oleh pemerintah daerah sebagai salah satu instrument penyelenggara pelayanan negara.

    Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Ibnu Wahidin, mengatakan bahwa tingginya ATS di Kabupaten Lebak disebabkan oleh berbagai faktor mulai dari kemiskinan, budaya hingga letak geografis.

    Lanjut Ibnu, kemiskinan yang dimaksud yakni kemiskinan baik secara kemampuan maupun kemauan. Budaya di tengah masyarakat yang menganggap pendidikan formal tidak begitu penting juga menjadi faktor dari beberapa ATS yang ada di Lebak serta luasnya daerah Kabupaten Lebak yang menyebabkan banyak anak harus menempuh jarak yang jauh untuk mencapai sekolah.

    “Dua tiga tahun lalu kan juga terkena covid-19, ini juga jadi faktor penyumbang ATS yang dimana KDRT hingga perceraian yang berimbas kepada anak,” kata Ibnu kepada BANPOS.

    Ibnu menjelaskan, dalam mengurangi angka ATS di Lebak merupakan tugas dari seluruh stakeholder bahkan elemen masyarakat. Salah satunya dalam lokakarya yang mengundang serta mengajak seluruh bagian masyarakat.

    “Kalau hanya diurus oleh Disdik ini akan kesulitan, maka dari itu kita butuh bantuan dan kolaborasi bersama. Saat ini yang kami lakukan misal ada anak putus sekolah di SMP, akan kami arahkan untuk mengejar paket B atau setara SMP,” jelas Ibnu.

    Ia menerangkan, saat ini belum ada anggaran untuk menyelesaikan permasalahan ATS di Lebak. Namun, pihaknya memiliki tekad yang kuat untuk menyelesaikan ATS.

    “Saat ini kita bahas dengan berbagai stakeholder terkait penganggaran harus disediakan dimana apakah dari desa, kecamatan atau tingkat pemda untuk menyelesaikan ATS,” terangnya.

    Ia berharap, seluruh pihak dapat berkomitmen dan konsisten dalam penanganan ATS di Lebak. Jangan sampai ada sektor yang lemah dalam menangani permasalahan ini.

    “Kamis baik dari dinas pendidikan hingga sekolah selalu mengedukasi kepada masyarakat untuk menegaskan bahwa sekolah ini sangat dibutuhkan,” ujarnya.

    Lanjut Ibnu, saat ini pihaknya terus melakukan evaluasi agar dapat menyelesaikan permasalahan kesenjangan dibidang pendidikan baik untuk wilayah perkotaan maupun pedesaan. Menurutnya, belum tentu wilayah kota lebih mudah menanganinya karena dekat dengan pemerintahan, begitu juga sebaliknya.

    “Tentu treatment-nya akan berbeda. Ini semua soal mindset. Harus kita rubah, kita sepakati bareng-bareng bahwa pendidikan itu hal yang utama,” tandasnya.

    Terpisah, Kepala Dindikbud Kota Serang, Tb.Suherman mengatakan bahwa pihaknya bekerjasama dengan USAID untuk menangani program anak tidak sekolah dengan program aje kendor sekolah. Dengan program itu, dia berharap supaya setiap tahun ATS di Kota Serang bisa berkurang.

    “Langkah kedepan, dindik Kota Serang juga akan mengusulkan program tersebut ke Pemerintah Kota Serang agar memiliki dana tersendiri. Selama ini, kita telah bekerjasama dengan USAID dan pendanaanya lewat USAID. Kita tidak mungkin hanya bergantung pada USAID saja, kita juga harus punya kemandirian untuk mengatasi ATS di Kota Serang,” tandasnya.

    Suherman juga menyampaikan, bahwa pihaknya juga akan melakukan pemantauan kepada anak tidak sekolah. Ia juga mengaku telah membentuk tim dalam penanganan hal tersebut.

    “Tentu ini akan dimonitoring jangan sampai mereka tidak sekolah lagi. Oleh karena itu kami terus mengawasi melalui monitoring pengawas di setiap sekolah. Kami sudah membentuk tim yang terdiri dari beberapa kepala OPD ditambah camat dan lurah, intinya semua OPD terkait disini,” tandasnya. 

    Pada bagian lain, Sekretaris Dinas (Sekdis) Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Cilegon Suhendi mengatakan berbagai upaya dilakukan untuk menekan angka putus di Kota Cilegon. Dikatakannya, alokasi anggaran untuk penanggulangan anak putus sekolah yakni anggaran untuk layanan akses pendidikan yaitu kegiatan pembangunan unit sekolah baru untuk SMPN 14 dan SMPN 15 Cilegon sebesar  Rp7,9 miliar. Kemudian anggaran untuk pendataan ATS sebesar Rp61,2 juta.

    Lebih lanjut diungkapkan Suhendi bahwa alasan utama di balik angka anak putus sekolah di Kota Baja karena berbagai faktor. Salah satunya adalah faktor kurangnya minat anak untuk sekolah.

    “Selain itu ada faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor komunikasi internal keluarga, dan faktor sosial. Padahal pemerintah sudah menyiapkan juga paket kesetaraan A, B, dan C untuk anak usia sekolah yang tidak sempat pendidikan formal,” terangnya.

    Selain itu, pihaknya juga terus berupaya menekan angka putus sekolah dengan berbagai program yang telah direncanakan. “Penambahan unit sekolah baru untuk jenjang SMP, yaitu pembangunan SMPN 12, SMPN 13, SMPN 14, dan SMPN 15 untuk mempermudah layanan akses. Pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA) untuk TK, SD, dan SMP Negeri. Pemberian beasiswa untuk siswa kurang mampu di sekolah swasta. Program Bantuan Biaya Pendidikan untuk Masyarakat atau Beasiswa Full Sarjana,” paparnya.

    Kemudian kata dia, pihaknya selalu beriringan dengan DPRD dalam menekan isu anak putus sekolah di Kota Cilegon. “Dukungan DPRD untuk program BOSDA dan beasiswa untuk siswa kurang mampu,” ujarnya.

    Disini lain, pihaknya selalu mengevaluasi terhadap efektivitas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah. “Pelaksanaan program dalam penanganan anak putus sekolah progresnya sudah sesuai dengan perencanaan, output-nya anak putus sekolah di Kota Cilegon jumlahnya semakin kecil,” tuturnya.

