Tag: Pulau Sangiang

  • Pulau Sangiang Lebih Dahulu Di-Rempang-kan

    Pulau Sangiang Lebih Dahulu Di-Rempang-kan

    SERANG, BANPOS – Permasalahan yang kini tengah dialami oleh masyarakat Pulau Rempang, dinilai senasib dengan yang dialami oleh masyarakat Pulau Sangiang. Sebab, kedua pulau tersebut sama-sama ‘dirampas’ oleh negara, dan diserahkan kepada pihak swasta atas nama investasi.

    Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pena Masyarakat, Mad Haer Effendy. Kepada BANPOS, pria yang akrab disapa Aeng tersebut mengatakan, peristiwa yang dialami oleh masyarakat Pulau Rempang, setali tiga uang dengan Pulau Sangiang. Masyarakat dipaksa untuk hengkang dari tanah leluhurnya, demi investor.

    “Berbicara kondisi hari ini, tanah Rempang dirampas oleh investor. Dan ini juga sangat dikuatkan oleh keinginan pemerintah, untuk terus memaksa pembangunan investasi terjadi. Ini sama juga kejadiannya dengan di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (18/9).

    Ia menuturkan, pemerintah sejak tahun 1990-an hingga saat ini, terus memaksakan investasi ditanam di pulau yang berada di Selat Sunda tersebut. Padahal menurutnya, rencana investasi yang hendak dilakukan di Pulau Sangiang, tidak sesuai dengan keinginan masyarakat.

    “Kenapa saya bilang kejadian di Rempang dan di Sangiang sama, karena pemerintah tidak melihat dan mendengarkan keinginan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Padahal di kedua pulau itu bukan pulau tanpa penghuni, ada masyarakat yang sudah lama mendiami di sana,” ungkapnya.

    Seperti yang disampaikan pada edisi Indepth Pulau Sangiang sebelumnya, Aeng menegaskan bahwa Pulau Sangiang memiliki nilai sejarah tersendiri, yang berkaitan dengan Kesultanan Lampung. Pulau tersebut menurutnya, merupakan pemberian dari Sultan Lampung, untuk warga Lampung yang ada di Banten, tepatnya di Desa Cikoneng.

    “Masyarakat pun mengelola, berkehidupan, dari sumber daya alam yang ada di Pulau Sangiang itu. Lalu datang investor yang membatasi kegiatan masyarakat, hingga akhirnya masyarakat tidak bisa berkembang di sana, tidak ada sekolah, tidak ada fasilitas kesehatan. Pemerintah pun tidak melihat ke arah sana,” tuturnya.

    Jangan pelayanan kesehatan dan pendidikan, Aeng menuturkan bahwa pembatasan ruang hidup masyarakat Pulau Sangiang, bahkan sampai pada tidak diberikannya akses listrik oleh pemerintah. Oleh karena itu, Aeng menilai bahwa baik Rempang maupun Sangiang, berbagi nasib yang sama.

    “Keduanya berbagi nasib yang sama, dengan modus perampasan yang sama. Pulau Sangiang dirampas tanahnya dengan pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) kepada investor, sedangkan Pulau Rempang dirampas tanahnya dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada investor,” terangnya.

    Sehingga, Aeng mengajak kepada masyarakat, untuk juga membantu masyarakat Pulau Sangiang untuk bisa mendapatkan kembali hak mereka di pulau tersebut. Mengingat, saat ini HGB di Pulau Sangiang juga hampir habis, meskipun ada potensi untuk kembali diperpanjang.

    “Kami mengajak masyarakat juga ikut bersolidaritas dengan warga Pulau Sangiang, sebagaimana solidaritas yang diberikan kepada masyarakat Pulau Rempang. Pulau Rempang yang penduduknya banyak saja masih bisa dipaksa untuk hengkang hingga terjadi bentrokan. Apalagi Pulau Sangiang yang hanya tersisa belasan keluarga, akan lebih mudah dilibas,” tegasnya.

    Sementara itu, Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya, mengatakan bahwa saat ini, Pemkab Serang tengah mengkaji terkait dengan perpanjangan izin pengelolaan Pulau Sangiang, oleh investor.

    “Pulau Sangiang masih dalam proses. Perizinannya masih kita analisa dulu, karena kan banyak, bukan pariwisata saja ya, tapi dari berbagai sektor juga harus bisa menganalisa, karena keterkaitannya dengan masalah-masalah di masyarakat,” ujarnya.

    Anas mengaku bahwa untuk Pulau Sangiang, ia sangat berharap pulau tersebut dapat berkembang menjadi destinasi wisata yang lebih baik lagi. Sebab hal itu akan menimbulkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pembangunan di berbagai sektor dapat dilakukan.

    “Tapi kan ditinjau dari sisi lain (sosial) harus diperhatikan juga. Untuk perizinannya nanti dikaji dulu di Dinas Perizinan, karena masih banyak tahapan,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • HGB Pulau Sangiang Dinilai Mubazir Dikelola PT PKP

    HGB Pulau Sangiang Dinilai Mubazir Dikelola PT PKP

    SERANG, BANPOS – Dicuekinnya Hak Guna Bangunan (HGB) PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) di Pulau Sangiang diminta dapat menjadi acuan bagi pemerintah pusat, untuk tidak memperpanjang HGB tersebut. Pasalnya, HGB yang dipegang oleh PT PKP disebut mubazir dan hanya dijadikan sebagai alat untuk mengusir masyarakat.

