Tag: Teluk Banten

  • Pemprov-Pemkab Saling Tuding Soal Pulau

    Pemprov-Pemkab Saling Tuding Soal Pulau

    SERANG, BANPOS – Perihal pemberian rekomendasi perizinan terhadap pengelolaan pulau-pulau yang ada di Teluk Banten menjadi simpang siur, ketika Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang saling tunjuk.

    Sebelumnya, Pemprov Banten melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten mengatakan, perihal pemberian izin terhadap pengelolaan pulau-pulau di Teluk Banten kepada investor berada di bawah kewenangan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI.

    Kemudian dalam prosesnya, pihak pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi kepada Kementerian untuk mengeluarkan perizinan tersebut.

    Menanggapi pernyataan tersebut, pihak Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Serang membantah hal itu.

    Fungsional Ahli Muda Penanaman Modal pada DPMPTSP Kabupaten Serang, Nuzul Fatwa menjelaskan pihaknya tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan rekomendasi atas perizinan pengelolaan pulau-pulau yang ada di Teluk Banten.

    “Di perizinan itu kita nggak ngeluarin rekomendasi,” katanya kepada BANPOS saat ditemui di ruangannya pada Senin (18/9).

    Ia malah balik menuding, jika sebenarnya kewenangan mengeluarkan rekomendasi itu justru berada di Pemprov Banten, seperti halnya mereka mengeluarkan rekomendasi untuk perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

    “Mereka itu yang tahu, sekarang (KKPRL) pulau-pulau,” ujarnya.

    Selain itu ia juga mengatakan bahwa sejauh ini DPMPTSP Kabupaten Serang belum menerima informasi perihal adanya investasi di pulau-pulau yang ada di Teluk Banten.

    Sehingga atas hal itu lah kemudian, Nuzul belum bisa memastikan siapa saja investor yang berinvestasi di sana.

    “Sementara ini belum ada (investor) yang masuk,” ujarnya.

    Kemudian menanggapi soal perizinan, Nuzul meyakini jika memang di pulau-pulau tersebut terbukti sudah ada aktivitas pengembangan, maka bisa dipastikan aktivitas pengembangan tersebut tidak berizin.
    Sebab berdasarkan penuturannya, DPMPTSP Kabupaten Serang belum mendapatkan adanya informasi perihal perizinan tersebut.

    “Kalau di lapangan mungkin sudah melakukan kegiatan, saya pastikan mungkin belum berizin karena belum ada laporan ke kita. Untuk pemenuhan komitmen juga belum ada,” tandasnya.

    Anggota DPRD Kabupaten Serang, Adhadi Romli mengaku bahwa terkait adanya pembangunan yang saat ini ada di beberapa pulau di Kabupaten Serang harus sesuai dengan prinsip-prinsip untuk proses pembangunan, apapun prosedurnya harus ditempuh.

    “Jadi termasuk PBG dan segala macam itu kan harus ditempuh,” ujarnya.

    “Segala bentuk prinsip yang harus dilakukan untuk pembangunan, ya harus dilakukan sesuai prosedurnya. Prinsipnya harus ada izin, kalau tidak ada izin dihentikan dulu, kita setop,” tegasnya.

    “Nanti kita cek apakah ini benar atau tidak, ada izinnya atau belum. Kalau tidak ada izin ya dihentikan, disetop. Jadi jangan sampai nanti pembangunannya seolah-olah tanpa melalui prosedur yang ada,” tambahnya.

    Selain itu, dirinya juga menyampaikan bahwa dalam pembangunan yang ada pun harus memperhatikan beberapa aspek penting.

    “Harus juga melihat aspek administrasi, aspek yuridis, aspek sosiologisnya. Masalah sosialnya juga perlu diperhatikan. Jangan sampai merugikan para nelayan dan semua warga setempat disitu,” ucapnya.

    “Jadi, jangan sampai pembangun ini justru malah mematikan perekonomian warga lokal,” tandasnya.(CR-01/CR-02/PBN)

  • Siapa ‘Penguasa’ Pulau Lima?

    Siapa ‘Penguasa’ Pulau Lima?

    PULAU Lima sebagai bagian dari gugusan pulau di Teluk Banten, mengalami ‘krisis identitas’. Bagaimana tidak, pulau yang hanya berjarak kisaran 15 menit dari Pelabuhan Karangantu itu, diklaim melalui Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Kabupaten Serang, sebagai wilayah dari Kabupaten Serang. Hal itu pun sesuai dengan dokumen Laporan Kunjungan Lapangan Tim Komisi II DPR-RI ke Kabupaten Serang, Provinsi Banten (Rencana Pembentukan Kota Serang) tanggal 14 Maret 2007.

