Tag: perubahan iklim

  • Kebakaran Hawaii Tewaskan 53 Orang

    Kebakaran Hawaii Tewaskan 53 Orang

    AMERIKA SERIKAT, BANPOS – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mendeklarasikan status bencana besar untuk negara bagian Hawaii, Kamis (10/8), setelah kebakaran yang terjadi sejak Selasa (8/8), meluluhlantakkan wilayah Lahaina, Maui. Saat Biden menetapkan status bencana besar, korban jiwa baru mencapai 36. Namun kini, angkanya melonjak jadi 53.

    Menurut keterangan otoritas setempat, 80 persen kebakaran telah berhasil diatasi. Lebih dari 14 ribu orang, sudah direlokasi. Hanya saja, layanan listrik untuk 11 ribu penduduk setempat, masih belum pulih.

    “Presiden Joe Biden telah memerintahkan bantuan federal, untuk melengkapi upaya pemulihan negara bagian dan lokal di daerah terdampak kebakaran hutan,” demikian pernyataan Gedung Putih, Kamis (10/8).

    Bantuan yang dimaksud, dapat mencakup hibah untuk perumahan sementara dan perbaikan rumah, pinjaman berbiaya rendah untuk menutupi kerugian harta benda yang tidak diasuransikan, dan program lain untuk membantu pemulihan kebakaran.

    Dalam acara veteran di Utah, Kamis (10/8), Biden menyampaikan doa tulusnya untuk korban bencana kebakaran Hawaii.

    “Bukan hanya doa, setiap aset yang kami miliki, akan tersedia untuk mereka,” kata Biden, seperti dilansir CNN International, Kamis (10/8).

    “Rumah dan bisnis mereka hancur. Sebagian juga berduka teramat dalam, karena kehilangan orang yang dicintai. Ini belum berakhir,” imbuhnya.

    Kekayaan budaya Lahaina, terdampak cukup parah akibat bencana ini. Reuters menyebut, pohon beringin setinggi 60 kaki (18 meter) bersejarah yang menandai istana abad ke-19 Raja Hawaii Kamehameha III, masih berdiri. Namun, beberapa dahannya tampak hangus.

    Bencana Terburuk Sejak 1960

    Kebakaran di Lahaina, Maui merupakan bencana terburuk yang menimpa Hawaii sejak 1960, satu tahun setelah menjadi negara bagian AS. Ketika itu, tsunami menewaskan 61 orang.

    Hingga saat ini, penyebab kebakaran hutan Maui belum bisa dipastikan.

    Badan Meteorologi setempat memaparkan, vegetasi kering, angin kencang, dan rendahnya tingkat kelembapan turut berkontribusi pada musibah kebakaran Lahaina.

    Profesor Geografi Lingkungan London School of Economics and Political Science, Thomas Smith mengatakan, kebakaran hutan terjadi setiap tahun di Hawaii.

    Namun, kebakaran tahun ini terjadi lebih cepat dan lebih besar dari biasanya.

    Pulau Besar Hawaii juga mengalami setidaknya dua kebakaran besar.

    Perubahan Iklim
    Kebakaran hutan, seringkali disebabkan oleh suhu panas yang memecahkan rekor. Bencana ini memaksa puluhan ribu orang dievakuasi di Yunani, Spanyol, Portugal, dan bagian Eropa lainnya.

    Di Kanada bagian barat, serangkaian kebakaran yang luar biasa parah, mengirimkan awan asap ke petak-petak luas AS, mencemari udara.

    Perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia, didorong oleh penggunaan bahan bakar fosil. Alhasil, frekuensi dan intensitas peristiwa cuaca ekstrem pun meningkat.

    Itu sebabnya, negara-negara harus berusaha keras menekan laju emisi karbon, untuk mencegah bencana iklim. (RMID)

  • APIK Ingatkan Stakeholder Bersiap Hadapi Kenaikan Suhu Bumi

    APIK Ingatkan Stakeholder Bersiap Hadapi Kenaikan Suhu Bumi

    JAKARTA, BANPOS – Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan (APIK) Indonesia, mengingatkan para pemangku kepentingan atau stakeholder di Indonesia untuk segera bersiap menghadapi suhu bumi yang melampaui batas 1,5 derajat Celcius akibat perubahan iklim.

    Ketua Umum APIK, Mahawan Karuniasa, menyampaikan sejumlah catatan untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.

    “Pertama, Pemerintah Indonesia tetap terus melanjutkan rencana mengeluarkan second NDC pada tahun 2025 agar agenda NDC tahun 2030 selaras dengan agenda net zero emission Indonesia,” ujarnya di Jakarta, Jumat (19/5).

    Mahawan menjelaskan, Pemerintah Indonesia juga harus tetap mempertahankan target-target yang tertuang dalam cetak biru pengendalian perubahan iklim pada sektor hutan dan lahan melalui Forestry and Other Land Uses (FOLU) Net-Sink 2030.

    Diketahui, FOLU Net Sink adalah sebuah kondisi yang ingin dicapai di mana tingkat serapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya, pada tahun 2030 akan seimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dilepas.

    Sasaran implementasi kebijakan tersebut adalah tercapainya tingkat emisi gas rumah kaca sebesar minus 140 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

    Kebijakan penurunan emisi karbon FOLU Net Sink 2030 menggunakan empat strategi utama, yakni menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta peningkatan serapan karbon.

    Pakar lingkungan Universitas Indonesia tersebut mengatakan, angka emisi nasional masih tergolong aman dalam konteks keadilan emisi, yaitu sebesar 1,05 gigaton atau mendekati 3,9 ton per kapita, berdasarkan laporan Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020.

    “Dengan demikian, Indonesia perlu mempertahankan tingkat emisi ini dengan memperhatikan emisi sektor energi yang cenderung naik, jumlah penduduk yang terus bertambah, serta potensi cuaca panas ekstrem yang mengancam kebakaran hutan dan lahan,” ucapnya.

    Selanjutnya, Mahawan menegaskan Indonesia perlu bekerja keras meningkatkan kapasitas adaptasi nasional. Mengingat, kenaikan di atas 1,5 derajat Celcius akan meningkatkan bencana hidrometeorologis, menurunkan produktivitas pangan, meningkatkan penyakit menular, mengganggu kesehatan mental, serta kerusakan infrastruktur ekonomi karena banjir dan longsor.

    Mahawan menuturkan ekosistem daratan dan lautan, sebaran spesies, serta perilaku alam juga turut mengalami perubahan akibat kenaikan temperatur global.

    “Semua ini akan berdampak pada ekonomi dan sosial semua pihak,” katanya.

    Ia mengungkapkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan kehilangan dan kerugian akibat berbagai bencana yang ditimbulkan.

    Dirinyaa pun mendorong Indonesia untuk mempercepat pembangunan instrumen dan mekanisme inventarisasi kerugian dan kehilangan akibat bencana sebagai modal kerja sama internasional di dalam skema pendanaan.

    “Isu perubahan iklim membutuhkan dukungan politik, sehingga perlu menjadi bagian penting pada tahun politik saat ini,” tandasnya. (MUF/ANT)