Tag: Polres Lebak

  • Ribuan KIP Ditemukan Berserakan di Lapak Pengepul Limbah

    Ribuan KIP Ditemukan Berserakan di Lapak Pengepul Limbah

    LEBAK, BANPOS – Ribuak Kartu Indonesia Pintar (KIP) ditemukan oleh salah satu warga di Lapak pengepul limbah yang berada di Rangkasbitung pada Kamis (6/4).

    Berdasarkan informasi yang dihimpun BANPOS, ribuan KIP tersebut masih dalam kondisi utuh.
    Terdapat pula KIP yang masih berada dalam amplop beserta surat yang bertuliskan nama dan alamat sekolah.

    Anggota Sat Sabhara Polres Lebak, Aipda Sulistiyono mengatakan, ribuan KIP tersebut diduga tidak didistribusikan kepada penerimanya.

    Ia menemukan KIP tersebut berada didalam beberapa karung dan kardus.

    Selain itu, katanya, terdapat puluhan kartu tanpa wadah yang berserakan di tanah.

    Saat ditanyakan lokasi ditemukannya KIP tersebut, Ia enggan memberikan keterangan lebih detail. Namun, dirinya membenarkan penemuan tersebut berada di Rangkasbitung.

    “Untuk alamat lengkapnya saya belum berani menjelaskan, tapi benar sekali ini di Rangkasbitung,” ujarnya.

    “Ya saat ini sedang ditahap penyeledikan,” tandas Sulistiyono. (CR-01)

  • Polres Lebak MoU dengan PTPN VIII

    Polres Lebak MoU dengan PTPN VIII

    Kapolres Lebak AKBP Wiwin Setiawan menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII dengan Polres Lebak, bertempat di aula Mapolres Lebak, Rabu (30/03).

    Hadir dalam kegiatan MoU tersebut Kapolres Lebak Wiwin Setiawan, SE VP Business PTPN VIII Haryanto beserta Tim dan pejabat utama di Polres Lebak.

    Dalam sambutannya, Kapolres mengucapkan terimakasih kepada pimpinan PTPN VIII yang selama ini sudah bisa bekerjasama dengan Polres Lebak, “Kami atas nama Polres Lebak mengucapkan terimakasih kepada pimpinan PTPN VIII selama ini sudah biasa bekerjasama dengan Polres Lebak. Semoga kerjasama yang sudah terjalin baik ini, ke depan bisa terus ditingkatkan,” ujar Wiwin.

    Menurut Kapolres, pihak PTPN VIII sudah memberikan dukungan pembangunan lahan parkir. “Salah satu bentuk kerjasama dan dukungan dari pihak PTPN VIII untuk Polres Lebak adalah lahan parkiran Polres Lebak yang saat ini sedang dalam proses pembangunan,”paparnya.

    Sementara, SE. VP Business PTPN VIII Haryanto dalam sambutan mengucapkan terimakasih kepada jajaran Polres Lebak karena selama ini sudah menjalin kerjasama yang baik dengan PTPN VIII.

    “Kami akan terus mendukung apa yang menjadi Program Pemerintah, salah satunya kerjasama dengan Polres Lebak. Terimakasih kepada Polres Lebak yang  selama ini sudah mendukung kegiatan kami PTPN VIII,” ungkapnya. (WDO/pbn)

  • Polisi Rawan Digugat Soal Penjualan Barang Bukti Kasus Penimbunan Minyak Goreng

    Polisi Rawan Digugat Soal Penjualan Barang Bukti Kasus Penimbunan Minyak Goreng

    SERANG, BANPOS – Kepolisian Resort (Polres) Lebak disebut dapat dituntut perdata oleh tersangka kasus penimbunan minyak goreng (migor), lantaran menjual barang bukti yang kasusnya belum diputuskan inkrah oleh pengadilan.

    Praktisi hukum Banten, Ferry Renaldy, mengatakan bahwa barang bukti yang belum mendapatkan putusan dari pengadilan, tidak boleh dimusnahkan, hilang, apalagi dijual. Selama belum ada putusan dari pengadilan, penyidik bertanggung jawab atas keberadaan barang bukti tersebut.