    Meski demikian, terdapat beberapa klaim berbeda yang terjadi terhadap Pulau Lima, termasuk sejumlah pulau lainnya di Teluk Banten seperti Pulau Tiga dan Pulau Empat. Klaim tersebut lantaran SPPT PBB terhadap pulau-pulau itu, masih masuk ke dalam administratif Kota Serang. Bentrok kewenangan itulah yang membuat pengelolaan terhadap sejumlah pulau itu menjadi ‘acak adut’.

    Plh Kepala BPKAD Kabupaten Serang, Roni Rohani, saat dikonfirmasi BANPOS mengatakan bahwa Pulau Lima merupakan aset negara. Namun, ia tidak tahu pasti masuk ke dalam administrasi mana Pulau Lima, apakah Kota Serang ataupun Kabupaten Serang.

    “Info dari aset, itu tanah milik negara. Saya kurang begitu tahu pak (untuk administratif wilayah Pulau Lima), batas wilayah adanya di bagian tapem,” tuturnya.

    Sementara itu, Lurah Banten, Acep, mengatakan bahwa memang dulunya Pulau Lima masuk ke wilayah administratif Kecamatan Kasemen, khususnya Kelurahan Banten. Namun, Pulau Lima telah lepas dari genggaman Kota Serang, setelah adanya Perda RZWP3K Kabupaten Serang.

    “Udah enggak kalau sekarang mah. Dulunya iya. Terus ada Perda dari Kabupaten Serang yang memasukkan Pulau Lima, jadinya masuk ke wilayah Kabupaten Serang,” ujarnya.

    Ia menuturkan, setelah adanya Perda RZWP3K Kabupaten Serang, maka Pemkot Serang sudah tidak lagi mengurusi persoalan di Pulau Lima. Kendati demikian, masih timbul permasalahan yakni ‘nyantolnya’ SPPT PBB pulau tersebut, ke Kota Serang.

    “Memang itu masalahnya, pajaknya masih belum pindah, masih ada di kota. Tapi enggak tau itu, sekarang mah masuk kabupaten dari Kemendagri mah. Itu kalau untuk wilayah, tapi emang masalahnya itu pajaknya masih nyangkol ke kota,” ucapnya.

    Salah satu sumber BANPOS di internal Pemkab Serang menuturkan, Pulau Lima memang tidak terpantau oleh Pemkab Serang. Alasannya, pulau tersebut dikuasai oleh pihak Kejaksaan Agung (Kejagung).

    “Bagaimana kita mau mengelola, orang yang menguasainya itu orang Kejaksaan Agung,” ujar salah satu sumber BANPOS saat tengah berdiskusi mengenai pengelolaan pulau-pulau di Kabupaten Serang.

    Selain karena ‘dikuasai’ oleh pihak Kejaksaan, Pemkab Serang juga merasa malas mengurusi Pulau Lima, lantaran Pemkot Serang sempat main klaim mengenai kepemilikan pulau tersebut.

    “Waktu Perda RZWP3K disahkan saja, mereka (Pemkot Serang) koar-koar mengenai kepemilikan pulau. Makanya kami juga malah mengurusinya,” tandas sumber BANPOS tersebut.

    Kasubid Humas pada Kejaksaan Agung RI, Andrie Wahyu Setiawan, saat dimintai tanggapan oleh BANPOS melalui pesan WhatsApp, tidak memberikan respon mengenai hal tersebut. (MUF/DZH/ENK)

  • Laris Manis Teluk Banten

    Laris Manis Teluk Banten

    PARTONO, bukan nama sebenarnya, seorang nelayan asal Karangantu-Kota Serang, tengah melamun bersama dengan beberapa rekannya di Pulau Pisang yang juga dikenal sebagai Pulau Kambing. Pulau Pisang merupakan salah satu pulau, dalam gugusan pulau-pulau kecil yang berada di Teluk Banten. Jaraknya hanya sekitar 15 menit dari Pelabuhan Karangantu.

    Partono melamun di pulau tersebut bukan tanpa alasan. Dirinya dan rekan-rekannya memikirkan, mengapa mereka yang merupakan masyarakat nelayan di Teluk Banten, tidak lagi boleh menjala ikan di Pulau Lima. Padahal, Pulau Lima merupakan salah satu tempat yang biasa mereka gunakan untuk menjala ikan.