    Kemudian kata dia, Dindikbud memiliki program bantuan keuangan atau beasiswa untuk meringankan beban keluarga dalam membiayai pendidikan anak. “Ada, yaitu bantuan beasiswa untuk anak kurang mampu di sekolah swasta, dan BOSDA untuk sekolah negeri,” ungkapnya.

    Dindikbud juga selalu berkomunikasi dengan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pendidikan dan mencegah anak putus sekolah. “Dengan cara sosialisasi dan pendataan anak putus sekolah, melalui bantuan para Penilik dan Pokmas tiap kelurahan. Tujuannya untuk didata dan diarahkan untuk masuk sekolah baik melalui pendidikan formal maupun melalui pendidikan non formal,” ujarnya.

    Kemudian untuk mengatasi tantangan dalam mengurangi anak putus sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, pihaknya terjun ke masyarakat.

    “Melakukan pendataan anak putus sekolah baik daerah perkotaan maupun di pedesaan untuk mengetahui penyebab putus sekolah. Mengajak/membujuk untuk bersekolah jika ditemukan ada anak putus sekolah ke sekolah formal, maupun non formal. Membangun Unit Sekolah Baru (USB) di wilayah yang belum ada sekolah negerinya, memberikan bantuan operasional sekolah (BOSDA) kemudian memberikan beasiswa untuk siswa kurang mampu di sekolah swasta,” tuturnya.

    Sementara, Sekretaris Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pandeglang, Sutoto mengakui Pemkab Pandeglang hingga saat ini belum mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan anak putus sekolah.

    “Belum ada anggaran secara khusus untuk anak putus sekolah, selama ini penanganan melalui kemitraan dengan Baznas dan donasi perorangan,” kata Sutoto kepada BANPOS, Kamis (17/8).

    Menurutnya, meski data kemendikbud mencatat ribuan anak Pandeglang putus sekolah, berdasarkan data yang tercatat pada Disdikpora, pihaknya belum menerima laporan adanya anak putus sekolah di Kabupaten Pandeglang.

    “Dari pengecekan lapangan tidak ditemukan anak putus sekolah, bahkan sekolah menyampaikan data anak lulus 100 persen dan melanjutkan semua ke sekolah formal dan nonformal,” terangnya.

    Terkait rencana kongkret yang telah diambil atau sedang dikembangkan oleh Disdikpora untuk mengantisipasi atau mengurangi angka anak putus sekolah, Sutoto mengatakan bahwa saat ini sedang dilakukan verifikasi.

    “Sedang dilakukan verifikasi data dengan pendampingan konsultan data USAID Erat supaya akhir Agustus disepakati data kongkrit anak tidak sekolah,” ujarnya.

    Sutoto mengaku, bahwa sinergi antara Disdikpora dengan DPRD Kabupaten Pandeglang dalam menangani isu anak putus sekolah saat ini masih dianggap hal yang biasa.

    “Penanganan anak putus sekolah dianggap hal yang biasa saja belum mendapat perhatian prioritas dari eksekutif dan legislative,” ucapnya.

    Saat ditanya terkait bagaimana evaluasi Disdikpora terhadap efektifitas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah, Sutoto mengatakan saat ini masih menunggu verifikasi data.

    “Belum bisa dievaluasi menunggu selesai verifikasi data,” ujarnya lagi.

    Sutoto mengatakan, program bantuan keuangan atau beasiswa untuk meringankan beban keluarga dalam membiayai pendidikan anak, Disdikpora sudah meluncurkan program Prokampus.

    “Sudah diluncurkan Prokampus untuk anak dari keluarga tidak mampu yang mau kuliah, sedangkan untuk penanganan anak SD dan SMP putus sekolah belum ada, masih mengandalkan PIP dari pusat,” jelasnya.

    Dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya Pendidikan dan mencegah anak putus sekolah, Sutoto mengaku bahwa Disdikpora melakukanya melalui sosialisasi.

    “Perluas sosialisasi, ajak ulama dan tokoh masyarakat,” ucapnya.

    Saat ditanya terkait bagaimana Disdikpora mengatasi tantangan dalam mengurangi anak putus sekolah di daerah perkotaan dan pedesaan, Sutoto menyebut guru kurang merespon pendataan anak putus sekolah.

    “Tantangannya guru kurang respon mendata anak putus sekolah dan orang tua tidak melapor jika anaknya tidak sekolah, sehingga kesulitan data untuk penanganannya,” ungkapnya.

    Sementara itu, anggota Komisi 4 DPRD Kabupaten Pandeglang, Rika Kartikasari mengatakan, bahwa di Kabupaten Pandeglang tidak ada anak putus sekolah merupakan hal yang tidak mungkin.

    “Kalau penurunan jumlah angka anak putus sekolah mungkin, tapi kalau tidak ada sama sekali itu nggak mungkin. Karena didaerah selatan masih tampak anak-anak ini masih ada yang tidak sekolah, atau ada anak yang tidak melanjutkan dari SD ke SMP itukan masih ada dan itu masuk kategori putus sekolah,” kata Rika kepada BANPOS.

    Menurutnya, langkah yang telah dilakukan DPRD dalam mengatasi anak putus sekolah, pihaknya lebih mengutamakan alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen.

    “Jadi kalau kita tetap berfokus pada kewajiban kita untuk anggaran kabupaten itu 20 persen untuk pendidikan, kita utamakan itu. Kalau anggarannya sudah ada, kan tinggal keinginan siswa untuk sekolah. Sedangkan kalau melihat didaerah, kadang-kadang mereka itu punya keinginan untuk sekolah. Kadang mereka beranggapan bahwa sekolah itu gratis, tetap saja Ketika masuk harus ada yang dibayarkan dan itu yang diluar kewenangan anggaran kita,” terangnya.

    “Kalau Pendidikan kita genjot, tapi pemberdayaan masyarakatnya dalam mata pencahariannya tidak meningkat dan tidak berkembang, kemungkinan putus sekolah tetap saja terjadi. Jadi tidak single factor,” sambungnya.

    Saat ditanya apakah DPRD telah menginisiasi kebijakan atau program khusus terkait penanggulangan anak putus sekolah, Rika mengaku bahwa belum menginisiasi.