    “Barang bukti itu harus benar-benar diamankan oleh penyidik. Kan namanya juga barang bukti. Jadi barang bukti itu kalau belum ada amar putusan yang tetap dan hakim belum menentukan apakah dimusnahkan, disita atau dikembalikan kepada penyidik, maka tetap harus dijaga,” ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa (8/3).

    Menurutnya, hal tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sehingga jika Polres Lebak berpegang pada Perkapolri, maka hal itu tidak kuat mengingat KUHAP merupakan aturan yang lebih tinggi.

    Secara sederhana, Ferry menggambarkan ketika perkara tersebut naik ke pengadilan, maka minyak goreng yang telah dijual itu harus menjadi barang bukti yang diadilkan dalam persidangan. Oleh karena itu, jika minyak goreng yang merupakan barang bukti dijual, maka penyidik tidak memiliki barang bukti yang dapat dibawa dalam pengadilan.

    “Pada prinsipnya jika memang tidak ada barang buktinya, apa yang akan disangkakan kepada terdakwa di pengadilan, mana barang buktinya. Kedua, itu kan menjadi suatu alat bukti bagi jaksa untuk membuktikan (kesalahan dari tersangka),” tuturnya.

    Bahkan menurut Ferry, tersangka kasus penimbunan minyak goreng tersebut dapat menggugat pihak Kepolisian secara perdata. Sebab, minyak goreng yang menjadi barang bukti tersebut masih merupakan milik tersangka.

    “Jika itu dijual oleh polisi tanpa ada putusan pengadilan, maka tersangka bisa melakukan gugatan perdata kepada pihak Kepolisian. Karena yang membeli itu kan tersangka, pakai uang tersangka. Jika memang itu disangka penimbunan, maka buktikan terlebih dahulu melalui pengadilan,” tegasnya.

    Ferry menegaskan, akan menjadi persoalan apabila dalam pengadilan, tersangka diputus tidak bersalah oleh pengadilan ataupun barang bukti diputuskan harus dikembalikan kepada tersangka. Sedangkan, Kepolisian sudah terlanjur menjual barang bukti tersebut.

    “Kalau tidak terbukti tersangka melakukan penimbunan minyak bagaimana? Walaupun untuk kepentingan umum, seharusnya penyidik bisa lebih menghormati asas praduga tidak bersalah. Sampai ada putusan hukum yang inkrah, penyidik seharusnya tidak menjual minyak tersebut kepada masyarakat,” ucapnya.

    Senada disampaikan oleh praktisi hukum lainnya, Muhammad Halim. Ia mengatakan bahwa penjualan barang bukti yang masih dalam ranah penyelidikan dan belum ada keputusan pengadilan, dengan alasan apapun tidak dibenarkan. Menurutnya, hukum itu harus berdiri sendiri tanpa memandang kepentingan, sehingga tidak ada alasan untuk dimanfaatkan.

    “Ya, kalau saya melihat dari pemberitaan ada penjualan barang bukti minyak goreng yang masih dalam proses penyelidikan kepolisian, dan tujuannya untuk meringankan beban masyarakat. Tapi dalam hal ini saya berpandangan, tetap wilayah hukum itu harus netral dan tidak bisa ditawar oleh kepentingan apapun,” ujarnya.

    Menurut Halim, Polres Lebak harus memiliki dasar hukum yang kuat ketika mengambil kebijakan untuk menjual barang bukti tersebut kepada masyarakat. Sehingga, tidak bisa didasarkan pada alasan kepentingan masyarakat.

    “Iya, walaupun ada pertimbangan darurat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetap saja harus jelas dasar hukumnya, jadi tidak serta-merta serba boleh begitu saja. Misalnya ada instruksi khusus dari lembaga di atas dan disepakati oleh pihak pengadilan dan kejaksaan, sehingga itu nantinya jadi dasar hukum, kebijakan itu” tuturnya.

    Jebolan Magister Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung ini menyebutkan bahwa berdasarkan KUHAP, penjualan barang bukti kepada masyarakat harus berdasarkan putusan pengadilan, dan penjualan pun harus melalui lelang.

