Tag: Polemik sekda

  • Bom Waktu Tafsir Sekda

    Bom Waktu Tafsir Sekda

    POLEMIK jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Banten kian hari kian meruncing. Bahkan perkara tersebut diprediksi dapat terseret ke ranah hukum, lantaran adanya kebijakan yang diduga telah menabrak aturan yang ada.

    Saat ini, permasalahan jabatan sekda tersebut tengah dipersidangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, untuk mencari kebenaran terkait dengan polemik yang terjadi. Bahkan, saksi fakta yang digadang-gadang bakal membuka tabir permasalahan tersebut bakal dihadirkan dalam waktu dekat ini.

    Mengejutkannya lagi, Pemprov Banten melalui BKD mengakui bahwa sebenarnya Al Muktabar masih menjabat sebagai Sekda definitif. Akan tetapi, Al Muktabar diklaim ‘hilang’ dan tidak pernah ngantor semenjak mengambil cuti sebagai Sekda selama 24 hari.

    Ketua Perkumpulan Maha Bidik Indonesia, Moch Ojat Sudrajat S, mengatakan bahwa polemik jabatan Sekda diduga bermula atas salah tafsirnya Pemprov Banten, dalam hal ini Gubernur dan BKD Provinsi Banten, atas surat permohonan pindah tugas yang disampaikan oleh Al Muktabar sebagai pengunduran diri dari jabatan Sekda.

    “Kan kalau yang namanya pindah, maka seharusnya menurut saya mengacu pada Peraturan BKN nomor 5 tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mutasi,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Minggu (30/1).

    Dalam peraturan tersebut, pada Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa mutasi adalah perpindahan tugas dan/atau lokasi dalam 1 (satu) instansi pusat, antar-Instansi pusat, 1 (satu) Instansi Daerah, antar-Instansi Daerah, antar-Instansi Pusat dan Instansi Daerah, dan ke perwakilan Negara Indonesia di luar negeri serta atas permintaan sendiri.

    Menurut Ojat, dalam pelaksanaan mutasi ASN tersebut juga harus dilakukan oleh Pejabat yang Berwenang. Adapun untuk jabatan Sekda, berdasarkan PP Nomor 11 tahun 2017 jo PP Nomor 17 tahun 2020, merupakan kewenangan dari Presiden.

    “Pada pasal 3 ayat 2 memang Presiden dapat mendelegasikan kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS. Namun pada pada ayat 3 mengecualikan dari ayat 2, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian bagi pejabat pimpinan tinggi utama, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat fungsional keahlian utama. Sekda Provinsi Banten itu ada di mana sih? Ada di pejabat pimpinan tinggi madya. Artinya kewenangannya ada di Presiden, dan tidak bisa didelegasikan,” ungkapnya.

    Oleh karena itu, menurutnya sudah jelas bahwa jika memang surat permohonan yang diberikan oleh Al Muktabar adalah surat pindah, maka Gubernur tidak memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan tersebut.

    “Artinya kalau menurut saya, seharusnya (Gubernur) meneruskan permohonan pindah tersebut kepada Kementerian Dalam Negeri. Kan harusnya seperti itu ya,” terangnya.

    Sehingga menurutnya, seharusnya dalam perkara jabatan Sekda Al Muktabar tersebut, tidak buru-buru mengajukan surat pemberhentian Sekda kepada Kemendagri. Sebab yang diajukan oleh Al Muktabar hanyalah surat pindah tugas dan cuti.

    Di sisi lain, penunjukkan Muhtarom sebagai Plt Sekda pun dianggap tidak tepat. Sebab berdasarkan aturan yang pihaknya dapat, Plt Sekda sudah tidak ada untuk kasus Sekda definitif yang berhalangan tetap serta meninggal dunia dan digantikan menjadi Penjabat Sekda.

    Ojat mengacu pada Permendagri Nomor 91 tahun 2019 tentang Penunjukkan Penjabat Sekretaris Daerah dan Perpres Nomor 3 tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah.

