SUDAH enam hari dilewati pasca-bencana banjir terjadi di Kota Serang dan sekitarnya pada 1 Maret lalu. Banjir yang diakibatkan oleh meluapnya sungai Cibanten karena bendungan Sindangheula melebihi kapasitas itu menelan sebanyak lima korban jiwa. Bendungan yang dibangun untuk jadi penyangga itu telah berubah menjadi sumber petaka?
Bendungan Sindangheula yang terletak di Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang ini mulai dibangun pada tahun 2015 lalu. Pembangunan bendungan itu dilakukan untuk mengendalikan banjir yang kerap kali terjadi di daerah yang dilalui oleh sungai Cibanten dan anak-anak sungainya, hingga 50 meter kubik per detik.
Diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2021 lalu, bendungan Sindangheula memakan anggaran hingga Rp458 miliar. Megaproyek tersebut dikerjakan oleh PT PP (Persero) Tbk dan PT Karya Hutama (Persero) selama empat tahun.
Berdasarkan data yang dikutip dari situs Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), Bendungan Sindangheula direncanakan akan memiliki kapasitas sebesar 9.26 M kubik dan diharapkan dapat mengairi lahan seluas 748 Hektare. Selain itu, bendungan itu ditargetkan mampu menyediakan pasokan air baku sebesar 0,80 Meter kubik per detik dan punya kapabilitas mengurangi debit banjir sebesar 50 M kubik per detik.
Namun pada kenyataannya, seperti disampaikan Walikota Serang, Syafrudin, Bendungan Sindangheula justru menjadi sumber petaka bagi Kota Serang. Karena menurutnya, bendungan Sindangheula yang seharusnya mereduksi banjir di Kota Serang, justru malah mengakibatkan banjir yang terjadi semakin parah.
Hal itu pun dibenarkan oleh para relawan yang tergabung dalam Relawan Banten, saat menggelar konferensi pers di Rumah Singgah Fesbuk Banten News (FBN) pada Minggu (6/3). Dalam konferensi pers tersebut, relawan Banten menyinggung terkait kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan Bendungan Sindangheula yang dikelola oleh Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian (BBWSC3) dan juga peran pemerintah pasca banjir.
Juru bicara Relawan Banten, Nana, mengungkap beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir di Serang pada Maret 2022 ini.
“Ya kalau dibilang penyebab banjir banyak faktor ya, mulai ada perubahan tata guna lahan di hulu, ada penambangan di tengah, kemudian setelah Bendungan Sindangheula ada penyempitan yang diakibatkan oleh bangunan,” ujarnya.
Nana juga menuturkan bahwa hal-hal tersebut perlu menjadi perhatian dan evaluasi bagi pemerintah, agar bencana semacam ini dapat diminimalisir.
“Itu yang harus dievaluasi oleh pemerintah, sehingga masyarakat tau, siapa tau juga penyebab banjir itu juga disebabkan oleh masyarakat, misalnya membuang sampah atau juga mereka melakukan hal-hal yang menyebabkan tersumbatnya kali Cibanten,” tuturnya.
Nana pun mengungkap bahwa sejak tahun 1974 tidak pernah ada banjir separah yang terjadi saat ini. “Tapi yang pasti sejak tahun 74 tidak pernah ada banjir sedahsyat ini, justru terjadi setelah bangunan Bendungan Sindangheula ada,” ungkapnya.
Nana pun menganggap wajar apabila banyak masyarakat yang menilai bahwa ada yang salah dari tata kelola Bendungan Sindangheula. “Barangkali wajarlah kalau banyak orang kemudian mencurigai ada sesuatu yang salah dari pengelolaan Bendungan Sindangheula, yang operatornya adalah BBWSC3 gitu. Itu gak salah, karena memang sejak tahun 74 tidak pernah ada banjir sebesar dan sedahsyat hari ini,” paparnya.
Ia pun dengan tegas meminta pengelola Bendungan Sindangheula dapat menekan resiko adanya kelebihan kapasitas air di bendungan tersebut. “Kalau memang kapasitasnya katanya hanya 9 juta, bagaimana caranya agar over capacity dari Bendungan Sindangheula itu tidak lagi jadi masalah,” terangnya.
Ia pun menyarankan agar Bendungan Sindangheula dapat menggunakan sistem yang diterapkan di Bendungan Katulampa, yang dapat memberi informasi mengenai banyaknya volume air yang dilepas.
“Mereka pasti taulah metode yang paling aman untuk itu, ya kita belajar dari Bendungan Katulampa, ya walaupun di Jakarta banjir tapi kan sudah ada sistem yang dibangun, sehingga Katulampa memberi informasi bahwa hari ini dia melepas air sebanyak sekian, nah kawasan terdampaknya dimana, nah itu yang kita butuhkan,” imbuhnya.