    Direktur Pena Masyarakat, Mad Haer Effendi, mengatakan bahwa dicuekinnya HGB seluas lebih dari 2 juta meter persegi tersebut, seharusnya membuka mata pemerintah bahwa HGB tersebut sama sekali tidak berguna, baik kepada masyarakat maupun pemerintah.

    “Ya sudah pasti ini harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah, karena kan tidak memberikan manfaat apa-apa kepada masyarakat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jadi untuk apa diperpanjang,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (26/6).

    Ia menegaskan bahwa Pulau Sangiang merupakan tanah ulayat dan memiliki sejarah yang panjang. Menurutnya, pengelolaan yang sebelumnya diberikan kepada swasta dalam hal ini PT PKP, bukannya memberikan kebaikan kepada pulau dan masyarakatnya, justru malah kerusakan yang terjadi.

    Oleh karena itu, pihaknya menegaskan agar pemerintah tidak memperpanjang HGB Pulau Sangiang kepada PT PKP, dan mengembalikan hak pulau tersebut kepada masyarakat yang memang memiliki sejarah sebagai penerima hibah Kesultanan Lampung.

    “Kalau dari kami, HGB itu ya jangan diperpanjang. Kedua, kembalikan tanah itu kepada rakyat. Biarkan rakyat yang mengelola. Karena itu kan hanya kamuflase saja (HGB), kebohongan saja kalau itu akan ada pembangunan dengan adanya investasi. Apalagi PKP itu kan sudah ada 30 tahun. Maka kalau memang mereka gak ngapa-ngapain di Pulau Sangiang, ngapain diperpanjang,” tegasnya.

    Pria yang akrab disapa Aeng itu pun menegaskan bahwa pihaknya akan tetap berada di sisi masyarakat Pulau Sangiang, untuk membantu masyarakat dalam menjaga dan merawat pulau tersebut. Hingga saat ini, masyarakat menegaskan bahwa mereka ingin agar mereka hidup seperti ketika PT PKP belum datang.

    “Mereka ingin pulau itu dikembalikan seperti masa lalu, bagaimana dari pulau saja sudah bisa menghidupi mereka. Ke darat pun mereka kalau memang ada sesuatu yang tidak ada di pulau seperti sikat gigi, sabun dan lain sebagainya,” tandasnya.

    Sebelumnya, Pemkab Serang melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) buka-bukaan terkait dengan perizinan yang ada di Pulau Sangiang, yang dimiliki oleh PT Pondok Kalimaya Putih (PKP).

    Diketahui, PT PKP telah mengantongi Izin Mendirikan bangunan (IMB) dari DPMPTSP Kabupaten Serang sejak tahun 2012. Dalam perizinan tersebut, PT PKP mengajukan pembangunan sebanyak ratusan unit bangunan. Namun dari ratusan unit itu, hanya dibangun empat saja.

    Berdasarkan siteplan yang dimiliki oleh DPMPTSP, setidaknya ada sekitar 558 unit bangunan dengan berbagai macam tipe dan fasilitas penunjang lainnya, yang rencananya akan dibangun oleh PT PKP di Pulau Sangiang.

    Sementara untuk luas lahan yang digunakan untuk membangun fasilitas layanan itu tercatat ada sekitar 1.735.700 M2. Selain itu, DPMPTSP Kabupaten Serang menuturkan bahwa tidak ada pengajuan IMB dari pihak PT PKP, di HGB lainnya yakni HGB 21 dan 24.

    Fungsional Penataan Perizinan Ahli Muda DPMPTSP Kabupaten Serang, Nanang Suherman, mengatakan bahwa pihaknya memang mengeluarkan izin kepada PT PKP, untuk membangun bangunan di atas lahan Hak Guna Bangunan (HGB) 23.

    Menurutnya, ada kemungkinan PT PKP baru mau membangun ratusan unit villa dan fasilitas penunjang lainnya di Pulau Sangiang, lantaran adanya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, yang salah satunya akan melewati Pulau Sangiang.

    “Karena mungkin pada saat itukan ada rencana namanya jembatan Selat Sunda itu mungkin. Kan dengan adanya jembatan itu, mungkin mereka investasi. Karena mereka sudah punya tanah di sana, artinya mau berinvestasi yaitu bikin villa-villa di sana, gitu,” ujarnya kepada BANPOS, Jumat (23/6).

    Izin pun dikeluarkan kepada PT PKP karena pihaknya menilai perusahaan itu telah memenuhi beberapa persyaratan yang diperlukan, salah satunya adalah surat kepemilikan tanah yang ditandai dengan adanya sertifikat HGB atas nama perusahaan tersebut.