    “Aneh saya mah, kami penduduk asli di wilayah perairan Teluk Banten, malah tidak boleh untuk nyari ikan di Pulau Lima. Padahal tempat itu merupakan tempat kami mencari ikan sejak dulu,” ujarnya kepada BANPOS, sambil memandangi Pulau Lima. Memang, Pulau Pisang dan Pulau Lima bertetangga. Jaraknya kurang lebih hanya 100 meter saja.

    Menurut dia, pelarangan masyarakat pesisir untuk bisa mendatangi Pulau Lima, sudah berlangsung kurang lebih setengah tahun. Terakhir kali mereka bisa menginjakkan kaki di Pulau Lima, adalah ketika perayaan Festival Teluk Banten yang dipusatkan di sana. Ia mengaku, pelarangan dilakukan oleh ‘pemilik’ pulau. Kendati demikian, dia tidak tahu persis siapa pemilik yang dimaksud.

    Akibat pelarangan untuk mendarat di Pulau Lima, wisata menuju pulau itu pun ditutup. Nelayan yang kerap mengantarkan pelancong untuk pergi ke pulau, termasuk Pulau Lima, akhirnya membuka destinasi baru. Pulau Pisang lah yang akhirnya dijadikan sebagai destinasi alternatif dari Pulau Lima.

    Pantauan BANPOS di Pulau Pisang, terlihat bahwa pulau tersebut seperti baru saja dibuka untuk dapat dijajaki oleh pelancong. Dari keseluruhan pulau, hanya sekitar 20 persen saja yang dapat disinggahi. Sisanya, masih berbentuk hutan belukar.

    Terdapat kuburan yang dikeramatkan di sana. Keterangan dari nelayan yang mengantar BANPOS ke Pulau Pisang, makam tersebut merupakan makan dari Ki Pangsit, seorang sakti zaman kolonial dahulu. Kuburannya berada di tengah-tengah pulau dan kerap diziarahi oleh masyarakat.

    Meski terbilang baru dijadikan sebagai objek wisata, Pulau Pisang terlihat cukup menjanjikan. Pantainya cukup luas untuk dapat digunakan oleh para wisatawan untuk bermain air. Beberapa kali, Pulau Pisang pun kerap dijadikan sebagai arena kemping oleh sejumlah wisatawan muda.

    Kendati demikian, bagi masyarakat pesisir maupun pelaku usaha wisata, ditutupnya Pulau Lima menjadi hal yang sangat merugikan. Dari sisi wisata, Pulau Lima sudah selesai dari segi nama maupun infrastruktur, meskipun seadanya. Dari sisi tangkapan ikan, meski bertetangga, tangkapan ikan di Pulau Pisang lebih sedikit dibandingkan di Pulau Lima. Hal itu dinilai oleh para nelayan, karena Pulau Pisang berada lebih dekat dan terbuka, mengarah ke kawasan industri Bojonegara.

    “Di sini kurang bagus untuk tangkapan ikan. Kemarin yang kita tangkap sedikit dan kecil-kecil. Mungkin karena mengarah kepada industri Bojonegara jadinya ikannya kurang,” terang dia.

    Berdasarkan pantauan, saat ini Pulau Lima tengah dilakukan pembangunan. Dari Pulau Pisang, terlihat dua eskavator yang tengah dioperasikan. Satu berada di tepi pantai, yang satunya berada lebih menjorok ke dalam pulau. Selain itu, terlihat beberapa pondasi yang tengah disusun. Menurut salah satu rekan Partono, pondasi itu untuk sejumlah villa yang akan dibangun di sana.

    “Kalau enggak salah ada puluhan villa yang akan dibangun di sana,” ujar rekan Partono. Dia melanjutkan, dari kabar yang dia dapatkan, pembangunan di Pulau Lima akan selesai pada tahun 2025. Namun, kabar yang lebih ‘mengerikan’ lagi menurutnya adalah, Pulau Lima setelah selesai dibangun, tidak akan dibuka untuk publik, melainkan lebih pada pulau privat.

    “Sebenarnya mah untuk umum sih tetap, tapi kalau masuknya harus bayar mahal, terus untuk menikmatinya harus mengeluarkan biaya yang lebih besar lagi, kami-kami yang warga kurang berada mana bisa menikmatinya,” tutur dia.

