Tag: restorative justice

  • Kapolda Banten Akan Sanksi Penyidik Yang Tangani Kasus Pemerkosaan Gadis Difabel

    Kapolda Banten Akan Sanksi Penyidik Yang Tangani Kasus Pemerkosaan Gadis Difabel

    SERANG, BANPOS – Kapolda Banten Irjen Pol Rudy Heriyanto memastikan penyidik yang menangani perkara pemerkosaan gadis keterbelakangan mental akan dikenakan sanksi. Sanksi diberikan karena terduga pelaku dinilai melanggar Pasal 21 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Kabid Humas Polda Banten Kombes Pol Shinto Silitonga mengatakan jika penyidik yang menangani perkara pemerkosaan gadis keterbelakangan mental masih dalam proses pemeriksaan propam. “Penyidik masih diperiksa terkait sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri,” kata Shinto pada Jumat (4/2/2022)

    Disebutkan Shinto, dalam Pasal 20 ayat (2) Perkap tersebut, setiap aggota Polri yang dinyatakan bersalah akan dikenakan sanksi berupa permintaan maaf secara lisan di hadapan Sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.

    Selain itu, pelanggar wajib mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan, keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya paling lama satu bulan. “Pelanggar juga bisa dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat demosi sekurang-kurangnya satu tahun,” ujar Shinto.

    Shinto menyampaikan bahwa Kapolda Banten sudah menginstruksikan agar personel Bidkum dan Bidpropam Polda Banten aktif melakukan sosialisasai dan edukasi tentang operasionalisasi penerapan keadilan restoratif. “Khususnya tentang pengawasan dari atasan baik tingkat Polres maupun Polda,” tegas Shinto.

    Penyidikan perkara pemerkosaan gadis difabel kembali dilanjutkan penyidik Polres Serang Kota pasca gelar perkara khusus di akhir Januari 2022. Gelar perkara tersebut dilakukan pasca temuan pemeriksaan internal Bidpropam dan audit penyidikan Bagwasidik Ditreskrimum Polda Banten tentang pemahaman yang salah dalam operasionalisasi restorative justice terhadap penanganan perkara pemerkosaan gadis difabel.

    “Polres Serang Kota harus menuntaskan penyidikan perkara tersebut hingga ke pengadilan,” tutup Shinto.

    (MUF/ENK)

  • Penculikan Restorative Justice di Serang Kota

    Penculikan Restorative Justice di Serang Kota

    KEPOLISIAN Resort (Polres) Serang Kota kembali melanjutkan penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas asal Kasemen. Dilanjutkannya penyidikan tersebut setelah adanya rekomendasi atas gelar perkara khusus yang diasistensi langung oleh Bidpropam dan Wasidik Ditreskrimum Polda Banten.

    Untuk diketahui, gelar perkara khusus dilakukan dengan dua tahapan. Tahapan pertama yaitu tahapan yang digelar secara terbuka dan dihadiri oleh insan pers dan pihak pelapor maupun terlapor.
    Sedangkan tahap berikutnya digelar secara internal, dihadiri oleh Bagwasidik Polda Banten, Bidkum Polda Banten, Bidpropam Polda Banten, Kapolres Serang Kota, Wakapolres Serang Kota, Kasi Pengawas, Kasi Propam, Kasikum, Kasatreskrim dan penyidik Satreskrim Polres Serang Kota.

    Gelar perkara khusus tersebut pun akhirnya menghasilkan keputusan bahwa penyidikan terhadap kasus pemerkosaan penyandang disabilitas asal Kecamatan Kasemen yang sempat dihentikan oleh Polres Serang Kota, harus kembali dilanjutkan.

    Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, melakui Kasatreskrim Polres Serang Kota, AKP David Adhi Kusuma, mengatakan bahwa surat perintah penyidikan lanjutan telah dikeluarkan untuk perkara pemerkosaan tersebut.

    “Benar, sesuai rekomendasi gelar perkara khusus, penyidikan pemerkosaan gadis difabel akan dilanjutkan,” ujar David dalam pers rilis yang diterima BANPOS, kemarin.

    Menurutnya, penghentian penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas tersebut telah menimbulkan gelombang reaksi negatif dari masyarakat. Sehingga, dilanjutkannya penyidikan perkara tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

    “Guna memenuhi rasa keadilan masyarakat, Penyidik Satreskrim Polres Serang Kota akan menyelesaikan pemberkasan terhadap dua tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan,” tutur David.

    Kembali dilanjutkannya proses penyidikan pada perkara pemerkosaan tersebut dinilai oleh Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Serang, sebagai bukti bobroknya penegakkan hukum oleh Polres Serang Kota.

    “Keputusan dilanjutkannya penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas, mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam proses penegakkan hukum yang dilakukan oleh Polres Serang Kota. Ini justru membuka kepada publik bagaimana bobroknya penanganan hukum oleh mereka,” ujar Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, Sabtu (29/1).