    Dalam Permendagri Nomor 91 tersebut, pada pasal 2 ayat 1, disebutkan bahwa Penunjukan penjabat sekretaris daerah dilakukan dalam hal: a. jangka waktu 3 (tiga) bulan terjadinya kekosongan sekretaris daerah terlampaui; dan b. sekretaris daerah definitif belum ditetapkan.

    Pada ayat 2, diterangkan bahwa penunjukan penjabat sekretaris daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara: a. Menteri menunjuk penjabat sekretaris daerah provinsi; dan b. Gubernur menunjuk penjabat sekretaris daerah kabupaten/kota.

    Sedangkan dalam Perpres Nomor 3 tahun 2018, pada Pasal 3, disebutkan bahwa kekosongan Sekretaris Daerah terjadi karena Sekretaris Daerah diberhentikan dari jabatannya, diberhentikan sementara sebagai pegawai negeri sipil, dinyatakan hilang, atau mengundurkan diri dari jabatan dan/atau sebagai pegawai negeri sipil.

    Pada pasal 7 ayat 1, disebutkan bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengusulkan secara tertulis 1 (satu) calon penjabat sekretaris daerah provinsi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak sekretaris daerah provinsi tidak bisa melaksanakan tugas atau terjadinya kekosongan sekretaris daerah provinsi.

    “Saya melihatnya, itu yang menurut saya lebih sesuai dengan aturan perundang-undangannya,” kata Ojat.

    Terpisah, Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila), Yhannu Setiawan, mengkhawatirkan Plt Sekda Muhtarom tak sengaja bertindak ‘di luar batas’ sebagai seorang Plt. Sebab, terdapat beberapa kebijakan yang berpotensi tidak dapat dilakukan oleh seorang Plt Sekda, seperti mengangkat pegawai.

    Menurutnya, dalam proses administrasi kepegawaian harus mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Sehingga, hasil dari kebijakan itu tetap memiliki legitimasi secara hukum.

    “Maka nanti akan muncul pertanyaan, seberapa legitimate suatu produk kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara administrasi kepegawaian dan keuangan di pemerintahan,” ujarnya.

    Ia mengatakan, dalam sebuah proses rekrutmen jabatan, baik itu pratama, utama maupun yang lainnya, tetap harus berpegang teguh pada aturan perundang-undangan yang berlaku.

    “Legitimate kah proses yang dilakukan. Baru kemudian yang kedua, prosedur langkah proses yang dilakukan, yang ketiga apakah bisa efektif perbuatan dan tindakan administrasi kepegawaian dilakukan melalui proses rekrutmen itu,” ucapnya.

    Ia mengatakan, lantaran di setiap kebijakan harus berlandaskan hukum, maka Pemerintah Daerah, dalam hal ini Pemprov Banten, harus menjalankan aturan sesuai dengan aturan yang telah tertulis. Jangan sampai pemerintah menafsirkan sehingga terjadi bias aturan.

    “Tugasnya pemerintah itu mengeksekusi, melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan. Tidak usah ditafsir, enggak usah dibelok-belokin, enggak usah dipergunakan argumen yang lain,” katanya.

    Menurut Yhannu, prinsip dari negara hukum adalah proses hukum dan akibat hukum. Maka dari itu, apabila terdapat kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum, akan menimbulkan akibat hukum pula. Hal ini jelas akan menjadi bom waktu jika pelaksanaan administrasi tidak sesuai dengan peruntukannya.

    “Laksanakan saja, kalau enggak melaksanakan sesuai teksnya, ya nanti akan muncul akibat-akibatnya. Jadi jangan pernah berpikir bahwa suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan teks itu tidak akan menimbulkan akibat. Pasti menimbulkan akibat,” ucapnya.

    (DZH/PBN)

  • Pemberhentian Berlarut-larut, Banten Terancam Tak Punya Sekda Definitif

    Pemberhentian Berlarut-larut, Banten Terancam Tak Punya Sekda Definitif

    JAKARTA, BANPOS – Proses pemberhentian Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Al Muktabar, yang mengajukan permohonan pindah tugas ke tempat asal di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), berjalan berlarut-larut. Sejak surat pemberhentian dikeluarkan Gubernur Banten Wahidin Halim pada Agustus 2021, hingga saat ini, proses di Kemendagri belum juga rampung.

