SALAH satu tujuan kemerdekaan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, hingga kini kita merayakan 78 kali merayakan kemerdekaan itu, pendidikan masih menjadi komoditas yang belum bisa diakses semua warga Negara.
Dalam beberapa tahun terakhir, masalah anak putus sekolah di tingkat SD dan SMP di Provinsi Banten telah menjadi perhatian serius. Meskipun ada upaya yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan dan pihak terkait, namun angka anak putus sekolah masih mengkhawatirkan. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan dalam alokasi anggaran pendidikan, serta beberapa faktor lain yang memengaruhi ketersediaan pendidikan yang layak bagi anak-anak di daerah tersebut.
Berdasarkan data yang dikutip dari situs kemendikbud.go.id, pada tahun 2023 terdapat 25.274 anak putus sekolah SD maupun SMP di Provinsi Banten. Komposisi jumlah putus sekolah dari tingkat SD hingga SMA/SMK nyaris seimbang, dimana paling banyak ATS di tingkat SD dengan jumlah 12.778 murid, diikuti SMP 12.486 siswa.
Kabupaten Tangerang dengan jumlah ATS tertinggi, yaitu 7.361 siswa. Rinciannya adalah 3.997 di tingkat SD, 3.364 di tingkat SMP. Kabupaten Lebak menduduki peringkat ketiga dengan 4.353 anak putus sekolah dengan rincian 1.758 di tingkat SD dan 2.595 di tingkat SMP.
Kabupaten Serang menempati peringkat ketiga dengan 3.022 anak putus sekolah, lalu berikutnya Kota Tangerang dengan 3.161 anak putus sekolah. Kemudian Kabupaten Pandeglang dengan 2.707 anak putus sekolah, Kota Tangsel 2.271, Kota Serang 1.740. Sedangkan Kota Cilegon menjadi yang terendah dengan angka 669 siswa putus sekolah.
Di Kabupaten Lebak yangmenmpati peringkat kedua terbanyak, angka putus sekolah bisa tergambar di pusat-pusat keramaian di Kota Rangkasbitung. Anak usia sekolah memilih hidup di jalan untuk mencari kebebasan maupun mencari nafkah demi melanjutkan hidupnya.
Seperti yang didapati BANPOS di komunitas punk di Rangkasbitung. Sejumlah remaja dengan dandanan ala musisi punk mudah ditemui di di lokasi-lokasi tertentu seperti Terminal Lama, Lampu Merah Sumurbuang, Lampu Merah Taman Hati hingga di sekitaran Pasar Rangkasbitung. Biasanya meraka mengamen atau hanya sekedar nongkrong di tempat-tempat itu.
Saat BANPOS bertanya kepada salah satu remaja yang mengaku sebagai anak punk, ia mengaku berhenti sekolah di usia 14 tahun atau saat dia berada di bangku sekolah tingkat SMP.
“Males sekolah, banyak aturan. Mending begini bang, bebas kita,” kata salah satu anak ‘punk’ yang BANPOS temui di sekitar Pasar Rangkasbitung.
Namun, saat BANPOS mencoba berkomunikasi lebih intens, ia mengaku berhenti sekolah karena faktor ekonomi yang tidak mendukung. Dikarenakan kebingungan untuk melampiaskan emosi, akhirnya ia memilih untuk terjun ke dunia anak jalanan.
“Sudah nyaman begini, bisa bareng-bareng sama kawan-kawan senasib. Kita mau mengeluh kesiapa juga nggak akan ada yang perduli,” tandasnya.
Menanggapi Hal tersebut, Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) Banten, Ihsanudin, mengatakan bahwa ketika anak tidak sekolah terdapat berbagai faktor.
Lanjutnya, terdapat faktor ekonomi, keluarga dan lingkungan.
“Kita juga harus bisa menyelidiki kenapa anak punk ini lebih nyaman disana. Misalnya dia tidak nyaman di lingkungan sekolah, berarti sekolah saat ini belum bisa menjawab atau memberikan fasilitas untuk anak berkreasi sesuai dengan keinginannya,” kata Ihsan saat ditemui BANPOS di Rahaya Resort, Selasa (15/8).
Ihsan menjelaskan, Drop Out (DO) bukanlah solusi bagi murid-murid yang disebut “nakal”. Menurutnya, hukuman tersebut hanya menjadi bom atom bagi dunia pendidikan di Lebak.
“Nantinya, mereka tidak lagi mendapatkan hak untuk mendapat pendidikan. Hal ini yang sangat disayangkan,” jelasnya.
