SERANG, BANPOS – Badan Pekerja Jaringan Rakyat untuk demokrasi dan Pemilu (JRDP) memprediksi, pragmatisme politik akan semakin meningkat pada perhelatan pemilu dan pemilihan tahun 2024 mendatang. Sejumlah indikatornya adalah tidak adanya upaya serius dari pemangku kepentingan pemilu untuk mendesain secara komprehensif penindakan terhadap politik uang.
Berikutnya, penyelenggara pemilu masih terjebak pada formalitas sosialisasi, belum menyentuh pola pendidikan pemilih yang efektif. Dan yang lebih menonjol adalah, parpol kini lebih sibuk mencari figur populer seorang kandidat, bukan mengutamakan agenda besar perubahan bangsa berdasrkan platform yang mereka anut.
Demikian kesimpulan kajian JRDP usai menggelar nonton bareng launching Pemilu 2024 di kanal youtube KPU RI, Senin 14 Februari 2022 malam.
“Berdasarkan survei LSI bekerjasama dengan Australian National University (ANU) pada Mei 2019 lalu, insiden politik uang terjadi secara masif dalam Pemilu 2019. Dilihat dari berbagai macam metode pengukuran, politik uang berkisar antara 19,4% hingga 33,1% tergantung pertanyaan dan jumlah skalanya. Pada Pemilu 2019, Daftar Pemilih Tetap (DPT) kita mencapai sekitar 192 juta. Artinya, diperkirakan antara 37,3 juta hingga 63,5 juta pemilih terpapar praktik politik uang,” papar Kordum JRDP Iing Ikhwanudin, usai nobar.
“Jika kita memakai estimasi yang paling tinggi, satu dari tiga orang di Indonesia menjadi sasaran empuk jual beli suara. Bagi JRDP, ini sangat mengerikan. Ironisnya, sampai sekarang kami belum melihat upaya serius dari penyelenggara pemilu, DPR dan pemerintah, untuk bisa merancang metode pencegahan, pengawasan, dan penindakan, politik uang yang memadai. Kami menganalisa, praktek politik uang pada 2024 bisa menyentuh angka 40%,” kata Iing.
Iing menambahkan, KPU dan Bawaslu hendaknya sudah harus bergerak secara serius dan tidak lagi menggunakan metode sosialisasi yang cenderung formalitas untuk melakukan edukasi kepada pemilih. Terlebih menjadi kegenitan menggunakan medsos, semata untuk mengimbangi perubahan teknologi.
“Harus ada upaya ‘radikal’ dalam membangun kesadaran pemilih bahwa politik uang adalah titik terendah dalam demokrasi. Karena itu bukan saja harus dihindari, tapi juga dipidanakan. Bagaimana caranya, dialog langsung dengan pemilih secara kontinyu. Apa yang dihasilkan lewat sosialisasi tatap muka yang berlangsung hanya satu jam? Apa yang dihasilkan lewat medsos yang menampakan foto komisoner sedang rapat? Setiap komisioner memiliki kewajiban membina puluhan TPS. All day long. Harus mau turun ke pemilih. Sentuh mereka. Itu tugas rutin keseharian komisioner,” kata Iing.
Di tempat yang sama, Febri Setiadi, Korda JRDP Pandeglang, menyatakan, secara kuantitas parpol peserta Pemilu 2024 dipastikan akan lebih banyak ketimbang Pemilu 2019. Itu artinya kompetisi antar caleg akan meningkat. Walhasil, para caleg harus memiliki banyak upaya untuk memenangkan suara. Salah satunya lewat politik uang. Parahnya, kata Febri, tidak nampak kehendak parpol untuk mengantisipasi itu.
“Mereka malah berkutat perang opini atas hasil survei tentang popularitas kandidat tertentu. Tidak pernah pemilih disuguhi debat serius antar parpol mengenai apa sesungguhnya perbaikan kualitas hidup yang dikehendaki rakyat, dan itu kemudian akan mereka suarakan pada pemilu mendatang,” kata Febri.
JRDP, kata Febri, akan segera menyusun strategi pemantauan. Secepatnya pula JRDP akan mendaftarkan diri ke Bawaslu RI untuk menjadi lembaga pemantau. Serupa dengan Pemilu 2019 lalu, enam obyek pemantauan JRDP adalah tahapan pencalonan, penyusunan daftar pemilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, rekapitulasi perolehan suara, serta pelanggaran kode etik.
(ANZ/AZM)