    Kondisi ini mendapat sorotoan pengamat politik dari Kajian Politik Nasional (KPN) Adib Miftahul. Sebab, proses ini mempengaruhi kinerja Pemprov Banten.

    “Gubernur selaku PPK (Pejabat Pembia Kepegawaian ) di daerah sudah menyetujui permohonan pindah tugas Al Muktabar ke Kemendagri. Gubernur juga telah menunjuk Plt Sekda agar tidak terjadi kekosonggan jabatan. Sedangkan BKD (Badan Kepegawaian Daerah) sudah memproses pemberhentiannya, semua administrasi sudah selesai. Sehingga sekarang bolanya itu ada di Kemendagri,” tuturnya, Rabu (26/1).

    Karena prosesnya berlarut, lanjut Adib, Pemprov Banten terancam tidak memiliki Sekda definitif. “Sebab, sebelum proses pemberhentian selesai, Pemprov Banten tidak bisa menyelenggarakan seleksi terbuka (Selter) untuk mencari Sekda,” imbuhnya.

    Sementara, Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Pokja Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Wilayah II, Prof Agustinus Fatem menyarankan Gubernur Banten Wahidin Halim berkoordinasi dengan Mendagri Tito Karnavan untuk memastikan pemberhentian Sekda Al Muktabar. Agar jabatan tersebut lowong dan bisa segera dapat diproses seleksi pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Madya di wilayah tersebut.

    “Pada prinsipnya, Selter JPT Madya dapat dilaksanakan setelah jabatan Sekda lowong yang dibuktikan dengan Surat Keputusan pemberhentian,” jelasnya.

    Sampai saat ini, kata Agustinus, KASN belum menerima permohonan dari Gubernur Banten untuk melakukan Selter pengisian jabatan Sekda. “Pak Gubernur harus berkoordinasi dengan Mendagri untuk memastikan pemberhentian Sekda, agar jabatan tersebut lowong dan segera diproses seleksi pengisian jabatan Sekda,” kataya.

    (USU/ENK/RMID)

  • Pengurus Kadin Pusat Kecam WH Soal Polemik Sekda

    Pengurus Kadin Pusat Kecam WH Soal Polemik Sekda

    SERANG BANPOS – Berlarut larutnya kasus pemberhentian Sekretaris Daerah (Sekda) Banten Al Muktabar mendapat sorotan dari tokoh masyarakat Banten Mulyadi Jayabaya.

    Menurut Jayabaya yang akrab disapa JB ini, dengan adanya polemik Sekda yang berkepanjangan ini, menandakan Gubernur selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerah tidak bisa bekerja dan tidak becus dalam melakukan pembinaan kepada aparaturnya.

    “Itu menandakan Gubernur nggak bisa kerja.Kalau Gubernur bisa kerja,nggak mungkin terjadi polemik seperti ini,” ujar JB dalam rilis yang diterima BANPOS, Selasa (14/12/2021).

    Wakil ketua umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) pusat Bidang Pembangunan Daerah ini menegaskan, harusnya jika kepemimpinan Wahidin sebagai Gubernur Banten bisa mengayomi dan membuat nyaman para aparatur sipil negara termasuk Sekda, tidak akan terjadi kegaduhan yang berdampak terhadap stabilitas Kepegawaian di pemprov Banten.

    “Seorang pemimpin itu harus bisa mengayomi dan membuat nyaman bawahannya,” tukas JB.

    Seperti diketahui, diakui atau tidak, Banten memiliki dua Sekda. Pertama Sekda yang diangkat dengan surat keputusan (SK) Presiden Jokowi yang hingga saat ini belum bisa diberhentikan oleh Gubernur Banten (WH) karena harus ada SK pemberhentian dari Presiden yaitu, Al Muktabar. Dan versi Gubernur Banten WH yakni, Muhtarom.(ENK)