Tag: Uday Suhada

  • Diduga Serobot Lahan Warga, Pemkab Pandeglang Dilaporkan ke Polda Banten

    Diduga Serobot Lahan Warga, Pemkab Pandeglang Dilaporkan ke Polda Banten

    SERANG, BANPOS – Sejumlah ahli waris Unus bin Saripan pemilik lahan parkir pantai Karangsari Carita Pandeglang mendatangi Mapolda Banten. Mereka melaporkan dugaan tindak pidana penyerobotan tanah yang dilakukan Pemkab Pandeglang, Senin, 3/1/22.

    Para ahli waris itu didampingi Uday Suhada, selaku anggota tim Kuasa Hukum warga dari kantor Hukum EFHA Salim dan Rekan yang berkantor di Ciputat Tangsel. Dalam keterangannya, Uday yang juga direktur eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) ini menjelaskan bahwa Pemkab Pandeglang telah melakukan penyerobotan atas obyek tanah tanpa dasar hukum yang jelas.

    “Saya mendampingi ahli waris untuk memperjuangkan hak mereka atas sebidang tanah yang diserobot Pemda Pandeglang. Karenanya kami melaporkannya ke Polda Banten dua pekan lalu. Alhamdulillah laporan itu hari ini ditindak lanjuti oleh Pihak Harda Polda Banten, yang langsung turunkan Tim ke obyek perkara” ungkap Uday, Jum’at (4/3/22).

    Seperti diketahui sengketa tanah Karangsari di pantai Carita Pandeglang, sempat geger pada tahun 2004, yang menelan uang rakyat Rp.5 milyar yang bersumber dari APBD (Rp 1,5 M APBD Pandeglang, Rp 3,5 M APBD Banten).

    Uday juga menjelaskan bahwa Pemkab Pandeglang pada Rabu (3/12/21) secara mengejutkan melakukan penyerobotan dengan mengambil alih pengelolaan lahan tersebut dengan menggandeng Pihak Ketiga.

    “Tak tanggung-tanggung, Pemkab melalui Surat dari Sekda, mengerahkan aparat kepolisian setempat dan Satpol PP untuk mengamankan penguasaan lahan tersebut.” tambah Uday.

    “Adapun dasar pelaporan kami antara lain, bahwa Almarhum Unus bin Saripan meninggalkan warisan sebidang tanah di blok Cileuweung Desa Sukarame Kecamatan Carita Kabupaten Pandeglang. Buktinya adalah Girik C No.19 Persil 137a D IV seluas 10.950 meter persegi. Dengan letak batas, sebelah utara tanah Ipik bin Husen; timur jalan raya; selatan tanah Noti (selokan) dan barat tanah Ipik bin Husen”. terang Uday.

    Selain itu ahli waris juga memegang Surat Keputusan Pengadilan Agama Pandeglang tahun 2005 tentang Fatwa Waris dan Harta Waris. “Atas kepemilikan tanah itu tidak pernah menjual, menyewakan, meminjamkan, menjadikan sebagai obyek perjanjian kerjasama dengan siapapun. Tapi Pemkab Pandeglang malah menyerobot tanah rakyatnya sendiri.” berernya.

    Pada 13 Oktober 1997, lahan itu, tanpa hak, ijin, persetujuan diklaim oleh seorang (Alm) Omo Sudarmo melalui Sertifikat Hal Milik No.690/Desa Sukarame. Bermodalkan “Sertifikat” tanah itu dijualnya kepada (Alm) Chasan Sochib, melalui pengikatan perjanjian AJB pada 20 Agustus 2001.

    Kemudian Bupati Pandeglang A. Dimyati Natakusumah juga mengklaim tanah tersebut dan berperkara perdata dengan (alm) Chasan Sochib dan (alm) Omo Sudarmo di PN Pandeglang. Perseteruan itu dimediasi oleh PN Pandeglang melahirkan Surat Perjanjian Perdamaian No.20/Pdt G/2001/PN.Pdg.

    Atas surat itu, Pemkab Pandeglang harus memberikan kompensasi Rp.5 milyar kepada H Chasan Sochib. Karena tidak memiliki uang sebesar itu, kemudian Bupati A. Dimyati Natakusumah mengajukan permohonan bantuan ke Gubernur Djoko Munandar, namun tidak diindahkan. Kemudian Dimyati mengajukan permohonan kepada Wagub Atut Chosiyah.

    Atas instruksi Wagub, kemudian anggaran untuk Penguat Jalan Pandeglang – Serang sebesar Rp.5 milyar di Dinas PU Provinsi Banten dialihkan ke pembebasan lahan Karangsari tersebut, sebesar Rp.3,5 milyar. Sedangkan dana Rp.1,5 milyar berasal dari Pemkab Pandeglang.

