Tag: Relawan Banten

  • Klaim Cegah Banjir Serang Lebih Besar, BBWSC3 Dituding Cari Pembenaran

    Klaim Cegah Banjir Serang Lebih Besar, BBWSC3 Dituding Cari Pembenaran

    SERANG, BANPOS – Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWSC3) selaku pengelola bendungan Sindangheula disebut mencari pembenaran. Hal ini dikarenakan penolakannya terkait pandangan bahwa bendungan Sindangheula merupakan penyebab banjir bandang di Kota Serang pada 1 Maret lalu.

    Bahkan dinyatakan oleh balai di bawah naungan Kementerian PUPR itu, banjir Kota Serang bisa lebih parah jika tanpa bendungan tersebut.

    Demikian disampaikan Kepala BBWSC3, I Ketut Jayada, usai mengunjungi Pemkot Serang untuk melakukan koordinasi pasca bencana banjir di Kota Serang. Dalam rapat koordinasi tersebut, sejumlah hal diajukan oleh Pemkot Serang untuk dapat dilakukan oleh BBWSC3, terkait dengan sungai Cibanten.

    Ketut mengatakan, saat ini publik seolah-olah menuduh bahwa bendungan Sindangheula merupakan penyebab dari banjir bandang di Kota Serang kemarin. Padahal menurutnya, keberadaan bendungan Sindangheula dibangun untuk mereduksi banjir di daerah yang dilalui sungai Cibanten, salah satunya Kota Serang.

    “Karena ini terminologinya dibikin penyebab banjir itu bendungan Sindangheula. Padahal justru bendungan Sindangheula itu membantu mengurangi dampak banjir,” ujarnya di Puspemkot Serang, Selasa (22/3).

    Diketahui, sejumlah pihak seperti Relawan Banten hingga Walikota Serang, menyebutkan bahwa penyebab banjir bandang di Kota Serang selain curah hujan, salah satunya adalah bendungan Sindangheula yang dituding pengelolaannya kurang baik.

    Ketut mengatakan, yang namanya bendungan tentu salah satunya memiliki fungsi untuk mereduksi banjir dan mengurangi dampak dari banjir. Namun memang, setiap bendungan memiliki kemampuan untuk menampung air yang berbeda-beda.

    “Kemampuan mereduksi banjir ini setiap bendungan berbeda-beda. Ada yang besar kemampuan tampungannya, ada yang kecil. Nah tergantung dari kapasitas tampung yang memang di anugerah tuhan, cekungan alam itu (sungai), berapa kapasitasnya. Seperti Sindangheula, ini 9 juta (meter kubik),” jelasnya.

    Sehingga, ia mengaku heran dengan pihak-pihak yang menyalahkan bendungan Sindangheula atas bencana banjir bandang yang terjadi di Kota Serang kemarin. Ia mengklaim, jika tidak ada bendungan Sindangheula, banjir yang terjadi di Kota Serang kemarin, akan memiliki dampak yang lebih parah.

    “Nah terminologinya kenapa penyebabnya bendungan Sindangheula. Padahal dia sudah membantu mengurangi dampak banjir. Artinya kalau tidak ada bendungan Sindangheula, lebih besar lagi. Karena sudah ada 9 juta kubik air sudah ditahan di sana,” ungkapnya.

    Di sisi lain, Ketut menuturkan bahwa sejumlah permintaan dari Pemkot Serang dalam penanganan masalah banjir di Kota Serang yakni berkaitan dengan normalisasi sungai Ciujung, saat ini masih dalam tahap pengajuan. Belum pasti apakah pihaknya akan menyetujui keinginan dari Pemkot Serang tersebut.

    “Saya belum bisa men declare apakah ini nanti akan menormalisasi, ataukah membuat tanggul, atau merelokasi penduduk, itu berdasarkan hasil studi nanti. Namun setelah saya menerima surat usulan dari pak Walikota ini, kami akan segera melakukan koordinasi ke Jakarta (Kementerian),” ucapnya.

    Sementara itu, Walikota Serang, Syafrudin, mengatakan bahwa pihaknya sengaja mengundang BBWSC3 untuk menyalurkan aspirasi kepada Kementerian PUPR melalui BBWSC3, terkait dengan pemulihan pasca-bencana banjir bandang.