    Ia pun mengaku bahwa beberapa waktu yang lalu, para ‘bos besar’ datang ke Pulau Lima menggunakan kapal besar. Menurutnya, mereka tidak berangkat dari Pelabuhan Karangantu, melainkan langsung dari Jakarta.

    “Enggak, bukan dari Karangantu. Langsung dari Jakarta itu. Karena di Karangantu enggak ada kapal besar seperti itu. Mesinnya mah sekitar 300 pk. Bawa para bos, buat lihat-lihat keadaan pulau kali ya,” ucapnya.

    Kembali ke Partono. Dia menuturkan bahwa sebelum diambil alih oleh investor, Pulau Lima merupakan pulau yang dikelola oleh masyarakat. Pengelolaannya melalui kelompok nelayan dan masyarakat wisata Kecamatan Kasemen. “Dulu mah dikelola masyarakat. Sekarang sudah dibeli investor,” terangnya.

    Salah satu pemudi asal Kecamatan Kasemen, Nadia, mengatakan bahwa sejak kecil dirinya sudah sering bermain ke berbagai pulau di Teluk Banten, termasuk Pulau Lima. Menurutnya, warga pesisir Karangantu sudah pasti sering merasakan bermain dan berpetualang di rangkaian pulau-pulau Teluk Banten.

    Sehingga, pelarangan untuk bisa datang ke Pulau Lima menurutnya, merupakan hal yang sangat mengecewakan. Sebab, masa kecil dirinya berada di pulau yang memiliki kontur pasir pantai yang enak untuk bermain tersebut.

    “Kalau sudah tidak dibuka untuk umum lagi, kasihan nanti anak-anak Karangantu khususnya, karena sudah tidak bisa merasakan keindahan Pulau Lima. Saya dari kecil juga sering main ke sana. Anak-anak pesisir mah pasti udah ngerasain ke Tunda, ke Panjang, apalagi Pulau Lima. Makanya ireng-ireng (berkulit hitam, red) ini. Saya terakhir kali ke sana waktu Festival Teluk Banten. Ramai di sana,” tuturnya.

    BANPOS mencoba menelusuri siapa yang menguasai Pulau Lima saat ini. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Banten dan DPMPTSP Kabupaten Serang saat dikonfirmasi BANPOS, tidak tahu menahu terkait dengan investor di Pulau Lima.

    Kepala DPMPTSP Provinsi Banten, Virgojanti, mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengurusi terkait dengan investasi di pulau-pulau kecil di Provinsi Banten. Menurutnya, investasi yang dia urus, hanya berkaitan dengan dunia usaha saja.

    “Saya enggak ngurusin investasi pulau, kita enggak ada nyewa-nyewain pulau. Enggak ada, saya mah investasi seluruh Banten di dunia usaha, di Banten belum pernah ada,” ujarnya saat diwawancara di KP3B beberapa waktu yang lalu. Virgo pun melemparkan pertanyaan yang BANPOS ajukan, kepada Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti.

    Namun, Eli juga mengaku tidak tahu berkaitan dengan investasi di pulau-pulau kecil. Pasalnya, persoalan investasi di pulau-pulau kecil, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah tingkat pertama, yakni Kota/Kabupaten.

    “Kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil itu ada di Kabupaten/Kota, bukan provinsi. Karena itu kewenangan Kabupaten/Kota. Kalau di Provinsi itu hanya ada jumlah pulau dan tipikal pulau saja, hanya menginventarisir saja,” tuturnya.

    Meski disebutkan merupakan kewenangan dari kabupaten, DPMPTSP Kabupaten Serang justru ikut bingung dengan pernyataan dari pihak provinsi. Pasalnya, pemerintah kabupaten juga tidak memiliki kewenangan terkait dengan investasi di pulau-pulau kecil.

    “Kami juga tidak tahu menahu, karena kewenangan kami kan sudah dibatasi,” ujar Kabid Penanaman Modal pada DPMPTSP Kabupaten Serang, Agus Sudrajat, saat diwawancara BANPOS di ruang kerjanya, Rabu (13/9).

    BANPOS pun coba mencari informasi melalui cara lain, yakni melalui penelusuran Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), dengan meminta data kepada Dinas PUPR Kabupaten Serang. Berdasarkan data yang dicari melalui sistem PBG milik Dinas PUPR, tidak ditemukan adanya pengajuan PBG dalam kurun waktu dua tahun ke belakang, di pulau-pulau Teluk Banten.

