Tag: Sidang Hibah Ponpes

  • Seluruh Terdakwa Hibah Ponpes Divonis Bersalah, Hakim Minta Kasus Dilanjut

    SERANG, BANPOS – Majelis Hakim yang menyidangkan perkara korupsi hibah Ponpes menjatuhkan vonis bersalah bagi seluruh terdakwa. Selain itu, Majelis Hakim pun menyeret beberapa pihak yakni TAPD Provinsi Banten, BPKAD Provinsi Banten, FSPP, Dikri dan ratusan Ponpes penerima hibah pada tahun 2020 sebagai pihak yang turut terlibat dan bertanggungjawab atas perkara itu.

    Dalam perjalanan persidangan, majelis hakim memberikan berbagai pertimbangan dalam menjatuhi hukuman terhadap kelima terdakwa. Seperti pertimbangan untuk terdakwa Irvan Santoso dan Toton Suriawinata, yang disebut terbukti telah menguntungkan FSPP dalam perkara tersebut.

    “Majelis Hakim berpendapat bahwa FSPP telah diuntungkan oleh terdakwa 1 (Irvan Santoso) dan terdakwa 2 (Toton Suriawinata) sebesar Rp2 miliar lebih,” ujar Ketua Majelis Hakim, Slamet Widodo, di persidangan dengan agenda putusan yang digelar di Pengadilan Tipikor PN Serang, Kamis (20/1).

    Selain itu, dalam pertimbangannya Majelis Hakim mengatakan bahwa pihaknya tidak sependapat dengan perhitungan yang dilakukan ahli mengenai kerugian negara. Sebab, terdapat beberapa pertimbangan yang seharusnya dilihat pada saat penentuan kerugian negara.

    Dalam perhitungan ahli, disebutkan bahwa terjadi kerugian total pada pencairan dana hibah Ponpes tahun 2018 sebesar Rp66,280 miliar. Ahli berpendapat bahwa penetapan terjadinya kerugian total tersebut karena hibah dicairkan kepada FSPP yang disebut bukan merupakan penerima yang berhak.

    Namun, Majelis Hakim berpendapat bahwa meskipun demikian, perlu dilihat dari sudut pandang asas manfaat. Majelis Hakim memandang bahwa dari total anggaran hibah yang disalurkan kepada Ponpes melalui FSPP, lebih dari setengahnya telah diterima oleh Ponpes dan telah dibuatkan pertanggungjawabannya.

    Adapun dari sudut pandang tersebut, maka yang dianggap kerugian negara oleh Majelis Hakim adalah penggunaan anggaran hibah oleh kurang lebih 562 Ponpes yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp11,250 miliar.

    Di sisi lain, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat kerugian negara pada pengalokasian dana hibah tahun 2018, yang ditujukan untuk biaya operasional FSPP. Kerugian tersebut sebesar Rp2,890 miliar, sehingga kerugian keseluruhan dari pencairan hibah tahun 2018 sebesar kurang lebih Rp14,100 miliar.

    Sementara pada tahun 2020, Majelis Hakim berpendapat bahwa terdapat kerugian negara sebesar Rp5,256 miliar. Kerugian tersebut terdiri dari kerugian yang ditimbulkan oleh keuntungan yang diambil oleh terdakwa sebesar Rp96 juta.

    “Dan dari 173 pondok pesantren yang tidak memenuhi syarat, tidak tercatat pada data EMIS dan tidak memiliki IJOP namun menerima hibah dengan nilai total Rp5,164 miliar,” ungkap Majelis Hakim.

    Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituntut oleh JPU dalam dakwaan primer. Namun Hakim berpendapat bahwa para terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan subsider.

    Maka dari itu, Majelis Hakim menerima nota pembelaan yang disampaikan oleh para terdakwa untuk dapat meringankan hukum yang akan dijatuhkan kepada para terdakwa. Selain itu juga, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menuntaskan permasalahan pencairan dana hibah Ponpes tahun 2018 dan 2020, maka harus ada pihak lain yang bertanggungjawab.