     “Kalau program khusus belum, misalkan dari Perda itu belum ada, kemudian kalau dari anggaran anggapan kita sebelum ada aspirasi masyarakat dengan ikut program pemerintah pusat bahwa sekolah negeri itu gratis. Maka kita anggap itu sudah salah satu program memutus rantai putus sekolah, ternyata kenyataan di masyarakat tidak demikian,” jelasnya.

    Menurutnya, evaluasi DPRD terhadap efektiftas langkah-langkah yang telah diambil dalam menangani anak putus sekolah, saat ini belum efektif. Sehingga terkait informasi anak putus sekolah merupakan suatu masukan bagi DPRD.  

    “Ini masukan buat kami di Komisi IV, terutama saya pribadi bahwa kita harus fokus di ranah Pendidikan pada anak putus sekolah. Jadi ada prioritas lain yang yang harus kita optimalkan di tahun ini sampai tahun depan di akhir periode kita sebagai anggota dewan,” ujarnya.

    Dalam menangani anak putus sekolah, kata Rika, pihaknya belum memiliki rencana untuk melibatkan komunitas atau organisasi swasta dalam upaya menangani anak putus sekolah.

    “Sejauh ini belum, karena belum ada koordinasi juga. Kita belum tahu NGO yang kira-kiranya bisa berkolaborasi. Kalau ada informasi dari wartawan itu sangat baik, dari kami belum. Kalau kita melihatnya itu dari Dinsos ada Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), nah LKS ini kadang membentuk juga yayasan pendidikan dalam tanda kutip. Misalnya swasta yang memfasilitasi anak kurang mampu dan anak yatim yang putus sekolah,” paparnya.

    Terkait dengan tantangan spesifik seperti kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan, Rika mengatakan bahwa seharusnya dilakukan saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

    “Harapan kita awalnya dari PPDB, maksudnya bahwa di lingkungan tersebut ada sekolah dan disitu silahkan masuk. Jadi adanya pemerataan, anak pintar itu tidak selalu sekolah di sekolah favorit dan anak yang tidak diterima disekolah favorit belum tentu dia kurang mampu dalam Pendidikan. Pada kenyataannya kan, mungkin masyarakat Pandeglang masigh beradaptasi dengan pol aini tetap saja kadang dibikin numpang tinggal agar bisa akseske sekolah yang diinginkan,” ungkapnya.(MG02/MYU/LUK/DHE/ENK)

  • Dewan Kota Serang Dorong Sekolah Swasta Tingkatkan Kualitas

    Dewan Kota Serang Dorong Sekolah Swasta Tingkatkan Kualitas

    SERANG, BANPOS – Pendidikan merupakan salah satu faktor kunci dalam pembangunan sebuah negara. Dengan pendidikan yang berkualitas, diharapkan anak-anak akan memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi tantangan di masa depan.

    Oleh karena itu, perlunya sekolah swasta dalam meningkatkan kualitas pendidikan menjadi isu yang perlu diperhatikan.

    Mengingat pentingnya pendidikan berkualitas bagi masa depan bangsa, upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak boleh diabaikan.

    Apalagi, saat ini banyak sekolah-sekolah swasta yang akhirnya gulung tikar karena kurangnya minat para siswa terhadap sekolah swasta. Hal tersebut perlu adanya evaluasi untuk meningkatan  kualitas pendidikannya.

    Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Hasan Basri mengungkapkan terkait banyaknya sekolah-sekolah swasta yang saat ini terancam gulung tikar karena kurangnya siswa, ia menuturkan perlu untuk para sekolah swasta meningkatkan kualitasnya.

    “Beberapa sekolah swasta malah sudah gulung tikar karwna kurangnya siswa. Disisi lain tantangan tersendiri untuk sekolah swasta untuk meningkatkan kualitasnya,” ungkapnya, Jumat (4/8/2023).

    Menurutnya, saat sekolah-sekolah swasta bisa untuk meningkatkan kualitas pendidikannya maka para orang tua siswa akan lebih melirik sekolah swasta untuk menyekolahkan anaknya.

    “Jadi kalau kualitasnya meningkat, kualitasnya baik itu bisa dipastikan, terutama wali siswa atau masyarakat itu dia akan memilih sekolah swasta,” ucapnya.

    Hasan mengungkapkan, dengan banyaknya sekolah swasta yang terancam tutup bahkan ada yang sudah tutup karena kurangnya siswa. Perlu solusi untuk hal tersebut, seperti meningkatkan sarana dan prasarana yang saat ini sudah kurang layak.

    Ia menyarankan agar sekolah swasta untuk bisa meningkatkan kualitasnya untuk dapat menarik para siswa dan orang tua siswa untuk bisa menyekolahkan anaknya di sekolah swasta.

    “Saran saya untuk sekolah-sekolah swasta bisa meningkatkan kualitasnya. Insyaallah kalau kualitasnya ditingkatkan itu kalaupun ada biaya pendidikan yang sedikit mahal segala macem, itu orang tua siswa berani bayar mahal agar anaknya bisa sekolah di sekolah yang berkualitas,” sarannya.

    Menurutnya pendidikan merupakan tanggung jawab semua orang.  Termasuk juga bagi para pengelola sekolah-sekolah swasta yang mana itu merupakan tantangan tersendiri.

    “Misalnya, bagaimana sarana dan prasarana mereka bisa meningkat dan kualitas pendidikannya juga meningkat. Karena kalau sudah begitu, masyarakat bahkan bisa berani untuk bayar lebih. Karena kan kalau di sekolah swasta ada biaya pendidikan berbeda dengan sekolah negeri. Dengan artian orang tua siswa juga berani bayar lebih agar anaknya bersekolah di sekolah yang berkualitas,” ungkapnya.

    Hasan juga menyoroti terkait minat siswa dan orang tua siswa yang saat ini lebih memilih sekolah negeri yang bahkan membiat sekolah negeri melebihi kapasitasnya.

    “Sekarang kita di sekola negeri dengan sarana dan prasarana terbatas, perombel sampai 50 orang jaminan ke kualitasnya juga susah dan pasti beranggapan mending sekolah di sekolah swasta. Cuman masalahnya, kalau sekolah swasta kualitasnya masih kurang bagus ya ga ada pilihan lagi,” tandasnya. (CR-01/AZM)

  • Merawat Kegembiraan Merdeka Belajar

    Merawat Kegembiraan Merdeka Belajar

    JAKARTA, BANPOS – Pesatnya kemajuan teknologi perlu disikapi secara serius oleh setiap pemangku kebijakan di Indonesia. Sebab, majunya teknologi otomatis akan berpengaruh secara langsung pada sektor pendidikan, baik pengaruh positif maupun negatif.