    Pegiat Wisata Bahari Provinsi Banten, Dikri Gifari, mengaku heran dengan ketidakjelasan dalam pengelolaan pulau-pulau di Teluk Banten, khususnya Pulau Lima. Sebab, Pulau Lima menjadi salah satu destinasi wisata bahari termudah dan termurah untuk diakses melalui Pelabuhan Karangantu, yang menjadi favorit dari masyarakat.

    “Tapi kok ketika ada yang menguasai dan membangun di sana, pemerintah seakan-akan tidak tahu-menahu mengenai hal tersebut. Memangnya tidak ada proses perizinan dan segala macamnya? Lalu nanti pengawasannya seperti apa. Jangan sampai pulau-pulau di Teluk Banten nanti dieksploitasi oleh oknum-oknum, sehingga merusak kelestariannya,” ujar Dikri.

    Ia pun khawatir ke depannya, pulau-pulau yang ada di Provinsi Banten, khususnya di Teluk Banten, akan hilang satu persatu ke tangan swasta, lantaran minimnya pengawasan dari pemerintah terkait dengan pengelolaannya.

    “Wisata bahari menjadi salah satu wisata yang digemari oleh masyarakat. Jika nanti semua pulau kecil dikuasai oleh swasta dan menjadi pulau privat, masyarakat menjadi tidak bisa lagi menikmati objek wisata pulau, dan itu harus dicegah agar tidak ada konflik dan pariwisata tetap berjalan secara berkelanjutan,” tandasnya. (MUF/DZH/ENK)

  • Waspada Banten Di-Rempang-kan

    Waspada Banten Di-Rempang-kan

    INVESTASI tengah digenjot oleh pemerintah saat ini. Tak sedikit investasi yang tengah dikejar, menimbulkan konflik dengan masyarakat. Mayoritas, konflik yang terjadi adalah konflik agraria dan dugaan perampasan ruang hidup masyarakat. Seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, beberapa waktu yang lalu.

    Konflik yang memuncak hingga terjadi bentrokan fisik dan jatuhnya korban luka itu, bermula dari keinginan swasta asing untuk berinvestasi di sana. Perusahaan asal China, Xinyi Group, disebut telah berkomitmen untuk menanamkan modal asing di Rempang, sebesar US$11,5 miliar atau sekitar Rp172 triliun. Rencananya, Pulau Rempang akan disulap menjadi Eco-city dan juga pabrik kaca terbesar kedua di dunia.

    Singkatnya, masyarakat yang merasa bahwa Pulau Rempang merupakan tanah ulayat mereka, menolak untuk dilakukan relokasi atas warga pulau. Memang, rencana investasi itu membuat para warga Pulau Rempang harus direlokasi. Pada peristiwa pematokan tanah itulah terjadi bentrokan antara warga dengan Satpol PP hingga Kepolisian. Warga enggan kehilangan tanah tempat mereka dilahirkan.

    Kekhawatiran akan investasi yang merampas ruang hidup masyarakat, juga dirasakan oleh sejumlah warga Pulau Tunda, Kabupaten Serang. Warga pulau yang letaknya paling luar dari gugusan pulau-pulau Teluk Banten itu, saat ini tengah merasakan diskriminasi dari pengembang, yang datang sejak dua tahun yang lalu.

    Para warga di sana, mulai mengalami pelarangan untuk melakukan Aktivitas yang sebelumnya biasa mereka lakukan, seperti menangkap ikan. Sejumlah titik di Pulau Tunda memang biasa dijadikan tempat mencari ikan oleh warga, seperti di kawasan antara dermaga kayu dengan Pelabuhan Marina yang merupakan bagian dari kompleks villa megah yang dibangun oleh pengembang.

    Salah satu dermaga yang menjadi bagian dari komplek villa di Pulau Tunda, yang dikembangkan oleh PT LGN. Terlihat sebuah speedboat yang diduga digunakan oleh pengunjung dari kompleks villa tersebut dari Jakarta.

    Seperti yang disampaikan oleh salah satu pemuda Pulau Tunda, Rasyid Ridho. Kepada BANPOS. Ocit, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pada 30 Agustus 2023 lalu, dirinya bersama dengan dua rekan lainnya tengah berenang di bagian barat daya pulau. Selain berenang, ia dan rekannya juga melakukan aktivitas menangkap ikan menggunakan alat tembak.

    “Kami berenang dengan alat snorkling, senter, dan tangkap ikan dengan senapan biasa (digunakan untuk menangkap ikan). Kami berenang sampai ke ujung barat. Ketika mau ke arah utara, kami tidak jadi dan akhirnya kembali,” ujarnya.