    Ega mengatakan, sejak awal pihaknya sudah merasa aneh dengan keputusan yang diambil oleh Polres Serang Kota, yang menghentikan perkara pemerkosaan penyandang disabilitas dengan dalih restorative justice.

    “Bagi kami ini sudah cacat sejak awal. Karena kok bisa kasus pemerkosaan dilakukan restorative justice. Apalagi posisi perwalian korban pada saat dilakukan perdamaian itu sarat akan kepentingan, karena diwalikan oleh istri dari pelaku,” terangnya.

    Ia menuturkan bahwa pada hasil gelar perkara khusus pun, tidak menyebutkan siapa yang bertanggungjawab pada penghentian penyidikan itu. Padahal seharusnya, jika memang terjadi kekeliruan bahkan pelanggaran terhadap aturan, harus ada yang bertanggungjawab.

    “Aneh, kalau emang ada yang dilanggar, maka siapa yang melanggar itu yang harus dihukum. Tapi dalam pemberitaan yang kami dapatkan, tidak ada yang bertanggungjawab. Kalau gitu, akan ada potensi melanggar kembali,” ungkapnya.

    Selain itu, ia pun mendesak agar motif utama diberhentikannya kasus pemerkosaan tersebut dapat diungkap. Karena menurutnya, tidak mungkin motif pemberhentian kasus tersebut hanya karena alasan kemanusiaan sebagaimana yang beredar.

    “Kami rasa tidak mungkin pemberhentian hanya karena alasan kemanusiaan. Lagi pula setahu kami, kasus yang paling dibenci oleh siapapun adalah kasus pelecehan seksual. Bahkan oleh sesama narapidana pun juga sangat dibenci. Tapi ini kok bisa-bisanya dengan mudah diberhentikan,” katanya.

    Sedikit kilas balik, Ega menuturkan bahwa dalam kurun waktu kepemimpinan Kapolres Serang Kota saat ini, yaitu AKBP Maruli, banyak terjadi tindakan yang dianggap telah melanggar aturan, bahkan mengancam demokrasi.

    “Sebagai contoh, ketika demisioner Ketua Umum HMI MPO Cabang Serang dan pimpinan Komisariat Unbaja periode kemarin ditangkap dan ditahan selama hampir satu hari oleh Satreskrim Polres Serang Kota, hanya karena kami ingin menyambut kedatangan Presiden Joko Widodo,” ujarnya.

    Ia mengatakan bahwa hal tersebut sudah sangat mencederai demokrasi, dan melanggar aturan. Karena menurutnya, dalam Undang-undang nomor 9 tahun 1998 tidak ada larangan untuk menyampaikan aspirasi di hadapan Presiden.

    “Terlebih kami sangat ingat betul, kami tidak berorasi atau unjuk rasa seperti halnya yang biasa dilakukan. Kami hanya ingin membentangkan poster dengan tulisan ayat suci al-Quran, mendoakan beliau (Jokowi) agar menjadi pemimpin yang adil,” katanya.

    Termasuk pada saat akan digelar aksi protes di Markas Polres Serang Kota, dimana pada saat itu anggota dari Polres Serang Kota menghalau massa aksi di persimpangan lampu merah menuju Mapolres.

    “Kan sudah jelas bahwa dalam Undang-undang nomor 9 itu, Markas Kepolisian tidak termasuk tempat yang dilarang untuk menggelar unjuk rasa. Maka dari itu, ini jelas-jelas merupakan bobroknya Kapolres Serang Kota dalam memimpin,” tegasnya.

    Ia pun mendesak agar Kapolres Serang Kota untuk secara jantan mengakui kesalahan dari para anak buahnya, baik dari kasus penculikan hingga pemberhentian penyidikan kasus pemerkosaan penyandang disabilitas.

    “Tidak ada anak buah yang salah, tapi pimpinannya yang salah. Karena tentu baik tindakan penculikan maupun pemberhentian kasus pemerkosaan itu atas persetujuan Kapolres. Jadi lebih baik minta maaf dan mundur atau silahkan pimpinan baik Polda maupun Polri segera mencopot Kapolres Serang Kota. Dari pada wilayah hukum di bawah Polres Serang Kota ini terus tidak kondusif,” tegasnya.

    Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Ahiles Hutapea, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon tidak mau merespon banyak mengenai hal tersebut. Ia pun menyuruh agar pihak yang mendesak agar Kapolres meminta maaf dan mengundurkan diri untuk datang ke Polres Serang Kota.

    “Suruh datang ke Polres aja, nanti kita temui. Datang ke Polres nanti dihadapkan pada Kasatreskrim yang bagian penyidikan, nanti tinggal ketemu. Begitu aja. Ini kan atas nama Polres, nah penanganan penyidikan ada di Reskrim, nanti siapa yang mengoordinir silahkan ketemu, biar kami tahu,” katanya.

