SEJUMLAH upaya dilakukan oleh pemerintah guna menangani permasalahan mafia tanah. Salah satunya yakni dengan menggencarkan gerakan pemasangan patok tanda batas (Gemapatas), agar tidak diserobot oleh pihak-pihak lainnya. Selain itu, Kementerian ATR/BPN, khususnya Kanwil BPN Provinsi Banten, juga memiliki sejumlah program guna memberantas mafia tanah.
Sekretaris Direktur LKBH DPN Permahi, Rizki Aulia Rohman, mengatakan bahwa salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan mafia tanah, adalah dengan perbaikan pengadministrasian tanah. Pasalnya, sejumlah kasus penyerobotan tanah oleh oknum-oknum terjadi lantaran mudahnya mengakali administrasi pertanahan.
“Misalkan pemalsuan-pemalsuan dokumen pertanahan, selama ada niat buruk atau mens rea dari pihak yang memiliki kewenangan, bisa terbit itu Akta Jual Beli (AJB) palsu, atau dokumen administrasi pertanahan lainnya,” ujar Rizki.
Selain itu, proses pembuatan administrasi pertanahan, khususnya di tingkat kecamatan, juga masih terdapat banyak permasalahan. Praktiknya, pihak kecamatan selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPATS) terkadang tidak meninjau langsung lokasi tanah, yang akan diperjualbelikan.
“Sehingga batas-batas yang ada, akhirnya bisa terserobot secara dokumen. Hal ini sudah kerap terjadi, makanya ada dokumen ganda dan lain sebagainya. Seharusnya ada pengecekan lokasi, lalu melengkapi syarat-syarat administrasi,” terang Rizki.
Kasus tersebut pernah terjadi di Kelurahan Bendung, Kecamatan Kasemen. Pada saat itu, para mafia tanah yang terdiri dari perangkat kelurahan hingga ke pihak Kantor Pertanahan, dengan mudahnya membuat AJB palsu seluas 11 hektare, di atas tanah-tanah milik warga.
“Maka dari itu, untuk menyelesaikan sengkarut masalah tanah ini, harus dilakukan sampai ke akar-akarnya. Bagaimana sistem pengadministrasian tanah hingga komitmen pejabat terkait, agar tidak terjadi celah penyelewengan,” katanya.
Sementara itu, Jafung Pertanahan Bidang 2 pada Kanwil BPN Banten, Aris Setiantoro, mengatakan bahwa pihaknya telah banyak melakukan upaya, guna memberantas mafia tanah. Salah satunya yakni melakukan edukasi kepada masyarakat, terkait dengan pertanahan.
“Edukasi kepada masyarakat agar masyarakat tidak tertipu terhadap suatu transaksi. BPN atau setiap Kantor Pertanahan membuat ruang konsultasi, setiap Kantor Pertanahan membuka ruang pengaduan termasuk ruang konsultasi hukum,” ujarnya.
Ruang konsultasi hukum itu menurut Aris, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memahami apa saja yang harus disiapkan sebelum masyarakat mau melakukan transaksi, apa yang harus masyarakat pahami, apa yang harus masyarakat lakukan, serta mengedukasi ketika masyarakat sudah punya sertifikat.
“Sertifikat tanah itu adalah barang berharga, sehingga kami juga mengedukasi bagaimana cara masyarakat menyimpan. Selain itu, di setiap Kantor Pertanahan juga ada namanya ruang pengaduan, kemudian program konsultasi yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Untuk konsultasi yang dilakukan secara tidak langsung bisa melalui aplikasi perpesanan WhatsApp, contohnya ada program Sultan di Kantah Tangsel,” ungkapnya.
Aris menerangkan, secara kelembagaan pihaknya telah melakukan berbagai upaya untuk memberantas mafia tanah. Bahkan, upaya tersebut juga dilakukan bersamaan dengan para Aparat Penegak Hukum (APH). Pihaknya pun terus melakukan sosialisasi, baik itu sosialisasi pencegahan tindak pidana pertanahan yang berimplikasi luas, maupun tindak pidana yang ringan.