    Sebelum kembali, Ocit menuturkan bahwa dirinya memilih untuk beristirahat terlebih dahulu, di pesisir antara dermaga kayu dan Pelabuhan Marina. Mereka menyeduh susu jahe sembari menghisap rokok, untuk menghangatkan badan. Sebab, mereka baru selesai berenang sekitar pukul 11 malam.

    “Pada saat itu, tiba-tiba datang motor NMax hitam yang ditunggangi oleh dua orang dengan inisial HD dan HR. Saat itu motor masih dihidupkan, mereka masih di atas motor, dan salah satunya berbicara dengan bahasa yang tidak enak didengar. Saya mah simpel, saya sampaikan kalau saya ini warga pulau,” katanya.

    Disampaikan seperti itu, salah satu yang mendatanginya, HD, bertanya kepada rekannya yakni HR, apakah mengenal Ocit. Karena HR merupakan warga pulau, ia pun mengenal Ocit, begitu pula sebaliknya. Bahkan, Ocit menyampaikan jika mertua HR ketika sedang sakit, pernah dia antar untuk berobat ke Serang.

    “Karena dia berbicara saja, maka saya sampaikan kepada HD, tolong kalau nanti ‘big boss’ datang ke sini, kabarkan kepada kami. Biar kami tidak menembak ikan di lokasi ini. Memang kan lokasinya ada banyak yah untuk menembak ikan dan berenang,” tuturnya.

    Namun, HD justru malah naik pitam. Menurut Ocit, HD naik pitam lantaran dirinya ditugaskan untuk menjaga kawasan sekitar villa, khususnya antara Pelabuhan Marina dengan dermaga kayu. Termasuk melarang masyarakat untuk menembak ikan.

    “Dia bilang ‘kamu ini, kamu itu dilarang nembak ikan di antara marina dan dermaga kayu. Masalahnya kita ini sedang menunggu investor, investor ini belum ada jawaban. Ikan-ikan di sini juga lagi kita kembang biakkan untuk pariwisata. Kamu dilarang menembak ikan di area ini’. Karena dia sedang emosi, makanya kami hanya jawab iya iya saja,” ucapnya.

    Menurut Ocit, pelarangan untuk menjaring ikan bahkan sudah terjadi sejak setahun yang lalu. Hal itu dialami oleh salah satu nelayan Pulau Tunda, yang sedang menjaring ikan di kawasan tersebut. Saat tengah menjaring ikan, dia diusir dengan alasan dilarang menjaring ikan di kawasan itu. “Di lokasi yang sama, di Barat Daya Pulau Tunda,” terangnya.

    Ia menuturkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para pengembang tersebut sudah sangat luar biasa di sana. Setiap bulannya, sang ‘big boss’ datang ke sana menggunakan helikopter yang mendarat pada helipad yang telah dibangun sebelumnya. Setiap pekan, speedboat dua kali datang dari arah Jakarta untuk melancong ke lokasi vila. Pengembang pun membawa berbagai alat berat untuk pembangunan seperti eskavator.

    Momen helikopter yang diduga mengangkut sang big boss investor di Pulau Tunda.

    “Yang kami dapatkan informasinya, ini merupakan pengembang dari China, hasil konsorsium. Cuma mereka mau menjual lagi kepada investor, bahasanya seperti itu. Namun untuk perusahaannya apa dan siapa calon investornya, kami belum tahu,” ungkap dia.

    Bahkan, Ocit mengaku bahwa aktivitas investasi yang tengah terjadi di Pulau Tunda, dikhawatirkan akan mengarah pada konflik sebagaimana yang terjadi di Pulau Rempang. Pasalnya, pihak pengembang dan investor, menjalankan kegiatan diskriminatif terhadap warga pulau, sekaligus melakukan kegiatan rayuan terhadap warga.

    “Jadi kami khawatir ini seperti di Pulau Rempang. Soalnya kami didiskriminasi, namun juga sedang diupayakan untuk dininabobokan. Setiap bulannya pengembang memberikan sembako ke rumah-rumah. Kurang lebih sudah tiga kali mendapatkan sembako dari mereka. Nanti dikasih, dikasih, lama-lama ditendang kami,” tuturnya.

    Ia mengaku bahwa hal itu sangat mungkin terjadi. Sebab, tanah di Pulau Tunda sudah mulai terkikis karena telah dibeli oleh pengembang. Bahkan menurutnya, sebanyak 70 persen tanah di Pulau Tunda, sudah tidak lagi dikuasai oleh warga Pulau Tunda.

