Tag: tersangka pemerkosaan dilepas polisi

  • Penyidik Polres Serang Kota Diperiksa Karena Beri Restorative Justice Pada Kasus Pemerkosaan

    Penyidik Polres Serang Kota Diperiksa Karena Beri Restorative Justice Pada Kasus Pemerkosaan

    SERANG, BANPOS – Pembebasan pemerkosa penyandang disabilitas mendapat sorotan dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Lembaga yang salah satu tugasnya mengawasi kinerja Kepolisian Republik Indonesia (Polri) tersebut menilai bahwa pembebasan pelaku atas dasar restorative justice tidak bisa dibenarkan.

    Bahkan, Kompolnas meminta bagian Pengawasan dan Penyidikan (Wassidik) dan Propam Polda Banten, untuk memeriksa penyidik yang menangani perkara dugaan pemerkosaan penyandang disabilitas tersebut. Apalagi Polres Serang Kota telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

    Juru bicara Kompolnas, Poengky Indarti, mengatakan bahwa Kompolnas akan melakukan klarifikasi terhadap perkara tersebut. Ia pun meminta agar segera dilakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang ditugaskan pada perkara itu.

    “Kami merekomendasikan Wassidik dan Propam turun untuk memeriksa penyidik kasus tersebut,” ujar Poengky dalam rilis yang diterima.

    Poengky menilai, kasus perkosaan bukan merupakan delik aduan. Sehingga meskipun pelapor bermaksud mencabut kasus, proses pidananya tetap harus berjalan. Selain itu, restorative justice pun tidak bisa dilakukan untuk kasus pemerkosaan.

    “Alasan restorative justice itu untuk kasus-kasus pidana yang sifatnya ringan. Bukan kasus perkosaan, apalagi terhadap difabel yang wajib dilindungi. Dalam kasus ini, sensitivitas penyidik harus tinggi,” tegas Poengky.

    Ia pun menyayangkan jika penyidik menghentikan penyidikan terhadap dua pelaku dugaan perkosaan, dengan alasan laporan sudah dicabut. Ia menegaskan bahwa polisi memiliki tugas melakukan kontrol sosial dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan.

    “Alasan pencabutan laporan karena adanya perdamaian dengan cara kesediaan pelaku untuk menikahi korban yang telah hamil 6 bulan juga perlu dikritisi, mengingat pelaku sebelumnya telah tega memerkosa korban. Sehingga aneh jika kemudian menikahkan pelaku perkosaan dengan korban,” tuturnya.

    Di tempat terpisah, Kapolres Serang Kota, AKBP Maruli Hutapea, mengaku akan meneliti kembali penangguhan dua tersangka pemerkosa yang sebelumnya ditahan selama 41 hari sejak 27 November 2021.

    “Kami sudah melakukan restorative justice, karena keinginan kedua belah pihak. Tapi, kalau ada masukan-masukan akan kami teliti kembali. Bisa dilanjutkan. Memang ini (restorative justice) inisiatif pelapor karena dasar kemanusiaan,” terangnya.

    Sementara itu, Polda Banten pun langsung menindaklanjuti rekomendasi dari Kompolnas dengan melakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang menangani perkara pemerkosan gadis disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen itu.

    Kabid Humas Polda Banten, Kombes Pol Shinto Silitonga, dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa Polda Banten menindaklanjuti rekomendasi dan saran dari Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti.

    “Polda Banten menurunkan personel dari tim Bidpropam untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap para penyidik yang melakukan penanganan perkara pemerkosaan gadis difabel,” ujar Shinto pada Jumat (21/1).

    Selain itu, Shinto menuturkan bahwa Polda Banten juga mengerahkan tim Wassidik Ditreskrimum untuk melakukan fungsi pengawasan terkait penerapan restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota.

    “Apakah sesuai dengan ketentuan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif,” kata Shinto.