“Bentuk sosialisasinya kita mengundang audiens Camat, kemudian pihak stakeholder kelurahan maupun pegawai BPN hingga masyarakat secara umum. Kemudian, kami menghadirkan pembicara dari BPN selaku ahli selanjutnya dari Kepolisian, Kejaksaan maupun dari Ombudsman,” tuturnya.
Pihak BPN pun secara aktif bersama dengan APH, membantu melakukan penyidikan dengan memberikan dokumen-dokumen atau apapun yang dibutuhkan oleh APH, guna memperlancar penyidikan permasalahan mafia tanah.
“Jadi memang secara kelembagaan kita secara terus-menerus melakukan aksi, termasuk mempromosikan, mensosialisasikan melalui banner-banner yang ada di Kantor Pertanahan. Di setiap ruang pelayanan kita menempel pamflet anti-mafia tanah, artinya ini untuk mengingatkan kembali kepada setiap masyarakat agar waspada,” ucapnya.
Terkait dengan sejumlah kasus yang terjadi di Kecamatan Kasemen maupun di Desa Jayasari, khususnya yang berkaitan dengan pemalsuan dokumen pertanahan, Aris menuturkan bahwa pihaknya telah secara tegas mengingatkan kepada para camat selaku PPATS, agar tidak bermain-main dalam pembuatan dokumen pertanahan. Bahkan saat pengangkatan, mereka juga dilakukan peningkatan kualitas, agar tidak terjadi penyelewengan.
“Peningkatan kualitas itu syarat wajib yang harus diikuti, agar para calon PPATS ini memperoleh pemahaman pengetahuan, berkaitan dengan tugas-tugas pokok, bagaimana cara membuat akta, tanggung jawab dia selaku pembuat akta. Lalu secara administrasinya seperti apa, kewajibannya juga apa,” katanya.
Hal yang sama juga dilakukan terhadap PPAT. Untuk mencegah terjadinya penyelewengan kewenangan oleh para PPAT maupun PPATS, pihak BPN telah membentuk Majelis Pembinaan dan Pengawas Daerah hingga Wilayah (MPPD dan MPPW) untuk para PPAT.
“Tujuannya untuk menampung, membina, termasuk apabila ada pengaduan misalnya PPAT tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar, itu nanti bisa diusulkan mulai dari teguran hingga pemberhentian secara tidak hormat. Jadi ada jenjangnya,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Sub Bagian Umum dan Humas pada Kanwil BPN Banten, Mutmainah, mengatakan bahwa terkait dengan adanya dugaan pemalsuan dalam pembuatan dokumen pertanahan, seperti pemalsuan tanda tangan hingga pemalsuan lainnya, hal itu sudah masuk ke ranah hukum.
“Kalau yang terindikasi adanya fraud seperti pemalsuan surat, temuan pemalsuan tanda tangan, itu sudah ranahnya APH, dan BPS sifatnya membantu proses penyidikan itu. Apa yang dibutuhkan oleh penyidik tentunya BPN akan kooperatif,” ujarnya.
Untuk mencegah masyarakat menjadi korban mafia tanah, Mutmainah menuturkan bahwa masyarakat harus benar-benar menjaga sertifikat tanah miliknya, jangan melakukan penggadaian sertifikat di bawah meja, dan pastikan tanah mereka dimanfaatkan.
“Yang paling penting jaga tanahnya, manfaatkan tanahnya. Jadi jangan sampai idle. Tanahnya itu hanya disertifikatkan saja tapi tidak dikelola, tidak dikuasai oleh pemilik, harus betul-betul dijaga. Pastikan penguasaan fisik dilakukan,” ucapnya.
Terakhir, ia menuturkan bahwa pihak BPN tengah melakukan alih media. Alih media dilakukan agar tidak ada lagi pemalsuan sertifikat secara fisik, yang kerap dilakukan oleh para mafia tanah.