    Sehingga diperlukan kebijakan yang komprehensif dalam dunia pendidikan dalam rangka mewujudkan generasi yang mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan memiliki daya saing global.

    Dalam mewujudkan hal itu, diperlukan inovasi dan kurikulum agar dapat memerdekakan mereka dari belenggu dengan program merdeka belajar.

    Merdeka belajar adalah konsep pengembangan pendidikan dengan peran seluruh pemangku kepentingan sebagai agen perubahan. Program ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menegaskan bahwa pendidikan adalah serangkaian proses untuk memanusiakan manusia.

    Oleh karenanya, pendidikan perlu didasarkan pada asas kemerdekaan yang tetap mengacu pada penguatan nilai-nilai pelestarian budaya lokal yang menjunjung tinggi kesetaraan. Tujuan merdeka belajar yang sudah diluncurkan antara lain untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi siswa dalam mengeksplorasi minat dan bakat masing-masing, sehingga dapat memilih jalur pendidikan yang sesuai.

    Hal ini akan menumbuhkan semangat belajar dan mendorong kemajuan bangsa. Sedangkan untuk jangka panjang dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan mengembangkan potensi pelajar maupun mahasiswa agar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di masa depan memiliki integritas, kecerdasan, dan keterampilan yang unggul.

    Merdeka belajar sejatinya ingin memberikan kemerdekaan bagi sekolah maupun perguruan tinggi, termasuk di dalamnya para guru dan dosen untuk menginterpretasi kurikulum nasional agar berfokus pada peningkatan hasil belajar peserta didik.

    Jika dilihat, merdeka belajar merupakan terobosan inovatif yang perlu diimplementasikan dan terus dilanjutkan saat kondisi apapun, baik saat pandemi maupun pasca pandemi nantinya. Karena, program ini diorientasikan agar sistem belajar menjadi lebih merdeka, fleksibel, dan mendukung keberagaman dalam belajar.

    Relevan dengan Dunia Kerja

    Untuk Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, memang menjadi salah satu unggulan pemerintah dalam mengatasi permasalahan dunia pendidikan tinggi saat ini, yaitu penyerapan tenaga kerja dan relevansi lulusan dengan dunia industri.

    Dengan adanya program Merdeka Belajar Kampus Merdeka, maka para peserta didik dapat mengambil mata kuliah di luar program studi selama tiga semester, dan di luar kampus selama dua semester. Pertukaran pelajar, magang, riset, dan proyek kemanusiaan adalah beberapa kegiatan yang dapat diikuti dalam program ini.

    Mahasiswa diharapkan dapat mengalami langsung ekosistem dunia kerja sehingga menjadi bekal kemampuan mereka dalam menjalani dunia kerja di masa depan. Inilah bentuk transformasi dunia pendidikan yang diinginkan pemerintah, yaitu kualitas lulusan yang relevan dengan dunia kerja dan berkompetensi tinggi.

    Kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan (baik soft skills maupun hard skills) agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman karena melalui berbagai program berbasis experimental learning ini mahasiswa difasilitasi untuk dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing.

    Oleh karena itu, mereka juga dituntut untuk mengembangkan kemandirian dengan terjun langsung ke lapangan untuk mencari dan menemukan pengetahuan serta pengalaman melalui kenyataan lapangan seperti kualifikasi kemampuan, permasalahan nyata, kolaborasi-interaksi sosial, pengelolahan/manajemen diri, target dan pencapaian.

    Dengan memberikan hak dan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengambil tiga semester di luar program studinya, kompetensi mahasiswa akan lebih beragam dan lebih siap untuk menghadapi persaingan dalam skala nasional maupun global.

    Secara filosofis, kebijakan Kampus Merdeka juga sangat bagus karena membuka kotak sekat keilmuan dalam suatu prodi. Harapannya, mahasiswa memahami ilmu lintas disiplin yang dapat meningkatkan kemanfaatan dari ilmu yang mereka pelajari sebelumnya.

    Kegembiraan Merdeka Belajar

    Merdeka belajar akan membut pelajar dan mahasiswa lebih gembira dalam proses menuntut ilmu dan pengalaman. Harus di akui bahwa proses pembelajaran terkadang membosankan jika hanya di dalam ruangan (kelas) saja.

    Maka, dengan konsep merdeka belajar ini diharapkan tidak merasakan jenuh dalam proses pembelajaran yang di ikuti. Selama proses ini berlangsung, sebagian besar dari pelajar dan mahasiswa gembira dengan suasana baru yang mereka dapatkan. Bahwa, setiap pelajar maupun mahasiswa dapat menyesuaikan diri dalam memahami materi, memecahkan jawaban sesuai dengan kemampuannya.

    Merdeka belajar diharapkan mampu menghasilkan pengetahuan yang melampaui (tanpa batas) mengenai informasi. Peran guru maupun dosen disini sebagai mentoring serta diharapkan memiliki kemampuan memecahkan masalah. Sedangkan pada penilaian bukan lagi menitik beratkan pada nilai, tapi proses berjuang.

    Saat ini, lembaga pendidikan secara umum masih dikelola secara tradisional, belum memiliki kemampuan respon yang cepat dan akurat terhadap berbagai permasalahan kekinian dan masih berbasis pada angka-angka. Proses pembelajaran bukan sekadar rutinitas toutologis yang hanya mengisi waktu, tetapi harus berubah menjadi aktifitas yang dapat membawa dampak perubahan, dari aspek pengetahuan, skill psikomotorik, hingga perubahan perilaku keseharian.

    Melalui kegiatan pembelajaran merdeka diharapkan akan muncul kreatifitas dan perubahan cara berfikir kritis. Istilah merdeka belajar yang digulirkan bukan tanpa makna, tapi bukan pula tanpa kontrol dari masyarakat Indonesia. Karena, merdeka bukan berarti bebas sebebasnya melakukan aktivitas pembelajaran tanpa kontrol akademik.

    Merdeka belajar berarti kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran, agar yang dihasilkan adalah individu-individu yang berkarakter dan berakhlak mulia yang mampu menghadapi tantangan zaman yang semakin maju.