    “Yaitu TAPD Provinsi Banten dan BPKAD selaku PPKD yang menjabat saat itu. Serta pihak FSPP selaku penerima hibah tahun 2018. Demikian pula dengan kegiatan pemberian hibah pada tahun anggaran 2020, yaitu 173 Ponpes yang tidak memiliki syarat menerima hibah namun menerima hibah, serta saudara Dikri Hafdiansyah selaku inisiator pemotongan hibah (Pandeglang),” tutur Majelis Hakim.

    Dalam amar putusannya, Majelis Hakim memvonis Irvan Santoso dan Toton Suriawinata hukuman pidana penjara selama 4 tahun 4 bulan, serta denda sebesar Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan apabila tidak dapat dibayarkan.

    Sedangkan Epieh Saepudin dan Tb. Asep Subhi divonis pidana penjara selama 2 tahun dan denda sebesar Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan. Adapun Agus Gunawan divonis 1 tahun 8 bulan dengan pidana denda sebesar Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan.

    “Menghukum terdakwa Asep Subhi untuk membayar uang pengganti sebesar Rp96 juta. Jika tidak membayar uang pengganti paling lambat satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang. Jika terdakwa tidak memiliki harta benda untuk disita, maka dipidana penjara selama satu tahun,” kata Slamet Widodo.

    Kuasa hukum Toton Suriawinata, Fahad Surahman, mengatakan bahwa pihaknya puas dengan putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim. Sebab menurutnya, putusan itu sudah sangat adil dan bijaksana karena menyeret sejumlah pihak lainnya yang memang seharusnya bertanggungjawab.

    “Bahwa dalam fakta persidangan, TAPD dan BPKAD itu tidak disebutkan. Ternyata pada fakta persidangan pada akhirnya mereka harus bertanggungjawab kan. Jadi dengan putusan ini, saya sangat mengapresiasinya,” ujarnya.

    Menurutnya, baik TAPD, BPKAD maupun FSPP sekali pun memang harus turut dimintai pertanggungjawabannya. Jangan sampai pertanggungjawaban hanya dibebankan kepada klien mereka.

    “Kalau sudah diputuskan oleh Majelis Hakim, penyidik Kejati harus menindaklanjuti. Kalau tidak ditindaklanjuti, maka saya selaku pengacara Toton, saya akan praperadilankan itu penyidik Kejati Banten. Itu kan sudah jelas dalam putusan majelis,” tandasnya.

    (DZH)

  • Sidang Hibah Ponpes Sempat Tegang, Kuasa Hukum Tuding Ahli Tidak Sesuai Norma

    Sidang Hibah Ponpes Sempat Tegang, Kuasa Hukum Tuding Ahli Tidak Sesuai Norma

    SERANG, BANPOS – Kuasa hukum terdakwa Toton Suriawinata meminta kesaksian yang disampaikan oleh ahli perhitungan kerugian keuangan negara, Hernold F. Makawimbang. Sebab, Hernold dituding bersaksi tidak sesuai dengan norma dan kapasitasnya.

    Berdasarkan pantauan di ruang persidangan, agenda kesaksian yang disampaikan oleh Hernold berlangsung panas saat kuasa hukum diberikan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan.

    Ketegangan pertama terjadi saat kuasa hukum Irvan Santoso menyampaikan pertanyaan bertubi-tubi kepada ahli. Kuasa hukum Irvan menanyakan apakah jika pemotongan dana hibah dilakukan oleh orang lain, kliennya yang merupakan Kepala Biro Kesra pada saat itu juga bersalah.

    Ahli pun menjawab, selama terjadi pemotongan atas anggaran yang disalurkan oleh pemerintah, maka hal tersebut menjadi kerugian negara. Kuasa hukum Irvan pun menegaskan bahwa tidak ada potongan, karena Biro Kesra melakukan transfer secara utuh kepada Ponpes maupun FSPP.

    “Tetap saja, selama terjadi pemotongan, maka itu terjadi kerugian negara,” ujarnya yang merupakan mantan pegawai BPK itu, Senin (13/12).