    Namun sayangnya, dari ratusan unit resort yang rencananya akan dibangun di pulau itu, hingga saat ini baru empat bangunan saja yang telah dibangun. Padahal dalam pengajuan IMB-nya, hampir mencapai ratusan unit yang akan dibangun. “Tipe 300 ini 20-an unit, Tipe 450 17 unit, Tipe 800 92 unit,” jelasnya.

    Hal itu menurutnya, lantaran batalnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda, sehingga PT PKP tidak melanjutkan pembangunan di lahan HGB 23, dan hanya menyisakan empat unit villa saja di sana.(DZH/PBN)

  • Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

    Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

     

    PEMERINTAH Kabupaten Serang maupun Pemprov Banten mengaku siap untuk menyokong masyarakat apabila ingin mengelola secara mandiri Pulau Sangiang, jika nantinya PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) tidak mendapatkan restu perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) mereka. Sokongan tersebut bisa dengan dibentuknya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Sangiang.

    Berdasarkan dokumen Ringkasan Eksekutif Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten tahun 2018, Pulau Sangiang memiliki segudang potensi wisata, baik itu darat maupun laut, ataupun alam dan budaya.

    Untuk wisata darat, Pulau Sangiang memiliki sejumlah objek wisata seperti lintas alam, pendakian gunung, berkemah hingga melihat panorama alam saat matahari terbit dan terbenam. Selain wisata alam, di darat pun Pulau Sangiang dapat menyediakan wisata budaya lantaran terdapat peninggalan-peninggalan zaman penjajahan Jepang seperti benteng, meriam dan goa-goa.

    Sementara wisata bahari atau laut, setidaknya terdapat 23 spot strategis yang dapat dikelola dengan maksimal meliputi wisata menyelam atau scuba diving, snorkling, Jetski, berenang, memancing hingga berjemur di pasir pantai putih.

    Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya P, mengatakan bahwa sangat mungkin apabila nanti HGB PT PKP tidak diperpanjang oleh pusat, maka pemerintah daerah mengambil alih dalam pengelolaannya. Meskipun menurutnya, hal itu tidak secara langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, melainkan dengan membentuk Pokdarwis.

    “Kita ada Pokdarwis, kelompok sadar wisata, masyarakat yang sadar wisata. Artinya nanti kelompok tersebut bisa saja yang mengelola bagaimana pulau itu dijadikan sebagai desa wisata,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (19/6).

    Ia menuturkan, apabila Pulau Sangiang nantinya dapat dikelola langsung oleh masyarakat melalui Pokdarwis dan pembentukan desa wisata, kebermanfaatan atas berbagai potensi yang ada di Pulau Sangiang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

    “Bisa saja dengan dijadikan desa wisata sehingga memang kebermanfaatannya lebih untuk masyarakat. Setuju saya juga tuh, sangat setuju kalau misalnya seperti itu,” ungkap Anas.

    Senada disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Al Hamidi. Menurutnya, pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat melalui pembentukan Pokdarwis, akan memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya Pokdarwis pun, potensi-potensi wisata yang ada di Pulau Sangiang dapat lebih maksimal.

    “Selain itu dengan dikelolanya langsung Pulau Sangiang oleh masyarakat, berarti kan ada pengangguran yang berkurang, bekerja di sana, di tempat itu. Saat ini kita sudah ada lebih dari 2.000 Pokdarwis yang terbentuk di Provinsi Banten di tahun 2023. Berarti yang menganggur dari sektor wisata sudah berkurang banyak,” terangnya.

    Sementara Sofyan Sahuri, mengatakan bahwa pihaknya tidak mau dukungan yang disampaikan oleh pemerintah cuma sebatas gimik belaka. Sebab, mayoritas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung berpihak kepada investor.

    “Jangan sampai ini hanya omongan di depan saja. Karena pemerintah saat ini cenderung lebih memilih investor gitu kan. Kadang mereka mengesampingkan apabila pengelolaan wisata dilakukan langsung oleh masyarakat,” ujarnya.

    Meski demikian, Ustad Pian mengaku bahwa sebetulnya masyarakat tidak menolak keberadaan investor di Pulau Sangiang. Namun yang perlu ditegaskan bahwa investor tersebut, tidak boleh memiliki keinginan untuk menguasai secara keseluruhan Pulau Sangiang.

    “Karena jika memang mau ada investor, kan bisa berdampingan. Masyarakat diberdayakan, tidak diusir-usir begitu. Kami tidak menolak investor, cuma tidak boleh seperti saat ini,” ungkapnya.

    Selain itu ia menegaskan, apabila pemerintah daerah memang mendukung pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat, maka eksistensi masyarakat di Pulau Sangiang harus benar-benar diakui terlebih dahulu.

    “Karena yang terjadi saat ini adalah ketika kami melakukan penolakan, selalu ditanya ‘siapa yang menolak? Masyarakat mana?’ Artinya keberadaan kami ini kan tidak diakui. Selain itu, sudah banyak masyarakat kami yang akhirnya menyerah dan pergi ke Cikoneng, maka pengakuan dari pemerintah sangat penting bagi kami,” tandasnya.(MUF/DZH)

  • Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    TIDAK henti-hentinya selama hampir 30 tahun, Pulau Sangiang dilanda berbagai persoalan. Pertarungan antara penduduk asli pulau dengan PT PKP selaku penerima Hak Guna Bangunan (HGB) dalam pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang, melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan hingga babi-babi hutan.