Ia menegaskan, kesenjangan sosial yang terjadi membuat banyak anak yang harus mengalami putus sekolah. Maka dari itu, pemerintah harus bisa memberikan bantuan sesuai dengan targetnya agar kesejahteraan bisa merata.
“Tentu ini juga menjadi PR bersama bagi kita semua agar anak-anak bisa merasakan pendidikan yang seharusnya,” tandasnya.
Bukan hanya di Lebak, bahkan di ibu kota Provinsi Banten, Kota Serang, masih banyak anak yang mengalami putus sekolah. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Serang Tubagus Suherman menyampaikan bahwa masih terdapat anak yang putus sekolah di Kota Serang. Menurutnya Kota Serang masih memiliki angka putus sekolah tahun 2023 sekitar 7,5 persen.
Suherman mengungkapkan bahwa angka putus sekolah yang terjadi di Kota Serang pada tahun 2023 dari total enam kecamatan di Kota Serang ada di tiga kecamatan yang menjadi kecamatan terbanyak angka putus sekolah.
“Dari enam Kecamatan itu rata-rata di kecamatan yang di Kasemen, Walantaka dan di Curug,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekdis Dindikbud Kota Serang, Tb. Agus Suryadin mengatakan, saat ini data siswa yang putus sekolah yang ada di Kota Serang ada sebanyak 133 anak dari mulai SD hingga tingkat SMA.
“Anak-anak yang putus sekolah sudah kita data dan ada sebanyak 133 yang putus sekolah. 80 persen itu karena faktor ekonomi. 20 persen sisanya karena adanya anak yang cacat dan juga ada yang sewaktu sekolah jadi korban bullying dan lain sebagainya. Dari 133 orang ini kita akan bantu agar anak-anak ini dapat melanjutkan sekolah,” katanya.
Jumlah angka putus sekolah yang disebutkan Agus, bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Karena di lapangan, kemungkinan banyak angka putus sekolah yang tidak tercantum di data Dindik Kota Serang. Salah satu contohnya adalah di Kecamatan Taktakan.
Camat Taktakan, Mamat Rahmat mengatakan, per 26 Juli 2023, di wilayahnya saja terdata sebanyak 167 anak putus sekolah di tingkat sekolah dasar maupun sekolah menengah pertama..
“Sebetulnya data yang sebelumnya itu baru sebagian, karena di Taktakan sendiri ada sebanyak 167 anak tidak sekolah,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa sampai saat ini pihaknya masih melakukan pendataan anak tidak sekolah di Kecamatan Taktakan. Karena menurutnya, di Kecamatan Taktakan masih banyak anak yang tidak sekolah namun belum terdata.
“Memang update-nya masih terus kita dilakukan. Jadi sebetulnya masih banyak anak-anak yang tidak sekolah dan saat ini masih belum terdata semua,” ujarnya.
Rahmat menjelaskan, bahwa warga di Kecamatan Taktakan saat ini masih cenderung memiliki pemahaman pragmatis yang membuatnya enggan untuk melanjutkan sekolah.
“Banyak alasan warga Taktakan yang putus sekolah, diantaranya biaya dan pemahaman pragmatisme, yaitu mencari penghidupan dan bekerja di usia dini,” jelasnya, beberapa waktu lalu.
Dalam mengatasi hal tersebut, dirinya berkoodinasi dengan para RT RW, Lurah dan para kader posyandu untuk dapat memberikan edukasi tentang pentingnya pendidikan
“Maka peran Lurah, RT RW dan kader posyandu untuk mendata dan mengedukasi tentang pentingnya pendidikan sangat diperlukan,” ujarnya.
Terpisah, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon anak tidak belum pernah sekolah tahun 2022 kelompok usia 7-12 tahun sebanyak 0,28 persen. Sedangkan anak tidak sekolah lagi tahun 2022 kelompok usia 13-15 tahun sebanyak 2,11 persen. Saat ini jumlah SD Negeri di Kota Cilegon ada 149 dan SMP Negeri ada 15.
Anggota DPRD Kota Cilegon Muhammad Ibrohim Aswadi mengaku prihatin karena masih ditemukan anak putus sekolah di Kota Cilegon. Menurutnya, kondisi itu menjadi memerlukan evaluasi dan tanggung jawab dari pemerintah untuk segera mengatasinya. Karena menurut Ibrohim pendidikan merupakan layanan dasar yang harus dipenuhi dan dituntaskan sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2.
“Bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” kata Ibrahim membacakan bunyi regulasi yang dimaksud.
“Selain itu juga diamanatkan adalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 tentang wajib belajar,” sambungnya.