    “Karena dari Kampung Barat ke barat habis, dari Kampung Barat ke utara habis. Dari Kampung Timur ke utara sudah habis, tinggal tanjungan timur yang masih belum. Termasuk juga pembangunan dermaga Jetty yang kami rasa tidak ada izinnya juga, karena tidak ada dari DKP Provinsi yang datang, dari Dishub yang datang, atau ada sosialisasi kepada masyarakat. Akhirnya kami justru yang diusir,” katanya.

    Ocit menegaskan bahwa warga Pulau Tunda sama sekali tidak alergi terhadap investasi. Jika memang investasi tersebut dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pulau, maka pihaknya akan dengan senang hati menerimanya. Namun, ia menegaskan bahwa jangan sampai investasi yang hadir, justru malah menimbulkan konflik dan merampas ruang hidup masyarakat.

    “Kami sesungguhnya tidak ingin membatasi investor, namun jangan sampai sampai hak-hak dari masyarakat dikebiri. Lalu jangan sampai kami dihadapkan oleh saudara-saudara kami sendiri (diadu domba). Kami juga ingin perhatian dari pemerintah daerah, seharusnya benar-benar memperhatikan persoalan izin dan administrasi lainnya. Karena kan untuk membuat bangunan, apalagi megah seperti itu, seperti bisa keluar begitu saja izinnya dan langsung dibangun. Atau jangan-jangan pemerintah kecolongan atau tutup mata,” tuturnya.

    Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah, baik itu Pemkab Serang maupun Pemprov Banten, dapat melakukan pengecekan terkait dengan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pengembang itu. Hal tersebut untuk memastikan keabsahan dan legalitas daripada proyek pembangunan di sana.

    “Lalu jika memang itu benar-benar telah mengantongi izin, pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi, konsekuensinya apa sih terhadap masyarakat. Dan masyarakat itu apa sih yang diuntungkan dari pembangunan itu? Apalagi kami mayoritas hanya dijadikan sebagai penonton saja dari pembangunan tersebut,” jelasnya.

    Namun yang paling penting menurutnya, adalah kepastian bahwa masyarakat Pulau Tunda tidak akan terusir dari tanah kelahirannya sendiri, seperti yang tengah menjadi polemik di Pulau Rempang. Apalagi, Pulau Tunda merupakan pulau yang strategis, yang dapat menjadi tempat transit menuju Jakarta, Sumatera, Kalimantan serta Pulau Jawa.

    “Jadi itu sangat mungkin terjadi. Jangan sampai kami terusir dari kampung kami sendiri. Kalau memang mau ada investor, jangan serakah, biarkan saja pulau ini sebagaimana asalnya. Kalau mau ada pembangunan, harus dibatasi. Disitulah tugas dari pemerintah daerah,” tuturnya.

    Sementara itu, hal yang berbanding terbalik disampaikan oleh mantan Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Wargasara-Pulau Tunda, Sahroni. Ia mengatakan bahwa investor yang telah masuk ke Pulau Tunda, sudah menyelesaikan permasalahan administrasi, mulai dari perizinan bahkan pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).

    “Perizinan sudah, membuat CSR sudah, sembako. Bahkan saya hari ini sedang berada di kampus Trisakti, mengantarkan putra daerah Pulau Tunda untuk kuliah yang dibiayai investor, belajar di bidang pariwisata,” ujarnya saat dihubungi BANPOS, Kamis (14/9).

    Ia pun membantah bahwa para investor yang menanamkan modal di sana, merupakan investor asing. Ia mengaku jika para investor berasal dari Jakarta. “Dari Jakarta, PT-nya saya kurang jelas yah,” tutur Sahroni.

    Dirinya mengaku mendukung pelaksanaan investasi di Pulau Tunda, yang berdasarkan penelusuran BANPOS di website Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum dan penuturan warga dilakukan sebuah perusahaan berinisial LGN. Menurutnya, investasi tersebut meningkatkan infrastruktur dari pulau, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat pulau.

    “Mudah-mudahan dengan masuknya investor ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contohnya masyarakat sudah ada yang diberikan diklat, ada masyarakat yang dikuliahkan di Trisakti untuk belajar pariwisata, juga pemberian sembako setiap bulannya,” kata Sahroni.