    Dikecam DPR RI

    ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Nur’aeni, mengaku miris dan kecewa dengan langkah restorative justice yang dilakukan oleh Polres Serang Kota, atas kasus pemerkosaan disabilitas mental asal Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

    Menurut Nur’aeni, restorative justice yang ditempuh oleh Polres Serang Kota sehingga membebaskan para pelaku, sangat bertentangan dengan semangat dari pemerintah pusat dalam mengentaskan masalah kekerasan seksual.

    “DPR dalam paripurna sudah mengetok RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), untuk masuk ke Prolegnas tahun 2022. Namun anehnya, di daerah justru muncul kasus seperti ini. Berarti daerah masih setengah-setengah dalam memandang masalah ini,” ujarnya.

    Polres Serang Kota pun menurutnya, masih memandang masalah tindak kekerasan seksual, apalagi terhadap penyandang disabilitas, sebagai perkara yang biasa, sampai-sampai pelakunya dibebaskan. Ia menegaskan bahwa hal itu tidak boleh terjadi lagi.

    “Ini yang tidak benar menurut saya. Jangan berikan ruang bagi pelaku pemerkosaan, apalagi dibebaskan dengan dalih apapun. Meskipun diklaim sudah dilakukan upaya perdamaian secara kekeluargaan,” tegasnya.

    Politisi perempuan asal Partai Demokrat ini menegaskan, langkah pembebasan pelaku pemerkosaan oleh Polres Serang Kota dapat berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian.

    “Kalau seandainya setiap kasus pemerkosaan dilakukan lewat cara-cara perdamaian ataupun ada lobi, ini tidak akan membuat efek jera. Walaupun ada dalih ini kan untuk melindungi korban karena difabel, khawatir ada ancaman. Makanya, perlu pendampingan khusus. Karena ini bukan kasus ecek-ecek, ini kasus pemerkosaan yang merupakan pelanggaran HAM, terlebih terhadap disabilitas,” ungkapnya.

    Ia pun menyayangkan dinikahinya korban dengan salah satu pelaku. Menurutnya, perlu diusut siapa yang berinisiatif untuk mengambil langkah perdamaian melalui pernikahan itu. Karena menurutnya, hal itu bisa mengarah pada kekerasan seksual yang lebih jauh lagi.

    “Jadi mengapa bisa diputuskan dengan mudah? Kan ini bukan persoalan yang gampang. Jangan mentang-mentang hamil lalu dinikahkan. Kalau menurut saya, ini bukan menyelesaikan satu persoalan, malah akan menambah persoalan yang baru bagi si korban,” tandasnya.

    Sementara itu, Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa diputuskannya langkah Restorative Justice terhadap perkara pemerkosaan penyandang disabilitas, merupakan salah berpikir dari Polres Serang Kota atas konsep Restorative Justice.

    “Kalau kasus pemerkosaan ini bisa dilakukan Restorative Justice cukup dengan keterangan bahwa pelaku siap menikahi korban, tentu akan banyak kasus pemerkosaan-pemerkosaan lainnya. Tinggal kuat-kuatan relasi dan harta kalau seperti itu. Jelas ini merupakan salah pikir terkait Restorative Justice,” ujarnya.

    Di sisi lain, pelaku pemerkosaan terdiri dari dua orang. Salah satu klausul perdamaian yang disebut merupakan keinginan dari pihak keluarga, mewajibkan pelaku untuk menikahi korban serta menafkahi lahir batin hingga akhir hayatnya.

    “Menurut saya ini aneh, karena dari dua orang ini, siapa yang akan menikahi? Atas dasar apa dia yang harus menikahi? Keduanya kan sama-sama pelaku. Tidak mungkin keduanya menikahi korban. Artinya, kalau hanya satu orang yang akan menikahi, mengapa pelaku lainnya dibebaskan. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

    Selain itu menurutnya, secara aturan Islam pun dilarang untuk menikahi wanita yang tengah hamil di luar pernikahan. Sebab, hal itu akan terjadi bias nasab, meskipun jika sudah jelas siapa ayah kandungnya tetap tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah.