    5 MILYAR UANG NEGARA HILANG

    Pengalihan anggaran tersebut kemudian membuat Kejati Banten menetapkan Sdr.Tntn sebagai tersangka. Namun uniknya perkara tersebut diSP3kan oleh Kejati sendiri. Akibatnya, terdapat kerugian keuangan negara Rp.5 milyar.

    Di lain pihak, ahli waris Ipik bin Husen (pemilik lahan di sebelah barat lahan milik Unus bin Saripan) melakukan gugatan atas Sertifikat milik Omo Sudarmo ke PN Pandeglang. Gugatannya dikabulkan melalui Putusan PN No.09/Pdt.G/2011/PN.Pdg. Dalam amat putusannya disebutkan “Menyatakan Sertifikat Hak Milik No.690/Desa Sukarame tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum”.

    Apalagi dalam Sertifikat No.600/Desa Sukarame titik lokasinya bukan di blok Cileuweung, melainkan di blok Cigarokgak (saat ini kantor UPT Kelautan Kab. Pandeglang). “Jadi Pemkab Pandeglang salah alamat”, tukas Uday.

    Amar putusan Pengadilan Tinggi Banten No.37/Pdt/2013/Banten menguatkan putusan PN Pandeglang.

    Amar putusan Mahkamah Agung dengan Putusan MA No.2720 K/Pdt/2013 pun menguatkan putusan PN Pandeglang dan PT Banten.

    Puncaknya dalam amar putusan Mahkamah Agung dengan Putusan PK No.223 PK/Pdt/2016, berbunyi, “Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon yakni Bupati Pandeglang”.

    Dari semua putusan tersebut, tak ada satupun klausul yang menyebutkan adanya sebidang tanah atau lahan milik Pemkab Pandeglang.

    (RUS/ENK)

  • Meski Sudah Dikembalikan, Proses Hukum Temuan Setwan 2015 Tetap Berjalan

    Meski Sudah Dikembalikan, Proses Hukum Temuan Setwan 2015 Tetap Berjalan

    SERANG, BANPOS – Meski mantan pejabat eselon IV di Sekretaris Dewan (Setwan) Banten, Ali Hanafiah telah melunasi seluruh uang kerugian negara sebesar Rp2,6 miliar atas kegiatan publikasi media pada tahun anggaran 2015, namun proses hukum dugaan korupsi tersebut masih tetap berjalan.

    Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang (UU) Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidananya.

    Demikian disampaikan Direktur Eksekutif, Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, kepada BANPOS, Rabu (16/2).

    Penjelasan Uday disampaikan setelah sebelumnya Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Banten, Reda Manthovani menyampaikan kelanjutan penanganan penyelidikan dugaan kasus korupsi anggaran publikasi yang merugikan negara miliaran rupiah di Setwan tujuh tahun silam.

    “Kalau urusan hilang tidaknya unsur melawan hukum, dalam aturannya sudah jelas, sebagaimana ditegaskan oleh Kajati (Reda Manthovani) beberapa hari yang lalu bahwa pengembalian uang tidak serta merta menghapus unsur pidananya,” kata Uday.

    Uday mempercayakan proses kelanjutan atas dugaan perbuatan melawan hukum oleh jajaran di Setwan Banten pada tahun 2015 lalu, dan terus melakukan pengawalan. Apalagi persoalan tersebut sudah sejak lama ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

    “Karena itu, kita lihat saja langkah apa yang akan diambil pihak Kejati. Pasti Pak Reda akan menghitung betul langkah apa yang akan dilakukan. Sebab setau saya masalah ini sudah menjadi perhatian Gedung Bundar (Kejagung) sejak 2019,” terangnya.

    Disinggung mengenai uang miliaran yang sudah dikembalikan oleh Ali Hanafiah, pihaknya mengaku berterima kasih. Ada hak rakyat yang harus digunakan sebagaimana mestinya.

    “Jika benar, saya pribadi bersyukur bahwa uang negara yang digelapkan sudah kembali. Sebab selama ini urusan saya adalah mengamankan uang rakyat, bukan memenjarakan seseorang. Bahwa kemudian ada orang yang dipenjara, itu hanyalah akibat saja,” katanya.

    Diberitakan sebelumnya, proyek publikasi di Setwan Banten tahun anggaran 2015 sebesar Rp2,6 miliar, terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) 2016 atas LKPD Pemprov Banten tahun 2015.

    Namun uang miliaran rupiah tersebut baru saja dilunasi oleh mantan pejabat eselon IV Setwan Banten yang saat ini menjabat Kepala UPTD Samsat Balaraja (eselon III) pada Bapenda, Ali Hanafiah pada Jumat tanggal 4 Februari tahun 2022.

