JAKARTA, BANPOS – Akademisi Universitas Pelita Harapan Agus Surono menilai, tak ada unsur pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat dalam konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
“Peristiwa yang terjadi di Pulau Rempang, tidak dapat dikualifikasikan sebagai Pelanggaran Berat HAM, sebagaimana dimaksud pada UU No 26 Tahun 2000,” kata Agus dalam keterangannya, Rabu (20/9).
Menurutnya, secara yuridis berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 26 Tahun 2000 menyebut bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Menurutnya, yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah meliputi pertama ada kejahatan genosida.
“Yakni setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,” lanjutnya.
Kejahatan genosida dapat dilakukan dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok.
Kemudian menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya.
“Lalu, memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain,” terangnya.
Kedua, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.
Kemudian penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
Lalu, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.
“Kemudian penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid,” tambah Agus.
Sementara itu, ia menyebut bahwa pelanggaran HAM adalah tindakan yang bersifat sistematis dan meluas.
“Kedua kata tersebut merupakan kata kunci yang bersifat melekat dan mutlak dan harus ada pada setiap tindakan pelanggaran HAM berat, khusus kaitannya dengan kejahatan terhadap kemanusiaan,” lanjutnya.
Berdasarkan UU, Agus mengatakan bahwa tidak unsur sistematis dan meluas dalam kejadian di Pulau Rempang.
“Sebab ada faktor penting dan signifikan yang membedakan antara pelanggaran HAM berat dengan tindak pidana biasa menurut KUHP atau Perundang-undangan pidana lainnya,” tandasnya.
Terpisah, relawan pendukung Jokowi di Pilpres 2019, Solidaritas Merah Putih (Solmet) berharap Presiden Jokowi bisa membantu penyelesaian masalah tanah masyarakat di tiga daerah yang kini disorot.
Ketua Umum Solmet, Silfester Matutina meminta adanya perhatian khusus dari Jokowi untuk membantu penyelesaian sengketa tanah. Sehingga masyarakat kecil bisa mendapatkan keadilan dan haknya.
Hal itu disampaikan Silfester dalam acara Rembug Nasional Persaudaraan Solidaritas Merah Putih Indonesia (Rembugnas Solmet) 2023 di Gedung Putih Tio Ma Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/9).
“Rempang,Batam (Rempang Eco City) seluas 17.000 hektar dan masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Bojong-Bojong Malaka Depok (Universitas Islam Internasional Indonesia) seluas 111 hektar yang juga masuk dalam PSN. Kemudian tanah warga transmigran Desa Bantahan I, Mandailing Natal seluas 748 hektar yang diduduki PTPN IV Medan dan 168 hektar,” kata Silfester.
Di hadapan Jokowi, Silfester juga mengimbau kepada Pemerintah agar lebih bijaksana dalam menyelesaikan hak tanah masyarakat.
“Kami tidak mau keberhasilan Bapak Presiden ternodai oleh oknum-oknum di bawah kepemimpinan Presiden, yang tidak bisa menangani kasus-kasus tanah dengan bijaksana. Kami tidak mau nama baik Bapak Presiden tercoreng,” ungkapnya.
Dia bercerita sempat ditemui warga Rempang. Silfester bilang, warga sedianya tidak mempermasalahkan pembangunan PSN Rempang Eco City. Asalkan hak-hak mereka diselesaikan.
Juga, 16 kampung adat yang mereka tinggali sejak tahun 1834 tidak digusur, tapi ditata.
“Begitu juga dengan warga Bojong-Bojong Malaka Depok yang tanahnya sudah digusur dan dibangun PSN UIII,” akunya.
Kata Silfester, pada dasarnya warga mendukung pembangunan PSN asalkan hak ganti untung diselesaikan dengan baik.
“Hal yang sama juga diminta oleh warga mantan transmigran Bantahan I Mandailing Natal yang tanahnya telah diberikan negara sejak tahun 1997, tapi kemudian diduduki PTPN sejak 2007 seluas 798 hektar, dan 186 hektar oleh PT. Pemaris Raya,” papar dia. (pbn/rmid)
SERANG, BANPOS – Permasalahan yang kini tengah dialami oleh masyarakat Pulau Rempang, dinilai senasib dengan yang dialami oleh masyarakat Pulau Sangiang. Sebab, kedua pulau tersebut sama-sama ‘dirampas’ oleh negara, dan diserahkan kepada pihak swasta atas nama investasi.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pena Masyarakat, Mad Haer Effendy. Kepada BANPOS, pria yang akrab disapa Aeng tersebut mengatakan, peristiwa yang dialami oleh masyarakat Pulau Rempang, setali tiga uang dengan Pulau Sangiang. Masyarakat dipaksa untuk hengkang dari tanah leluhurnya, demi investor.