    “Coba lihat Pasal 45 ayat 1 Poin a dan b di KUHAP, kemungkinan bisa dilakukan jika barang itu susah disimpan atau cepat rusak, itu ada keterangannya dan harus ada keputusan dari penyidik atau pengadilan, dan prosesnya harus proses lelang dulu dan disaksikan oleh tersangkanya,” jelas Halim.

    Jika memang Kepolisian menjual barang bukti itu dengan alasan mendesak, Halim menuturkan bahwa seharusnya tetap berpegang pada ayat 2 dan 3 pada Pasal 45, maka seharusnya dilakukan dengan cara lelang.

    “Uang hasil penjualan itu nanti sebagai pengganti barang bukti yang sudah dijual. Dan juga barang itu jangan semuanya dijual, tapi harus disisihkan sebagai bukti nanti di pengadilan. Jadi intinya, upaya baik apapun tetap harus mengacu pada aturan yang ada sehingga wibawa hukum tetap terjaga,” ungkap Halim.

    Terakhir, Halim mengungkapkan jika barang bukti yang dapat diperjualbelikan itu merupakan barang bukti tidak termasuk pada benda yang terlarang, “Kalau barang buktinya barang-barang dari terlarang, tidak bisa dilakukan ini. Coba lihat Poin 4 di Pasal itu. Jadi intinya upaya apapun harus miliki dasar hukum kuat,” tandas kandidat Doktor tersebut.

    Sebelumnya, akademisi dari Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar (Unma) Banten, Holil saat dihubungi BANPOS mengatakan, bahwa yang namanya pemanfaatan barang atau sesuatu yang masih dalam kerangka penyidikan atau pengawasan hukum, itu tentu dalam prosedurnya harus diperkuat oleh keputusan yang mengikat.

    “Itu harus ada kejelasan aturannya. Misalnya keputusan tetap dari pengadilan. Karena kalau yang namanya BB, apapun itu jenisnya, itu jelas sudah masuk dalam ranah pengawasan hukum, atau diikat oleh aturan. Dan upaya apapun harus menunggu keputusan hukum yang sah dahulu,” jelasnya.

    Menurut Holil, dalam hal ini hukum tidak melihat urgensi kepentingan yang lain. Tambahnya, jika kita melihat asal BB itu adalah dari kasus dugaan pelanggaran hukum yang masih dalam lingkar penyidikan.

    “Intinya, disini jelas ada proses tengah dilakukan penegakan hukum, Jadi kejelasannya harus menunggu keputusan pengadilan secara resmi. Kalaupun ada pengecualian yang lain, tentu itu harus melibatkan semua unsur penegakan hukum yang terlibat, atau dengan berita acara yang disepakati bersama. Tapi, jangan sampai justru mengganggu jalannya perkara yang tengah berjalan. Dalam hal ini jangan sampai penegakan hukum menjadi lunak akibat sesuatu kepentingan dan berujung mengganggu proses hukum,” paparnya.

    (WDO/DZH/PBN)

  • Barang Bukti Penimbunan Minyak Goreng Dijual, Akademisi Pertanyakan Aturan

    Barang Bukti Penimbunan Minyak Goreng Dijual, Akademisi Pertanyakan Aturan

    LEBAK, BANPOS – Barang bukti (BB) dugaan penimbunan minyak goreng sebanyak 1600 liter dijual oleh pihak kepolisian dengan harga murah dalam Operasi Pasar (OP) di halaman Mapolsek Rangkasbitung, Senin (7/3). Namun, akademisi mempertanyakan terkait kejelasan aturan penjualan BB tersebut, dikarenakan belum ada keputusan pengadilan resmi.

    Sebanyak 1.600 liter minyak goreng kemasan yang dijual seharga Rp27.500 per dua liter tersebut merupakan minyak goreng yang disita polisi dari kasus dugaan penimbunan di Desa Cempaka, Kecamatan Warunggunung beberapa waktu lalu.

    “Barang buktinya separuh untuk kepentingan penyidikan, dan separuh lagi kami distribusikan ke masyarakat dengan harga murah,” kata Kapolres Lebak AKBP Wiwin Setiawan kepada wartawan.

