TANGERANG, BANPOS – Polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas minimal pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, hingga saat ini terus berlanjut. Bahkan, putusan tersebut dituding sebagai upaya pembentukan dinasti, pada tingkatan pusat.
Hal itu membuat sejumlah mahasiswa yang berasal dari 15 kampus di Tangerang Raya, melakukan konsolidasi dan menyatakan sikap untuk menolak politik dinasti pada gelaran Pilpres 2024.
Para mahasiswa yang menyebut diri sebagai Aliansi Mahasiswa Tangerang Raya itu menegaskan bahwa mereka menolak penyalahgunaan wewenang kekuasaan, untuk kepentingan Pemilu 2024.
“Kami juga sepakat tolak putusan MK soal batasan usia capres dan cawapres dan menolak keras politik dinasti,” ujar Koordinator Konsolidasi dari Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), Shandi Martha Praja, Senin (20/11).
Shandi mengatakan, mahasiswa mengecam keras atas ketidakadilan dan kecacatan prosedural dalam merancang atau mengesahkan Undang-undang, yang tidak sesuai dengan prosedur hukum di indonesa, dan tidak memprioritaskan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
“Seharusnya sebagai pemegang kekuasaan hari ini, Joko Widodo memberikan contoh yang bijak untuk menjadi pemimpin yang ideal tanpa merubah atau merusak komponen prosedur kepemerintahan di Indonesia ini,” tegasnya.
Saat ini, katanya, yang telah diketahui oleh publik bahwasa di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, terdapat manuver-manuver politik yang dinilai sebagai penyalahgunaan wewenang kekuasaan.
“Salah satunya melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang melegalkan anaknya untuk maju menjadi Calon wakil presiden 2024 dengan melanggar prosedur konstitusi, dan memanfaatkan relasi keluarganya yaitu Anwar Usman selaku Ketua Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Ia menegaskan, seharusnya dalam sistem trias politika, tugas dan wewenang dari Yudikatif dalam hal ini Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga pengujian hukum atau Undang-undang, dan draft tersebut akan di rekomendasikan kepada pihak legislator.
“Tetapi faktanya, hari ini Mahkamah Konstitusi melanggar kode etik sebagai lembaga konstitusi,” tutur Shandy.
Shandy menilai, Pasal 169 huruf q UU No.7 tahun 2017 menjadi pasal yang terkesan terburu-buru untuk direvisi dan disepakati. Menurut dia, seharusnya lembaga Yudikatif hanya memberikan draft Undang-undang rekomendasi, yang nantinya akan dieksekusi oleh legislator yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Dan momentum inilah yang membuat seakan-akan peristiwa seperti ini sudah menjadi bagian dari strategi penguasa untuk melanggengkan kekuasaanya, karena telah melewati prosedur kenegaraan yang sebaik-baiknya. Hal itu patut di jadikan pertanyaan bahwasanya Lingkaran kekuasaan ini sudah termonopoli oleh segelintir penguasa ataupun relasi kekeluargaan,” ungkapnya.
Shandi mengatakan, hal tersebut seakan-akan mempertontonkan dahaga penguasa yang masih haus akan kekuasaan.
“Undang-undang ini sudah jelas melanggar keadilan karena hanya memenangkan pihak yang ada di lingkar keluarga atau golongan tertentu. Permasalahan ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat awam bahkan di lingkaran Mahasiswa,” ucapnya.
Shandi mengatakan, konsolidasi yang dilakukan oleh mahasiswa se-Tangerang Raya ini, juga akan diperluas ke seluruh daerah di Banten.
“Salah satu rekom konsolidasinya memperluas (aliansi) se-Banten,” tuturnya.
Dalam konsolidasi tersebut, mahasiswa sepakat untuk menolak budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), menolak penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan menolak Undang-undang hasil putusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia Capres-Cawapres. (DZH)