“Berbicara kondisi hari ini, tanah Rempang dirampas oleh investor. Dan ini juga sangat dikuatkan oleh keinginan pemerintah, untuk terus memaksa pembangunan investasi terjadi. Ini sama juga kejadiannya dengan di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (18/9).
Ia menuturkan, pemerintah sejak tahun 1990-an hingga saat ini, terus memaksakan investasi ditanam di pulau yang berada di Selat Sunda tersebut. Padahal menurutnya, rencana investasi yang hendak dilakukan di Pulau Sangiang, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.
“Kenapa saya bilang kejadian di Rempang dan di Sangiang sama, karena pemerintah tidak melihat dan mendengarkan keinginan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Padahal di kedua pulau itu bukan pulau tanpa penghuni, ada masyarakat yang sudah lama mendiami di sana,” ungkapnya.
Seperti yang disampaikan pada edisi Indepth Pulau Sangiang sebelumnya, Aeng menegaskan bahwa Pulau Sangiang memiliki nilai sejarah tersendiri, yang berkaitan dengan Kesultanan Lampung. Pulau tersebut menurutnya, merupakan pemberian dari Sultan Lampung, untuk warga Lampung yang ada di Banten, tepatnya di Desa Cikoneng.
“Masyarakat pun mengelola, berkehidupan, dari sumber daya alam yang ada di Pulau Sangiang itu. Lalu datang investor yang membatasi kegiatan masyarakat, hingga akhirnya masyarakat tidak bisa berkembang di sana, tidak ada sekolah, tidak ada fasilitas kesehatan. Pemerintah pun tidak melihat ke arah sana,” tuturnya.
Jangan pelayanan kesehatan dan pendidikan, Aeng menuturkan bahwa pembatasan ruang hidup masyarakat Pulau Sangiang, bahkan sampai pada tidak diberikannya akses listrik oleh pemerintah. Oleh karena itu, Aeng menilai bahwa baik Rempang maupun Sangiang, berbagi nasib yang sama.
“Keduanya berbagi nasib yang sama, dengan modus perampasan yang sama. Pulau Sangiang dirampas tanahnya dengan pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada investor, sedangkan Pulau Rempang dirampas tanahnya dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor,” terangnya.
Sehingga, Aeng mengajak kepada masyarakat, untuk juga membantu masyarakat Pulau Sangiang untuk bisa mendapatkan kembali hak mereka di pulau tersebut. Mengingat, saat ini HGB di Pulau Sangiang juga hampir habis, meskipun ada potensi untuk kembali diperpanjang.
“Kami mengajak masyarakat juga ikut bersolidaritas dengan warga Pulau Sangiang, sebagaimana solidaritas yang diberikan kepada masyarakat Pulau Rempang. Pulau Rempang yang penduduknya banyak saja masih bisa dipaksa untuk hengkang hingga terjadi bentrokan. Apalagi Pulau Sangiang yang hanya tersisa belasan keluarga, akan lebih mudah dilibas,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya, mengatakan bahwa saat ini, Pemkab Serang tengah mengkaji terkait dengan perpanjangan izin pengelolaan Pulau Sangiang, oleh investor.
“Pulau Sangiang masih dalam proses. Perizinannya masih kita analisa dulu, karena kan banyak, bukan pariwisata saja ya, tapi dari berbagai sektor juga harus bisa menganalisa, karena keterkaitannya dengan masalah-masalah di masyarakat,” ujarnya.
Anas mengaku bahwa untuk Pulau Sangiang, ia sangat berharap pulau tersebut dapat berkembang menjadi destinasi wisata yang lebih baik lagi. Sebab hal itu akan menimbulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pembangunan di berbagai sektor dapat dilakukan.