    Menurutnya, hubungan antara masyarakat dan investor di sana cukup baik. Hal itu karena sang investor memberikan berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat. Selain pengembangan SDM, Sahroni menuturkan jika investor tersebut juga melakukan rehabilitasi bangunan madrasah dan juga menyediakan lapangan pekerjaan.

    Tampak atas dari kompleks villa yang ada di Pulau Tunda.

    Sementara berkaitan dengan permasalahan yang disampaikan oleh Rasyid Ridho, Sahroni mengatakan bahwa sebenarnya investor dan pengembang tidaklah mengusir atau melarang masyarakat untuk berenang dan mengambil ikan. Namun, mereka hanya menyarankan kepada warga untuk saling menghargai.

    “Karena mereka (pengembang) telah menjaga ekosistem (laut dan pantai) dengan baik, supaya para investor lainnya mau datang ke sana. Kemungkinan seperti itu. Jadi tidak dilarang, melainkan disarankan untuk tidak menarik perhatian para investor terhadap ekosistem yang ada,” jelasnya.

    Begitu juga dengan kekhawatiran akan terjadinya peristiwa, seperti di Pulau Rempang. Sahroni menjamin bahwa tidak akan terjadi peristiwa seperti itu, lantaran setiap kegiatan para investor telah diketahui oleh RT, RW hingga Kepala Desa.

    “InsyaAllah tidak, karena semua ditempuh melalui musyawarah. Semua diketahui oleh RT, RW hingga Kepala Desa. Bahkan ada tim pembagian sembako. Kalau memang ada yang kurang puas, mungkin pemahamannya belum sampai,” ucapnya.

    Berdasarkan keterangan warga lainnya, disebutkan bahwa Sahroni merupakan salah satu ‘agen’ dari para investor, untuk menjadi seorang broker penjualan tanah di Pulau Tunda. Disebutkan bahwa Sahroni bertugas sebagai perantara investor, untuk membujuk masyarakat menjual tanahnya. Sahroni disebut berhasil melakukan tugasnya, karena banyak warga yang akhirnya menjual tanah mereka kepada investor, dengan harga yang cukup murah.

    Berlatar belakang sebagai seorang mantan Ketua BPD Wargasara tiga periode dan juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SD/SMP Satu Atap di Pulau Tunda, banyak masyarakat yang disebut akhirnya percaya dengan bujukan Sahroni.

    Menanggapi hal tersebut, Sahroni mengaku bahwa tidak ada pemaksaan dalam penjualan tanah-tanah di Pulau Tunda kepada para investor. Menurutnya, tanah-tanah yang dijual pun bukan merupakan tanah produktif serta bukan tanah permukiman warga, melainkan lahan mati yang sudah tidak produktif, sehingga pemiliknya lebih memilih untuk menjualnya.

    “Tidak ada pemaksaan harus seperti ini, seperti ini. Biasa saja. Kalau dia sepaham harganya, dia jual. Kalau tidak, ya tidak dijual. Variatif (harga tanah yang dia fasilitasi), ada yang Rp70 ribu, ada yang Rp80 ribu. Tergantung kelasnya. Kalau rawa itu murah, ada yang cuma Rp20 ribu, ada yang hingga Rp100 ribu. Tidak ada yang dijual tanah permukiman, saya juga melarangnya,” ungkapnya.

    Salah satu warga yang mengaku telah menjual tanahnya kepada investor bernama Slamet. Kepada BANPOS, dia mengatakan bahwa dirinya telah menjual tanah seluas 7 hektare kepada investor, dengan harga per meternya Rp20 ribu.

    “Jadi atas dasar musyawarah dengan keluarga, kami jual tanahnya kepada pak Hengki. Alasannya karena sudah tidak produktif, sudah tidak berbuah lagi kelapanya. Daripada tanahnya kering begitu saja. Dijualnya tahun kemarin,” tandasnya.

    Kepala Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya, mengatakan bahwa dalam pengembangan pariwisata, khususnya melalui campur tangan investor, harus tetap memperhatikan berbagai hal. Salah satunya adalah permasalahan sosial yang berpotensi timbul di masyarakat.

    “Kalau timbul masalah, misalnya ada masyarakat yang mungkin merasa tidak bisa bermain di situ atau melakukan pencarian ikan, tentunya itu sangat mungkin dikarenakan masih kurangnya koordinasi yang jelas dari pengembang kepada masyarakat. Maka dalam pelaksanaan investasi itu, harus melibatkan masyarakat, agar tidak timbul kesalahpahaman. Intinya seperti itu,” tandas Anas.(MUF/DZH/ENK)