“Dengan kita mengelektronikan data, itu mencegah pemalsuan-pemalsuan sertifikat. Proses awal ini masih tanah-tanah instansi pemerintah, selanjutnya ada alih media untuk sertifikat-sertifikat masyarakat. Alih media itu pelayan elektronik termasuk sertifikat elektronik,” terangnya. (MUF/DZH)
Persoalan tanah sampai saat ini masih menjadi hal yang tak kunjung selesai. Tangan-tangan dari para ‘mafia’ yang diduga melakukan korupsi tanah, tak henti-hentinya mencoba merebut tanah dari masyarakat, dengan berbagai cara. Berbagai upaya dari pemerintah seakan-akan tak berguna, lantaran celah terbesar bagi para mafia tanah untuk beraksi, justru dari sistem administrasi pertanahan itu sendiri.
SUASANA rumah TJ sepi saat BANPOS mendatanginya. Rumah tingkat dua itu berada di pinggir Jalan Sawahluhur, Kelurahan Kilasah, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Beberapa kali BANPOS mencoba memanggil TJ maupun orang yang berada di dalam rumah tersebut, namun tidak ada yang merespon. Meski demikian, sayup-sayup terdengar suara aktivitas mencuci dari dalam rumah tersebut. Sekitar dua jam pada hari-hari yang berbeda BANPOS menunggu, namun tidak membuahkan hasil.
Menurut keterangan warga sekitar, memang TJ jarang terlihat keluar rumah. Pria yang merupakan mantan Kepala Desa serta mantan Anggota DPRD Kota Serang ini, disebut-sebut sebagai biang kerok atas permasalahan pertanahan di Kelurahan Kilasah. Pasalnya, TJ mengambil alih 25 persen tanah yang berada di Kelurahan Kilasah.
“Informasi ini kami dapatkan saat kami tengah membantu klien kami yang saat ini tengah mengalami penyerobotan lahan. Warga dan pihak kelurahan menyampaikan bahwa TJ ini memang menguasai secara ilegal, 25 persen luas tanah di Kilasah,” ujar Sekretaris Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) DPN Permahi, Rizki Aulia Rohman.
Menurut Rizki, TJ mulai menguasai 25 persen tanah di Kelurahan Kilasah, pada saat TJ masih menjabat sebagai Kepala Desa kisaran tahun 2000-an. TJ pada saat itu, memanfaatkan program pemerintah yakni Program Nasional Agraria (Prona), untuk mematok-matok tanah dan menerbitkan sertifikat secara asal, tanah milik warga. Setelah itu, sertifikat tersebut dikuasai oleh TJ seorang.
“Memang pada saat itu, pemerintah sedang gembar-gembor melakukan sertifikasi terhadap tanah. Dengan dalih mengejar target, TJ ini akhirnya asal melakukan pendataan tanah. Lalu sebanyak 25 persen tanah di Kilasah dikuasai oleh dia administrasinya,” ungkapnya.
Tanah-tanah yang sertifikatnya dikuasai oleh TJ tersebut, kata Rizki, banyak yang digadaikan hingga dijual oleh TJ. Hal itu bahkan menimbulkan konflik antara pemilik tanah, dengan mereka yang memegang sertifikat tanah hasil gadaian atau penjualan tersebut.
Rizki mengatakan, dugaan mafia tanah yang bercokol di Kecamatan Kasemen, sangat kuat terasa. Saat ini, LKBH DPN Permahi bahkan tengah mengadvokasi sejumlah masyarakat di Kecamatan Kasemen, yang menjadi korban praktik mafia tanah.
Salah satu perkara yang tengah ditanganinya yakni penyerobotan lahan yang terjadi di Kelurahan Sawahluhur. Perkara tersebut menurutnya salah satu bentuk dugaan mafia tanah, dengan memanfaatkan celah pada sistem pertanahan.