    Sementara Kabid Humas Polda Banten, Kombes Shinto Silitonga, saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp belum kunjung membalas.

    Untuk diketahui, dilaksanakannya gelar perkara khusus oleh Polda Banten atas penghentian penyidikan kasus pemerkosaan disabilitas asal Kasemen, lantaran banyaknya protes yang dilakukan oleh masyarakat dan rekomendasi yang diberikan oleh Kompolnas.

    Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti, mengatakan bahwa Kompolnas akan melakukan klarifikasi terhadap perkara tersebut. Ia pun meminta agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang ditugaskan pada perkara itu.

    “Kami merekomendasikan Wassidik dan Propam turun untuk memeriksa penyidik kasus tersebut,” ujar Poengky dalam rilis yang diterima.

    Poengky menilai, kasus perkosaan bukan merupakan delik aduan. Sehingga meskipun pelapor bermaksud mencabut kasus, proses pidananya tetap harus berjalan. Selain itu, restorative justice pun tidak bisa dilakukan untuk kasus pemerkosaan.

    “Alasan restorative justice itu untuk kasus-kasus pidana yang sifatnya ringan. Bukan kasus perkosaan, apalagi terhadap difabel yang wajib dilindungi. Dalam kasus ini, sensitivitas penyidik harus tinggi,” tegas Poengky.

    Ia pun menyayangkan jika penyidik menghentikan penyidikan terhadap dua pelaku dugaan perkosaan, dengan alasan laporan sudah dicabut. Ia menegaskan bahwa polisi memiliki tugas melakukan kontrol sosial dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan.

    “Alasan pencabutan laporan karena adanya perdamaian dengan cara kesediaan pelaku untuk menikahi korban yang telah hamil 6 bulan juga perlu dikritisi, mengingat pelaku sebelumnya telah tega memerkosa korban. Sehingga aneh jika kemudian menikahkan pelaku pemerkosaan dengan korban,” tuturnya.

    (MUF/ENK)

  • SP3 Kasus Pemerkosaan oleh Polres Serang Kota Langgar Aturan

    SP3 Kasus Pemerkosaan oleh Polres Serang Kota Langgar Aturan

    SERANG, BANPOS – Bidpropam dan Bagian Pengawasan Penyidikan (Bagwasidik) Ditreskrimum Polda Banten menilai, penghentian penyidikan atau SP3 perkara pemerkosaan penyandang disabilitas prematur dan tidak sesuai Peraturan Kepolisian (Perpol). Hal itu mengemuka usai dilaksanakannya pemeriksaan serta audit, atas penanganan perkara pemerkosaan penyandang disabilitas yang dilakukan oleh Satreskrim Polres Serang Kota.

    “Polda Banten sejak Jumat lalu telah melakukan pemeriksaan dan audit penyidikan perkara pemerkosaan gadis difabel, sesuai hasil diskusi dengan Komisioner Kompolnas, Poengki Indarti, juga mendengarkan masukan dari beberapa pihak,” kata Kabidhumas Polda Banten, Kombes Shinto Silitonga, Rabu (26/1).

    Menurut Shinto, Kapolda Banten, Irjen Pol Rudy Heriyanto, menaruh perhatian besar terhadap pendapat para tokoh dan dinamika informasi di media, terkait penanganan perkara pemerkosaan gadis penyandang disabilitas tersebut.

    Menurut Shinto, Kapolda Banten memonitor langsung pelaksanaan pemeriksaan dan audit penyidikan yang dilakukan Polda Banten.

    “Kapolda Banten menginstruksikan kepada tim pemeriksa dan tim audit penyidikan untuk memprioritaskan rasa adil bagi korban dengan mendengarkan masukan dari banyak pihak,” katanya.

    Salah satu temuan signifikan pada pemeriksaan dan audit tersebut adalah, penghentian penyidikan yang dilakukan Satreskrim Polres Serang Kota terlalu prematur dan tidak sesuai dengan Perpol Nomor 8 tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

    “Benar ada permohonan pencabutan laporan polisi sebagai salah satu syarat restorative justice, namun penghentian penyidikan tidak seharusnya dilakukan oleh penyidik, melainkan tetap melanjutkan perkaranya hingga dapat disidangkan ke pengadilan,” jelasnya.

    Guna memenuhi rasa keadilan, Bidpropam dan Bagwasidik Ditreskrimum Polda Banten merekomendasikan agar Polres Serang Kota melakukan gelar perkara khusus terkait keluarnya SP3, dengan asistensi langsung dari Bidpropam dan Bagwasidik Ditreskrimum Polda Banten.