    Pengembalian uang negara yang mengendap selama hampir tujuh tahun, dikembalikan oleh Ali Hanafiah, setelah tim dari Kejati Banten melakukan proses pengumpulan data dan keterangan kepada sejumlah pejabat dan mantan pejabat di Setwan Banten.

    mereka yang telah dipanggil Kejati Banten, selain Ali Hanafiah yakni, Iman Sulaiman (sekarang sudah pensiun) sebagai Sekwan tahun 2015, Tb Mochammad Kurniawan sebagai Kepala bagian keuangan Setwan tahun 2015, Suryana sebagai Bendahara pengeluaran Setwan tahun 2015, dan Awan Ruswan (sekarang sudah pensiun) sebagai Kepala bagian Humas dan Protokol Setwan tahun 2015.

    (RUS/PBN)

  • Dugaan Korupsi SMKN 7 Tangsel Seperti Hilang Ditelan Bumi

    Dugaan Korupsi SMKN 7 Tangsel Seperti Hilang Ditelan Bumi

    SERANG, BANPOS – KPK telah melakukan proses penyelidikan dugaan mark up atau pengelembungan pembelian harga lahan SMKN 7 Tangerang Selatan (Tangsel) APBD Banten tahun 2017 yang merugikan keuangan negara Rp10,5 miliar. Namun, setelah tiga bulan berjalan, kasus tersebut belum menunjukkan kemajuan berarti. Padahal sebelumnya pada November 2021, tersiar kabar telah ada sejumlah nama tersangka yang diduga terlibat dalam mark up pembelaian lahan sekolah tersebut.

    Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada dihubungi melalui pesan tertulisnya, Selasa (15/2) mempertanyakan kinerja KPK yang belum juga mengumumkan hasil penyelidikannya kepada masyarakat terkait dengan dugaan korupsi pembelian lahan SMKN 7 Tangsel.

    “Justru mempertanyakan langkah yang diambil oleh KPK,” katanya.

    Dikatakan Uday kasus dugaan mark up pembelian lahan sekolah ini saat ini seperti ditelan bumi. Karena itu, Uday menilai wajar jika masyarakat mempertanyakan kinerja KPK.

    “Dengan timbul tenggelamnya perkara ini membuat publik jadi bertanya-tanya.
    Kasus itu kan dilaporkan 20 Desember 2018. Hasil audit BPK (badan pemeriksa keuangan) atas permintaan KPK sudah di meja pimpinan KPK,” ujarnya.

    Apalagi beberapa waktu lalu, KPK sempat melakukan penggeledahan sejumlah tempat dengan mengamankan barang bukti pendukung atas dugaan mark up lahan SMKN 7 Tangsel.

    “Menjelang akhir tahun 2021 sempat dilakukan penggerebekan sejumlah tempat bahkan menyita kendaraan roda empat dan sejumlah alat elektronik milik para pihak terkait. Tapi sejak itu hilang ditelan bumi,” katanya.

    Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri saat dihubungi melalui pesan tertulisnya mengaku belum ada kelanjutan atas progres penyelidikan dugaan mark up lahan SMKN 7 Tangsel. “Nanti dikabari kalau ada,” ujarnya.
    Bahkan Ali belum bersedia menyebutkan apakah ada tersangka baru lagi dalam penyidikan pembelian lahan sekolah tersebut. “Nanti akan disampaikan jika penyidikan sudah cukup,” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, KPK telah menetapkan Frd sebagai tersangka dalan dugaan tindak pidana korupsi mark up atau penggelembungan harga pembelian lahan SMKN 7 Tangsel) sekitar Rp10,6 miliar pada APBD Banten tahun 2017.

    Tak hanya Frd, lembaga rasuah itu juga menetapkan Mantan Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) AP dan kuasa pemilik tanah bernama Ags.

    Diketahui Frd merupakan Ketua Forum Pemuda Betawi (FPB) di Tangsel, juga Ketua WH (Wahidin Halim) Network yang merupakan, kelompok relawan pendukung Pasangan Calon (Paslon) Gubernur Banten Pilkada 2017 Wahidin Halim-Andika Hazrumy (Aa) di Kota Tangsel.

    Frd diduga merupakan orang kepercayaan AS yang merupakan adik kandung dari WH. Frd membeli lahan SMKN 7 Tangsel dari pemilik pertama hanya Rp7,3 miliar, yang kemudian dibeli oleh Pemprov Banten sebesar Rp17,9 miliar. Sehingga ada selisih Rp10,6 miliar.