    Syafrudin mengatakan, sejumlah hal diajukan oleh pihaknya, termasuk bantuan untuk memperbaiki sejumlah infrastruktur yang rusak akibat banjir bandang seperti jalan, jembatan dan rumah warga. Termasuk melakukan normalisasi sungai Cibanten.

    “Yang paling signifikan adalah sedimentasi sungai Cibanten yang menjadi tanggung jawab BBWSC3. Jadi saya mohon tidak harus menunggu DED, karena statusnya sudah jelas. Mohon kepada Kepala Balai untuk dapat segera melakukan normalisasi di sungai Cibanten untuk mengantisipasi banjir berikutnya,” katanya.

    Menanggapi pernyataan BBWSC3, Relawan Banten, Lulu Jamaludin, mengatakan bahwa pihak BBWSC3 hanya mencari pembenaran saja atas permasalahan yang terjadi. Menurutnya, banjir bandang yang terjadi kemarin pun salah satu penyebabnya ialah kegagalan BBWSC3 dalam memprediksi debit air.

    “Saya rasa itu hanya pembenaran saja. Mencari cara bagaimana menyalahkan sungai. Padahal seharusnya pihak pemerintah dan BBWSC3 juga harus bisa memprediksi, bagaimana ketika sungai Cibanten itu meluap, apa langkah-langkah yang akan dilakukan,” ujarnya.

    Lulu mengaku, sampai saat ini pihaknya melihat BBWSC3 hanya bisa menyalahkan kondisi sungai yang penuh dengan sampah, dangkal dan bantaran sungainya yang penuh dengan bangunan. Padahal seharusnya, BBWSC3 harus bisa memberikan solusi sekaligus langkah preventif apabila terjadi bencana.

    “Harus diingat, sungai Cibanten itu ada sebelum bendungan dibangun. Jadi jangan salahkan sungai Cibantennya. Kita juga kemarin menyoroti langkah dari BBWSC3 yang dalam hal koordinasi masih buruk, sehingga tidak ada langkah pencegahan terjadinya bencana seperti banjir bandang kemarin,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Bendungan Sindangheula, Penyangga atau Sumber Petaka?

    Bendungan Sindangheula, Penyangga atau Sumber Petaka?

    SUDAH enam hari dilewati pasca-bencana banjir terjadi di Kota Serang dan sekitarnya pada 1 Maret lalu. Banjir yang diakibatkan oleh meluapnya sungai Cibanten karena bendungan Sindangheula melebihi kapasitas itu menelan sebanyak lima korban jiwa. Bendungan yang dibangun untuk jadi penyangga itu telah berubah menjadi sumber petaka?

    Bendungan Sindangheula yang terletak di Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang ini mulai dibangun pada tahun 2015 lalu. Pembangunan bendungan itu dilakukan untuk mengendalikan banjir yang kerap kali terjadi di daerah yang dilalui oleh sungai Cibanten dan anak-anak sungainya, hingga 50 meter kubik per detik.

    Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 lalu, bendungan Sindangheula memakan anggaran hingga Rp458 miliar. Megaproyek tersebut dikerjakan oleh PT PP (Persero) Tbk dan PT Karya Hutama (Persero) selama empat tahun.

    Berdasarkan data yang dikutip dari situs Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Bendungan Sindangheula direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 9.26 M kubik dan diharapkan dapat mengairi lahan seluas 748 Hektare. Selain itu, bendungan itu ditargetkan mampu menyediakan pasokan air baku sebesar 0,80 Meter kubik per detik dan punya kapabilitas mengurangi debit banjir sebesar 50 M kubik per detik.

    Namun pada kenyataannya, seperti disampaikan Walikota Serang, Syafrudin, Bendungan Sindangheula justru menjadi sumber petaka bagi Kota Serang. Karena menurutnya, bendungan Sindangheula yang seharusnya mereduksi banjir di Kota Serang, justru malah mengakibatkan banjir yang terjadi semakin parah.