    Gelar tersebut diagendakan akan dilaksanakan di Ruang Gelar Ditreskrimum pada Rabu (26/1) pagi yang diikuti oleh penyidik Satreskrim Polres Serang Kota, Bidpropam Polda Banten bersama dengan fungsi pengawasan dari Inspektorat Polda Banten.

    “Gelar perkara khusus merupakan tindak lanjut pengawasan Polda Banten terhadap penghentian penyidikan yang dilakukan oleh Polres Serang Kota, dan ini sesuai dengan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” ucapnya.

    Sementara hingga pukul 17.52 WIB, saat dihubungi kembali Shinto menuturkan bahwa belum ada hasil dari gelar perkara khusus tersebut. “Kami masih menunggu lembar rekom (rekomendasi-Red) dari Krimum,” tandasnya.

    Sebelumnya diketahui, pembebasan pemerkosa penyandang disabilitas mendapat sorotan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga yang salah satu tugasnya mengawasi kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tersebut menilai bahwa pembebasan pelaku atas dasar restorative justice tidak bisa dibenarkan.

    Bahkan, Kompolnas meminta bagian Pengawasan dan Penyidikan (Wassidik) dan Propam Polda Banten, untuk memeriksa penyidik yang menangani perkara dugaan pemerkosaan penyandang disabilitas tersebut. Apalagi Polres Serang Kota telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

    Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti, mengatakan bahwa Kompolnas akan melakukan klarifikasi terhadap perkara tersebut. Ia pun meminta agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang ditugaskan pada perkara itu.

    “Kami merekomendasikan Wassidik dan Propam turun untuk memeriksa penyidik kasus tersebut,” ujar Poengky dalam rilis yang diterima.

    Sementara, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Nur’aeni, mengaku miris dan kecewa dengan langkah restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota, atas kasus pemerkosaan disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

    Menurut Nur’aeni, restorative justice yang ditempuh oleh Polres Serang Kota sehingga membebaskan para pelaku, sangat bertentangan dengan semangat dari pemerintah pusat dalam mengentaskan masalah kekerasan seksual.

    “DPR dalam paripurna sudah mengetok RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk masuk ke Prolegnas tahun 2022. Namun anehnya, di daerah justru muncul kasus seperti ini. Berarti daerah masih setengah-setengah dalam memandang masalah ini,” ujarnya.

    Politisi perempuan asal Partai Demokrat ini menegaskan, langkah pembebasan pelaku pemerkosaan oleh Polres Serang Kota dapat berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.

    (DZH/PBN)

  • Penyidik Polres Serang Kota Diperiksa Karena Beri Restorative Justice Pada Kasus Pemerkosaan

    Penyidik Polres Serang Kota Diperiksa Karena Beri Restorative Justice Pada Kasus Pemerkosaan

    SERANG, BANPOS – Pembebasan pemerkosa penyandang disabilitas mendapat sorotan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga yang salah satu tugasnya mengawasi kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tersebut menilai bahwa pembebasan pelaku atas dasar restorative justice tidak bisa dibenarkan.

    Bahkan, Kompolnas meminta bagian Pengawasan dan Penyidikan (Wassidik) dan Propam Polda Banten, untuk memeriksa penyidik yang menangani perkara dugaan pemerkosaan penyandang disabilitas tersebut. Apalagi Polres Serang Kota telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

    Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti, mengatakan bahwa Kompolnas akan melakukan klarifikasi terhadap perkara tersebut. Ia pun meminta agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang ditugaskan pada perkara itu.

    “Kami merekomendasikan Wassidik dan Propam turun untuk memeriksa penyidik kasus tersebut,” ujar Poengky dalam rilis yang diterima.

    Poengky menilai, kasus perkosaan bukan merupakan delik aduan. Sehingga meskipun pelapor bermaksud mencabut kasus, proses pidananya tetap harus berjalan. Selain itu, restorative justice pun tidak bisa dilakukan untuk kasus pemerkosaan.

    “Alasan restorative justice itu untuk kasus-kasus pidana yang sifatnya ringan. Bukan kasus perkosaan, apalagi terhadap difabel yang wajib dilindungi. Dalam kasus ini, sensitivitas penyidik harus tinggi,” tegas Poengky.

    Ia pun menyayangkan jika penyidik menghentikan penyidikan terhadap dua pelaku dugaan perkosaan, dengan alasan laporan sudah dicabut. Ia menegaskan bahwa polisi memiliki tugas melakukan kontrol sosial dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan.

    “Alasan pencabutan laporan karena adanya perdamaian dengan cara kesediaan pelaku untuk menikahi korban yang telah hamil 6 bulan juga perlu dikritisi, mengingat pelaku sebelumnya telah tega memerkosa korban. Sehingga aneh jika kemudian menikahkan pelaku perkosaan dengan korban,” tuturnya.