    Sementara AP saat ini menjabat sebagai Sekretaris Badan Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Banten.(RUS/ENK)

  • Anak WH Sempat Terseret, Kasus Komputer Dindik Diselidiki Kejati Banten

    Anak WH Sempat Terseret, Kasus Komputer Dindik Diselidiki Kejati Banten

    SERANG, BANPOS – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengungkap dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada pengadaan komputer Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada Dindikbud Provinsi Banten tahun 2018 lalu. Diketahui, kasus ini sempat mencuat sebelumnya dan menyeret nama anak Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) dan 12 pejabat lainnya.

    Asisten Intelijen pada Kejati Banten, Adhyaksa Darma Yuliano, mengatakan bahwa Bidang Pidana Khusus (Pidsus) sejak 13 Januari lalu, telah melakukan penyelidikan atas dugaan tipikor pengadaan komputer UNBK.

    “(Pengadaan komputer) sebanyak 1.800 unit bagi SMAN dan SMKN se-Provinsi Banten, yang bersumber APBD Provinsi Banten Tahun Anggaran 2018 sebesar kurang lebih Rp25 miliar,” ujarnya di Kejati Banten, Selasa (25/1).

    Dalam penyelidikan tersebut, didapati bahwa terdapat dugaan penyimpangan dalam pengadaan komputer UNBK dilakukan oleh PT AXI sebagai rekanan pengadaan. Penyimpangan tersebut yakni ketidaksesuaian spesifikasi barang yang diadakan.

    “Bentuk/modus penyimpangan yang dilakukan yaitu kontraktor/rekanan mengadakan barang yang tidak sesuai dengan spesifikasi, sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak. Dan juga barang yang dikirim jumlahnya tidak lengkap/tidak sesuai sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak,” tuturnya.

    Penyelidik menduga, pengadaan komputer yang dilakukan melalui e-katalog itu telah merugikan keuangan negara sebesar Rp6 miliar.

    “Kegiatan tersebut diduga menimbulkan kerugian negara yang nilai sementara sesuai temuan penyelidik sekitar Rp.6 miliar, namun untuk pastinya nanti akan dikoordinasikan dengan pihak auditor independen,” katanya.

    Adhyaksa mengatakan bahwa kasus tersebut merupakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Kejati Banten. “Tidak ada (dari hasil LHP BPK dan Inspektorat). Ini merupakan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh teman-teman Pidana Khusus,” terangnya.

    Maka dari itu, Kejati Banten pun meningkatkan status penanganan perkara dari penyelidikan, menjadi penyidikan.

    “Dengan dugaan melanggar Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 Jo pasal 18 Undang-Undang R.I. Nomor: 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang R.I Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ungkapnya.

    Berdasarkan informasi, pengadaan komputer UNBK tersebut merupakan proyek yang menjadi ‘jatah’ sejumlah pejabat di lingkaran Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH). Disebutkan pula bahwa anak Gubernur Banten turut terlibat dalam proyek tersebut.

    Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP), Uday Suhada, mengatakan bahwa dirinya masih ingat bahwa perkara dugaan korupsi pengadaan komputer UNBK tahun anggaran 2017-2018 sebelumnya telah ia laporkan ke KPK pada 20 Desember 2018.

    “Saat itu saya juga yang melaporkan adanya dugaan korupsi atas pengadaan 9 titik lahan untuk SMA/SMK se-Banten, yang kini masih belum jelas penanganannya di KPK,” ujar Uday saat dihubungi melalui pesan WhatsApp.

    Ia pun mengapresiasi langkah Kejati Banten yang telah meningkatkan status perkara tersebut dari penyelidikan, menjadi penyidikan. Dengan demikian, dalam waktu dekat akan segera diketahui pihak-pihak yang diduga telah merugikan keuangan negara itu.

    “Dengan ditanganinya kasus pengadaan komputer UNBK oleh Kejati Banten, tentu saja saya sangat mengapresiasi langkah Pak Kajati dan jajarannya dengan meningkatkan status menjadi penyidikan. Artinya dalam waktu dekat akan segera ditetapkannya siapa saja yang menjadi tersangka,” terangnya.

    Terkait dengan laporan terdahulunya yang sempat menyebutkan adanya keterlibatan anak Gubernur dan 12 orang pejabat Pemprov Banten serta swasta, Uday menyatakan bahwa nama-nama yang diduga terlibat pasti sudah dikantongi baik oleh Kejati Banten maupun KPK.

    “Ya, dulu terlapornya beberapa orang, baik pejabat di lingkungan Dindik, penyedia barang maupun pihak lain. (Terkait isu keterlibatan anak Gubernur) semua pihak terlapor sudah di tangan penyidik KPK dan Kejati Banten. Tinggal kita kawal saja bersama-sama agar siapapun yang terlibat, harus bertanggung jawab secara hukum,” tandasnya.(DZH/PBN)