“Tapi kan ditinjau dari sisi lain (sosial) harus diperhatikan juga. Untuk perizinannya nanti dikaji dulu di Dinas Perizinan, karena masih banyak tahapan,” tandasnya.(DZH/PBN)
INVESTASI tengah digenjot oleh pemerintah saat ini. Tak sedikit investasi yang tengah dikejar, menimbulkan konflik dengan masyarakat. Mayoritas, konflik yang terjadi adalah konflik agraria dan dugaan perampasan ruang hidup masyarakat. Seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu yang lalu.
Konflik yang memuncak hingga terjadi bentrokan fisik dan jatuhnya korban luka itu, bermula dari keinginan swasta asing untuk berinvestasi di sana. Perusahaan asal China, Xinyi Group, disebut telah berkomitmen untuk menanamkan modal asing di Rempang, sebesar US$11,5 miliar atau sekitar Rp172 triliun. Rencananya, Pulau Rempang akan disulap menjadi Eco-city dan juga pabrik kaca terbesar kedua di dunia.
Singkatnya, masyarakat yang merasa bahwa Pulau Rempang merupakan tanah ulayat mereka, menolak untuk dilakukan relokasi atas warga pulau. Memang, rencana investasi itu membuat para warga Pulau Rempang harus direlokasi. Pada peristiwa pematokan tanah itulah terjadi bentrokan antara warga dengan Satpol PP hingga Kepolisian. Warga enggan kehilangan tanah tempat mereka dilahirkan.
Kekhawatiran akan investasi yang merampas ruang hidup masyarakat, juga dirasakan oleh sejumlah warga Pulau Tunda, Kabupaten Serang. Warga pulau yang letaknya paling luar dari gugusan pulau-pulau Teluk Banten itu, saat ini tengah merasakan diskriminasi dari pengembang, yang datang sejak dua tahun yang lalu.
Para warga di sana, mulai mengalami pelarangan untuk melakukan Aktivitas yang sebelumnya biasa mereka lakukan, seperti menangkap ikan. Sejumlah titik di Pulau Tunda memang biasa dijadikan tempat mencari ikan oleh warga, seperti di kawasan antara dermaga kayu dengan Pelabuhan Marina yang merupakan bagian dari kompleks villa megah yang dibangun oleh pengembang.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu pemuda Pulau Tunda, Rasyid Ridho. Kepada BANPOS. Ocit, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pada 30 Agustus 2023 lalu, dirinya bersama dengan dua rekan lainnya tengah berenang di bagian barat daya pulau. Selain berenang, ia dan rekannya juga melakukan aktivitas menangkap ikan menggunakan alat tembak.
“Kami berenang dengan alat snorkling, senter, dan tangkap ikan dengan senapan biasa (digunakan untuk menangkap ikan). Kami berenang sampai ke ujung barat. Ketika mau ke arah utara, kami tidak jadi dan akhirnya kembali,” ujarnya.
Sebelum kembali, Ocit menuturkan bahwa dirinya memilih untuk beristirahat terlebih dahulu, di pesisir antara dermaga kayu dan Pelabuhan Marina. Mereka menyeduh susu jahe sembari menghisap rokok, untuk menghangatkan badan. Sebab, mereka baru selesai berenang sekitar pukul 11 malam.
“Pada saat itu, tiba-tiba datang motor NMax hitam yang ditunggangi oleh dua orang dengan inisial HD dan HR. Saat itu motor masih dihidupkan, mereka masih di atas motor, dan salah satunya berbicara dengan bahasa yang tidak enak didengar. Saya mah simpel, saya sampaikan kalau saya ini warga pulau,” katanya.
Disampaikan seperti itu, salah satu yang mendatanginya, HD, bertanya kepada rekannya yakni HR, apakah mengenal Ocit. Karena HR merupakan warga pulau, ia pun mengenal Ocit, begitu pula sebaliknya. Bahkan, Ocit menyampaikan jika mertua HR ketika sedang sakit, pernah dia antar untuk berobat ke Serang.
“Karena dia berbicara saja, maka saya sampaikan kepada HD, tolong kalau nanti ‘big boss’ datang ke sini, kabarkan kepada kami. Biar kami tidak menembak ikan di lokasi ini. Memang kan lokasinya ada banyak yah untuk menembak ikan dan berenang,” tuturnya.
Namun, HD justru malah naik pitam. Menurut Ocit, HD naik pitam lantaran dirinya ditugaskan untuk menjaga kawasan sekitar villa, khususnya antara Pelabuhan Marina dengan dermaga kayu. Termasuk melarang masyarakat untuk menembak ikan.