    Riwayat konflik tersebut bermula saat PT PKP mendapatkan mandat dari pemerintah pusat pada tahun 1993, untuk melakukan pengusahaan wisata alam Pulau Sangiang. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 66/Kpts-II/1993 tertanggal 26 Desember 1993, pemerintah memberikan PT PKP untuk mengelola lahan seluas 591,65 hektare.

    SK Menteri Kehutanan pada saat itu, ditindaklanjuti dengan permohonan PT PKP untuk mendapatkan hak atas tanah berupa HGB, kepada Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Jawa Barat, pada saat itu Provinsi Banten belum berdiri. Permohonan penerbitan HGB disetujui dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Banten nomor 745/HGB/KWBPN/1994 seluas 122.000 meter persegi (HGB 21), 746/HGB/KWBPN/1994 seluas 435.900 meter persegi (HGB 23), 747/HGB/KWBPN/1994 seluas 24.500 meter persegi (HGB 22) dan 748/HGB/KWBPN/1994 seluas 1.896.000 meter persegi (HGB 24). Secara akumulatif, luas tanah keempat HGB tersebut yakni 2.478.400 meter persegi.

    Berdasarkan pengakuan dari PT PKP dalam risalah putusan Nomor: 13/G/2012/PTUN-SRG, perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut mengklaim telah melakukan pembebasan tanah-tanah hak milik dan hukum adat, dari masyarakat Pulau Sangiang. Tanah-tanah yang diklaim dibebaskan ialah tanah milik masyarakat, yang masuk ke dalam batas HGB PT PKP, tepatnya HGB 24.

    “…dalam upaya merealisasikan usahanya tersebut terhitung sejak tahun 1993 (PT PKP) telah mulai melakukan pembebasan atas tanah-tanah Hak Milik dan Hak Milik Adat dari Penduduk/Pemilik Asal Tanah yang berlokasi di Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang,” demikian kutipan pernyataan PT PKP dalam amar putusan PTUN Serang.

    Klaim pembebasan lahan itu dibantah oleh Ustad Pian. Menurutnya, yang terjadi adalah pengusiran yang dilakukan pada awal pemberian hak pengusahaan Pulau Sangiang kepada PT PKP. Pun dengan klaim pembebasan tanah tersebut, justru dilakukan di bawah tangan dan tidak melibatkan masyarakat Pulau Sangiang.

    “Kalau kami melihatnya ada rekayasa untuk melakukan apa yang mereka lakukan pembebasan. Pada tahun 1993, masyarakat Cikoneng (daratan) secara tidak sadar sudah dipersiapkan untuk dijadikan alat untuk pembebasan tanah itu. Karena saat itu tiba-tiba sudah ada SPPT dan pembagian-pembagian lainnya, dan sudah dipersiapkan formulir untuk diisi pernyataan seolah-olah punya tanah di Pulau Sangiang. Lalu formulir itu dijual ke investor, sehingga jadilah yang tanah HGB itu,” tuturnya.

    Pertarungan antara masyarakat Pulau Sangiang dengan PT PKP tak surut dimakan zaman. Bak makanan sehari-hari, konflik itu terus berkelanjutan tanpa henti setiap tahunnya. Tercatat pada kisaran tahun 2018, terungkap bahwa masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada persoalan babi hutan dan hewan hama lainnya, yang meneror aktivitas mereka. Masyarakat yang mayoritas bekerja dengan bercocok tanam, terganggu akibat hama babi hutan yang diduga sengaja disebar oleh PT PKP.

    “Padahal di sini bukan habitat babi hutan. Mulai munculnya babi hutan itu sejak tahun 2005 memang. Selain babi hutan, ada juga tupai, rusa dan bekicot darat. Semuanya mengganggu penghidupan masyarakat Pulau Sangiang seperti tupai yang sering mengambil kelapa, rusa yang sering memakan tanaman kami, juga bekicot darat,” ungkapnya.

    Menurut Ustad Pian, PT PKP mengakui jika mereka membawa sejumlah rusa untuk dipelihara di lahan yang mereka kelola. Rusa tersebut awalnya berada dalam kandang, namun suatu waktu, kandang tersebut rusak dan menjadi liar di Pulau Sangiang. Ia menduga, hewan-hewan itu sengaja dilepaskan oleh PT PKP untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak betah dan segera hengkang dari pulau.

    “Rusa itu sudah beranak pinak sehingga banyak sekarang. Sering juga masuk ke wilayah pemukiman masyarakat. Rusa itu kan makannya malam, dan sering memakan tanaman kami. Secara aturan juga ada rusa yang dilindungi, jadi kami menduga ini sengaja dilepasliarkan, sehingga jika ada warga yang membunuh rusa tersebut, bisa terkena kriminalisasi,” tuturnya.