    Kegembiraan merdeka belajar harus tetap dirawat, karena penerapan kurikulum ini sangat baik dalam mendesain peserta didik agar mampu menjadi generasi yang kreatif dan produktif. Akan tetapi, pemerintah juga tetap memiliki kewajiban melakukan evaluasi hal-hal yang dinilai kurang efektir dan belum maksimal.

    Pemerintah perlu terus melakukan penguatan, evaluasi dan pembinaan secara komprehensif bagi lembaga pendidikan, guru maupun dosen untuk terus meningkatkan kompetensi dan pelayanan agar tujuan mulia dalam merdeka belajar ini bisa terlaksana dengan baik dan maksimal.(RMID)

  • 84 Sekolah Penggerak Terapkan Kurikulum Merdeka Belajar

    84 Sekolah Penggerak Terapkan Kurikulum Merdeka Belajar

    PANDEGLANG, BANPOS – Sebanyak 84 sekolah penggerak yang ada di Kabupaten Pandeglang saat ini sudah mengimplementasikan atau menerapkan kurikulum merdeka belajar. Hal tersebut terungkap saat Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI perwakilan Provinsi Banten, Afrizal Sihotang berkunjung ke Pendopo Bupati Pandeglang, Selasa (30/5).

    “Sekolah penggerak ini sudah lebih dulu mengimplementasikan kurikulum merdeka belajar. Jadi dulu namanya kurikulum prototipe, tapi sekarang namanya kurikulum merdeka belajar,” kata Afrizal kepada wartawan.

    Menurutnya, sebelum kurikulum merdeka belajar diimplementasikan di semua sekolah, Kemendikbudristek RI terlebih dahulu menerapkan kurikulum merdeka belajar di sejumlah sekolah penggerak di seluruh Indonesia.

    “Jadi lahirnya kurikulum merdeka belajar ini, diujikan dulu ke sekolah penggerak dan ternyata berhasil. Baru nanti akan dilaunching ke sekolah-sekolah lain,” terangnya.

    Afrizal menambahkan, saat ini di Kabupaten Pandeglang sedikitnya sudah ada 84 sekolah penggerak yang mengimplementasikan atau menerapkan kurikulum merdeka belajar. 84 sekolah tersebut terdiri dari jenjang TK, SD hingga SMP.

    “Untuk di Kabupaten Pandeglang, secara menyeluruh untuk jenjang TK, SD, SMP itu ada 84 sekolah penggerak. Jadi semuanya sudah menerapkannya,” ujarnya.

    Dijelaskannya, sekolah penggerak merupakan binaan Kemendikbudristek RI, dimana sekolah-sekolah penggerak ini secara langsung mendapatkan bantuan dana BOS kinerja hingga kegiatan-kegiatan dari Kemendikbudristek RI.

    “Jadi sekolah penggerak ini merupakan binaan Kemendikbudristek RI, yang mana di sekolah-sekolah penggerak ini akan hadir kegiatan-kegiatan kementerian pendidikan secara langsung. Selain itu, di sekolah-sekolah penggerak ini juga menerima bantuan khusus yang bernama BOS kinerja,” ungkapnya.

    Sementara itu, Bupati Pandeglang, Irna Narulita memberikan apresiasi kepada para Kepala Sekolah (Kepsek) khususnya sekolah penggerak. Sebab karena peran Kepsek dan guru dapat terbentuk generasi yang cerdas berkualitas.

    “Saya apresiasi Kepsek atas kinerjanya, memang kepala sekolah wajib tahu karakter peserta didik, sehingga bisa mengangkat potensi yang ada dan tidak semua Kepsek memiliki itu,” katanya.

    Agar tidak terjadi lost generation, sebagai Kepsek harus mampu mengangkat potensinya. Sesuai dengan harapan pemerintah pusat yakni Kemendikbudristek agar seluruh sekolah bisa menjadi sekolah penggerak.

    “Pemimpin yang sukses harus belajar di lapangan. Sebagai kepala sekolah, kita harus mampu mengangkat potensi agar tidak terjadi lost generation,” ungkapnya. (DHE/PBN)

  • Gali Potensi Sejak Dini, Syafrudin Apresiasi Aqualand Marching Festival 2022

    Gali Potensi Sejak Dini, Syafrudin Apresiasi Aqualand Marching Festival 2022

    SERANG, BANPOS – Walikota Serang Syafrudin berkesempatan hadir sekaligus membuka kegiatan perlombaan Aqualand Marching Festival Tahun 2022 di halaman Wisata Air Aqualand Kota Serang, Selasa (13/12/2022).

    Kegaitan tersebut digelar sebagai bentuk meningkatkan bakat anak sekaligus mengembangkan minat anak terutama pada marching band yang saat ini cukup digemari oleh kalangan masyarakat Kota Serang.

    Seperti yang disampaikan oleh Walikota Serang Syafrudjn saat sambutannya ia menyampaikan, Marching band pada tahun ini sudah masuk kedalam cabang olahraga, banyak hal yang didapat dalam marching band, selain olahraganya, seninya juga terdapat dalam Marching Band.

    “Dengan diadakannya perlombaan marching band ini merupakan salah satu langkah yang tepat dalam rangka peningkatan anak-anak kita untuk menjadi anak-anak yang memiliki kompetensi dalam marching band dari tingkat tk hingga sma” ujar Syafrudin.

    Kegiatan Perlombaan Marching Band tersebut diikuti oleh berbagai sekolahan se-Provinsi Banten

    “Saya sangat apresiasi perlombaan ini, karena perlombaan ini bukan hanya Kota Serang saja ternyata, namun dari berbagai daerah di provinsi banten” tambah Syafrudin.

    Menambahkan hal serupa, ketua pelaksana perlombaan Aqualand Marching Festival 2022 Rizal Firdaus menyampaikan, dalam kegiatan ini sekiranya terdapat sekitar 18 Peserta dari berbagai sekolah yang ada di beberapa kabupaten dan Kota Se-Provinsi Banten.

    “Jumlah peserta 18 yang terdiri dari 3 TK divisi mandiri dan 5 TK divisi non mandiri, kemudian 3 SD, 4 divisi SMP dan 3 div SMA yang berasal dari kota serang, kota cilegon, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang” tutur Rizal

    Ia juga menjelaskan maksud dan tujuan diselenggarakannya kegiatan perlombaan tersebut untuk membina anak-anak bangsa agar terhindar dari pengaruh negatif dan pergaulan yang sangat menghawatirkan.