    “Apalagi berdasarkan informasi yang perwakilan kami dapatkan pada saat turun ke lapangan, ternyata pernikahan korban dengan pelaku tidak dihadiri oleh Wali dari korban. Jelas ini merupakan bentuk permainan terhadap agama dan hukum,” ungkapnya.

    Pernikahan yang terjadi antara korban dan salah satu pelaku pun dikhawatirkan oleh pihaknya, malah menambah permasalahan yang dialami korban. Sebab, bisa saja korban mengalami trauma terhadap pelaku, dan dipaksa untuk tinggal serumah dengan ikatan pernikahan yang ia anggap sebagai paksaan.

    “Kalau dinikahkan, apa enggak ada ketakutan bahwa si korban malah akan tersiksa lahiriah dan batiniyah. Justru korban akan tertekan dinikahkan dengan salah satu pelaku, karna korban dinikahkan bukan dengan orang yang dia sukai, justru yang dia benci saat ini,” ucapnya.

    Maka dari itu, ia pun mendesak agar negara, khususnya Pemerintah Kota Serang, untuk turun tangan mengambil alih hak asuh korban, dan dijadikan sebagai tanggungan negara. Karena, pihak keluarga korban pun sangat sulit untuk dipercaya, mengingat salah satu pelaku merupakan paman korban, dan yang mewakili korban merupakan bibi dari korban yang diduga istri pelaku.

    “Korban ini tengah hamil enam bulan. Ini seharusnya menjadi tanggungan negara, agar dirawat oleh Pemerintah Kota Serang karena pihak keluarga pun tidak bisa menjaganya. Supaya korban memiliki rasa aman dan kenyamanan pada dirinya, sebagai proses pemulihan atas kejadian itu,” ungkapnya.

    Ia pun mendesak Polres Serang Kota untuk mencabut keputusan Restorative Justice yang dibuat, dan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. Sebab tanpa laporan pun, kasus pemerkosaan tetap bisa diselidiki oleh Kepolisian lantaran bukan delik aduan.

    “Kami mendesak Polres Serang Kota untuk menindak kasus kejahatan seksual ini dengan tuntas dan pelaku harus dihukum, jangan sampai dibiarkan begitu saja. Ini adalah delik biasa, maka dari itu walaupun tidak ada laporan, polisi harus menindak pelaku kejahatan tersebut. Jangan biarkan predator seksual berkeliaran,” tandasnya.

    (DZH/ENK)

  • Soal Restorative Justice, Polres Serang Kota Dituding Salah Pikir

    Soal Restorative Justice, Polres Serang Kota Dituding Salah Pikir

    SERANG, BANPOS – Pelepasan dua pelaku pemerkosaan penyandang disabilitas oleh Polres Serang Kota dengan dalih Restorative Justice (RJ) dinilai sebagai kesalahan berpikir. Pasalnya, Restorative Justice hanya berlaku bagi perkara pidana ringan, bukan pidana berat seperti pemerkosaan.

    Berdasarkan rilis yang diterima BANPOS, keluarga korban pemerkosaan gadis difabel mendatangi Polres Serang Kota pada Selasa (18/1). Kedatangannya kali ini dalam rangka mencabut laporan atas kejadian tersebut.

    “Terima kasih kepada Polres Serang Kota yang telah dengan cepat menanggapi laporan, namun kami telah memilih mekanisme mufakat damai dari masing-masing pihak sehingga dengan secara sadar mencabut laporan tersebut ke Polres Serang Kota,” kata pelapor kasus tersebut, Hidayat.

    Sementara itu, bibi korban, Julia Adji Susanti yang merawat korban sejak kecil menyampaikan bahwa pihak keluarga memilih mekanisme permufakatan damai dari masing-masing pihak sehingga dengan secara sadar mencabut laporan ke Polres Serang Kota.

    “Saya mengucapkan terimakasih kepada Kapolres Serang Kota yang telah dengan cepat menangani laporan yang kami sampaikan, kami keluarga telah mencabut laporan karena akan kami selesaikan dengan permufakatan damai,” ujar Julia.