    Pertarungan antara PT PKP dengan masyarakat Pulau Sangiang juga terjadi pada tahun 2019. Saat itu, masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada dugaan kriminalisasi warga. Tiga orang warga Pulau Sangiang yakni Masrijan, Lukman dan Mardaka yang dituding telah menggunakan lahan HGB PT PKP, untuk mendulang keuntungan sendiri. Ketiganya dituduh demikian karena menyewakan rumah milik mereka kepada wisatawan, dengan tarif sebesar Rp500 ribu per hari. Ketiganya divonis bersalah dengan hukuman empat bulan penjara tanpa penahanan.

    Salah satu pihak yang getol menyuarakan pembebasan Pulau Sangiang ialah Pena Masyarakat. Di bawah kepemimpinan Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat konsisten melakukan advokasi hingga saat ini. Perlahan tapi pasti, Mad Haer dan kawan-kawan menunggu momentum habisnya masa HGB PT PKP, untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, agar tidak memperpanjang kondisi yang mereka sebut sebagai penjajahan terhadap Pulau Sangiang.

    Pria yang akrab disapa Aeng ini saat ditemui di Basecamp Pena Masyarakat, menegaskan bahwa persoalan Pulau Sangiang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan juga eksistensi terhadap keberadaan masyarakat Pulau Sangiang, yang telah turun temurun menempati pulau yang sejarahnya merupakan pemberian Kesultanan Lampung.

    Persoalan eksistensi itu muncul lantaran pada saat persidangan tiga warga Pulau Sangiang, pihak Perhutani yang dihadirkan sebagai saksi, menegasikan keberadaan masyarakat di Pulau Sangiang. Mereka hanya mengakui keberadaan Perhutani, TNI AL dan PT PKP saja.

    “Jadi harus ada pengakuan bahwa di Pulau Sangiang itu ada masyarakat. Juga harus ada pengakuan bahwa di sana ada kehidupan, kehidupan warga Negara Republik Indonesia yang kebetulan tinggal di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS.

    Ia menuturkan, klaim keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu juga disebutkan oleh PT PKP dalam risalah persidangan PTUN sebelumnya. Namun ternyata, Aeng menegaskan bahwa tidak ada dampak apapun yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi masyarakat Pulau Sangiang. “Malah yang ada justru mereka menunggak bayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1997 kan,” tuturnya.

    Aeng mengungkapkan, alih-alih memberikan kesejahteraan, PT PKP justru malah melakukan tindakan pengusiran terhadap masyarakat. Terbukti dari yang awalnya terdapat 122 keluarga yang tinggal di Pulau Sangiang, terus menyusut hingga hanya tersisa 14 keluarga saja. Hal itu akibat gangguan hama yang diduga sengaja dilepaskan oleh PT PKP, dilanjutkan dengan bujuk rayu uang agar masyarakat hengkang dari sana.

    “PT PKP sedari awal memang mau menguasai penuh Pulau Sangiang. Mereka tidak mau berbagi dengan masyarakat asli pulau. Padahal masyarakat sudah ada sejak sebelum adanya PT PKP, bahkan sebelum negara menetapkan Pulau Sangiang sebagai kepemilikan negara,” tegasnya.

    Selain berbuat ‘onar’ dengan masyarakat Pulau Sangiang, PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) juga beberapa kali berhadapan dengan hukum, baik itu pidana, perdata maupun pajak, selama menguasai pulau. Pada tahun 2005, Direktur PT PKP, Dewanto Kurniawan, diseret ke meja hijau lantaran diduga telah melakukan perusakan terhadap Pulau Sangiang.

    Kasus yang bermula dari laporan masyarakat itu, ditindaklanjuti oleh Polda Banten. Dewanto pun ditetapkan sebagai tersangka, dan berkas perkara dilimpahkan ke Kejati Banten untuk didakwa. Seiring perjalanan persidangan, dilansir dari Hukum Online, Dewanto divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang, Husni Rizal.

    Vonis bebas tersebut lantaran JPU saat itu, Asnawi, enggan membacakan tuntutan, sebelum Majelis Hakim diganti. Keinginan JPU untuk mengganti Majelis Hakim, karena diduga Majelis Hakim telah menerima fasilitas dari terdakwa di Pulau Sangiang, sebelum persidangan dilakukan. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakindependenan hakim dalam memutus perkara.

    Namun Majelis Hakim tidak menghiraukan permintaan pergantian tersebut, dan tetap menjalankan persidangan. Hingga tiga kali persidangan, JPU keukeh tidak mau membacakan tuntutan, hingga akhirnya dakwaan awal dari JPU dimentahkan oleh Majelis Hakim. Dewanto dibebaskan dari dakwaan. Dari hasil penelusuran online BANPOS, tidak ada tindaklanjut atas perkara itu, meskipun JPU mengklaim telah mengajukan verzet atau perlawanan terhadap putusan hakim.

    Perkara selanjutnya yakni dicabutnya tiga HGB PT PKP oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dicabutnya HGB tersebut lantaran diduga tanah yang disertifikati HGB itu telah ditelantarkan oleh PT PKP. Pihak perusahaan menggugat putusan tersebut ke PTUN Serang, dan memenangkan persidangan. Kemenangan tersebut terjadi lantaran BPN diduga melakukan cacat administrasi dalam pelaksanaan penetapan tanah terlantar itu. Upaya banding dari pihak BPN pun tetap kalah, meskipun tidak ada bantahan terkait dengan status penelantaran tanah yang dimaksud oleh BPN.