    “Karna baiknya pemuda dan anak anak penerus bangsa saat ini akan membuat suatu perubahan bagi masa yang akan datang” tambah Rizal.

    Dengan diselenggarakannya kegiatan Aqualand Marching Festival tahun ini, Walikota Serang berharap agar perlombaan ini berjalan dengan lancar dan dapat menciptakan suatu suasana yang indah dan damai.

    “Semoga dengan adanya perlimbaan marching seperti saat ini dapat memicu anak anak kita untuk terus mengikuti perlombaan dan pertandingan hingga tingkat lebih tinggi dan bergengsi untuk membawa nama baik kota serang” tutup Syafrudin. (Red)

  • Pemprov Banten ‘PeDe’ Pelaksanaan PPDB Lancar

    Pemprov Banten ‘PeDe’ Pelaksanaan PPDB Lancar

    SERANG, BANPOS- Pemprov Banten mengklaim diri telah siap untuk menghadapi pekan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2022. Pemprov Banten optimistis kejadian seperti tahun lalu tidak kembali terulang di tahun sekarang.

    Pj Gubernur Banten, Al Muktabar, mengatakan bahwa pihaknya sudah mempersiapkan infrastruktur digital guna menghadapi PPDB. Selain itu, pihaknya juga telah menyampaikan tahapan-tahapan pelaksanaan PPDB kepada masyarakat, sehingga tidak ada yang terlewat.

    “Secara infrastruktur digitalisasi, kemudian simulasinya (pelaksanaan PPDB), kemudian woro-woronya itu sudah siap. Laman website sudah dibuat pengumuman. Beberapa juga ada spanduk dan pamflet, kami imbau masyarakat untuk menyalurkan minatnya ke sekolah yang difavoritkan atau dituju,” ujarnya, Senin (13/6/2022).

    Menurutnya, dalam pelaksanaan PPDB tersebut, pihaknya akan tetap melakukan pembenahan sembari melaksanakan. Apabila masih ditemukan masalah, Pemprov Banten pun bisa membuat jadwal lain agar dapat membuka kesempatan kepada masyarakat seluas-luasnya.

    “Dan tentu nanti beberapa tahapan apabila masih ada hal-hal yang kurang, akan kami perbaiki. Itu akan kami schedule untuk memberi seluas-luasnya kesempatan. Tentu tidak semua bisa diterima,” ungkapnya.

    Ia mengatakan, untuk mencegah terjadinya permasalahan pada saat pelaksanaan PPDB, pihaknya telah menyerahkan pengelolaan portal pendaftaran PPDB ke masing-masing sekolah. Dengan demikian, gangguan yang terjadi di suatu sekolah, tidak akan mengganggu sekolah lainnya.

    “Kan ikhtiar kita adalah dengan telah diturunkan ke sekolah (portal pendaftaran), maka bila terjadi gangguan, maka yang terjadi spesifik di sekolah itu saja, tidak mengganggu area-area yang lain. Kalau terintegrasi, satu masalah di Lebak bisa mengganggu keseluruhan,” ungkapnya.

    Menurut Al, meski dikembalikan ke masing-masing sekolah untuk portal pendaftaran PPDB, namun pihaknya tetap membangun sistem digital yang adil bagi para siswa yang hendak masuk ke sekolah yang dituju oleh mereka.

    “Jadi itu ikhtiar kita untuk mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan trouble (masalah) dengan menggunakan cara komputerisasi yah. Mekanisme digital yang ada itu untuk membangun fairness (keadilan) kita, dijalankan,” tandasnya. (DZH/AZM)

  • FSPP Berikan Banyak Syarat Jika Pesantren Buka Pendidikan

    FSPP Berikan Banyak Syarat Jika Pesantren Buka Pendidikan

    SERANG, BANPOS – Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) menerbitkan maklumat berupa pedoman pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren pada masa pandemi covid-19. Dalam maklumat Nomor 013/FSPP-Banten/VI/2020, FSPP membolehkan pesantren melaksanakan kegiatan pendidikan, dengan memenuhi protokol kesehatan.

    Demikian maklumat yang ditandatangani Ketua Dewan Presidium FSPP Banten, KH Sulaiman Effendi, Anggotta Presidium KH M Shodiqin, KH Anang Azhari Alie, K Syamsul Ma’arif, dan KH Kholil Abdul Khaiq, serta Sekretaris Jenderal FSPP H Fadlullah.

    “Merespon aspirasi para kiai untuk membuka pendidikan di pondok pesantren maka dipandang perlu adanya pedoman pelaksanaan pendidikan di pondok pesantren di musim pandemic covid-19, sehingga pelaksanaan pendidikan berjalan dengan aman, tertib dan terkendali sesuai protokol kesehatan,” kata Ketua Presidium FSPP, dalam maklumat tersebut.

    Adapun isi maklumat tersebut adalah pondok pesantren diperbolehkan melaksanakan kegiatan pendidikan dengan mengadopsi konsep karantina skala terbatas, yaitu para santri tinggal dan berinteraksi sosial di dalam lingkungan pesantren yang terkendali.

    Hanya, untuk melaksanakan kegiatan belajar, pondok pesantren harus melaksanakan berbagai ketentuan, seperti pesantren membentuk gugus tugas covid-19 dan melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehtan melalui Puskesmas untuk melakukan adaptasi kenormalan baru.

    Adapun, pesantren dengan kondisi sepenuhnya santri mukim dengan interaksi tertutup melaksanakan ketentuan sebagai berikut, pesantren mengintruksikan semua santri melakukan karantina mandiri di rumah sekurang-kurangnya delapan hari sebelum santri datang kepondok, dan saat santri datang ke pondok membawa surat pernyataan telah melakukan karantina mandiri yang ditandatangani oleh orang tua/wali.

    Sementara, santri dari zona merah masuk pondok lebih awal untuk mengikuti program karantina selama empat belas hari. Setelah santri di zona merah selesai melaksanakan karantina mandiri, kemudian santri dari zona hijau masuk pondok.

    Bila pesantren tidak memungkinkan melaksanakan pengaturan masuk berdasarkan zona dapat melakukan pengendalian dengan melakukan rapid test bagi santri yang berasal dari zona merah.