    Hal itu pun dibenarkan oleh para relawan yang tergabung dalam Relawan Banten, saat menggelar konferensi pers di Rumah Singgah Fesbuk Banten News (FBN) pada Minggu (6/3). Dalam konferensi pers tersebut, relawan Banten menyinggung terkait kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan Bendungan Sindangheula yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWSC3) dan juga peran pemerintah pasca banjir.

    Juru bicara Relawan Banten, Nana, mengungkap beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir di Serang pada Maret 2022 ini.

    “Ya kalau dibilang penyebab banjir banyak faktor ya, mulai ada perubahan tata guna lahan di hulu, ada penambangan di tengah, kemudian setelah Bendungan Sindangheula ada penyempitan yang diakibatkan oleh bangunan,” ujarnya.

    Nana juga menuturkan bahwa hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian dan evaluasi bagi pemerintah, agar bencana semacam ini dapat diminimalisir.

    “Itu yang harus dievaluasi oleh pemerintah, sehingga masyarakat tau, siapa tau juga penyebab banjir itu juga disebabkan oleh masyarakat, misalnya membuang sampah atau juga mereka melakukan hal-hal yang menyebabkan tersumbatnya kali Cibanten,” tuturnya.

    Nana pun mengungkap bahwa sejak tahun 1974 tidak pernah ada banjir separah yang terjadi saat ini. “Tapi yang pasti sejak tahun 74 tidak pernah ada banjir sedahsyat ini, justru terjadi setelah bangunan Bendungan Sindangheula ada,” ungkapnya.

    Nana pun menganggap wajar apabila banyak masyarakat yang menilai bahwa ada yang salah dari tata kelola Bendungan Sindangheula. “Barangkali wajarlah kalau banyak orang kemudian mencurigai ada sesuatu yang salah dari pengelolaan Bendungan Sindangheula, yang operatornya adalah BBWSC3 gitu. Itu gak salah, karena memang sejak tahun 74 tidak pernah ada banjir sebesar dan sedahsyat hari ini,” paparnya.

    Ia pun dengan tegas meminta pengelola Bendungan Sindangheula dapat menekan resiko adanya kelebihan kapasitas air di bendungan tersebut. “Kalau memang kapasitasnya katanya hanya 9 juta, bagaimana caranya agar over capacity dari Bendungan Sindangheula itu tidak lagi jadi masalah,” terangnya.

    Ia pun menyarankan agar Bendungan Sindangheula dapat menggunakan sistem yang diterapkan di Bendungan Katulampa, yang dapat memberi informasi mengenai banyaknya volume air yang dilepas.
    “Mereka pasti taulah metode yang paling aman untuk itu, ya kita belajar dari Bendungan Katulampa, ya walaupun di Jakarta banjir tapi kan sudah ada sistem yang dibangun, sehingga Katulampa memberi informasi bahwa hari ini dia melepas air sebanyak sekian, nah kawasan terdampaknya dimana, nah itu yang kita butuhkan,” imbuhnya.

    Pihaknya pun sangat menyayangkan tidak adanya peringatan dari pemerintah dan pengelola Bendungan Sindangheula mengenai kapasitas air yang dilepas, sehingga terjadilah banjir.

    “Kan ketika kejadian, tidak ada peringatan apapun yang disampaikan pemerintah, apakah itu dari pemerintah kota, pemerintah provinsi, maupun dari Bendungan Sindangheula sendiri,” katanya.

    Ia pun menekankan bahwa pasca-banjir, pemerintah masih harus memperhatikan keadaan masyarakat terdampak banjir. “Setelah banjir ini, kita masih punya permasalahan-permasalahan krusial, ada orang yang kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian, itu juga harus diurus bukan dibiarkan,” tandasnya.

    Branch Manager ACT Banten, Ais Komarudin, mengatakan bahwa banjir yang terjadi di Kota Serang adalah banjir besar pertama yang menyebabkan ribuan unit rumah warga terendam banjir. Ia pun menolak bahwa ada langganan dalam kejadian bencana.