    Selanjutnya Julia mengatakan bahwa SE akan menikahi YA, “Kami telah bermusyawarah dengan keluarga EJ dan SE, dari hasil musyawarah tersebut SE akan menikahi dan menafkahi lahir batin bukan untuk sesaat namun hingga maut yang memisahkan,” kata Julia.

    Sementara itu Kapolres Serang Kota AKBP Maruli Ahiles Hutapea SIK MH melalui Kasatreskrim AKP David Adhi Kusuma SIK.,MH. mengatakan bahwa kasus pemerkosaan gadis difabel telah dicabut laporannya oleh pihak keluarga, atas dasar dari terlapor menempuh jalur Restorative Justice dan hasil musyawarah antara 2 keluarga.

    “Kami telah bertemu dengan kedua pihak, atas dasar keterangan dari keluarga korban, pihak keluarga bersepakat tidak akan melanjutkan permasalahan tersebut, karena keluarga korban atas dasar musyawarah bersama tersangka SE akan menikah dengan YA dan akan menafkahi lahir batin. Kedua tersangka telah ditangguhkan penahanannya,” kata David.

    Menanggapi permasalahan ini, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten, Rizki Aulia Rohman, mengatakan bahwa Restorative Justice merupakan amanat dari Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

    Menurutnya, aturan tersebut mengamanatkan bahwa perlu dilakukannya penyelesaian tindak pidana yang bersifat ringan, dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pada pemulihan kembali seperti keadaan semula, dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan.

    “Ini merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat. Ini merupakan kewenangan yang diberikan pasal 16 dan 18 UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang POLRI dalam rangka menjawab perkembangan kebutuhan hukum masyarakat, dengan tetap memperhatikan norma dan nilai serta kepastian hukum dan kebermanfaatan di masyarakat,” ujarnya, Rabu (19/1).

    Sementara untuk kasus pemerkosaan terhadap disabilitas di Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Rizki menuturkan bahwa perlu dilihat klasifikasi tindak pidananya. Sebab, tidak semua perkara dapat dilakukan langkah Restorative Justice.

    “Perlu digarisbawahi sesuai pasal 5, perlu adanya klasifikasi yang tetap memperhatikan apakah tindak pidana tersebut dapat di RJ atau tidak. Seperti tindakan pidana ringan, tidak menimbulkan kegaduhan atau keresahan serta penolakan di masyarakat, tidak berdampak konflik sosial,” terangnya.

    Selain itu, tindak pidana yang tidak bisa dilakukan langkah Restorative Justice adalah tindak pidana terorisme dan separatisme, radikalisme, tindak pidana korupsi, mengancam keamanan negara, tindak pidana terhadap nyawa orang dan tindak pidana narkoba serta bukan residivis.

    Dalam pemerkosaan terhadap penyandang disabilitas, ia menuturkan bahwa memang dalam KUHP tidak mengatur terkait dengan pemerkosaan. Yang ada ialah kasus pencabulan, dan jarang dapat dilakukan langkah Restorative Justice.

    “Biasanya jarang bisa dilakukan langkah Restorative Justice. Karena kan kasus asusila itu tidak bisa diganti dengan materil kerugiannya,” jelasnya.

    Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Kota Serang yang sempat berusaha mengunjungi korban bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Banten, mengaku heran dengan kondisi ini.

    Mide Formateur HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa diputuskannya langkah Restorative Justice terhadap perkara pemerkosaan penyandang disabilitas, merupakan salah berpikir dari Polres Serang Kota atas konsep Restorative Justice.

    “Kalau kasus pemerkosaan ini bisa dilakukan Restorative Justice cukup dengan keterangan bahwa pelaku siap menikahi korban, tentu akan banyak kasus pemerkosaan-pemerkosaan lainnya. Tinggal kuat-kuatan relasi dan harta kalau seperti itu. Jelas ini merupakan salah pikir terkait Restorative Justice,” ujarnya.

    Di sisi lain, pelaku pemerkosaan terdiri dari dua orang. Salah satu klausul perdamaian yang disebut merupakan keinginan dari pihak keluarga, mewajibkan pelaku untuk menikahi korban serta menafkahi lahir batin hingga akhir hayatnya.