“Dia bilang ‘kamu ini, kamu itu dilarang nembak ikan di antara marina dan dermaga kayu. Masalahnya kita ini sedang menunggu investor, investor ini belum ada jawaban. Ikan-ikan di sini juga lagi kita kembang biakkan untuk pariwisata. Kamu dilarang menembak ikan di area ini’. Karena dia sedang emosi, makanya kami hanya jawab iya iya saja,” ucapnya.
Menurut Ocit, pelarangan untuk menjaring ikan bahkan sudah terjadi sejak setahun yang lalu. Hal itu dialami oleh salah satu nelayan Pulau Tunda, yang sedang menjaring ikan di kawasan tersebut. Saat tengah menjaring ikan, dia diusir dengan alasan dilarang menjaring ikan di kawasan itu. “Di lokasi yang sama, di Barat Daya Pulau Tunda,” terangnya.
Ia menuturkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para pengembang tersebut sudah sangat luar biasa di sana. Setiap bulannya, sang ‘big boss’ datang ke sana menggunakan helikopter yang mendarat pada helipad yang telah dibangun sebelumnya. Setiap pekan, speedboat dua kali datang dari arah Jakarta untuk melancong ke lokasi vila. Pengembang pun membawa berbagai alat berat untuk pembangunan seperti eskavator.
“Yang kami dapatkan informasinya, ini merupakan pengembang dari China, hasil konsorsium. Cuma mereka mau menjual lagi kepada investor, bahasanya seperti itu. Namun untuk perusahaannya apa dan siapa calon investornya, kami belum tahu,” ungkap dia.
Bahkan, Ocit mengaku bahwa aktivitas investasi yang tengah terjadi di Pulau Tunda, dikhawatirkan akan mengarah pada konflik sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang. Pasalnya, pihak pengembang dan investor, menjalankan kegiatan diskriminatif terhadap warga pulau, sekaligus melakukan kegiatan rayuan terhadap warga.
“Jadi kami khawatir ini seperti di Pulau Rempang. Soalnya kami didiskriminasi, namun juga sedang diupayakan untuk dininabobokan. Setiap bulannya pengembang memberikan sembako ke rumah-rumah. Kurang lebih sudah tiga kali mendapatkan sembako dari mereka. Nanti dikasih, dikasih, lama-lama ditendang kami,” tuturnya.
Ia mengaku bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Sebab, tanah di Pulau Tunda sudah mulai terkikis karena telah dibeli oleh pengembang. Bahkan menurutnya, sebanyak 70 persen tanah di Pulau Tunda, sudah tidak lagi dikuasai oleh warga Pulau Tunda.
“Karena dari Kampung Barat ke barat habis, dari Kampung Barat ke utara habis. Dari Kampung Timur ke utara sudah habis, tinggal tanjungan timur yang masih belum. Termasuk juga pembangunan dermaga Jetty yang kami rasa tidak ada izinnya juga, karena tidak ada dari DKP Provinsi yang datang, dari Dishub yang datang, atau ada sosialisasi kepada masyarakat. Akhirnya kami justru yang diusir,” katanya.
Ocit menegaskan bahwa warga Pulau Tunda sama sekali tidak alergi terhadap investasi. Jika memang investasi tersebut dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pulau, maka pihaknya akan dengan senang hati menerimanya. Namun, ia menegaskan bahwa jangan sampai investasi yang hadir, justru malah menimbulkan konflik dan merampas ruang hidup masyarakat.
“Kami sesungguhnya tidak ingin membatasi investor, namun jangan sampai sampai hak-hak dari masyarakat dikebiri. Lalu jangan sampai kami dihadapkan oleh saudara-saudara kami sendiri (diadu domba). Kami juga ingin perhatian dari pemerintah daerah, seharusnya benar-benar memperhatikan persoalan izin dan administrasi lainnya. Karena kan untuk membuat bangunan, apalagi megah seperti itu, seperti bisa keluar begitu saja izinnya dan langsung dibangun. Atau jangan-jangan pemerintah kecolongan atau tutup mata,” tuturnya.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah, baik itu Pemkab Serang maupun Pemprov Banten, dapat melakukan pengecekan terkait dengan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pengembang itu. Hal tersebut untuk memastikan keabsahan dan legalitas daripada proyek pembangunan di sana.