    “Semacam stereotip lah, bencana itu bukan langganan, itu asumsi atau bahasa-bahasa yang tidak perlu sebetulnya terucap. Kalaupun dianggap langganan kenapa terjadi lagi. Harusnya ketika persepsi bahwa itu adalah langganan maka harus dipersiapkan mengantisipasinya gitu,” ucap Ais melalui pesan yang dikirim via whatsapp, Minggu (6/3).

    Selain curah hujan yang tinggi, menurutnya pembangunan-pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pun menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.

    “Benar curah hujan cukup tinggi, tapi ada sebab-akibat kenapa bencana banjir ini menimpa Kota Serang yang notabene belum pernah mengalami begitu. Ini tidak bisa ditarik langsung di event kejadiannya, pasti ada sebab akibat. Mungkin ada pembangunan-pembangunan yang tidak aware dengan AMDAL, juga mungkin ada beberapa ketidaksadaran masyarakat terkait sanitasi dan lain sebagainya begitu,” terangnya.

    Dalam hal ini, Ais mengatakan bahwa tidak ada yang bisa disalahkan. Namun Pemerintah harus mengevaluasi dan berupaya agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. Salah satu caranya yaitu memberikan edukasi bagi masyarakat akan mitigasi bencana.

    “Pemerintah harusnya bisa mengantisipasi ini karena kan memang diberikan otoritas, anggaran, dan lain sebagainya. Dan masyarakat juga harus beredukasi tentang mitigasi bencana sehingga mengantisipasi supaya tidak terjadi bencana seperti yang kita alami saat ini,” ujar Ais.

    Pemerintah pun diminta untuk membangun kesadaran masyarakat dan penguatan mitigasi, baik mitigasi struktural berupa pembangunan infrastruktur maupun mitigasi non struktural pembangunan SDMnya, sebagai upaya meminimalisir jumlah korban dan kerugian yang diakibatkan bencana yang terjadi.

    “Bencana itu tidak bisa ditolak, yang bisa dilakukan adalah meminimalisir terjadinya korban dan kerugian. Caranya bagaimana? Membangun kesadaran masyarakat juga kesiapan pemerintah penguatan mitigasi. Mitigasi itu ada mitigasi struktural, infrastruktur yang dibangun dan mitigasi non struktural yaitu capacity building terhadap masyarakat tentang wearnes, tentang kesiapsiagaan dan lain sebagainya begitu. Nah ini harus dibangun oleh pemerintah dan pemerintah punya otoritas punya anggaran untuk itu,” tuturnya.

    Peristiwa serupa mungkin akan terjadi lagi apabila penyebabnya belum ditemukan. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan assessment untuk mencari akar permasalahannya.

    “Ini sangat mengejutkan karena memang tidak pernah terjadi sebelumnya dan bukan tidak mungkin akan terulang lagi kalau tidak ditemukan penyebabnya. Maka tugas pemerintah melakukan deep assessment, analyze dijalankan hingga ketemu akar permasalahannya dimana dan diperbaharui lagi,” ujarnya.

    Ais pun mengatakan bahwa hingga masa tanggap darurat usai, ACT berkomitmen tetap hadir untuk membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.

    “ACT totalitas untuk bisa membantu sampai hari ini walaupun tanggap darurat itu sudah dicabut, kita tetap terus beroperasi. Biasa kita sering tag line kita tuh ‘datang pertama pulang terakhir’,” pungkasnya.

    Kerugian Banjir

    Di sisi lain, selain korban jiwa, banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kota Serang itu juga mengakibatkan kerugian materil yang sampai saat ini belum dapat dihitung total nominalnya. Kerugian materil yang diakibatkan oleh banjir tersebut meliputi rumah rusak, rumah hanyut, jembatan rusak, tanah longsor hingga kerusakan barang milik warga mulai dari alat elektronik hingga perlengkapan hidup sehari-hari.

    Berdasarkan data yang dirilis oleh BPBD Kota Serang saja, tercatat sebanyak 83 titik banjir terjadi di Kota Serang. Ketinggian banjir pun terjadi dalam rentang 20 cm hingga 5 meter. Dari 83 titik banjir tersebut, sebanyak 4.872 rumah, 1.811 KK, dan 11.951 jiwa terdampak akibat banjir itu.