    Ribuan liter minyak goreng tersebut dijual setelah polisi berkoordinasi dengan pihak kejaksaan dan pihak terkait lainnya.

    “Hasil koordinasi semua pihak sepakat untuk didistribusikan ke masyarakat. Uang hasil penjualan nanti akan kita bicarakan, apakah itu dikembalikan ke negara,” kata Wiwin

    Sementara, Kasihumas Polres Lebak, Iptu Jajang Junaedi menambahkan, Migor yang dijual kepada warga masyarakat Lebak itu dilakukan secara dijatah. “Adapun mekanisme penjualannya warga saat akan belanja kita berikan kupon antrian dengan maksimal pembelian minyak sebanyak 4 liter/2 botol kemasan per orang,” kata Jajang.

    “Selain di Rangkasbitung, rencananya kegiatan Pasar minyak goreng murah akan dilaksanakan di wilayah Lebak selatan guna pemerataan memenuhi kebutuhan masyarakat di sana,” tuturnya.

    Dihubungi terpisah, Akademisi dari Fakultas Hukum dan Sosial Universitas Mathla’ul Anwar (Unma) Banten, Holil saat dihubungi BANPOS mengatakan, bahwa yang namanya pemanfaatan barang atau sesuatu yang masih dalam kerangka penyidikan atau pengawasan hukum, itu tentu dalam prosedurnya harus diperkuat oleh keputusan yang mengikat.

    “Itu harus ada kejelasan aturannya. Misalnya keputusan tetap dari pengadilan. Karena kalau yang namanya BB, apapun itu jenisnya, itu jelas sudah masuk dalam ranah pengawasan hukum, atau diikat oleh aturan. Dan upaya apapun harus menunggu keputusan hukum yang sah dahulu,” jelasnya.

    Menurut Holil, dalam hal ini hukum tidak melihat urgensi kepentingan yang lain. Tambahnya, jika kita melihat asal BB itu adalah dari kasus dugaan pelanggaran hukum yang masih dalam lingkar penyidikan.

    “Intinya, disini jelas ada proses tengah dilakukan penegakan hukum, Jadi kejelasannya harus menunggu keputusan pengadilan secara resmi. Kalaupun ada pengecualian yang lain, tentu itu harus melibatkan semua unsur penegakan hukum yang terlibat, atau dengan berita acara yang disepakati bersama. Tapi, jangan sampai justru mengganggu jalannya perkara yang tengah berjalan. Dalam hal ini jangan sampai penegakan hukum menjadi lunak akibat sesuatu kepentingan dan berujung mengganggu proses hukum,” paparnya.

    Sementara itu, Ketua Fraksi PPP Lebak, Musa Weliansyah mengaku setuju dengan langkah Polres Lebak tersebut. Menurut Musa, apa yang dilakukan Polres itu tiada lain adalah untuk membantu meringankan beban kebutuhan masyarakat.

    “Kalau saya setuju-setuju saja. Jadi, apa yang dilakukan Polres Lebak dalam kegiatan OP itu sangat bagus, karena itu terobosan untuk membantu meringankan beban masyarakat yang kini masih kesulitan mendapatkan minyak goreng,” ujarnya.

    Menurut anggota legislatif Lebak yang getol mengkritisi persoalan sosial ini, jika BB tersebut disimpan terlalu lama, jelas akan mubazir dan tidak bisa dimanfaatkan.

    “Iya, itu minyak goreng yang jadi sitaan barang bukti pengungkapan kasus beberapa waktu lalu jika disimpan juga akan kadaluarsa, kan itu ada ekspayernya. Jadi saya setuju itu dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dengan dijual murah secara mekanisme OP,” terangnya.

    Hanya saja, upaya itu harus dilakukan secara transparan dan dilakukan sesuai aturan,” Itu harus ada berita acara dan dilakukan transparan. Termasuk uang dari penjualannya juga harus disetor ke kas negara. Tapi itu OP itu disaksikan oleh semua instansi hukum, seperti Kejari, PN Rangkasbitung, Dandim termasuk Disperindag Lebak,, jadi tidak masalah,” terangnya.