    Selanjutnya ketegangan terjadi saat kuasa hukum Toton menyampaikan pertanyaan. Meskipun ahli mampu menjawab beberapa pertanyaan, kuasa hukum Toton tidak puas. Sebab menurutnya, jawaban ahli merupakan jawaban dari seseorang yang bekerja di BPK, bukan jawaban dari seorang akuntan publik.

    “Saya ini sarjana akuntansi. Sembilan tahun saya menjadi pengajar. Saudara ahli ini bersaksi dengan memposisikan diri sebagai BPK, padahal saudara ahli ini sebagai Akuntan Publik. Seharusnya yang digunakan adalah norma akuntan publik,” tegas kuasa hukum Toton dengan nada tinggi.

    Menurutnya, kesaksian yang disampaikan oleh ahli telah keluar dari kapasitasnya. Oleh karena itu, ia meminta agar majelis hakim mengesampingkan kesaksian dari ahli.

    “Saya minta kepada yang mulia untuk mengesampingkan kesaksian dari saudara ahli. Karena tidak sesuai dengan norma akuntan publik. Ini (keputusan dikesampingkan atau tidak) dikembalikan lagi kepada Yang Mulia,” tandasnya. (DZH)

  • Rubah Kesaksian, Anggota Presidium Pandeglang Akui Ada Potongan Hibah Untuk Bangun Kantor FSPP

    Rubah Kesaksian, Anggota Presidium Pandeglang Akui Ada Potongan Hibah Untuk Bangun Kantor FSPP

    SERANG, BANPOS – Mantan Ketua Presidium FSPP Kabupaten Pandeglang Periode 2019-2020, Asep Abdullah Mutho, mengakui bahwa pada 2018, terjadi pemotongan bantuan hibah Ponpes atas kesepakatan bersama para anggota FSPP Pandeglang.

    Pemotongan bantuan hibah sebesar Rp1,5 juta per Ponpes tersebut dilakukan untuk keperluan pembangunan kantor FSPP Kabupaten Pandeglang, yang saat ini berada di Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang.

    Padahal sebelumnya, Asep bersaksi bahwa tidak ada pemotongan dana hibah sebesar Rp1,5 juta oleh FSPP Kabupaten Pandeglang, yang ada hanyalah infak rutin sebesar Rp100 ribu secara sukarela.

    Berubahnya kesaksian dari Asep setelah pengacara terdakwa Tb. Asep Subhi menanyakan terkait dengan Nurjanah, yang diakui oleh Asep merupakan bendahara FSPP Kabupaten Pandeglang.

    Disebutkan bahwa Nurjanah mengolektif potongan dana hibah Ponpes sebesar Rp1,5 juta, untuk keperluan pembangunan kantor FSPP Kabupaten Pandeglang yang baru.

    Pria yang saat ini menjadi anggota Presidium FSPP Pandeglang itu pun akhirnya membenarkan bahwa terdapat potongan dana hibah Ponpes, namun berdasarkan hasil musyawarah bersama.

    “Iya itu hasil keputusan bersama. Setiap Ponpes dipotong Rp1,5 juta untuk pembangunan kantor FSPP Kabupaten Pandeglang,” ujar Asep Abdullah Mutho. (DZH)

  • Banyak Ponpes Salafiyah Gunakan ‘Pihak Ketiga’ Untuk Susun Proposal Hibah

    Banyak Ponpes Salafiyah Gunakan ‘Pihak Ketiga’ Untuk Susun Proposal Hibah

    SERANG, BANPOS – Keterbatasan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada Ponpes Salafiyah dalam hal teknologi, membuat pimpinan Ponpes Salafiyah terpaksa menggunakan ‘pihak ketiga’ untuk menyusun proposal pengajuan hibah.

    Demikian disampaikan oleh Abdulloh Asep Mutho, pimpinan Ponpes Al-Khoziny yang juga mantan Ketua Presidium FSPP Kabupaten Pandeglang tahun 2019-2020. Menurut Asep, ada sekitar 900 Ponpes yang ada di Kabupaten Pandeglang.