    Di sisi lain, tercatat sebanyak 9 rumah hanyut, 7 rumah roboh dan empat rumah mengalami rusak berat. Data tersebut masih dapat bertambah, mengingat Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi dan Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Ratu Ria Maryana, menemukan adanya rumah warga yang hanyut, roboh maupun rusak berat yang tidak masuk ke dalam data.

    Pada 1 Maret lalu, Walikota Serang mengumumkan penetapan kondisi siaga bencana alam banjir di Kota Serang hingga 5 Maret. Penetapan status siaga bencana banjir itu pun digaungkan lantaran banjir yang terjadi merupakan banjir terparah dalam sejarah Kota Serang. Namun pada saat ini, Pemkot Serang menurunkan level tersebut menjadi Transisi Darurat ke Pemulihan.

    “Sudah diturunkan levelnya,” ujar Asisten Daerah bidang Pemerintahan atau Asda 1 Kota Serang, Subagyo, Minggu (6/3).

    Berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 366/Kep.109-Huk/2022 tentang Penetapan Status Transisi Darurat ke Pemulihan Penanganan Bencana Banjir Tahun 2022, Pemkot Serang menjadikan sejumlah pertimbangan dalam menurunkan level ketimbang mencabut status siaga bencana.

    Pertimbangan tersebut yakni keadaan darurat bencana banjir masih berlangsung. Kendati banjir sudah mulai surut, namun diperlukan kewaspadaan terhadap ancaman banjir di kemudian hari, mengingat Kota Serang masih masuk ke dalam wilayah dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi.

    Selanjutnya, dengan dialihkannya status bencana dari siaga menjadi transisi darurat ke pemulihan, penanganan keadaan darurat harus dilakukan secara cepat, tepat dan terpadu sesuai dengan standar dan prosedur pada masa transisi darurat ke pemulihan.

    Status transisi darurat ke pemulihan ini ditetapkan oleh Pemkot Serang selama 60 hari, dimulai sejak 6 Maret hingga 2 Juni 2022. Pemulihan yang dilakukan oleh Pemkot Serang meliputi perbaikan darurat sarana dan prasarana vital seperti jaringan jalan, jembatan, irigasi dan sarpras sosial budaya masyarakat.

    Selanjutnya yakni pemulihan utilitas pendukung agar dapat berfungsi kembali, seperti perbaikan komunikasi, kelistrikan, air bersih, air minum, gas dan limbah atau sanitasi. Pemkot Serang pun akan berfokus pada perbaikan lahan pertanian dengan memberikan bantuan bibit pangan.

    Walikota Serang, Syafrudin, mengatakan bahwa sejumlah rumah milik warga yang hanyut, rusak maupun roboh pun akan menjadi fokus dari Pemkot Serang dalam melakukan penanganan bencana di masa transisi itu. Bantuan diberikan baik berupa barang maupun uang.

    “Namun untuk tahapan pertama yang akan dilakukan pada masa transisi ini yaitu pembersihan sampah dan memperbaiki infrastruktur yang rusak-rusak terlebih dahulu,” kata Syafrudin saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.

    Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah instansi dan lembaga kemasyarakatan pun mulai menutup posko mereka di lapangan. Namun mereka tetap membuka posko bantuan bagi para penyintas bencana banjir Kota Serang di markas instansi maupun lembaga masing-masing.

    Saat ini, hanya posko di Lingkungan Kenari, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen saja yang masih dibuka. Sebab, kondisi di sana cenderung masih belum kondusif. Relawan dari berbagai daerah pun menyasar lingkungan Kenari untuk menyalurkan bantuan mereka.

    (MG-02/MG-03/DZH/ENK)

  • Relawan Banten Sebut Pemerintah Gagap Hadapi Bencana

    Relawan Banten Sebut Pemerintah Gagap Hadapi Bencana

    SERANG, BANPOS – Pasca banjir yang melanda sejumlah wilayah di Provinsi Banten, Pemerintah disebut gagap Banjir. Tak hanya itu, Provinsi Banten yang tidak memiliki pusat informasi bencana pun mengakibatkan penanganan pemerintah pasca banjir sangat semrawut.