    Senada, Pegiat Sosial di Lebak, Uce Saepudin juga berpandangan sepakat dengan upaya pemanfaatan BB dari pengungkapan kasus untuk tujuan membantu masyarakat.

    “Kalau saya setuju saja, karena itu buat kepentingan masyarakat juga. Apalagi saat ini masyarakat lagi butuh minyak goreng yang sedang langka. Hanya mungkin dalam prosedurnya harus diperkuat aturan yang mengikat, juga hasil penjualannya tetap untuk dikembalikan ke kas negara. Dan saya rasa pihak polres juga sudah memahami itu, dan juga itu pelaksanaannya diketahui semua lembaga hukum juga,” tutur Uce.

    (CR-01/WDO/PBN)

  • Selain Bisa Dipenjara, Pengemudi ODOL Bisa Didenda Rp24 Juta

    Selain Bisa Dipenjara, Pengemudi ODOL Bisa Didenda Rp24 Juta

    LEBAK, BANPOS – Kepala Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Lebak Ajun Komisaris Polisi (AKP) Kresna Aji Perkasa mengatakan, kendaraan truk yang nekat membawa muatan berlebihan atau over dimensi dan overload (ODOL) bisa dibui serta didenda hingga Rp24 juta.

    Menurut Kresna, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22/ 2009 Pasal 277 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ancaman bagi para pelaku yang menjalankan kendaraan tidak sesuai ketentuan bakal dikenakan pidana maksimum satu tahun penjara atau denda paling banyak Rp 24 juta.

    “Kita berikan tindakan tegas kepada truk yang nekat angkut ODOL. Bisa tilang bahkan pidana,” katanya, Selasa (15/2).

    Kresna menjelaskan, tindak pidana tersebut diberikan kepada pelaku usahanya karena masih memberikan izin kepada sopir bermuatan berlebihan.

    “Kalau pidana yang ditindaknya itu pengusaha yang masih mengoperasikan ODOL,” jelasnya.

    Kehadiran ODOL menurut Kresna, sangat berbahaya bagi keselamatan pengendara maupun pengendara lainnya. Oleh sebab itu, kegiatan itu harus dihentikan dan tidak di sepelekan.

    “ODOL ini sangat membahayakan dalam berlalu lintas, baik pengendara truk nya maupun pengendara lainnya,” ujar Kresna.

    Dengan adanya sanksi tegas itu, Kresna berharap tidak ada lagi pelaku industri yang menjalankan kendaraan ODOL. Lagi pula, hal itu demi kepentingan orang banyak.

    “Saya harap industri tidak menambah over dimensi ini, juga tidak menambah ketinggian muat yang berdampak terjadinya ketidak seimbangan,” pungkasnya.

    Penindakan itu menurut Kresna, tak serta merta dilakukan. Pihaknya, menegaskan akan terlebih dahulu melakukan sosialisasi agar para pelaku industri bahkan sopir truk agar tidak ODOL.

    “Kita akan sosialisasikan terlebih dahulu terkait ketegasan ini. Saya harap pengusaha dan pengemudi truk bisa mematuhi aturan tersebut,” imbuhnya.

    Ketegasan tersebut disambut baik sejumlah pengendara salah satunya Mulyana warga Kecamatan Kalanganyar.

    “Patut kita sambut, sebab ke berada ODOL itu sudah meresahkan dan membahayakan keselamatan jiwa manusia. Contohnya truk bermuatan berlebih ketika di jalan limbahnya bercucuran, debu dan itu jelas membahayakan keselamatan pengendara,” tandasnya.

    (CR-01/PBN)

  • Empat Tersangka Pengedar Sabu di Lebak Ditangkap Polisi

    Empat Tersangka Pengedar Sabu di Lebak Ditangkap Polisi

    LEBAK, BANPOS – Setelah menangkap dan mengamankan para pelaku, jajaran Satresnarkoba Polres Lebak mengungkap empat kasus peredaran narkotika jenis shabu dengan empat tersangka pelaku pengedarnya di wilayah hukum Kabupaten Lebak. Selasa (18/01).