    “Menurut saya ini aneh, karena dari dua orang ini, siapa yang akan menikahi? Atas dasar apa dia yang harus menikahi? Keduanya kan sama-sama pelaku. Tidak mungkin keduanya menikahi korban. Artinya, kalau hanya satu orang yang akan menikahi, mengapa pelaku lainnya dibebaskan. Ini jelas tidak adil,” tegasnya.

    Selain itu menurutnya, secara aturan Islam pun dilarang untuk menikahi wanita yang tengah hamil di luar pernikahan. Sebab, hal itu akan terjadi bias nasab, meskipun jika sudah jelas siapa ayah kandungnya tetap tidak bisa dinasabkan kepada sang ayah.

    “Apalagi berdasarkan informasi yang perwakilan kami dapatkan pada saat turun ke lapangan, ternyata pernikahan korban dengan pelaku tidak dihadiri oleh Wali dari korban. Jelas ini merupakan bentuk permainan terhadap agama dan hukum,” ungkapnya.

    Pernikahan yang terjadi antara korban dan salah satu pelaku pun dikhawatirkan oleh pihaknya, malah menambah permasalahan yang dialami korban. Sebab, bisa saja korban mengalami trauma terhadap pelaku, dan dipaksa untuk tinggal serumah dengan ikatan pernikahan yang ia anggap sebagai paksaan.

    “Kalau dinikahkan, apa enggak ada ketakutan bahwa si korban malah akan tersiksa lahiriah dan batiniyah. Justru korban akan tertekan dinikahkan dengan salah satu pelaku, karna korban dinikahkan bukan dengan orang yang dia sukai, justru yang dia benci saat ini,” ucapnya.

    Maka dari itu, ia pun mendesak agar negara, khususnya Pemerintah Kota Serang, untuk turun tangan mengambil alih hak asuh korban, dan dijadikan sebagai tanggungan negara. Karena, pihak keluarga korban pun sangat sulit untuk dipercaya, mengingat salah satu pelaku merupakan paman korban, dan yang mewakili korban merupakan bibi dari korban yang diduga istri pelaku.

    “Korban ini tengah hamil enam bulan. Ini seharusnya menjadi tanggungan negara, agar dirawat oleh Pemerintah Kota Serang karena pihak keluarga pun tidak bisa menjaganya. Supaya korban memiliki rasa aman dan kenyamanan pada dirinya, sebagai proses pemulihan atas kejadian itu,” ungkapnya.

    Ia pun mendesak Polres Serang Kota untuk mencabut keputusan Restorative Justice yang dibuat, dan membuka kembali penyelidikan kasus tersebut. Sebab tanpa laporan pun, kasus pemerkosaan tetap bisa diselidiki oleh Kepolisian lantaran bukan delik aduan.

    “Kami mendesak Polres Serang Kota untuk menindak kasus kejahatan seksual ini dengan tuntas dan pelaku harus dihukum, jangan sampai dibiarkan begitu saja. Ini adalah delik biasa, maka dari itu walaupun tidak ada laporan, polisi harus menindak pelaku kejahatan tersebut. Jangan biarkan predator seksual berkeliaran,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Lepas Tersangka Pemerkosaan, Polres Serang Kota Dikecam

    Lepas Tersangka Pemerkosaan, Polres Serang Kota Dikecam

    SERANG, BANPOS – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Banten, mengecam pembebasan dua orang terduga pelaku tindak pidana perkosaan terhadap gadis difabel mental berusia 21 tahun di Kota Serang oleh Polres Serang Kota. Kedua pelaku tersebut, sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan di Mapolres Serang Kota, beberapa waktu lalu.

    Koordinator Presidium KMS Banten, Uday Suhada, mengungkapkan bahwa pembebasan pelaku sebagai tindakan pembiaran dan impunitas terhadap pelaku. Sehingga membuka peluang bagi pelaku untuk mengulangi kekerasan seksual yang sama, pada korban atau orang lain.