    Di tempat terpisah, Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Hutapea, mengaku akan meneliti kembali penangguhan dua tersangka pemerkosa yang sebelumnya ditahan selama 41 hari sejak 27 November 2021.

    “Kami sudah melakukan restorative justice, karena keinginan kedua belah pihak. Tapi, kalau ada masukan-masukan akan kami teliti kembali. Bisa dilanjutkan. Memang ini (restorative justice) inisiatif pelapor karena dasar kemanusiaan,” terangnya.

    Sementara itu, Polda Banten pun langsung menindaklanjuti rekomendasi dari Kompolnas dengan melakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang menangani perkara pemerkosan gadis disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen itu.

    Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol Shinto Silitonga, dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa Polda Banten menindaklanjuti rekomendasi dan saran dari Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti.

    “Polda Banten menurunkan personel dari tim Bidpropam untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap para penyidik yang melakukan penanganan perkara pemerkosaan gadis difabel,” ujar Shinto pada Jumat (21/1).

    Selain itu, Shinto menuturkan bahwa Polda Banten juga mengerahkan tim Wassidik Ditreskrimum untuk melakukan fungsi pengawasan terkait penerapan restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota.

    “Apakah sesuai dengan ketentuan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Shinto.

    Dikecam DPR RI

    ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Nur’aeni, mengaku miris dan kecewa dengan langkah restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota, atas kasus pemerkosaan disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

    Menurut Nur’aeni, restorative justice yang ditempuh oleh Polres Serang Kota sehingga membebaskan para pelaku, sangat bertentangan dengan semangat dari pemerintah pusat dalam mengentaskan masalah kekerasan seksual.

    “DPR dalam paripurna sudah mengetok RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk masuk ke Prolegnas tahun 2022. Namun anehnya, di daerah justru muncul kasus seperti ini. Berarti daerah masih setengah-setengah dalam memandang masalah ini,” ujarnya.

    Polres Serang Kota pun menurutnya, masih memandang masalah tindak kekerasan seksual, apalagi terhadap penyandang disabilitas, sebagai perkara yang biasa, sampai-sampai pelakunya dibebaskan. Ia menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi lagi.

    “Ini yang tidak benar menurut saya. Jangan berikan ruang bagi pelaku pemerkosaan, apalagi dibebaskan dengan dalih apapun. Meskipun diklaim sudah dilakukan upaya perdamaian secara kekeluargaan,” tegasnya.

    Politisi perempuan asal Partai Demokrat ini menegaskan, langkah pembebasan pelaku pemerkosaan oleh Polres Serang Kota dapat berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.

    “Kalau seandainya setiap kasus pemerkosaan dilakukan lewat cara-cara perdamaian ataupun ada lobi, ini tidak akan membuat efek jera. Walaupun ada dalih ini kan untuk melindungi korban karena difabel, khawatir ada ancaman. Makanya, perlu pendampingan khusus. Karena ini bukan kasus ecek-ecek, ini kasus pemerkosaan yang merupakan pelanggaran HAM, terlebih terhadap disabilitas,” ungkapnya.

    Ia pun menyayangkan dinikahinya korban dengan salah satu pelaku. Menurutnya, perlu diusut siapa yang berinisiatif untuk mengambil langkah perdamaian melalui pernikahan itu. Karena menurutnya, hal itu bisa mengarah pada kekerasan seksual yang lebih jauh lagi.

    “Jadi mengapa bisa diputuskan dengan mudah? Kan ini bukan persoalan yang gampang. Jangan mentang-mentang hamil lalu dinikahkan. Kalau menurut saya, ini bukan menyelesaikan satu persoalan, malah akan menambah persoalan yang baru bagi si korban,” tandasnya.

    Sementara itu, Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa diputuskannya langkah Restorative Justice terhadap perkara pemerkosaan penyandang disabilitas, merupakan salah berpikir dari Polres Serang Kota atas konsep Restorative Justice.

    “Kalau kasus pemerkosaan ini bisa dilakukan Restorative Justice cukup dengan keterangan bahwa pelaku siap menikahi korban, tentu akan banyak kasus pemerkosaan-pemerkosaan lainnya. Tinggal kuat-kuatan relasi dan harta kalau seperti itu. Jelas ini merupakan salah pikir terkait Restorative Justice,” ujarnya.

    Di sisi lain, pelaku pemerkosaan terdiri dari dua orang. Salah satu klausul perdamaian yang disebut merupakan keinginan dari pihak keluarga, mewajibkan pelaku untuk menikahi korban serta menafkahi lahir batin hingga akhir hayatnya.

