Tag: Sejarawan Banten

  • Pelan-pelan Pak Sopir! Bonnie Kenalkan Dirinya sebagai Calon DPR RI

    Pelan-pelan Pak Sopir! Bonnie Kenalkan Dirinya sebagai Calon DPR RI

    SERANG, BANPOS – Sejarawan asal Kabupaten Lebak, Banten, Bonnie Triyana mencalonkan diri sebagai bakal calon anggota DPR RI Dapil Banten I Lebak-Pandeglang pada Pemilu 2024.

    Namun, ada yang berbeda dari bakal calon legislatif lainnya. Sebab, Bonie menggunakan cara unik untuk memperkenalkan diri kepada publik melalui sejumlah billboard di beberapa titik Dapil Banten I.

    Ia memasukkan muatan pesan yang belakangan ini tengah viral di media sosial, khususnya TikTok. Salah satu billboard yang dipasang itu ada di kawasan Mandala, Rangkasbitung, Lebak.

    Pesan dalam billboard itu berbunyi “PELAN-PELAN PAK SOPIR… BONNIE TRIYANA MAJU BACALEG DPR RI DARI”. Tak lupa juga, terpampang foto dirinya yang tengah nyengir lebar dengan mengenakan seragam PDI Perjuangan.

    Bonnie mengaku punya perhatian lebih terhadap dunia pendidikan di Provinsi Banten.

    Menurut pria asal Rangkasbitung Lebak ini, pendidikan menjadi kunci utama bagi peningkatan taraf hidup masyarakat.

    Bonnie menyebut, negara memiliki kewajiban untuk menjamin seluruh masyarakat dapat mengakses pendidikan.

    “Sudah menjadi kewajiban negara menjamin semua anak, atau masyarakat, dapat mengakses pendidikan. Tinggal bagaimana orang tua mendorong anak-anaknya agar bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya,” ungkap Bonnie kepada ratusan warga di Desa Cikoneng, Kabupaten Pandeglang, baru-baru ini.

    Ia juga meyakinkan, saat dirinya berada di legislatif akan memastikan pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, agar dapat diakses oleh semua orang, terlebih untuk masyarakat yang berada di Pandeglang dan Lebak.

    Diketahui, rekam jejak Bonnie Triyana dapat dengan mudah ditemui di berbagai media massa sebagai sejarawan yang giat memperjuangkan pengembalian barang rampasan dari Belanda kepada Indonesia.

    Lantaran sikapnya membela kehormatan Indonesia di forum internasional, Bonnie Triyana juga pernah dipolisikan di Belanda.

    Sejarawan muda berdarah Lebak-Pandeglang itu dikenal aktif dalam sebagai aktivis kemanusiaan, yang banyak mendampingi korban kekerasan negara di masa lampau. (MUF)

  • Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    Sejarawan Bonnie Triyana Ungkap Warisan Kolonialisme yang Masih Melekat di Indonesia

    LEBAK, BANPOS – Sejarawan Bonnie Triyana mengungkapkan masih terdapat perilaku kolonialitas yang melekat di tengah kehidupan masyarakat.

    Meski kolonialisme sudah berakhir seiring hengkangnya kekuasaan Belanda di Indonesia, tapi perilaku tersebut masih membelenggu dalam kehidupan sehari-hari.

    Hal itu diungkapkan pria asal Lebak itu dalam pidato kebudayaan yang disampaikan di hadapan ratusan warga yang hadir dan berkumpul di Pendopo Museum Multatuli, Jumat (16/6) malam.

    “Kolonialitas sebagai sebuah konsep untuk menggambarkan dampak sosial, budaya, dan epistemik dari kolonialisme masih bisa kita kenali hingga hari ini, mengacu pada cara-cara warisan kolonial yang berdampak pada sistem budaya dan sosial serta pengetahuan dan produksinya,” ujarnya.

    Dalam catatan miliknya, paling tidak ada 10 hal dalam kehidupan sehari-hari yang masih terwarisi dampak kolonialisme di berbagai bidang.

    Seperti halnya sektor pendidikan, Pemerintah kolonial menyediakan pendidikan tidak untuk semua golongan, melainkan hanya kepada kaum bangsawan yang semenjak kedatangan kolonialisme ke Indonesia, menjadi rekan sejawat dalam memerintah negeri ini.