    Terakhir yakni menunggaknya pajak bumi dan bangunan (PBB) PT PKP kepada Pemkab Serang. Perusahaan itu telah menunggak pajak sejak 1997, dan baru dilunasi pada tahun 2022 dengan besaran Rp6,8 miliar tanpa denda. Berdasarkan perhitungan, apabila PT PKP tetap membayar pajak dengan dibebankan denda, maka seharusnya pemasukan yang diterima oleh Pemkab Serang sebesar Rp9.875.692.287, dengan nilai denda sebesar Rp3.075.692.301 dengan asumsi denda 2 persen per bulan maksimal selama 24 bulan.(DZH/ENK)

  • Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    DALAM hitungan bulan, Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan landasan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dalam menguasai Pulau Sangiang akan habis. Sebanyak empat sertifikat HGB yang dipegang oleh perusahaan itu akan habis tepat pada 9 Maret 2024. Namun, PT PKP masih memiliki kesempatan untuk memperpanjang penguasaannya terhadap pulau yang berada di antara Pulau Jawa dan Sumatera itu, maksimal selama 20 tahun ke depan. Lalu, apakah Pulau Sangiang akan kembali di bawah kekuasaan PT PKP, atau akan bebas dan kembali kepada negara dan masyarakat?

    Pada Rabu (21/6) malam di Jakarta, tokoh masyarakat adat Cikoneng, termasuk mereka yang tinggal di Pulau Sangiang, melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut membahas terkait dengan nasib Pulau Sangiang, dan momentum habisnya HGB PT PKP pada 9 Maret 2024 mendatang, yang dapat menjadi titik pembebasan pulau hibah Kesultanan Lampung kepada masyarakat Cikoneng pada abad ke-19.

    Sofyan Sahuri, salah satu tokoh masyarakat dan pemimpin perlawanan masyarakat Pulau Sangiang, turut andil dalam pertemuan itu. Ustad Pian, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh adat Cikoneng itu mengharapkan agar Pulau Sangiang dapat kembali lagi ke pangkuan masyarakat.

    “Karena Pulau Sangiang itu berdasarkan sejarahnya, adalah pulau pemberian dari Kesultanan Banten kepada Kesultanan Lampung, yang dihibahkan kepada masyarakat Lampung yang tinggal di Banten atau di Cikoneng. Jadi Pulau Sangiang ini adalah tanah ulayat, tanah adat kami,” ujarnya kepada BANPOS.

    Sejarah masyarakat yang tinggal di Pulau Sangiang pun tidaklah singkat. Ia menuturkan, masyarakat Pulau Sangiang telah mengalami banyak pahit getirnya kehidupan selama menempati pulau tersebut. Pertama kali menempati pulau itu sejak tahun 1930-an, masyarakat Pulau Sangiang pernah mengalami kerja paksa oleh tentara penjajahan Jepang.

    “Kami sejarahnya pernah merasakan Romusa (kerja paksa) oleh Jepang, karena Pulau Sangiang pernah diduduki oleh tentara Jepang untuk menjadi markas pertahanan laut mereka. Di sini juga masih ada benteng Jepang. Hingga akhirnya pulau ini kembali ke masyarakat pada tahun 1950-an. Tapi ternyata pada tahun 1993, pulau kami ‘dibebaskan’ untuk dikuasai oleh PT PKP dan Perhutani,” ucapnya.

    Selama masa ‘pendudukan’ PT PKP, masyarakat yang tinggal di sana perlahan-lahan mengalami pengusiran paksa. Mulai dari yang kasar, hingga menggunakan cara-cara halus. Banyak dari masyarakat Pulau Sangiang pun yang terpaksa hengkang dari pulau, dan pergi ke daratan, sebutan untuk wilayah di Pulau Jawa.

    “Kalau zaman orde baru, pengusirannya dilakukan dengan cara yang keras. Makin ke sini makin halus, diiming-imingi uang yang sebenarnya tidak seberapa, sambil ditakut-takuti terkait dengan masalah hukum dan legalitas,” terangnya.

    Menurut Ustad Pian, pemerintah saat ini tidak boleh menutup mata atas permasalahan Pulau Sangiang, dan memberikan restu perpanjangan HGB kepada PT PKP. Pasalnya, hampir 30 tahun PT PKP menguasai Pulau Sangiang, tidak memberikan dampak apapun kepada masyarakat. Yang ada menurut dia, malah merugikan masyarakat.

    “Kami sudah 30 tahun itu menunggu-nunggu masa habisnya HGB PT PKP di Pulau Sangiang. Karena selama 30 tahun ini, mereka tidak membangun apa-apa di Pulau Sangiang. Adapun yang dibangun di persil HGB 23 menurut kami hanyalah kedok saja untuk menutupi kekurangan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Paling berapa unit yang dibangun, itu juga karena ada teguran dari pemerintah,” tuturnya.