    “Menurut saya ini aneh, karena dari dua orang ini, siapa yang akan menikahi? Atas dasar apa dia yang harus menikahi? Keduanya kan sama-sama pelaku. Tidak mungkin keduanya menikahi korban. Artinya, kalau hanya satu orang yang akan menikahi, mengapa pelaku lainnya dibebaskan. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

    Selain itu menurutnya, secara aturan Islam pun dilarang untuk menikahi wanita yang tengah hamil di luar pernikahan. Sebab, hal itu akan terjadi bias nasab, meskipun jika sudah jelas siapa ayah kandungnya tetap tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah.

    “Apalagi berdasarkan informasi yang perwakilan kami dapatkan pada saat turun ke lapangan, ternyata pernikahan korban dengan pelaku tidak dihadiri oleh Wali dari korban. Jelas ini merupakan bentuk permainan terhadap agama dan hukum,” ungkapnya.

    Pernikahan yang terjadi antara korban dan salah satu pelaku pun dikhawatirkan oleh pihaknya, malah menambah permasalahan yang dialami korban. Sebab, bisa saja korban mengalami trauma terhadap pelaku, dan dipaksa untuk tinggal serumah dengan ikatan pernikahan yang ia anggap sebagai paksaan.

    “Kalau dinikahkan, apa enggak ada ketakutan bahwa si korban malah akan tersiksa lahiriah dan batiniyah. Justru korban akan tertekan dinikahkan dengan salah satu pelaku, karna korban dinikahkan bukan dengan orang yang dia sukai, justru yang dia benci saat ini,” ucapnya.

    Maka dari itu, ia pun mendesak agar negara, khususnya Pemerintah Kota Serang, untuk turun tangan mengambil alih hak asuh korban, dan dijadikan sebagai tanggungan negara. Karena, pihak keluarga korban pun sangat sulit untuk dipercaya, mengingat salah satu pelaku merupakan paman korban, dan yang mewakili korban merupakan bibi dari korban yang diduga istri pelaku.

    “Korban ini tengah hamil enam bulan. Ini seharusnya menjadi tanggungan negara, agar dirawat oleh Pemerintah Kota Serang karena pihak keluarga pun tidak bisa menjaganya. Supaya korban memiliki rasa aman dan kenyamanan pada dirinya, sebagai proses pemulihan atas kejadian itu,” ungkapnya.

    Ia pun mendesak Polres Serang Kota untuk mencabut keputusan Restorative Justice yang dibuat, dan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. Sebab tanpa laporan pun, kasus pemerkosaan tetap bisa diselidiki oleh Kepolisian lantaran bukan delik aduan.

    “Kami mendesak Polres Serang Kota untuk menindak kasus kejahatan seksual ini dengan tuntas dan pelaku harus dihukum, jangan sampai dibiarkan begitu saja. Ini adalah delik biasa, maka dari itu walaupun tidak ada laporan, polisi harus menindak pelaku kejahatan tersebut. Jangan biarkan predator seksual berkeliaran,” tandasnya.

    (DZH/ENK)

  • Anggota DPR RI Kecewa Pemerkosa Disabilitas Dapat Restorative Justice

    Anggota DPR RI Kecewa Pemerkosa Disabilitas Dapat Restorative Justice

    SERANG, BANPOS – Anggota DPR RI, Nur’aeni, mengaku miris dan kecewa dengan langkah restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota, atas kasus pemerkosaan disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

    Menurut Nur’aeni, restorative justice yang ditempuh oleh Polres Serang Kota sehingga membebaskan para pelaku, sangat bertentangan dengan semangat dari pemerintah pusat dalam mengentaskan masalah kekerasan seksual.

    “DPR dalam paripurna sudah mengetok RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk masuk ke Prolegnas tahun 2022. Namun anehnya, di daerah justru muncul kasus seperti ini. Berarti daerah masih setengah-setengah dalam memandang masalah ini,” ujarnya melalui sambungan telepon, Kamis (20/1).

    Polres Serang Kota pun menurutnya, masih memandang masalah tindak kekerasan seksual, apalagi terhadap penyandang disabilitas, sebagai perkara yang biasa, sampai-sampai pelakunya dibebaskan. Ia menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi lagi.

    “Ini yang tidak benar menurut saya. Jangan berikan ruang bagi pelaku pemerkosaan, apalagi dibebaskan dengan dalih apapun. Meskipun diklaim sudah dilakukan upaya perdamaian secara kekeluargaan,” tegasnya.

    Politisi perempuan asal Partai Demokrat ini menegaskan, langkah pembebasan pelaku pemerkosaan oleh Polres Serang Kota dapat berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.

    “Kalau seandainya setiap kasus pemerkosaan dilakukan lewat cara-cara perdamaian ataupun ada lobi, ini tidak akan membuat efek jera. Walaupun ada dalih ini kan untuk melindungi korban karena difabel, khawatir ada ancaman. Makanya, perlu pendampingan khusus. Karena ini bukan kasus ecek-ecek, ini kasus pemerkosaan yang merupakan pelanggaran HAM, terlebih terhadap disabilitas,” ungkapnya.