    “Terkait dengan penilaian kondisi umum kesehatan santri, Gugus Tugas Covid-19 Pesantren berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan melalui Puskesmas atau layanan kesehatan lainnya melakukan penilaian kondisi umum kesehatan santri dengan indikator kesehatan yang ditetapkan oleh otoritas kesehatan, yaitu melakukan pengecekan suhu, memastikan tidak adanya gejala covid-19 seperti demam, sakit kepala, ruam kaki, diare, flu, batuk, sakit kulit, santri tidak memiliki riwayat sakit bawaan,” demikian isi maklumat tersebut.

    Adapun, implementasi hidup bersih dan sehat di pesantren, yaitu pesantren mengupayakan langkah-langkah preventif menjaga kesehatan santri, pesantren menyediakan fasilitas yang mendukung pelaksanaan hidup sehat dan protokol kesehatan covid-19 seperti cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, memberikan makanan yang memenuhi gizi seimbang dengan memprioritaskan sarapan pagi santri serta makanan yang mengandung vitamin C seperti sayuran dan buah-buahan, membiasakan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah beraktifitas selama 20 detik hingga bersih, menghindari menyentuh wajah, hidung atau mulut saat tangan masih kotor sebelum cuci tangan, menghindari kontak langsung dengan orang sakit dan bersin, membersihkan permukaan benda yang dipakai oleh santri.

    Bagi pesantren yang melaksanakan pendidikan formal dengan kondisi santri tidak mukim melaksanakan ketentuan sebagai berikut, pesantren mengatur agar santri yang tidak mukim tidak memasuki wilayah asrama, melakukan desinfektan sarana belajar di sekolah seperti meja, kursi, papan pintu, dinding dan lain-lain.(PBN)

  • Perlu Kebijakan Fundamental Pendidikan pada Era New Normal

    Perlu Kebijakan Fundamental Pendidikan pada Era New Normal

    KEWAJIBAN negara hadir melindungi seluruh rakyat termasuk dari ancaman wabah Pandemi Covid-19. Dalam hal ini berlaku kaidah “mencegah bahaya lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan” dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

    Kebijakan PSBB bertujuan untuk mencegah penyebaran virus corona covid-19 dengan cara membatasi aktivitas orang-orang dalam suatu kegiatan yang menimbulkan suatu kerumunan atau yang melibatkan orang banyak.

    Jenis Kegiatan yang dibatasi atau dilarang selama pelaksanaan PSBB antaralain: kegiatan belajar mengajar di Sekolah, bekerja di Kantor, kegiatan keagamaan di Rumah ibadah, dan semua kegiatan di Tempat Umum termasuk kegiatan sosial budaya yang melibatkan orang banyak. Semua diganti dengan kegiatan belajar, bekerja, dan beribadah di Rumah. Interaksi sosial termasuk belanja dan hiburan berganti dengan pendekatan virtual.

    Selain itu, operasi moda transportasi umum yang mengangkut penumpang juga sangat dibatasi, dilarang mengangkut penumpang hingga penuh dan harus berjarak antara penumpang satau dengan yang lain. Untuk moda transportasi barang juga dilarang beroperasi kecuali untuk barang penting seperti kebutuhan pokok alat kesehatan dan sejenisnya. Pengecualian berlaku untuk kegiatan operasi militer dan operasi kepolisian.

    Pada era New Normal pembatasan yang sebelumnya ketat dilonggarkan. Sekolah, tempat kerja, rumah ibadah, dan tempat umum lainnya kembali dibuka dengan memberlakukan protokol kesehatan. Cuci tangan sebelum melakukan kegiatan apa pun, menggunakan masker, menjaga jarak, dan memastikan kebersihan lingkungan tempat belajar, tempat kerja, rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya.

    Pertanyaan yang menghantui masyarakat terutama kelas menengah adalah bagaimana memastikan kebijakan New Normal itu berjalan tertib, terpimpin, dan terkendali?

    Pemerintah harus berani melakukan terobosan fundamental dalam merumuskan panduan teknis terkait peran Pemerintah, Satuan pendidikan dan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan sesudah Pandemi Covid-19.

    Kebijakan pendidikan sesudah pandemi Covid-19 harus beradaptasi dengan nilai dan budaya baru. Tiap rombongan belajar maksimal 20 peserta didik yang sebelumnya 36 atau 40 peserta didik.

    Ruang belajar harus ditambah atau memberlakukan sistem rotasi pagi dan siang. Kajian teori dan diskusi mengutamakan pembelajaran online daripada tatap muka. Pembelajaran tatap muka dilakukan untuk kegiatan praktikum berbasis laboratorium, bengkel kerja atau kegiatan pemberdayaan masyarakat. Semua kegiatan pembelajaran dilaporkan secara digital (paperless) dan memerlukan perpustakaan digital.

    Pemerintah juga perlu memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang merosot akibat dampak wabah. Maka, Pemerintah Kabupaten/Kota mulai merancang pembangunan Satuan pendidikan dasar yang lebih dekat dan berada di pusat lingkungan pemukiman penduduk sehingga tidak memerlukan moda transportasi umum.

    Satuan pendidikan dasar bisa dijangkau oleh peserta didik dengan jalan kaki atau naik sepeda ontel. Jadi, satuan pendidikan lebih dekat dengan masyarakat sehingga biaya operasional pendidikan lebih murah.

    Secara bertahap Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya menerapkan SD-SMP satu atap di seluruh desa/Kelurahan. Dalam hal mengusahakan Pendidikan dasar sembilan tahun satu atap itu, Pemerintah Kabupaten/Kota bisa bersinergi dengan masyarakat dan Kantor Kementrian Agama.

    Misalnya dengan merevitalisasi Madrasah Diniyah menjadi Pendidikan Diniyah Formal (PDF) atau berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah (MI-MTs) sehingga lulusannya berhak mendapatkan ijazah sebagai pelaksanaan wajib belajar. Dengan demikian peran swasta semakin besar dan anggaran belanja pemerintah daerah dapat dihemat untuk alokasi belanja pembangunan yang lain.