Kemudian kata dia, upaya konkret yang dilakukan DPRD yaitu akan menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait permasalahan Anak Putus Sekolah dengan Pihak Dinas Pendidikan dan pihak terkait lainnya agar segera diatasi.
Selain itu, kata dia, pihaknya juga melakukan kunjungan kerja atau inspeksi mendadak (sidak) kepada Dinas Pendidikan dan lokasi anak-anak yang mengalami putus sekolah dan sekolah terkait dalam rangka mengoptimalisasi fungsi pengawasan DPRD secara langsung terhadap penyelenggaraan pelayanan pendidikan agar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kemudian upaya mengurangi angka anak putus sekolah, kata Ibrohim, DPRD berkolaborasi dengan Dindikbud dalam menginventarisir data. Melakukan Koordinasi lintas sektoral DPRD dengan Dindikbud, DP3AKB, Dinsos, kelurahan setempat serta elemen masyarakat pemerhati pendidikan.
“Kolabarosai semua stakeholder itu harus dilakukan dalam rangka pengentasan permasalahan anak putus sekolah untuk segera diatasi secara komprehensif agar penyelenggaraan pendidikan berjalan efektif,” tuturnya.
Dikatakan Politisi Partai Demokrat Cilegon ini, DPRD telah menginisiasi kebijakan atau program khusus terkait penanggulangan anak putus sekolah.
“Iya, melalui rekomendasi yang ditujukan kepada Dinas Pendidikan baik dalam bentuk program dan rencana anggaran yang dibutuhkan dalam peningkatan penyelenggaraan pendidikan agar tidak lagi ada isu permasalahan masyarakat yang tidak mendapatkan hak dalam layanan pendidikan (anak putus sekolah),” ujarnya.
Di sisi lain, kata dia, DPRD memiliki rencana untuk melibatkan komunitas atau organisasi swasta dalam upaya menangani anak putus sekolah.
“Sangat perlu, karena permasalahan anak putus sekolah tidak hanya kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah saja, namun perlu adanya keterlibatan stakeholder lainnya atau elemen masyarakat agar efektifitas penyelenggaraan pendidikan berjalan sesuai dengan amanat perundang-undangan,” terangnya.
Anggota Dewan dari Dapil Citangkil-Ciwandan ini kedepan merespon tantangan-tantangan spesifik, seperti kesenjangan akses pendidikan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
Sementara, Ketua Ikatan Mahasiswa Cilegon (IMC) Arifin Solehudin menyatakan pendidikan merupakan bagian penting dalam pembangunan sebuah daerah atau negara. Daerah yang maju atau negara yang maju lahir karena pendidikan yang bermutu, secara jelas kunci untuk mewujudkan sistem pendidikan yang bermutu diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Dari banyak persoalan pendidikan di Cilegon IMC menilai kepala dinas pendidikan gagal dalam memimpin dan meminta walikota Cilegon untuk mengevaluasi Kepala Dinas Pendidikan Kota Cilegon demi tercapainya pendidikan yang modern dan bermartabat, indikasinya sangat jelas, kondisi bangunan SDN Bojong Baru yang akan ambruk, di SDN Kependilan ada infaq untuk bangunan renovasi perpustakaan, SDN Pecinan KBM lesehan dan lainnya,” paparnya.
Fenomena itu, tambah Arifin, menjadi ironi dengan predikat Kota Cilegon sebagai kota metro dollar. Diketahui, Kota Cilegon menempati posisi keempat sebagai kota terkaya di Indonesia. Jumlah PDRB per kapita Kota Cilegon mencapai Rp233,02 juta. Industri yang beragam menjadi sumbangsih besar kota ini menjadi salah satu kota terkaya di Indonesia menurut data BPS tahun 2020.
“Kami sangat menyangkan fenomena tersebut terjadi di kota terkaya ke-4 se-Indonesia dengan puluhan/ratusan piagam penghargaan, padahal menciptakan SDM yang unggul adalah misi dari pemerintah Kota Cilegon, dan meningkatan mutu pendidikan adalah salah satu pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan demi terwujudnya visi tersebut,” sambungnya.
Perlu diingat, sambung Arifin, dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 pasal 12, pendidikan termasuk kedalam urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, urusan PAUD, SD dan SMP menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.
“Meskipun beberapa persoalan yang terjadi sudah diatasi, kami melihat itu dilakukan untuk menutupi sebagian dari sekian banyak kelalaian yang sudah nampak di masyarakat,” tandasnya. (MG02/MYU/LUK/DHE/ENK)