Pihaknya pun sangat menyayangkan tidak adanya peringatan dari pemerintah dan pengelola Bendungan Sindangheula mengenai kapasitas air yang dilepas, sehingga terjadilah banjir.
“Kan ketika kejadian, tidak ada peringatan apapun yang disampaikan pemerintah, apakah itu dari pemerintah kota, pemerintah provinsi, maupun dari Bendungan Sindangheula sendiri,” katanya.
Ia pun menekankan bahwa pasca-banjir, pemerintah masih harus memperhatikan keadaan masyarakat terdampak banjir. “Setelah banjir ini, kita masih punya permasalahan-permasalahan krusial, ada orang yang kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian, itu juga harus diurus bukan dibiarkan,” tandasnya.
Branch Manager ACT Banten, Ais Komarudin, mengatakan bahwa banjir yang terjadi di Kota Serang adalah banjir besar pertama yang menyebabkan ribuan unit rumah warga terendam banjir. Ia pun menolak bahwa ada langganan dalam kejadian bencana.
“Semacam stereotip lah, bencana itu bukan langganan, itu asumsi atau bahasa-bahasa yang tidak perlu sebetulnya terucap. Kalaupun dianggap langganan kenapa terjadi lagi. Harusnya ketika persepsi bahwa itu adalah langganan maka harus dipersiapkan mengantisipasinya gitu,” ucap Ais melalui pesan yang dikirim via whatsapp, Minggu (6/3).
Selain curah hujan yang tinggi, menurutnya pembangunan-pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pun menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir.
“Benar curah hujan cukup tinggi, tapi ada sebab-akibat kenapa bencana banjir ini menimpa Kota Serang yang notabene belum pernah mengalami begitu. Ini tidak bisa ditarik langsung di event kejadiannya, pasti ada sebab akibat. Mungkin ada pembangunan-pembangunan yang tidak aware dengan AMDAL, juga mungkin ada beberapa ketidaksadaran masyarakat terkait sanitasi dan lain sebagainya begitu,” terangnya.
Dalam hal ini, Ais mengatakan bahwa tidak ada yang bisa disalahkan. Namun Pemerintah harus mengevaluasi dan berupaya agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. Salah satu caranya yaitu memberikan edukasi bagi masyarakat akan mitigasi bencana.
“Pemerintah harusnya bisa mengantisipasi ini karena kan memang diberikan otoritas, anggaran, dan lain sebagainya. Dan masyarakat juga harus beredukasi tentang mitigasi bencana sehingga mengantisipasi supaya tidak terjadi bencana seperti yang kita alami saat ini,” ujar Ais.
Pemerintah pun diminta untuk membangun kesadaran masyarakat dan penguatan mitigasi, baik mitigasi struktural berupa pembangunan infrastruktur maupun mitigasi non struktural pembangunan SDMnya, sebagai upaya meminimalisir jumlah korban dan kerugian yang diakibatkan bencana yang terjadi.
“Bencana itu tidak bisa ditolak, yang bisa dilakukan adalah meminimalisir terjadinya korban dan kerugian. Caranya bagaimana? Membangun kesadaran masyarakat juga kesiapan pemerintah penguatan mitigasi. Mitigasi itu ada mitigasi struktural, infrastruktur yang dibangun dan mitigasi non struktural yaitu capacity building terhadap masyarakat tentang wearnes, tentang kesiapsiagaan dan lain sebagainya begitu. Nah ini harus dibangun oleh pemerintah dan pemerintah punya otoritas punya anggaran untuk itu,” tuturnya.
Peristiwa serupa mungkin akan terjadi lagi apabila penyebabnya belum ditemukan. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan assessment untuk mencari akar permasalahannya.
“Ini sangat mengejutkan karena memang tidak pernah terjadi sebelumnya dan bukan tidak mungkin akan terulang lagi kalau tidak ditemukan penyebabnya. Maka tugas pemerintah melakukan deep assessment, analyze dijalankan hingga ketemu akar permasalahannya dimana dan diperbaharui lagi,” ujarnya.
Ais pun mengatakan bahwa hingga masa tanggap darurat usai, ACT berkomitmen tetap hadir untuk membantu siapa saja yang memerlukan bantuan.
“ACT totalitas untuk bisa membantu sampai hari ini walaupun tanggap darurat itu sudah dicabut, kita tetap terus beroperasi. Biasa kita sering tag line kita tuh ‘datang pertama pulang terakhir’,” pungkasnya.
