Tag: Tantangan Penyetaraan Pendidikan Pesantren

  • Tantangan Penyetaraan Pendidikan Pesantren

    Tantangan Penyetaraan Pendidikan Pesantren

    Oleh

    Dr. Ali Muhtarom, M.S.I

    Sekretaris Forum WD 3 Tarbiyah dan Keguruan PTKI, Dosen FTK UIN SMH Banten

    KEPUTUSAN Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia nomor 1772 dan 3543 2018 menjadi dasar dalam penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (PKPPS) di Indonesia. Bahkan posisi PKPPS dianggap menjadi lebih kuat ketika Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren disahkan. Meskipun demikian, keberadaan UU Pesantren tersebut belum memberikan ruang khusus bagi PKPPS baik dalam aspek afirmasi, rekognisi, maupun fasilitasi sebagaimana dalam amanah UU tersebut.

    Saya mengatakan bahwa PKPPS belum mendapat ruang khusus dalam UU Pesantren karena pada satu sisi, status penyetaraan dari non formal menuju formal belum secara eksplisit dijelaskan dalam UU Pesantren.

    Jika dicermati keberadaan PKPPS memang disinggung dalam UU tersebut yaitu masuk dalam pasal 5 (lima) tentang tiga klasifikasi bentuk pesantren yaitu bentuk kajian kitab kuning, bentuk pendidikan muallimin, dan bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum. Poin ketiga inilah menurut saya afirmasi UU Pesantren terkait kelembagaan PKPPS.

    Pada sisi yang lain, UU Pesantren juga belum secara eksplisit mendudukkan posisi PKPPS dalam jalur pendidikan formal karena dalam UU Pesantren disebutkan jalur pendidikan formal meliputi pendidikan Diniyah Formal (PDF) dan Pendidikan Muadalah baik dari jenjang Ula, Wustha, Ulya maupun Ma’had Aly. Di sinilah sekali lagi yang saya maksud PKPPS belum secara khusus diberikan ruang dalam UU Pesantren. Padahal jika dilihat dari urgensi dan kemunculannya PKPPS lebih dahulu dari UU Pesantren.

    Jika dicermati lebih mendalam lagi, program kesetaraan pendidikan pesantren tersebut memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu sebagai pelayanan untuk pemerataan pendidikan dasar dan menengah di kalangan pesantren, membantu program pemerintah dalam mewujudkan wajib/ wajar belajar 9 (sembilan) tahun, dan memberikan acuan utama dalam proses, penilaian, dan kompetensi lulusan untuk disetarakan dari segi kualitas dengan lembaga lain di luar PKPPS. Perlu dipahami juga bahwa PKPPS tidak sama dengan program kejar paket A, B, atau C.

    Program Kesetaraan pada Pondok Pesantren berbeda dengan program kejar paket karena memiliki induk Pesantren yang diselenggarakan oleh masyarakat. Pesantren yang dimaksud memiliki Izin Operasional yang dibuktikan melalui Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN) yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan juga terdaftar pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang dibuktikan dengan Nomor Statistik Pondok Pesantren (NSPP). Dengan kata lain PKPPS hanya bisa dilaksanakan oleh pesantren yang telah memiliki syarat administratif tersebut.

    Program Kesetaraan pada Pondok pesantren juga tidak menghilangkan pembelajaran klasik yang telah dilakukan oleh Pondok Pesanren masing-masing.

    Justru pembelajaran klasik yang dimiliki pesantren merupakan bagian dari keunikan PKPPS. Pondok pesantren tetap diberikan kebebasan dalam mengeksplor pendidikan keagamaan yang bersumber dari rujukan aslinya yaitu kitab-kitab kuning.

    Sedangkan, pada kejar Paket penyelenggaranya adalah Kelompok belajar, Lembaga Kursus, baik pemerintah maupun swasta. Bahkan pada program kejar paket ini, masyarakat hanya diikutkan materi-materi atau mata pelajaran yang hanya akan diujikan nasional saja.

    Misalnya Pada program paket A, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

    Pada program paket B, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Pendidikan Kewarganegaraan.

    Pada program paket C, Ujian Nasional mencakup mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan mata pelajaran yang menjadi ciri khas program pendidikan. (Lihat PP. No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Keputusan menteri pendidikan dan Kebudyaaan No. 0131/U/1994 Tentang Program Paket A dan Paket B Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi program kesetaraan pada PKPPS lebih spesifik penyelenggaranya dilakukan oleh Pesantren sedangkan di Luar Pesantren menggunakan Kejar Paket.

    Permasalahan yang muncul kemudian adalah keseriusan dari semua pihak, terutama pemerintah dalam mengembangkan dan menjaga kualitas PKPPS. Implementasi UU Pesantren yang menitikberatkan pada tiga poin yaitu afirmasi, rekognisi, dan fasilitasi terhadap kelembagaan pesantren perlu segera diwujudkan, bukan sekedar diwacanakan.

    Dalam ranah pemerintah daerah, terutama para Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsi perlu sigap membangun kolaborasi dengan para stakeholder di masing masing wilayah untuk menjembatani problem problem dalam mendukung pelaksanaan PKPPS.

    Setidaknya terdapat dua permasalahan yang perlu dicari solusinya dalam penguatan dan pengembangan kelembagaan PKPPS. Pertama, dari segi komponen pendidikan, perlu dilakukan pembenahan sistem yang lebih baik, teruma dalam aspek sarana dan prasarana (asrama, masjid), kompetensi ustaz atau kyai, ketersediaan referensi kitab turots (kitab kuning), dan pengembangan hasrat para santri untuk menimba ilmu pengetahuan agama dan umum.

    Kedua, PKPPS sebagai lembaga dalam membantu program pemerintah untuk pemenuhan hak anak putus sekolah saat ini belum menjadi pilihan warga sekitar pesantren, sehingga perlu penguatan maksimal secara internal dari aspek kelembagaan, manajemen, dan pengembangan metode dan kurikulum pembelajaran pesantren.

    Dukungan tokoh masyarakat dan pemerintah sangat diperlukan dalam pengembangan sistem pesantren dalam mewujudkan PKPPS yang lebih baik. (*)