    Demikian disampaikan Relawan Banten, saat menggelar konferensi pers di posko Relawan Banten, Minggu (6/3). Dalam kesempatan tersebut, sejumlah data-data yang disampaikan berdasarkan pengamatan di lapangan secara langsung.

    Relawan Banten, Lulu Jamaluddin, mengungkapkan bahwa berdasarkan pengalaman langsung, pihaknya menerjunkan sejumlah relawan dari berbagai daerah. Sejak hari pertama, terdata sebanyak 70 relawan dari Bandung, Depok dan Bekasi.

    “Bahkan, tim kesehatan pun didatangkan dari wilayah Bandung. Ini kejadian suatu kegagapan Pemerintah,” ujarnya.

    Ia menjelaskan, banjir di awal Maret lalu bukan banjir Kota Serang. Sebab, usai banjir terbesar di kota serang, menyusul banjir di Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang, disertai tanah bergerak yang menyebabkan 43 umah di Kabupaten Lebak bergeser dan retak.

    “Selanjutnya, Provinsi Banten saat ini tidak mempunyai informasi bencana, mengakibatkan penanganan pemerintah pasca banjir sangat semrawut,” tandasnya.

    Relawan lainnya, Nana, menyebut bahwa Sungai Cibanten telah kehilangan fungsi aslinya, yaitu sebagai jalur transportasi air. Kondisi sungai yang makin dangkal dan menyempit tersebut, diduga disebabkan adanya pengendapan material dari Gunung Karang yang ikut terbawa arus air, misalnya lumpur.

    Penyebab banjir Banten banyak beberapa faktor yaitu mulai ada perubahan tata guna lahan di hulu. Ada penambangan di tengah, setelah bendungan Sindangheula dan ada penyempitan yang diakibatkan bangunan bangunan lokasi belum diketahui pasti.

    “Banyak faktor itu yang harus dievaluasi oleh pemerintah sehingga masyarakat tahu, penyebab banjir juga diakibatkan oleh masyarakat di samping buang sampah yang dapat menyumbat sungai Cibanten. Tapi yang pasti, sejak tahun 1974 tidak pernah ada banjir sedahsyat banjir kali ini, justru itu terjadi semenjak bangunan sindangheula ada,” ungkapnya.

    Ia menegaskan tak sedikit masyarakat yang mencurigai ada sesuatu yang salah dari pengelolaan bendungan Sindangheula melalui operator BBWS3C. Bahwan menyebut pengelolaan tersebut salah, sebab sejak tahun sebelumnya pun belum pernah ada banjir sebesar dan sedahsyat kali ini.

    “Kita bisa lihat ada yang rusak dan memicu kecepatan air segala macam, sehingga akibatnya sangat luar biasa. Ini jadikan pembelajaran kalau memang kapasitasnya yang hanya 9 juta kubik, bagaimana caranya agar over capacity dari bendungan Singdangheula itu tidak lagi bermasalah, mereka (BBWS3C) paling tahu lah metode paling aman untuk mengatasi itu,” jelasnya.

    Nana mengaku, seharusnya semua pihak belajar dari bendungan Katulampa. Meskipun wilayah Jakarta banjir, akan tetapi sudah ada sistem yang dibangun Katulampa, bahwa selalu memberikan informasi ketika akan melepas air dengan jumlah kubik yang ditentukan, dan kawasan mana saja yang terdampak.

    “Itu yang kita butuhkan di sistem bendungan Singdangheula. Pas kejadian tidak ada peringatan apapun yang disampaikan oleh pemerintah baik kota ataupun provinsi, maupun bendungan sindangheula sendiri,” ucapnya.

    Dengan adanya sistem yang direncanakan dengan baik, maka seluruh pihak dapat mengantisipasi sejumlah dampak yang terjadi di wilayah-wilayah dan penanganan yang dilakukan.

    “Kita belajar dari itu, apabila sistemnya dibangun, karena sejauh ini usai dibangun dan sampai hari ini tidak ada sistem yang dibangun. Sehingga itu perlu dilakukan, agar kedepan kita lebih siap menghadapi hal-hal seperti itu,” tandasnya. (MUF)