Kerugian Banjir
Di sisi lain, selain korban jiwa, banjir yang melanda sejumlah wilayah di Kota Serang itu juga mengakibatkan kerugian materil yang sampai saat ini belum dapat dihitung total nominalnya. Kerugian materil yang diakibatkan oleh banjir tersebut meliputi rumah rusak, rumah hanyut, jembatan rusak, tanah longsor hingga kerusakan barang milik warga mulai dari alat elektronik hingga perlengkapan hidup sehari-hari.
Berdasarkan data yang dirilis oleh BPBD Kota Serang saja, tercatat sebanyak 83 titik banjir terjadi di Kota Serang. Ketinggian banjir pun terjadi dalam rentang 20 cm hingga 5 meter. Dari 83 titik banjir tersebut, sebanyak 4.872 rumah, 1.811 KK, dan 11.951 jiwa terdampak akibat banjir itu.
Di sisi lain, tercatat sebanyak 9 rumah hanyut, 7 rumah roboh dan empat rumah mengalami rusak berat. Data tersebut masih dapat bertambah, mengingat Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi dan Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Ratu Ria Maryana, menemukan adanya rumah warga yang hanyut, roboh maupun rusak berat yang tidak masuk ke dalam data.
Pada 1 Maret lalu, Walikota Serang mengumumkan penetapan kondisi siaga bencana alam banjir di Kota Serang hingga 5 Maret. Penetapan status siaga bencana banjir itu pun digaungkan lantaran banjir yang terjadi merupakan banjir terparah dalam sejarah Kota Serang. Namun pada saat ini, Pemkot Serang menurunkan level tersebut menjadi Transisi Darurat ke Pemulihan.
“Sudah diturunkan levelnya,” ujar Asisten Daerah bidang Pemerintahan atau Asda 1 Kota Serang, Subagyo, Minggu (6/3).
Berdasarkan Keputusan Walikota Nomor 366/Kep.109-Huk/2022 tentang Penetapan Status Transisi Darurat ke Pemulihan Penanganan Bencana Banjir Tahun 2022, Pemkot Serang menjadikan sejumlah pertimbangan dalam menurunkan level ketimbang mencabut status siaga bencana.
Pertimbangan tersebut yakni keadaan darurat bencana banjir masih berlangsung. Kendati banjir sudah mulai surut, namun diperlukan kewaspadaan terhadap ancaman banjir di kemudian hari, mengingat Kota Serang masih masuk ke dalam wilayah dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi.
Selanjutnya, dengan dialihkannya status bencana dari siaga menjadi transisi darurat ke pemulihan, penanganan keadaan darurat harus dilakukan secara cepat, tepat dan terpadu sesuai dengan standar dan prosedur pada masa transisi darurat ke pemulihan.
Status transisi darurat ke pemulihan ini ditetapkan oleh Pemkot Serang selama 60 hari, dimulai sejak 6 Maret hingga 2 Juni 2022. Pemulihan yang dilakukan oleh Pemkot Serang meliputi perbaikan darurat sarana dan prasarana vital seperti jaringan jalan, jembatan, irigasi dan sarpras sosial budaya masyarakat.
Selanjutnya yakni pemulihan utilitas pendukung agar dapat berfungsi kembali, seperti perbaikan komunikasi, kelistrikan, air bersih, air minum, gas dan limbah atau sanitasi. Pemkot Serang pun akan berfokus pada perbaikan lahan pertanian dengan memberikan bantuan bibit pangan.
Walikota Serang, Syafrudin, mengatakan bahwa sejumlah rumah milik warga yang hanyut, rusak maupun roboh pun akan menjadi fokus dari Pemkot Serang dalam melakukan penanganan bencana di masa transisi itu. Bantuan diberikan baik berupa barang maupun uang.
“Namun untuk tahapan pertama yang akan dilakukan pada masa transisi ini yaitu pembersihan sampah dan memperbaiki infrastruktur yang rusak-rusak terlebih dahulu,” kata Syafrudin saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp.
Berdasarkan pantauan di lapangan, sejumlah instansi dan lembaga kemasyarakatan pun mulai menutup posko mereka di lapangan. Namun mereka tetap membuka posko bantuan bagi para penyintas bencana banjir Kota Serang di markas instansi maupun lembaga masing-masing.
Saat ini, hanya posko di Lingkungan Kenari, Kelurahan Kasunyatan, Kecamatan Kasemen saja yang masih dibuka. Sebab, kondisi di sana cenderung masih belum kondusif. Relawan dari berbagai daerah pun menyasar lingkungan Kenari untuk menyalurkan bantuan mereka.
(MG-02/MG-03/DZH/ENK)