    “Kerentanan kondisi korban dan keluarga seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyelesaiakan proses hukum kasus tersebut,” ujarnya, Selasa (18/1).

    Ia mengungkapkan, praktek mediasi dalam kasus perkosaan yang dilakukan kepolisian, menyalahi prosedur asas keadilan di mata hukum, dan mencederai pelaksaan Undang-undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Saat ini, pemulihan dan rasa aman korban menjadi hal yang penting untuk terus diupayakan.

    “Dalam penanganan kasus ini seharusnya kepolisian berkoordinasi dengan lembaga pendamping dan/atau bantuan hukum untuk memastikan korban dan keluarga mendapatkan pendampingan dalam proses hukum,” ungkapnya.

    Uday menegaskan, kepolisian juga seharusnya mendukung hadirnya alat bukti tambahan, bukan malah membebaskan tersangka dan memfasilitasi perdamaian.

    “Pembebasan tersangka menjadi teror bagi korban dan keluarga korban, dan pembiaran penegakan hukum sehingga korban tetap terintimidasi dan tidak mendapat keadilan,” tandasnya.

    Ia menyebut bahwa tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Karena itu, pihak Kepolisian dalam hal ini penyidik, tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara perkosaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Oleh karena itu, KMS Banten menuntut kepada Polres Serang Kota dan LPAI serta P2TP2A.

    “Kami menuntut kepada Polres Kota Serang untuk melanjutkan perkara dan menahan dua orang pelaku tersebut yang merupakan delik biasa sesuai pasal 285 KUHP, kami juga menuntut LPAI dan P2TP2A Kota Serang memberikan hak pemulihan dan rasa aman bagi korban dan keluarga korban akibat kasus pemerkosaan tersebut,” tandasnya.

    Presidium KMS Banten lainnya, Hunainah, mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat prihatin dengan kondisi lingkungan yang hanya bungkam akan keadaan. Hari Selasa tanggal 18 Januari, ia berkesempatan untuk berkunjung ke rumah korban.

    Namun, ia mengaku kecewa dengan pihak-pihak yang lebih banyak bungkam, ketimbang mengungkapkan kronologi kejadian. Bahkan, Ketua RT, bibi korban, bahkan korban sekalipun diungsikan oleh sang bibi bernama Titin.

    “Sangat sedikit informasi yang kami dapatkan, padahal, kalau saja masyarakat terbuka dengan hal ini, sangat diyakini bahwa kedepan akan meminimalisir korban kekerasan seksual,” katanya.

    Ia bersama dengan pendamping dari DP3AKB Kota Serang dan LPA Kota Serang, akan melanjutkan proses hukum dengan disertai bukti-bukti dan hukum yang berlaku. Ia juga menyayangkan adanya pernikahan yang dilangsungkan pada Senin malam, oleh salah seorang ustadz setempat, yang dimana pernikahan tersebut lemah hukum baik hukum syariat maupun hukum negara.

    “Saya diberi informasi bahwa semalam (kemarin, red), korban dinikahkan oleh ustadz, ini sangat tidak bisa diterima. Karena kami memikirkan perasaan korban, masa mau disatukan dengan pelaku yang besar kemungkinan membuatnya trauma,” ucapnya.

    Bahkan, pihaknya tidak akan berhenti sampai kunjungan hari itu saja. Secara persuasif, bersama tim lainnya, ia berupaya mengorek informasi lebih lanjut, untuk memperkuat bukti kepada pihak kepolisian.

    “Seharusnya pihak kepolisian juga menilai bagaimana seharusnya penanganan kasus perkosaan ini ditangani, saya juga menyayangkan kepada oknum yang terlibat dalam keberlangsungan pernikahan antara korban dengan tersangka. Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas, agar tidak ada lagi korban kekerasan kepada perempuan, terlebih ini dalam kondisi difabel,” tandasnya.

    Dosen Pidana Fakultas Hukum UNPAM, Halimah Humayrah Tuanaya, menyebutkan bahwa Polres Serang Kota keliru telah membebaskan dua tersangka perkosaan. Ia menyampaikan, perkosaan merupakan delik murni, bukan delik aduan.