“Lalu jika memang itu benar-benar telah mengantongi izin, pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi, konsekuensinya apa sih terhadap masyarakat. Dan masyarakat itu apa sih yang diuntungkan dari pembangunan itu? Apalagi kami mayoritas hanya dijadikan sebagai penonton saja dari pembangunan tersebut,” jelasnya.
Namun yang paling penting menurutnya, adalah kepastian bahwa masyarakat Pulau Tunda tidak akan terusir dari tanah kelahirannya sendiri, seperti yang tengah menjadi polemik di Pulau Rempang. Apalagi, Pulau Tunda merupakan pulau yang strategis, yang dapat menjadi tempat transit menuju Jakarta, Sumatera, Kalimantan serta Pulau Jawa.
“Jadi itu sangat mungkin terjadi. Jangan sampai kami terusir dari kampung kami sendiri. Kalau memang mau ada investor, jangan serakah, biarkan saja pulau ini sebagaimana asalnya. Kalau mau ada pembangunan, harus dibatasi. Disitulah tugas dari pemerintah daerah,” tuturnya.
Sementara itu, hal yang berbanding terbalik disampaikan oleh mantan Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Wargasara-Pulau Tunda, Sahroni. Ia mengatakan bahwa investor yang telah masuk ke Pulau Tunda, sudah menyelesaikan permasalahan administrasi, mulai dari perizinan bahkan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).
“Perizinan sudah, membuat CSR sudah, sembako. Bahkan saya hari ini sedang berada di kampus Trisakti, mengantarkan putra daerah Pulau Tunda untuk kuliah yang dibiayai investor, belajar di bidang pariwisata,” ujarnya saat dihubungi BANPOS, Kamis (14/9).
Ia pun membantah bahwa para investor yang menanamkan modal di sana, merupakan investor asing. Ia mengaku jika para investor berasal dari Jakarta. “Dari Jakarta, PT-nya saya kurang jelas yah,” tutur Sahroni.
Dirinya mengaku mendukung pelaksanaan investasi di Pulau Tunda, yang berdasarkan penelusuran BANPOS di website Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan penuturan warga dilakukan sebuah perusahaan berinisial LGN. Menurutnya, investasi tersebut meningkatkan infrastruktur dari pulau, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat pulau.
“Mudah-mudahan dengan masuknya investor ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contohnya masyarakat sudah ada yang diberikan diklat, ada masyarakat yang dikuliahkan di Trisakti untuk belajar pariwisata, juga pemberian sembako setiap bulannya,” kata Sahroni.
Menurutnya, hubungan antara masyarakat dan investor di sana cukup baik. Hal itu karena sang investor memberikan berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain pengembangan SDM, Sahroni menuturkan jika investor tersebut juga melakukan rehabilitasi bangunan madrasah dan juga menyediakan lapangan pekerjaan.
Sementara berkaitan dengan permasalahan yang disampaikan oleh Rasyid Ridho, Sahroni mengatakan bahwa sebenarnya investor dan pengembang tidaklah mengusir atau melarang masyarakat untuk berenang dan mengambil ikan. Namun, mereka hanya menyarankan kepada warga untuk saling menghargai.
“Karena mereka (pengembang) telah menjaga ekosistem (laut dan pantai) dengan baik, supaya para investor lainnya mau datang ke sana. Kemungkinan seperti itu. Jadi tidak dilarang, melainkan disarankan untuk tidak menarik perhatian para investor terhadap ekosistem yang ada,” jelasnya.
Begitu juga dengan kekhawatiran akan terjadinya peristiwa, seperti di Pulau Rempang. Sahroni menjamin bahwa tidak akan terjadi peristiwa seperti itu, lantaran setiap kegiatan para investor telah diketahui oleh RT, RW hingga Kepala Desa.
“InsyaAllah tidak, karena semua ditempuh melalui musyawarah. Semua diketahui oleh RT, RW hingga Kepala Desa. Bahkan ada tim pembagian sembako. Kalau memang ada yang kurang puas, mungkin pemahamannya belum sampai,” ucapnya.