    Oleh karena itu, Ustad Pian menegaskan bahwa seharusnya perpanjangan HGB milik PT PKP tidak perlu diperpanjang. Apalagi selain menelantarkan pulau, PT PKP juga tidak memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, seperti yang sebelumnya dijanjikan, maupun memberikan pemasukan tambahan bagi pemerintah daerah.

    “Cuma ya itulah hebatnya si perusahaan melakukan lobi di pusat, sampai sekarang meskipun tidak memberikan manfaat apa-apa dan sering membuat kegaduhan aja, tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka,” ungkapnya.

    Ustad Pian pun memastikan bahwa tidak ada pembangunan apapun yang dilakukan oleh PT PKP pada lahan HGB 21 dan 24, yang luasnya mencapai hampir dua juta meter persegi. PT PKP hanya membangun pada lahan HGB 22 dan 23, itu pun menurutnya hanya sebagian kecil lahan saja yang dibangun. “Jadi kami sangat yakin kalau pembangunan di lahan HGB 22 dan 23 itu sebenarnya hanya kedok saja supaya tidak ditetapkan sebagai tanah terlantar,” tegasnya.

    Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, PT PKP tengah berupaya melakukan perpanjangan sertifikat HGB yang mereka miliki, atas empat bidang tanah di Pulau Sangiang. Keempatnya yakni HGB 21, HGB 22, HGB 23 dan HGB 24. Sumber BANPOS lainnya mengutarakan jika pemerintah tengah bingung apakah akan memperpanjang HGB PT PKP atau tidak, karena terjadi konflik dengan masyarakat.

    PT PKP saat hendak dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon kantor dengan nomor 0215805777 dan nomor kantor 0215809855 yang tersebar di internet, tidak mendapatkan respon. Beberapa kali BANPOS melakukan panggilan telepon ke dua nomor tersebut, namun tidak ada yang mengangkat panggilan BANPOS.

    Sementara Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Banten saat dikonfirmasi terkait dengan proses perpanjangan sertifikat HGB PT PKP di Pulau Sangiang, menuturkan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan keterangan lantaran bukan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud yakni luas tanah yang tercatat dalam sertifikat HGB, hanya masuk ke dalam kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Serang, dan BPN pusat.

    Namun berdasarkan Permen ATR/KBPN RI Nomor 16 tahun 2022, kewenangan HGB untuk Badan Hukum yang dimiliki oleh Kanwil BPN ialah di atas 30 ribu meter persegi, hingga 250 ribu meter persegi. Salah satu HGB yang dimiliki oleh PT PKP yakni HGB 21 dengan luas 122 ribu meter persegi, seharusnya masih masuk ke dalam kewenangan mereka.

    Sementara saat BANPOS hendak mengonfirmasi pihak Kantah Kabupaten Serang pada Kamis (22/6), BANPOS dipertemukan dengan manajer loket yang bertugas saat itu yakni Rika. Dia menolak memberikan kesempatan kepada BANPOS untuk mengonfirmasi pejabat yang berwenang terkait dengan HGB, dengan alasan harus memberikan surat resmi terlebih dahulu.

    Saat dijelaskan bahwa kehadiran BANPOS untuk mengonfirmasi pemberitaan dan bukan untuk permohonan informasi, Rika tetap bersikeras bahwa kebijakan yang ada pada Kantah Kabupaten Serang ialah harus melampirkan surat resmi terlebih dahulu. Namun saat ditanya terkait dengan kebijakan yang dimaksud mengacu pada ketentuan apa, ia enggan menjawab.

    Akan tetapi pada hari sebelumnya yakni Rabu (22/6), manajer loket yang bertugas pada saat itu menyatakan bahwa sampai saat ini, belum ada surat yang masuk dari PT PKP, terkait dengan perpanjangan sertifikat HGB. Akan tetapi, ia tidak bisa memberikan informasi lebih, karena terbatas kewenangan.

    Untuk diketahui, PT PKP dalam melakukan pengusahaan wisata Pulau Sangiang, juga mengantongi beberapa berkas perizinan. Diantaranya yakni Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang No: 648/1795/TIB tanggal 1 Juli 1994 perihal Persetujuan prinsip pembangunan hotel, cottages dan jasa rekreasi (lapangan Golf, taman wisata alam) serta pembangunan perumahan seluas 780 hektare dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang Nomor: 460 ––SK – 1994 Tanggal 19 Juli 1994 tentang Perubahan Ijin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Jasa Akomodasi (Hotel) Jasa Rekreasi dan Hiburan, Lapangan Golf dan Taman Wisata Alam serta Pembangunan Rumah Peristirahatan (Villa) seluas 7.800.000 meter persegi.

    Berdasarkan pantauan citra satelit, video internal PT PKP dan penuturan masyarakat, dari perencanaan pembangunan yang hendak dilakukan oleh PT PKP melalui persetujuan prinsip dan izin lokasi tersebut, yang terealisasi hanyalah pembangunan rumah peristirahatan saja. Itu pun hanya terdapat empat cottages di tepi laut, dan bangunan lainnya di lahan HGB 22. Sementara seperti lapangan golf dan lain-lainnya, tidak terbangun hingga saat ini. Bahkan, HGB 24 yang memiliki luas terbesar, tidak tersentuh pembangunan bangunan apapun.