    Selanjutnya, model penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi yang berlaku saat ini dapat dilanjutkan sebagai landasan pengembangan pendidikan berbasis komunitas. Penyelenggaraan Satuan pendidikan pasca Pandemi Covid-19 terintegrasi dengan visi, cita cita, dan budaya masyarakat. Isi kurikulum satuan pendidikan selaras dengan nilai moral agama dan kearifan budaya serta keunggulan kompetitif masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di sekitarnya.

    Pengelolaan satuan pendidikan melibatkan masyarakat sekitar sebagai stakeholder utama dalam melakukan perekayasaan sosial menuju masyarakat desa yang adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT. Apalagi satuan pendidikan Madrasah milik masyarakat yang pada umumnya dibangun secara swadaya di atas lahan wakaf.

    Penyelenggaraan pendidikan dasar berbasis komunitas menjadikan Sekolah/Madrasah memiliki fungsi sosial. Bukan hanya tempat belajar secara formal. Tetapi juga tempat masyarakat mengadakan kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan seperti Posyandu, Peringatan Hari Besar Nasional maupun Keagamaan. Budaya baru pengelolaan pendidikan sesudah Pandemi Covid-19 menjadikan masyarakat lebih disiplin, mandiri, produktif, dan bertanggung jawab.

    Kebijakan yang sama berlaku untuk satuan pendidikan menengah. Pemerintah provinsi sesuai kewenangannya dapat menerapkan pendidikan berbasis keunggulan lokal untuk SMA/SMK. Di setiap Kecamatan terdapat Satuan Pendidikan Menengah, baik umum maupun kejuruan (termasuk Madrasah Aliyah) yang rancangan kurikulumnya relevan dengan tujuan pembangunan nasional dan daerah serta kebutuhan tenaga kerja. Selain itu peserta didik dilatih sebagai entrepreneur yang peka terhadap peluang usaha dan tantangan zaman di masa depan.

    Tantangan lain yang harus dipersiapkan pemerintah adalah pemetaan guru sesuai kompetensi dan zonasi tempat tinggal. Dalam hal ini harus diupayakan agar semua satuan pendidikan memiliki guru hebat yang profesional. Guru yang menginsipirasi peserta didik dan masyarakat sekitar. Guru hebat harus tersebar secara merata di seluruh kawasan. Tidak boleh hanya terkonsentrasi di ibu kota saja. Di sini lain guru diharapkan mendapatkan tugas di Satuan Pendidikan yang dekat dengan tempat tinggal.

    Jika hal ini tidak memungkinkan, maka perlu diusahakan Rumah Dinas bagi guru agar dapat bekerja secara profesional, bukan hanya mengajar di kelas, tetapi juga menjalankan perannya sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Dengan demikian tatanan baru pendidikan sesudah Pandemi Covid-19 menjadi elan vital kebangkitan masyarakat, kemajuan bangsa, dan kedaulatan negara.

    Wallahu a’lam

    *) Pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Banten

  • Seminar Imadiklus, Indonesia Sudah Surplus Guru

    Seminar Imadiklus, Indonesia Sudah Surplus Guru

    JAKARTA, BANPOS – Kondisi pendidikan di Indonesia dirasa masih belum ideal. Mulai dari segi kebijakan, perencanaan, penganggaran, hingga pelaksanaan ditingkat lembaga pendidikan. Bahkan disebutkan bahwa secara standar internasional, Indonesia sudah mengalami kondisi surplus guru.

    Hal tersebut menyeruak dalam seminar nasional daring yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Pendidikan Luar Sekolah se-Indonesia (Imadiklus) dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2020.

    Guru besar Universitas Negeri Jakarta, Hafid Abbas memaparkan, adanya beberapa kebijakan yang tidak sinkron dengan hasil yang diharapkan. Dengan berdasarkan hal tersebut, ia merasa kondisi ini akan mengancam dunia pendidikan kedepannya.

    Ia memberi contoh, besarnya anggaran pendidikan, akan tetapi dirasa justru mutu pendidikan semakin merosot.

    “Kedua, meningkatnya anggaran sertifikasi guru tapi dampaknya terhadap dunia pendidikan belum terlihat,” paparnya.

    Ia juga mengklaim, jumlah guru di Indonesia secara standar internasional sudah dapat dinyatakan surplus, atau berlebih.

    “Selain itu, masih ada 88.8 persen dari sekitar 220 ribu sekolah SD hingga SMA/SMK yang belum melewati standar minimal dan hanya 0.65 persen yang berstandar Internasional,” jelas Ketua Senat UNJ tersebut.

    Mantan Ketua Komnas HAM ini menegaskan, hal yang harus pertama kali dibenahi adalah terkait standar pendidikan yang dirasa menjadi induk masalah carut marutnya dunia pendidikan saat ini.

    Selain itu, ia menuding bahwa pendidikan terus terbelenggu dalam intervensi politik, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini dikarenakan, profesionalisme beberapa pimpinan yang mengurusi bidang pendidikan diragukan. Baik dari latar belakang secara akademis, maupun rekam jejaknya.

    “Misalnya ada Kepala Dinas Pendidikan yang berasal dari urusan pemakaman, ada pula dari urusan pasar, dan sebagainya. Ini bertentangan dengan Konvensi UNESCO dan ILO (1966) yang mensyaratkan bahwa urusan pendidikan diprioritaskan kepada mereka yang mengerti pendidikan dan berpengalaman menjadi guru,” terangnya.

    Menurutnya, kondisi tersebut juga terlihat di jenjang pendidikan tinggi. Diantara 4.715 institusi pendidikan tinggi di seluruh Indonesia, hanya 96 PT yang berakreditasi A. Sehingga menurutnya, hal ini menyebabkan kebijakan kampus merdeka dan merdeka belajar menjadi sulit diterapkan.

    “Semestinya, kebijakan merdeka belajar dan kampus merdeka dilakukan jika, seluruh sekolah dan seluruh perguruan tinggi sudah melewati standar minimal. Inilah tugas kementerian untuk bekerja semaksimalnya dengan anggaran yang ada untuk meingkatkan standar akreditasi tersebut,” terangnya.

    Dalam seminar tersebut, Hafid juga mengungkapkan bahwa sebaiknya setiap kebijakan yang diambil oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dilakukan penelitian ilmiah terlebih dahulu, agar dapat berbasis bukti (evidence base).
    “Tanpa penelitian itu, kebijakan yang diambil sama seperti mengobati pasien tanpa mengerti penyakitnya,” tandasnya.(PBN)