SERANG, BANPOS – Para calon legislatif (caleg) yang tercatat sebagai mantan narapidana kasus korupsi terancam dicoret dari Daftar Calon Sementara (DCS).
Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) baru saja mengabulkan seluruh permohonan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 dan 11 Tahun 2023.
Usai dikabulkan, MA memandatkan KPU untuk mencabut hak politik bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk maju mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Menanggapi hal itu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Banten, Akhmad Subagja mengatakan pihaknya hingga kini masih menunggu instruksi dari KPU RI.
Karena menurutnya, meski MA telah memberi mandat, namun hal itu tidak bisa langsung begitu saja dituruti.
“Tidak serta merta kita melakukan apa yang diperintahkan oleh Mahkamah Agung, kita harus menunggu arahan dan aturan KPU RI,” terangnya pada Minggu (1/10).
Ia menegaskan, jika nantinya KPU RI menerbitkan aturan baru perihal mantan napi korupsi maju sebagai caleg, bagi KPU Provinsi Banten akan segera melaksanakan aturan terbaru tersebut.
Untuk saat ini, menurutnya jika mengacu pada aturan yang lama, para caleg mantan koruptor sudah memenuhi syarat yang ditentukan.
“Ya kita tunggu saja regulasinya seperti apa. Yang jelas kita pasti akan melaksanakan regulasi yang dikeluarkan KPU RI,” tegasnya.
Saat disinggung perihal mantan napi yang mencalonkan diri sebagai caleg di Provinsi Banten berasal dari partai mana saja, Akhmad Subagja berkilah jika dirinya tidak begitu tahu. Ia beralasan harus membuka data terlebih dahulu untuk mengetahui hal itu. Namun dirinya memastikan bahwa caleg-caleg tersebut berasal dari sejumlah partai besar.
“Waduh, saya harus lihat data dulu. Yang jelas ada di beberapa parpol. Kita juga nanti akan sosialisasi ke parpol tersebut terkait putusan MA ini,” tandasnya.
Terpisah, Juru bicara KPK Ali Fikri mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Uji materi ini terkait jeda mantan narapidana kasus korupsi ikut dalam kontestasi pemilu.
Menurut dia, putusan MA itu selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya. “Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi,” kata Ali Fikri di Jakarta, Sabtu (30/9).
MA mengabulkan uji materi atas Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang membuka peluang eks terpidana kasus korupsi maju sebagai calon anggota legislatif (caleg). MA memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut dua ketentuan tersebut beserta pedoman pelaksanaan yang diterbitkan sebagai implikasi dua ketentuan itu.
Ali Fikri menjelaskan dalam sejarah KPK terkait penanganan perkara, sering mengenakan tuntutan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik ke terdakwa jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi (TPK).
“Pidana tambahan pencabutan hak politik merupakan sanksi yang berakibat pada penghilangan hak politik kepada pelaku, yang bertujuan untuk membatasi partisipasi pelaku dalam proses politik, seperti hak memilih atau dipilih, sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang dilakukan,” ujarnya.
Menurut dia, pencabutan hak politik juga memperlihatkan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang pelaku lakukan, telah menyalahgunakan kepercayaan publik. Karena itu, ia menilai perlu memitigasi risiko serupa dalam pengambilan keputusan politik di masa mendatang oleh mantan narapidana korupsi.
“Namun, penerapan pidana tambahan pencabutan hak politik tetap harus dilakukan dengan berdasar pada prinsip keadilan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia,” katanya.
Untuk diketahui, para pemohon dalam perkara uji materi dua PKPU adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua mantan pimpinan KPK yaitu Saut Situmorang dan Abraham Samad.
Pasal 11 PKPU 10/2023 mengatur syarat administrasi untuk menjadi bakal caleg DPR serta DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dan Pasal 18 PKPU 11/2023 mengatur syarat untuk menjadi bakal caleg DPD.
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sementara, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.(CR-02/PBN/ANT)