    Dalam gelar pers comprence, Kapolres Lebak yang diwakili Wakapolres, Kompol Roby Heri Saputra didampingi Kasat Resnarkoba, AKP Malik Abraham dan Kasihmumas Iptu Jajang Junaedi menjelaskan, pengungkapan para tersangka. Diantaranya inisial SR (32), SP (24), RM (39) dan RK (39) yang ditangkap oleh Jajaran Satresnarkoba Polres Lebak, ke-empat tersangka itu ditangkap dengan barang bukti berupa narkotika jenis shabu dan peralatan hisap.

    Sebagaimana dalam rilis yang diterima BANPOS, Wakapolres Lebak menyebut jajaran Satresnarkoba telah berhasil melaksanakan pengungkapan terhadap empat perkara narkoba yang melibatkan empat orang tersangka.

    Adapun kasusnya ini tiga perkara berhubungan, jadi dimulai dari satu penangkapan terhadap tersangka RM dengan barang buktinya antara lain 12,89 gram kemudian dilakukan pengembangan oleh yang kemudian ditemukan melibatkan tersangka SR juga ditemukan barang bukti 1, 11 gram dalam bentuk sabu-sabu di wadah permen. Sedang dari Tersangka SP kita temukan barang bukti shabu dengan berat 36,98 gram dan dari tersangka RK diamankan barang bukti Shabu seberat 4,49 gram, Jadi untuk total keseluruhan barang bukti shabu seberat 44,31 gram,” ungkap Kompol Roby.

    Menurut Roby, pihaknya masih melakukan pengembangan dan memburu para tersangka lain yang berkaitan dengan kasus yang ditangani tersebut.

    Kita akan terus kembangkan ini. Dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, para pelaku yang sudah diamankan akan dikenakan pasal 114 ayat 1 atau pasal 112 ayat 1 undang-undang republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun dan denda paling banyak 10 Miliar Rupiah,” jelas Roby.

    Selanjutnya Wakapolres mengimbau kepada warga untuk turut memberantas peredaran narkoba, dan memberikan informasi kepada aparat jika menemukan hal tersebut.

    Kami menghimbau kepada warga masyarakat Kabupaten Lebak untuk bersama-sama memerangi peredaran Narkoba di wilayah kabupaten Lebak, karena narkoba itu bisa merusak generasi muda penerus bangsa,” paparnya.(WDO)

  • Polres Lebak Selidiki Dugaan Pemotongan Honor Petugas Check Point

    Polres Lebak Selidiki Dugaan Pemotongan Honor Petugas Check Point

    LEBAK,BANPOS – Pihak Polres Lebak melakukan penyelidikan dugaan pemotongan dana honor untuk petugas penjagaan daerah perbatasan atau Check Point penanganan Covid-19. Bahkan, pejabat dilingkungan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lebak sudah dimintai keterangan penyidik.

    Kepala pelaksana BPBD Lebak, Kaprawi, membenarkan jika dirinya sudah dimintai keterangan oleh pihak penyidik Polres Lebak, berkenaan dengan honor petugas jaga check point tersebut.

    “Iya betul, sampai saya ditanya terkait ada informasi pemotongan. Tetapi kalaupun ada pemotongan oleh oknum, saya tidak pernah memerintahkan staf dan bendahara untuk memotong. Bahkan, kalau saya punya duit ingin memberi kepada petugas jaga,” kata Kaprawi kepada wartawan beberapa waktu lalu.

    Terkait dengan jumlah total anggaran yang dialokasikan untuk penjagaan pos di 10 perbatasan yang ada di Kabupaten Lebak, ia menjelaskan anggaran tersebut sebesar Rp6,480 miliar. Anggaran itu untuk alokasi per tujuh bulan yaitu bulan April hingga Oktober 2020.

    “Anggaran itu hanya di peruntukan untuk honorarium pos jaga saja. Satu orang Rp100 ribu dan dibayarkan per 15 hari kepada petugas jaga,” terangnya.

    Disinggung berapa anggaran yang sudah terserap. Ia menyebut, sebesar Rp 1,25 miliar dari bulan April sampai Mei 2020.

    “Yang sudah terserap sekitar Rp 1,25 miliar,” ujarnya.