Berdasarkan keterangan warga lainnya, disebutkan bahwa Sahroni merupakan salah satu ‘agen’ dari para investor, untuk menjadi seorang broker penjualan tanah di Pulau Tunda. Disebutkan bahwa Sahroni bertugas sebagai perantara investor, untuk membujuk masyarakat menjual tanahnya. Sahroni disebut berhasil melakukan tugasnya, karena banyak warga yang akhirnya menjual tanah mereka kepada investor, dengan harga yang cukup murah.
Berlatar belakang sebagai seorang mantan Ketua BPD Wargasara tiga periode dan juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SD/SMP Satu Atap di Pulau Tunda, banyak masyarakat yang disebut akhirnya percaya dengan bujukan Sahroni.
Menanggapi hal tersebut, Sahroni mengaku bahwa tidak ada pemaksaan dalam penjualan tanah-tanah di Pulau Tunda kepada para investor. Menurutnya, tanah-tanah yang dijual pun bukan merupakan tanah produktif serta bukan tanah permukiman warga, melainkan lahan mati yang sudah tidak produktif, sehingga pemiliknya lebih memilih untuk menjualnya.
“Tidak ada pemaksaan harus seperti ini, seperti ini. Biasa saja. Kalau dia sepaham harganya, dia jual. Kalau tidak, ya tidak dijual. Variatif (harga tanah yang dia fasilitasi), ada yang Rp70 ribu, ada yang Rp80 ribu. Tergantung kelasnya. Kalau rawa itu murah, ada yang cuma Rp20 ribu, ada yang hingga Rp100 ribu. Tidak ada yang dijual tanah permukiman, saya juga melarangnya,” ungkapnya.
Salah satu warga yang mengaku telah menjual tanahnya kepada investor bernama Slamet. Kepada BANPOS, dia mengatakan bahwa dirinya telah menjual tanah seluas 7 hektare kepada investor, dengan harga per meternya Rp20 ribu.
“Jadi atas dasar musyawarah dengan keluarga, kami jual tanahnya kepada pak Hengki. Alasannya karena sudah tidak produktif, sudah tidak berbuah lagi kelapanya. Daripada tanahnya kering begitu saja. Dijualnya tahun kemarin,” tandasnya.
Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya, mengatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata, khususnya melalui campur tangan investor, harus tetap memperhatikan berbagai hal. Salah satunya adalah permasalahan sosial yang berpotensi timbul di masyarakat.
“Kalau timbul masalah, misalnya ada masyarakat yang mungkin merasa tidak bisa bermain di situ atau melakukan pencarian ikan, tentunya itu sangat mungkin dikarenakan masih kurangnya koordinasi yang jelas dari pengembang kepada masyarakat. Maka dalam pelaksanaan investasi itu, harus melibatkan masyarakat, agar tidak timbul kesalahpahaman. Intinya seperti itu,” tandas Anas.(MUF/DZH/ENK)
JAKARTA, BANPOS – Wakil Ketua DPR, Lodewijk F. Paulus berharap, konflik yang terjadi antar warga dengan aparat gabungan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, dapat diselesaikan dengan lebih bijaksana.
“Kami berharap memang kalau ada kegiatan-kegiatan pembangunan nasional terkait dengan hak-hak atas tanah, kalau nggak tuntas ya itu seperti ini. Tentunya kita berharap pihak aparat keamanan baik Polisi maupun dibantu oleh TNI tentu menyelesaikan ini secara arif lah ya,” ujar Lodewijk dikutip dari situs DPR, Selasa (12/9).
Politisi Fraksi Partai Golkar ini meminta pihak-pihak berkepentingan untuk mengedepankan dialog dengan warga agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara tuntas. Sebab, tujuan pengembangan wilayah tersebut merupakan tujuan investasi yang seharusnya memberikan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
“Duduk lagi bicara lagi, dialog dengan tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat disana, kemudian selesaikan. Pasti ada masalah-masalah yang belum tuntas. Nah, diharapkan bisa tuntas, supaya kalau tujuannya investasi kan itu memberikan kesejahteraan tetapi kalau itu ternyata awalnya sudah seperti ini tentunya tujuan utamanya tidak tercapai,” ujarnya.
Sebagai informasi, peristiwa bentrokan antara aparat dengan masyarakat adat Pulau Rempang dipicu oleh rencana penggusuran pemukiman warga untuk dijadikan Rempang Eco City. Warga Rempang masih menolak rencana relokasi yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sebab mereka mengklaim sudah menempati wilayah tersebut hampir dua abad. (RMID)