Pasalnya, tanah milik kliennya yakni AS, yang merupakan warisan dari ibunya yakni TK, tiba-tiba berganti status kepemilikan menjadi atas nama CD. Padahal, pihaknya tidak pernah merasa menjual tanah tersebut, apalagi dokumen girik miliknya masih dipegang. Usut punya usut, pergantian kepemilikan tanah itu terjadi sejak tahun 1997, dengan terbitnya Akta Jual Beli (AJB), yang terjadi antara JNR dengan MYD.
“Anehnya, tanah tersebut bisa diperjualbelikan tanpa adanya dokumen kepemilikan dari pihak penjual. Dalam AJB yang kami telah pegang pun, tidak ada dasar atas kepemilikan tanah. Harusnya kan misalkan berdasarkan AJB, girik atau dokumen kepemilikan lainnya seperti bukti waris, ini tidak ada,” terangnya.
Setelah secara diduga ilegal berpindah kepemilikan, tanah milik kliennya pun menurut Rizki, kembali berpindah kepemilikan kepada CD. Dalam AJB yang tertera, CD tertulis sebagai warga Kecamatan Kasemen. Namun saat ditelusuri pada alamat yang tertera, CD tidak ada di sana. Bahkan Rizki mengaku, dirinya mendapatkan surat resmi dari RT/RW setempat yang menyatakan bahwa tidak pernah ada warga yang bernama CD, di lingkungan tersebut.
“Setelah kami telusuri lagi datanya, ternyata CD ini merupakan warga Medan. Dia menggunakan domisili di Kasemen cuma biar lebih mudah dalam transaksinya,” ungkap Rizki.
Menurut dia, saat ini perkara tersebut masih dalam proses penyelesaian. Yang lucu menurunya, ada salah satu oknum pejabat kewilayahan di Kecamatan Kasemen, yang merayu untuk mendamaikan permasalahan tersebut, dan siap membayar tanah seluas 4.485 m2 dengan harga Rp100 ribu per meter persegi. “Ya kami menolak, pasarannya aja di atas Rp500 ribu,” katanya tertawa.
Terpisah, berdasarkan informasi yang diterima BANPOS dari masyarakat sekitar, terdapat pula permasalahan tanah yang melibatkan dugaan pemalsuan dokumen pertanahan. Kasus tersebut juga melibatkan mantan Kepala Desa lainnya berinisial MS.
Kasus yang melibatkan MS dan terjadi pada tahun 2020 ini berkaitan dengan penerbitan akta hibah bodong. Penerbitan akta hibah bodong itu terjadi antara MS dan LM. Keduanya masih terikat persaudaraan. Disebutkan, MS telah membuat sekitar 10 Sertifikat Hak Milik (SHM) milik LM, dihibahkan kepada dirinya dan orang lain dengan akta bodong tersebut.
Modus yang dilakukan oleh MS yakni mengetik sendiri akta hibah mengatasnamakan LM dan suaminya selaku pihak yang turut menghibahkan, dan memalsukan tanda tangan dari pihak-pihak terkait. Setelah keluar akta hibah yang disebut bodong itu, beberapa diantaranya diregister ke Kantor Pertanahan, dan beberapa lainnya digadai serta dijual.
Salah satu staf Kelurahan Kilasah yang bertugas mengurusi pertanahan, Syamsudin, membenarkan bahwa terdapat sejumlah permasalahan terkait dengan pertanahan di Kelurahan Kilasah. Bahkan, permasalahan tersebut bisa dikatakan cukup pelik, hingga membuat bingung masyarakat hingga ke pihak-pihak lainnya seperti Perbankan.
Bagaimana tidak, Syamsudin menuturkan bahwa 25 persen dari tanah yang ada di Kelurahan Kilasah, ‘bergentayangan’. Pernyataan tersebut membenarkan informasi dari yang disampaikan oleh Rizki, terkait penguasaan tanah oleh mantan Kepala Desa, TJ.
Menurut Syamsudin, 25 persen tanah yang disebutnya bergentayangan itu, terjadi akibat kegiatan Prona pada tahun 2000 lalu. Pada saat itu, berbagai tanah milik masyarakat maupun tanah bengkok, disertifikatkan secara asal. Selanjutnya, tanah yang telah terbit sertifikatnya itu, fisik sertifikatnya tidak pernah sampai kepada yang berhak.