    Terpisah, dihubungi melalui pesan whatsapp, Kasatreskrim Polres Lebak, Iptu David Hadi hanya menjawab singkat.

    “Nanti saya cek dulu ya,” singkatnya. (DHE)

  • Jual Ribuan Obat Golongan G, MA Dibekuk Satresnarkoba Polres Lebak

    Jual Ribuan Obat Golongan G, MA Dibekuk Satresnarkoba Polres Lebak

    LEBAK,BANPOS-Menjual ribuan obat-obatan golongan G merek Tramadol dan Hexymer tanpa menggunakan resep dokter, MA (24) warga Aceh dibekuk Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Lebak, dikiosnya yang berada di Desa Kadu Agung Timur, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, pada Rabu (15/4) lalu.

    Kasat Resnarkoba Polres Lebak, AKP Asep Jamal mengatakan, berdasarkan laporan dari masyarakat yang merasa resah dengan adanya peredaran obat-obatan terlarang, pada Rabu (15/4) lalu, pihaknya telah melakukan penggerebegan terhadap toko kosmetik yang menjual obat terlarang.

    “Kemarin malam kami telah melakukan penggerebegan terhadap toko kosmetik yang diduga menjual obat-obatan terlarang. Dan hasil dari penggerebegan, toko kosmetik tersebut terbukti menjual obat-obatan terlarang golongan G yang tidak memiliki izin edar,” kata AKP Asep Jamal, Kamis (16/4).

    Dari penggerebegan tersebut, lanjut Asep, pihaknya berhasil mengamankan ribuan obat-obatan golongan G yang terdiri dari 500 butir obat Tramadol HCI, dan 3.648 obat Eximer bermerek Hexymer. Selain itu, pihaknya juga telah melakukan penangkapan terhadap penjual obat-obatan golongan G yang berinisial MA (24) warga Aceh.

    “Pelaku diamankan karena telah menjual obat-obatan dengan bebas tanpa adanya resep dokter,” ungkapnya.

    Akibat perbuatannya, pelaku bisa dijerat dengan pasal 196, 197 dan 198 UU RI nomor 36 tahun 2009, tentang kesehatan dengan ancaman hukuman 10 sampai 15 tahun penjara.(dhe)

  • Polres Lebak Tutup Paksa Tambang Pasir Tak Berizin di Pulomanuk

    Polres Lebak Tutup Paksa Tambang Pasir Tak Berizin di Pulomanuk

    LEBAK, BANPOS – Karena membandel setelah dilakukan penutupan sebelumnya oleh Dinas ESDM Provinsi Banten, akhirnya Polres Lebak memasang garis polisi sekaligus menutup praktik tambang pasir kuarsa di Pulomanuk Desa Darmasari Kecamatan Bayah, Senin sore (9/12).

    Salah seorang pekerja yang berhasil dimintai keterangan, Entis, mengatakan bahwa pada hari Jumat sore (6/12) sekitar pukul 15.00 lokasi tersebut didatangi oleh beberapa anggota kepolisian dan langsung memasang garis polisi atau police line pada salah satu alat berat.

    “Saya kurang tahu kepolisian dari mana. Semenjak dipasang police line kami tidak beroperasi lagi,” ujarnya,Selasa (10/12).

    Terpisah, Kapolsek Bayah AKP Tatang Warsita membenarkan ada pemasangan garis polisi di TKP tambang pasir blok Pulomanuk Desa Darmasari Kecamatan Bayah, sementara yang memasangnya adalah tim anggota dari Polres Lebak.

    “Betul, kemarin sudah di police line. Itu kewenangannya ada di Polres Lebak,” katanya kepada wartawan.

    Pantauan, di lokasi tidak terlihat aktivitas. Tampak sebuah alat berat di lokasi tambang dilingkari oleh garis polusi.

    Diketahui, praktik tambang pasir tersebut sebenarnya sempat ditutup paksa oleh Dinas ESDM Provinsi Banten pada 04 Juli 2019 lalu karena tidak memiliki Ijin Usaha Pertambangan (IUP), namun beberapa bulan kemudian praktik eksploitasi tambang pasir tersebut kembali beroperasi. (WDO/PBN)