    Ia pun menyayangkan dinikahinya korban dengan salah satu pelaku. Menurutnya, perlu diusut siapa yang berinisiatif untuk mengambil langkah perdamaian melalui pernikahan itu. Karena menurutnya, hal itu bisa mengarah pada kekerasan seksual yang lebih jauh lagi.

    “Jadi mengapa bisa diputuskan dengan mudah? Kan ini bukan persoalan yang gampang. Jangan mentang-mentang hamil lalu dinikahkan. Kalau menurut saya, ini bukan menyelesaikan satu persoalan, malah akan menambah persoalan yang baru bagi si korban,” tandasnya.

    (DZH)

  • Soal Restorative Justice, Polres Serang Kota Dituding Salah Pikir

    Soal Restorative Justice, Polres Serang Kota Dituding Salah Pikir

    SERANG, BANPOS – Pelepasan dua pelaku pemerkosaan penyandang disabilitas oleh Polres Serang Kota dengan dalih Restorative Justice (RJ) dinilai sebagai kesalahan berpikir. Pasalnya, Restorative Justice hanya berlaku bagi perkara pidana ringan, bukan pidana berat seperti pemerkosaan.

    Berdasarkan rilis yang diterima BANPOS, keluarga korban pemerkosaan gadis difabel mendatangi Polres Serang Kota pada Selasa (18/1). Kedatangannya kali ini dalam rangka mencabut laporan atas kejadian tersebut.

    “Terima kasih kepada Polres Serang Kota yang telah dengan cepat menanggapi laporan, namun kami telah memilih mekanisme mufakat damai dari masing-masing pihak sehingga dengan secara sadar mencabut laporan tersebut ke Polres Serang Kota,” kata pelapor kasus tersebut, Hidayat.

    Sementara itu, bibi korban, Julia Adji Susanti yang merawat korban sejak kecil menyampaikan bahwa pihak keluarga memilih mekanisme permufakatan damai dari masing-masing pihak sehingga dengan secara sadar mencabut laporan ke Polres Serang Kota.

    “Saya mengucapkan terimakasih kepada Kapolres Serang Kota yang telah dengan cepat menangani laporan yang kami sampaikan, kami keluarga telah mencabut laporan karena akan kami selesaikan dengan permufakatan damai,” ujar Julia.

    Selanjutnya Julia mengatakan bahwa SE akan menikahi YA, “Kami telah bermusyawarah dengan keluarga EJ dan SE, dari hasil musyawarah tersebut SE akan menikahi dan menafkahi lahir batin bukan untuk sesaat namun hingga maut yang memisahkan,” kata Julia.

    Sementara itu Kapolres Serang Kota AKBP Maruli Ahiles Hutapea SIK MH melalui Kasatreskrim AKP David Adhi Kusuma SIK.,MH. mengatakan bahwa kasus pemerkosaan gadis difabel telah dicabut laporannya oleh pihak keluarga, atas dasar dari terlapor menempuh jalur Restorative Justice dan hasil musyawarah antara 2 keluarga.

    “Kami telah bertemu dengan kedua pihak, atas dasar keterangan dari keluarga korban, pihak keluarga bersepakat tidak akan melanjutkan permasalahan tersebut, karena keluarga korban atas dasar musyawarah bersama tersangka SE akan menikah dengan YA dan akan menafkahi lahir batin. Kedua tersangka telah ditangguhkan penahanannya,” kata David.

    Menanggapi permasalahan ini, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten, Rizki Aulia Rohman, mengatakan bahwa Restorative Justice merupakan amanat dari Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

    Menurutnya, aturan tersebut mengamanatkan bahwa perlu dilakukannya penyelesaian tindak pidana yang bersifat ringan, dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan kembali seperti keadaan semula, dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan.

    “Ini merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat. Ini merupakan kewenangan yang diberikan pasal 16 dan 18 UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang POLRI dalam rangka menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, dengan tetap memperhatikan norma dan nilai serta kepastian hukum dan kebermanfaatan di masyarakat,” ujarnya, Rabu (19/1).

    Sementara untuk kasus pemerkosaan terhadap disabilitas di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Rizki menuturkan bahwa perlu dilihat klasifikasi tindak pidananya. Sebab, tidak semua perkara dapat dilakukan langkah Restorative Justice.

    “Perlu digarisbawahi sesuai pasal 5, perlu adanya klasifikasi yang tetap memperhatikan apakah tindak pidana tersebut dapat di RJ atau tidak. Seperti tindakan pidana ringan, tidak menimbulkan kegaduhan atau keresahan serta penolakan di masyarakat, tidak berdampak konflik sosial,” terangnya.