    “Jadi meskipun pelapor mencabut laporannya, polisi wajib terus melanjutkan proses hukumnya,” tegasnya.

    “Ironis apabila Polres Serang Kota tidak melanjutkan proses hukum kejahatan perkosaan itu, lantaran pelapor sudah mencabut laporannya. Justru seharusnya dilakukan penyelidikan lebih lanjut terkait hal apa yang melatarbelakangi pelapor mencabut laporannya, apakah pelapor mengalami tekanan, ancaman, dan lain sebagainya,” jelas Halimah.

    Ia mengatakan, korban yang saat ini telah dinikahkan dengan pelaku perkosaan. Hal itu tidak dapat dipandang sederhana sebagai bentuk pemulihan situasi pasca terjadinya tindak pidana.

    “Restorative justice tidak diterapkan dengan tujuan memposisikan korban untuk menjadi korban kedua kalinya,” ucapnya.

    Perkawinan idealnya dilaksanakan atas dasar kehendak dari kedua belah pihak, dengan tujuan untuk kebahagiaan bersama. Ia mempertanyakan, apakah perkawinan antara pelaku dan korban perkosaan adalah perkawinan yang dikehendaki korban atau bukan.

    “Saya berharap, Polres Serang Kota segera melakukan korkesi atas kekeliruannya, dan melanjutkan proses hukum atas peristiwa tersebut,” tandasnya.

    Kepala DP3AKB Kota Serang, Anton Gunawan, mengatakan bahwa pihaknya memang mengurus kasus pemerkosaan yang menimpa seorang penyandang disabilitas asal Kasemen. Namun menurutnya, DP3AKB Kota Serang hanya mengurus terkait dengan korbannya saja, tidak masuk ke ranah hukum.

    “Kami ini mengembalikan kondisi korban dari dampak pemerkosaan itu. Apalagi kan sekarang sedang hamil yah. Makanya kami membantu dari sisi psikologisnya. Supaya jangan sampai dia sudah menjadi korban, lalu malah tertekan secara psikologis dan depresi,” ujarnya.

    Berdasarkan hasil identifikasi dari tim psikiater, diketahui bahwa meskipun korban secara fisik berumur 21 tahun, akan tetapi secara mental masih berumur lima tahun. “Memang secara mental teridentifikasi masih berumur lima tahun,” ucapnya.

    Anton menuturkan bahwa pihaknya tidak mengetahui bahwa korban telah dibawa pergi oleh bibinya. Ia pun tidak mengetahui apakah bibi yang membawa pergi korban merupakan istri dari salah satu pelaku atau bukan.

    “Nah kami belum mendapatkan laporannya. Namun jika memang si korban ini mau dibawa oleh keluarga, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Asalkan korban tidak malah bertambah depresi. Memang ini sangat dilematis juga yah,” ungkapnya.

    Termasuk pula terkait dengan telah dicabutnya laporan tindak pemerkosaan terhadap korban. Anton mengaku bahwa hal itu dia ketahui dari pemberitaan media, namun belum mendapatkan keterangan secara resmi.

    “Apakah yang bersangkutan dan pelaku ada penyelesaian secara kekeluargaan, karena memang sudah di ranah hukum maka kami tidak bisa melakukan intervensi. Saat ini kami akan lebih fokus pada penanganan korban,” terangnya.

    Anton menuturkan, pihaknya bisa saja mengambil langkah untuk menjadikan korban sebagai tanggungan negara, dengan merawatnya di rumah aman. Namun, pihaknya masih harus mencari tahu lebih dalam mengenai kondisi dari korban dan penilaian dari psikolog.

    “Kami ke keluarganya sudah menyampaikan seperti itu. Kami siap menangani (merawat) korban. Kalau hasil nanti dari psikolog dan hasil informasi yang kami cari dari RT dan warga sekitar, jika diperlukan untuk melakukan perawatan oleh kami, maka kami ada rumah aman untuk merawat korban,” jelasnya. (DZH/MUF/PBN)