    Praktisi hukum sekaligus akademisi Universitas Bina Bangsa (Uniba), Wahyudi, kepada BANPOS mengatakan bahwa akar dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hak-hak lainnya dalam penguasaan dan pengelolaan tanah, mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria. Salah satu aturan turunan dari Undang-undang tersebut ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

    “Pada PP tersebut sudah ditegaskan pada Pasal 7 ayat (3), ketika si pemegang HGB tidak melakukan pembangunan sesuai dengan apa yang direncanakan selama dua tahun, sudah layak dicabut itu seharusnya, karena terlantar. Artinya ketika pengajuan itu mau buat resort, lapangan golf, taman dan lain sebagainya, ketika tidak dilakukan maka berdasarkan PP tersebut maka sudah layak dicabut,” ujarnya.

    Ia menuturkan, apabila perizinan untuk melakukan pembangunan sudah keluar sejak tahun 1990-an namun hingga saat ini tidak ada progres pembangunan sama sekali, maka sudah berlalu lebih dari 20 tahun. Sehingga menurutnya, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan, HGB yang dimiliki oleh PT PKP sangat layak untuk dicabut.

    “Jadi kalau menurut saya, atas nama Undang-undang, itu harus dicabut. Atau minimal diperingatkan lah. Kalau kita lihat dalam PP Nomor 18 tahun 2021, di situ dijelaskan bagaimana cara mendapatkan, cara memperpanjang dan bagaimana hilangnya hak atas tanah. Dia bisa memperpanjang sampai 20 tahun lagi, tetapi jika merunut pada 30 tahun sebelumnya, rasanya wajar lah kalau disebut terlantar,” ucapnya.

    Menurutnya, apabila masyarakat Pulau Sangiang melakukan penuntutan saat ini atas ditelantarkannya jutaan meter persegi tanah HGB di sana, maka seharusnya pemerintah dapat mengabulkannya.

    “Saya pastikan kalau ada warga yang menggugat, sangat bisa menang. Karena jelas kan, lebih dari 2 tahun tidak digunakan sesuai dengan apa yang menjadi haknya selaku pemegang HGB, maka itu bisa dicabut,” tegasnya.

    Sebagaimana dugaan dari Ustad Pian, Wahyudi pun menduga pembangunan yang difokuskan oleh PT PKP hanya pada dua lahan HGB, hanyalah untuk membangun eksistensi saja supaya terlihat lahan tersebut telah diusahakan.

    “Namun kan ada beberapa titik yang tidak digunakan sama sekali. HGB itu kan hak untuk mendirikan bangunan, maka harus ada eksistensi bangunannya dulu. Kalau HGB dimanfaatkan untuk misalkan pariwisata saja tanpa ada pembangunan, ya diubah lah jangan HGB, karena kan HGB itu harus ada bangunannya,” tutur dia.
    Maka dari itu, Wahyudi menuturkan bahwa tidak berlebihan apabila masyarakat menuntut agar HGB untuk PT PKP tidak diperpanjang, karena tidak memberikan dampak positif apapun selama hampir 30 tahun penguasaannya.(DZH/ENK)

  • Selain Yuni, Permasalahan Pulau Sangiang Diangkat Juga Menjadi Film

    Selain Yuni, Permasalahan Pulau Sangiang Diangkat Juga Menjadi Film

    SERANG, BANPOS – Sinema Rakyat (Sinar) dan Laboratorium Banten Girang, kembali mengajngkat isu Pulau Sangiang melalui film dokumenter. Mulai diproduksi, film dokumenter panjang itu diberi judul ‘Babi-babi di Tanah Surga’.

    Film yang diproduseri oleh Carya Maharja dan disutradarai oleh Abdul Malik Mohammad ini bercerita tentang perjuangan warga Pulau Sangiang, yang menuntut hak dikembalikannya tanah ulayat mereka yang diklaim sepihak pengelolaannya oleh PT Kalimaya Putih.

    Konflik perampasan tanah ulayat antara ratusan masyarat adat Pulau Sangiang dengan PT Kalimaya Putih, menarik sekelompok Seniman Film yang bersuara melalui Sinar bersama AGRA dan Laboratorium Banten Girang, ikut menggambarkan situasi yang sebenarnya terjadi disana melalui film dokumenter tersebut.

    “Sengketa tanah ini semakin meruncing ketika warga mulai kehilangan mata pencaharian utama mereka sebagi petani akibat dirusak hama babi,” ujar Sutradara film dokumenter ‘Babi-babi di Tanah Surga’, Abdul Malik Muhammad, kemarin.

    Lelaki yang akrab disapa Malik ini menjelaskan bagaimana proses produksi film dokumenter tentang Pulau Sangiang, yang masih terus berlanjut. Meski dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh Tim Sinar, namun pembuatan film itu diupayakan masih berjalan.

    “Kelak film ini akan rilis bulan Agustus 2022 dan akan diikutsertakan dalam beberapa festival film, baik dalam negeri maupun luar negeri, kami berharap masyarakat ikut mendukung,” tandasnya. (MUF)