    Selain itu, tindak pidana yang tidak bisa dilakukan langkah Restorative Justice adalah tindak pidana terorisme dan separatisme, radikalisme, tindak pidana korupsi, mengancam keamanan negara, tindak pidana terhadap nyawa orang dan tindak pidana narkoba serta bukan residivis.

    Dalam pemerkosaan terhadap penyandang disabilitas, ia menuturkan bahwa memang dalam KUHP tidak mengatur terkait dengan pemerkosaan. Yang ada ialah kasus pencabulan, dan jarang dapat dilakukan langkah Restorative Justice.

    “Biasanya jarang bisa dilakukan langkah Restorative Justice. Karena kan kasus asusila itu tidak bisa diganti dengan materil kerugiannya,” jelasnya.

    Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Kota Serang yang sempat berusaha mengunjungi korban bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Banten, mengaku heran dengan kondisi ini.

    Mide Formateur HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa diputuskannya langkah Restorative Justice terhadap perkara pemerkosaan penyandang disabilitas, merupakan salah berpikir dari Polres Serang Kota atas konsep Restorative Justice.

    “Kalau kasus pemerkosaan ini bisa dilakukan Restorative Justice cukup dengan keterangan bahwa pelaku siap menikahi korban, tentu akan banyak kasus pemerkosaan-pemerkosaan lainnya. Tinggal kuat-kuatan relasi dan harta kalau seperti itu. Jelas ini merupakan salah pikir terkait Restorative Justice,” ujarnya.

    Di sisi lain, pelaku pemerkosaan terdiri dari dua orang. Salah satu klausul perdamaian yang disebut merupakan keinginan dari pihak keluarga, mewajibkan pelaku untuk menikahi korban serta menafkahi lahir batin hingga akhir hayatnya.

    “Menurut saya ini aneh, karena dari dua orang ini, siapa yang akan menikahi? Atas dasar apa dia yang harus menikahi? Keduanya kan sama-sama pelaku. Tidak mungkin keduanya menikahi korban. Artinya, kalau hanya satu orang yang akan menikahi, mengapa pelaku lainnya dibebaskan. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

    Selain itu menurutnya, secara aturan Islam pun dilarang untuk menikahi wanita yang tengah hamil di luar pernikahan. Sebab, hal itu akan terjadi bias nasab, meskipun jika sudah jelas siapa ayah kandungnya tetap tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah.

    “Apalagi berdasarkan informasi yang perwakilan kami dapatkan pada saat turun ke lapangan, ternyata pernikahan korban dengan pelaku tidak dihadiri oleh Wali dari korban. Jelas ini merupakan bentuk permainan terhadap agama dan hukum,” ungkapnya.

    Pernikahan yang terjadi antara korban dan salah satu pelaku pun dikhawatirkan oleh pihaknya, malah menambah permasalahan yang dialami korban. Sebab, bisa saja korban mengalami trauma terhadap pelaku, dan dipaksa untuk tinggal serumah dengan ikatan pernikahan yang ia anggap sebagai paksaan.

    “Kalau dinikahkan, apa enggak ada ketakutan bahwa si korban malah akan tersiksa lahiriah dan batiniyah. Justru korban akan tertekan dinikahkan dengan salah satu pelaku, karna korban dinikahkan bukan dengan orang yang dia sukai, justru yang dia benci saat ini,” ucapnya.

    Maka dari itu, ia pun mendesak agar negara, khususnya Pemerintah Kota Serang, untuk turun tangan mengambil alih hak asuh korban, dan dijadikan sebagai tanggungan negara. Karena, pihak keluarga korban pun sangat sulit untuk dipercaya, mengingat salah satu pelaku merupakan paman korban, dan yang mewakili korban merupakan bibi dari korban yang diduga istri pelaku.

    “Korban ini tengah hamil enam bulan. Ini seharusnya menjadi tanggungan negara, agar dirawat oleh Pemerintah Kota Serang karena pihak keluarga pun tidak bisa menjaganya. Supaya korban memiliki rasa aman dan kenyamanan pada dirinya, sebagai proses pemulihan atas kejadian itu,” ungkapnya.

    Ia pun mendesak Polres Serang Kota untuk mencabut keputusan Restorative Justice yang dibuat, dan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. Sebab tanpa laporan pun, kasus pemerkosaan tetap bisa diselidiki oleh Kepolisian lantaran bukan delik aduan.

    “Kami mendesak Polres Serang Kota untuk menindak kasus kejahatan seksual ini dengan tuntas dan pelaku harus dihukum, jangan sampai dibiarkan begitu saja. Ini adalah delik biasa, maka dari itu walaupun tidak ada laporan, polisi harus menindak pelaku kejahatan tersebut. Jangan biarkan predator seksual berkeliaran,” tandasnya.(DZH/PBN)