“Memang permasalahannya cukup banyak. Kami pernah bahkan mendapatkan persoalan sertifikat tanah yang dimiliki oleh orang Tangerang. Dalam sertifikat yang dipegang itu, tertulis tanahnya seluas 10 ribu meter persegi. Tapi setelah dicek fisik, ternyata hanya ada seribu meter persegi saja. Mungkin ditambah nol-nya di sertifikat,” ungkapnya.
Permasalahan seperti itu kata Syamsudin, sudah kerap dia hadapi. Beberapa waktu yang lalu, terdapat pihak dari Perbankan, datang ke Kantor Kelurahan. Kedatangan mereka untuk melakukan eksekusi sita terhadap bidang tanah, atas pinjaman yang diambil menggunakan SHM milik warga Kilasah.
“Saya yang mengurus pada saat itu. Ketika tahu bahwa ini sertifikat tanah yang ternyata masuk ke dalam 25 persen itu, saya sampaikan kepada pihak Bank yang mau mengeksekusi. Namun ketika tetap ingin mengeksekusi, saya sampaikan ‘pak punten, kalau nanti Senin datang lagi, bapak bawa alat pertahanan diri saja saya titip. Karena ini orang (pemilik asli tanah) jawara’. Ternyata benar, ketika mau eksekusi, pemilik tanahnya sudah mengasah golok,” cerita dia.
Menurutnya, pemilik tanah saat didatangi oleh pihak bank, sudah menjelaskan bahwa sejak tahun 2000, mereka sama sekali tidak memegang sertifikat tanah tersebut. Alasannya, sertifikat tanah yang merupakan hasil Prona, belum juga jadi. Persoalan itu pun telah Syamsudin sampaikan kepada pihak bank.
“Jadi sertifikat tanahnya itu katanya belum jadi saja sejak tahun 2000. Tapi tiba-tiba rumahnya mau dieksekusi. Dulu mah kan KTP belum elektronik. KTP milik bapak misalkan, ditempel foto saya. Bisa kita gadaikan akhirnya. Data kami, ada tiga sertifikat yang digadaikan ke bank, dan itu tiga bersaudara,” terang dia.
Ia mengatakan, saat ini pun tengah mengurusi permasalahan serupa, yang melibatkan warga Menes, Pandeglang. Ia mengatakan, belum lama ini, ada warga Menes yang datang ke kantor Kelurahan Kilasah, dan mengaku memiliki tanah di Kilasah. Klaimnya karena warga Menes tersebut, memegang sertifikat tanah. Namun Syamsudin tahu jika tanah itu pun masuk ke dalam daftar tanah 25 persen itu.
“Mereka datang dua mobil. Akhirnya saya tanya, ini sertifikat tanah warga Kilasah, bisa bapak pegang dalam rangka apa? Apakah jual beli, apa gadai, atau pinjam? Atau jangan-jangan ini bapak gelapkan? Karena ini bisa dilaporkan, ini hak orang lain. Terlebih tanah ini sebenarnya sudah diwakafkan oleh pemilik tanah yang asli. Luasnya 5 ribu meter persegi,” katanya.
Syamsudin menduga, hampir seluruh sertifikat tanah yang masuk ke dalam 25 persen tersebut, sudah dijual maupun digadaikan. Pasalnya, sertifikat-sertifikat tersebut sudah bertebaran di mana-mana, dan kerap datang ke kantor Kelurahan Kilasah dengan cara yang menurutnya tidak tepat.
“Jadi banyak memang yang lagi sengketa. Kami itu kalau ada orang yang datang ke sini membawa sertifikat, kami sampaikan ‘awas pak kalau yang sebenarnya punya (sertifikat) tahu, nanti bapak dituduh penggelapan, bisa dilaporkan. Kecuali bapak punya dokumen yang jelas terkait dengan kepemilikan itu’. Jadi kami sekaligus mencari tahu keberadaan sertifikat tanah itu,” ucapnya.