    “Hanya golongan elit yang mampu mengakses pendidikan bermutu tinggi tersebut hari ini, sebagaimana golongan bangsawan di masa lalu,” ucapnya.

    Sementara, bidang lain yang masih terwarisi kolonialisme yaitu masih berlangsungnya feodalisme sebagai hal paling erat di sistem politik Indonesia.

    Sejak terbentuknya VOC pada 1602, mulai berlaku sebutan bupati yang diartikan sebagai sebutan para anggota kelompok elit yang berdinas.

    “Mereka dipilih atas hubungan darah, keturunan , dan banyaknya pemberian upeti. Bahkan cara kerja pemilihan ini dibuat oleh petinggi pribumi, sedangkan Gubernur VOC tidak tahu,” tuturnya.

    Menurutnya, feodalisme memang berangkat dari pribumi sendiri yang memiliki keistimewaan atas kekayaan yang dimiliki.

    “Mereka dipilih atas dasar kepemilikannya, bukan seberapa bagus kinerjanya,” terangnya.

    Sementara itu, Adipati memiliki tugas untuk memantau kegiatan masyarakat dalam sektor agraris dan pemberian upeti, bahkan mereka juga mengumpulkan upeti dari masyarakatnya.

    Selain itu, jabatan-jabatan terendah seperti kepala distrik diwajibkan untuk memberikan hadiah kepada atasannya, agar jabatannya bisa bertahan.

    “Pemberian hak istimewa kepada mereka tidak sepadan dengan kinerja yang dilakukannya. Hal ini memiliki pola yang sama pada saat ini, dengan nuansa feodalisme gaya baru yang hari ini praktiknya bisa kita lihat berkelindan dalam praktik demokrasi elektoral,” ungkapnya.

    Bonnie juga menyoroti sektor kesehatan yang sejak zaman Belanda banyak warga belum terpenuhi kebutuhan dasar gizinya.

    Hal itu mengakibatkan kekurangan gizi dan bertendensi pada stunting yang menjadikan tumbuh kembang anak terhambat.

    Begitu juga dengan diskriminasi rasial yang secara formal sejak 1812, merancang aturan melalui lewat kesepakatan Belanda dan kesultanan untuk melindungi orang Tionghoa dan melahirkan banyak masalah.

    Belanda juga menganggap orang Jawa sebagai orang yang mendalami sejarah, tetapi tertinggal dalam segi perkembangan ilmiah lewat ‘mitos pemalas’.

    Trauma terhadap paham kiri dan kanan juga jadi hal lain yang disorot Bonnie. Kekerasan sering dilazimkan sebagai resolusi saat merespon segala hal yang terjadi di status quo, oleh sebab itu Bonnie tegas menolak mitos buruh pemalas.

    “Jadi mitosnya, kalau gaji buruh dinaikan, maka akan semakin malas bekerja,” kata Bonnie.

    Selain itu, Bonnie juga memberikan kritik terhadap praktik stratifikasi sosial dan menyebabkan diskriminasi terhadap kelas bawah.

    “Jabatan-jabatan tertinggi terus diisi oleh pihak yang kuat dan mempunyai hak istimewa sedari awal. Ketika mereka sudah berada di strata atas, maka dengan mudahnya membuat kebijakan yang bisa menyengsarakan kelas bawah. Seperti pungutan liar dalam sekolah, setoran atau pemberian hadiah kepada atasan, dan gratifikasi,” jelasnya.

    Saat itu, Bonnie ikut mengecam patriarki dalam politik. Menurutnya, kolonialisme merangkul feodalisme yang melestarikan sistem patriarkis, yang cara kerjanya masih berlaku hingga hari ini.

    Terakhir, Bonnie menyorot apartheid dalam pembangunan kota. Bukan rahasia lagi jika pengembang perumahan kelas menengah atas mampu menghadirkan berbagai fasilitas umum dan sosial bagi warganya.

    “Jauh lebih baik dari warga yang tinggal di perkampungan tanpa kehadiran berbagai fasilitas sebagaimana yang dinikmati oleh mereka yang hidup di dalam komplek perumahan elit,” tandasnya. (MUF)