    Tidak jelas apakah 900 Ponpes tersebut keseluruhannya merupakan penerima hibah di Kabupaten Pandeglang atau tidak. Namun dari jumlah tersebut, Asep memastikan bahwa 90 persen Ponpes merupakan pondok Salafiyah.

    Asep mengatakan, mayoritas pengelola Ponpes Salafiyah tidak mengerti cara untuk membuat proposal pengajuan hibah. Termasuk pula dirinya.

    Maka dari itu, ia mengatakan bahwa para pengelola Ponpes Salafiyah menggunakan ‘pihak ketiga’ untuk membantu menyusun proposal. Ia pun mengaku bahwa dirinya juga meminta tolong kepada saudaranya, untuk menyusun proposal pengajuan hibah.

    “Kalau untuk salafiyah mungkin tidak bisa pak (membuat proposal). Tapi kalau modern saya rasa bisa untuk membuat proposal. Pandeglang 90 persen Ponpes Salafiyah,” ujarnya di persidangan.

    Hal itu pula yang terjadi pada beberapa Ponpes, yang bantuan hibahnya ‘belah semangka’ dengan terdakwa Epieh. Menurutnya, beberapa Ponpes tersebut merupakan Ponpes Salafiyah.

    Kendati demikian, Asep mengakui bahwa Ponpes yang diurus proposalnya oleh Epieh bukan merupakan Ponpes yang memenuhi syarat, untuk menerima hibah. Ia baru mengetahuinya justru setelah adanya temuan kasus.

    “Ketika itu ada pemeriksaan, datang ke tempat saya. Memberikan informasi bahwa ada masalah. Kami juga sebagai FSPP merasa kaget bahwa di situ ada masalah. Karena setelah ada pencairan, baru tahu, ada yang memberi tahu,” tandasnya. (DZH)

  • Sudah Jadi Budaya, Beberapa Ponpes Infaq ke FSPP Saat Terima Hibah

    Sudah Jadi Budaya, Beberapa Ponpes Infaq ke FSPP Saat Terima Hibah

    SERANG, BANPOS – Budaya berinfaq anggota Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP), membuat beberapa Ponpes memberikan infaq kepada FSPP setelah diterimanya bantuan hibah dari Pemprov Banten, baik pada tahun 2018 maupun 2020.

    Hal itu diungkapkan oleh Abdulloh Asep Mutho, pimpinan Ponpes Al-Khoziny yang juga mantan Ketua Presidium FSPP Kabupaten Pandeglang tahun 2019-2020, saat bersaksi pada kasus dugaan korupsi hibah Ponpes.

    Asep mengatakan bahwa sejak tahun 2016, terdapat program infaq rutin yang dilakukan oleh FSPP, untuk mengisi uang kas. Kendati demikian, Asep mengaku bahwa program tersebut tidak wajib dan bersifat sukarela.

    “Ada infaq bulanan sebesar Rp100 ribu. Tapi itu tidak wajib ada, yang mau berinfaq saja. Kalau mau infaq, silahkan. Kalau memang tidak ada uang, tidak apa-apa,” ujarnya, Senin (13/12).

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun bertanya, apakah pada pencairan hibah tahun 2018, FSPP baik Kecamatan maupun Kabupaten Pandeglang, meminta infaq kepada pondok pesantren yang mendapatkan hibah.

    “Karena memang sudah terbiasa melakukan infaq, maka kami seperti itu memberikan infaq kepada FSPP. Kami hanya infaq karena memang sudah terbiasa. Infaq sama, hanya Rp100 ribu saja. Ada juga ponpes yang tidak memberikan infaq,” katanya.

    JPU pun kembali bertanya untuk pencairan hibah tahun 2020. Namun dengan penegasan, apakah ada infaq yang diwajibkan kepada Ponpes penerima hibah, yang nilainya dipatok sebesar Rp1,5 juta.

    “Seperti yang sebelumnya, karena memang sudah terbiasa berinfaq, kami berikan infaq juga pada 2020. Tidak ada yang Rp1,5 juta, tidak ada catatan pemberian infaq,” ungkapnya. (DZH)