Selain dugaan penggelapan sertifikat tanah oleh TJ, Syamsudin pun membenarkan terkait dengan pembuatan sejumlah akta hibah diduga palsu, yang dilakukan oleh MS. Menurutnya, salah satu akta hibah itu diterbitkan pada bidang tanah yang ada di Kelurahan Kilasah seluas 7.487 meter persegi.
Syamsudin mengatakan, persoalan itu terjadi memang karena adanya ketidakakuran antar keluarga. Ditambah, MS merupakan mantan Kepala Desa, sehingga memahami terkait dengan administrasi pertanahan.
“Yang tua (MS) memang mantan lurah. Dia bisa otak-atik, dibuat lah hibah, hibah, hibah. Mereka tidak akur, malah sempat marah-marah kepada saya karena saya pernah memproses salah satu penjualan tanahnya. Kenapa saya proses, karena ketika dicek di BPN pun tanahnya terdaftar atas nama MS, terlepas bagaimana itu bisa teregister,” jelasnya.
Bukan hanya terjadi di Kota Serang saja persoalan dugaan mafia tanah, hal itu juga terjadi di Kabupaten Lebak. Bahkan, masyarakat yang merasa menjadi korban praktik mafia tanah itu, sampai melakukan aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri, guna meminta kejelasan atas permasalahan yang sebelumnya telah dilaporkan itu.
Adalah warga Desa Jayasari Kecamatan Cimarga, yang diduga menjadi korban mafia tanah. Dipimpin oleh Harda Belly, puluhan masyarakat desa tersebut mendatangi Mabes Polri, bahkan sampai menginap di sana. Perjuangan mereka pun membuahkan hasil.
Aktivis Pemuda Pejuang Keadilan (PPK), Harda Belly, saat dikonfirmasi BANPOS mengatakan bahwa kasus mafia tanah yang ada di Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak telah naik ke tahapan penyidikan.
Bahkan, lanjutnya, pada saat aksi yang dilakukan oleh puluhan masyarakat di depan Mabes Polri beberapa waktu silam, pihak Bareskrim Polri menyatakan akan segera menetapkan tersangka pada kasus tersebut.
“Iya kami semua percaya dengan petugas Kepolisian di bawah kepemimpinan Kapolri pak Listyo Sigit Prabowo, yang akan memberantas segala bentuk mafia tanah,” kata Harda kepada BANPOS, Kamis (24/8).
Ia menjelaskan, selain penyerobotan rumah masyarakat, permasalahan tersebut juga berdampak pada lingkungan seperti lahan milik warga setempat.
Harda menegaskan, terdapat banyak pihak yang ikut andil dalam penyerobotan lahan tersebut. Menurut informasi yang ia dapatkan, pasca aksi demonstrasi beberapa hari lalu, terdapat sebagian warga yang menerima kembali sertifikat tanahnya.
“Tentunya ini menjadi tanda tanya besar. Ya, saya sekali lagi yakin, tidak ada yang kebal hukum, kami (PPK) akan terus mengawal kasus ini,” tegasnya.
Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, modus operandi yang dilakukan oleh mafia tanah di Desa Jayasari, tak berbeda dengan yang dilakukan di Kecamatan Kasemen, yakni menguasai secara ilegal sertifikat tanah milik masyarakat. Sertifikat itulah yang akhirnya diperdagangkan hingga menimbulkan peristiwa penyerobotan tanah milik warga.
Aksi yang dilangsungkan oleh puluhan warga Desa Jayasari di depan Mabes Polri, sempat ‘dilawan’ oleh aksi yang dilakukan oleh warga Desa Jayasari lainnya. Namun, aksi tersebut justru menyoroti terkait dengan dukungan terhadap investasi yang dilakukan oleh eks Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya, di sana. Aksi tandingan itu tidak membicarakan terkait dengan dugaan penyerobotan lahan.
“Alhamdulillah, sejak adanya galian pasir milik Pak JB (Mulyadi Jayabaya) di sini, jalan menuju Jayasari dari Rangkasbitung, yang dulunya sulit dilalui kendaraan kini sudah dibeton. Begitu juga warga yang belum teraliri listrik kini diberi listrik gratis,” ungkap Masri, warga Kampung Sari Mulya, Desa Jayasari, dalam aksi itu, dilansir dari RM.ID.
Di tempat yang sama, Arwan dari Forum Solidaritas Jayasari mengatakan, kelompok masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi Jakarta menuntut berbagai hal. Karena minimnya informasi yang diterima warga, sehingga banyak warga yang terprovokasi dan tidak tahu masalah ikut berdemonstrasi.
“Warga salah menerima informasi tanpa melakukan tabayyun, sehingga sulit dipertanggungjawabkan sebagai sebuah fakta. Akibat dari dentuman informasi tersebut, membuat masyarakat Jayasari telah dipolarisasi,” ucapnya.
Menurut Arwan, warga Jayasari yang tanahnya terkena pembebasan lahan galian pasir, baik yang sudah memiliki sertifikat maupun tanah Garapan, telah mendapatkan keadilan dalam bentuk pembayaran yang tuntas. Forum Solidaritas Jayasari pun merasa perlu melakukan menyampaikan hal ini tidak lagi terjadi kesalahpahaman.
“Kami berhimpun dalam bentuk klarifikasi atas tuduhan yang didengungkan, karena sesungguhnya kami hanya butuh ketenangan,” tandasnya.
Harda Belly mengaku enggan merespon pemberitaan tersebut. Namun yang pasti, dirinya bersama warga yang menggelar unjuk rasa di depan Mabes Polri, mengaku puas dengan jawaban dari pihak Kepolisian. (MYU/MUF/DZH)
SERANG, BANPOS – Keberadaan truk besar bertonase yang kerap berlalu-lalang di Jalan Raya Serang-Rangkasbitung meskipun bukan jam operasional, disoroti oleh LKBH DPN Permahi.
Hal tersebut telah melanggar aturan jam operasional truk bertonase besar yang hanya boleh beroperasional pada pukul 22.00 malam hingga pukul 05.00 pagi.
Sekretaris Direktur LKBH DPN Permahi, Rizki Aulia Rohman, mengatakan bahwa pihaknya setelah mendapatkan informasi dari masyarakat, melakukan peninjauan langsung ke lapangan guna melihat fakta yang terjadi.
“Fakta yang ditemukan masih saja ditemukan truk-truk yang nekat beroperasi di luar jam 10 malam sampai jam 5 pagi, yang seharusnya bisa tertib demi keselamatan berlalu lintas bagi masyarakat yang sedang berkaktifitas,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (11/7).
Pihaknya pun meminta kepada pemerintah, baik itu Pemkab Serang, Pemkab Lebak maupun Pemprov Banten, untuk segera menindak tegas truk-truk bertonase besar, yang beroperasi di luar jam operasional.
“Kami mendorong pihak Dishub Pemkab serang dan Pemkab lebak serta Pemprov Banten untuk menindak tegas apabila masih di temukan truk truk besar yang melewati jalan raya serang rangkas bitung, dengan melakukan penertiban di titik titik tertentu, melakukan koordinasi dengan pihak aparat hukum dalam hal ini kepolisian setempat,” tegasnya.
Menurutnya, hal itu sangat berkaitan dengan keselamatan masyarakat yang berkendara di sana. Apalagi dari temuan di lapangan, selain tidak tertibnya truk bertonase besar, kondisi jalan dan penerangan pun buruk.
“Ini juga memberikan risiko yang tinggi penyebab kecelakaan. Kami berharap semua pihak bisa saling berkoordinasi dan menegakkan aturan, serta kesadaran dalam menggunakan jalan dengan memperhatikan hak hak bagi pengguna jalan lainnya,” tandasnya. (DZH)