Tag: UU ITE

  • Pemkot Tangerang Polisikan Pengunggah Video Viral Pembongkaran Ruko

    Pemkot Tangerang Polisikan Pengunggah Video Viral Pembongkaran Ruko

    TANGERANG, BANPOS – Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang melalui Bagian Hukum secara resmi melaporkan akun pengunggah video viral yang menarasikan Pemkot bongkar paksa ruko yang disebut memiliki sertifikat hak milik.

    Laporan tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Tangerang, Lia Dahlia, melalui Sentra Layanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Metro Tangerang Kota.

    “Iya, malam ini kami buat laporan resmi terhadap pengunggah video yang menarasikan Pemkot bongkar paksa ruko,” ujar Lia, saat ditemui di Kantor Polres Metro Tangerang, Senin (21/8).

    Seperti diketahui, akibat postingan di akun tiktok yang menyebutkan ‘Ruko Punya Kita, Tapi Sesuka Pemkot Tangerang Bongkar Pajak Kita Bayar Sertifikat Sudah Hak Milik’ turut menimbulkan kegaduhan pada sosial media.

    Oleh karena itu, agar tidak ada kesimpangsiuran, jelas Lia, Pemkot berupaya menempuh jalur hukum. Salah satunya yaitu dengan melaporkan atas dugaan Tindak Pidana Kejahatan Informasi dan Transaksi Elektronik UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, kepada pihak pengunggah video.

    “Langkah ini kami ambil agar masyarakat juga bisa melihat bahwa kami pemerintah bertindak sesuai aturan dan koridor hukum yang berlaku. Dan kami tidak mau berpolemik, karena nyata aset ini milik Pemkot dan akan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat,” terangnya.

    Lia, juga kembali menegaskan, pihak Pemkot dalam proses pengamanan aset tersebut telah melalui prosedur dan tahapan yang diatur oleh Undang-undang. Dirinya berharap, kalaupun ada pihak yang merasa dirugikan atas proses pengamanan aset tersebut, bisa melakukan langkah hukum sesuai aturan yang berlaku.

    “Saya menyesalkan langkah yang diambil pengunggah video, kalau ingin menyelesaikan masalah silahkan tempuh jalur hukum. Jangan menyebar konten yang malah menimbulkan kegaduhan dan terkesan membohongi publik,” tuturnya.

    Untuk selanjutnya, Pemkot Tangerang menyerahkan proses penyelesaian persoalan tersebut ke Polres Metro Tangerang. “Kami percayakan proses penegakan hukumnya ke pihak kepolisian,” ungkapnya.

    Sebagai informasi, sebelumnya beredar video adu argumentasi antara pegawai Pemkot Tangerang dengan seseorang yang mengaku pengacara pemilik ruko.

    Video tersebut dinarasikan Pemkot Bongkar Ruko Padahal Pemilik Punya Sertifikat. Namun dalam klarifikasinya, pihak Pemkot Tangerang menegaskan, pihaknya tidak pernah melakukan pembongkaran.

    Namun, melakukan pengamanan atas aset yang telah menjadi milik Pemkot atas putusan Kasasi PTUN Nomor W2.TUN.7/1787/HK.06/XI/2021 dan Nomor 656K/TUN/2022. (DZH)

  • Pelaku Revenge Porn di Pandeglang Divonis Maksimal

    Pelaku Revenge Porn di Pandeglang Divonis Maksimal

    PANDEGLANG, BANPOS – Terdakwa kasus penyebaran video porno atau revenge porn Alwi Husein Maolana dinyatakan bersalah dan diberi vonis maksimal. Majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang memutuskan hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp1 miliar kepada terdakwa. Alwi juga divonis larangan mengakses internet selama delapan tahun.

    Dalam kasus tersebut, terdakwa Alwi Husein Maolana terjerat pasal 45 ayat 1 junto pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Putusan vonis tersebut dibacakan oleh Hakim Ketua Hendhy Eka Chandra dan disaksikan langsung oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), kuasa hukum terdakwa dan dibuka secara umum.

    “Menjatuhkan kepada terdakwa dengan pidana penjara 6 tahun dan denda satu miliar rupiah. Dan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana selama 3 bulan,” kata Hakim Ketua saat membacakan vonis.

    Menanggapi hal tersebut, Kakak korban, Iman Zanatul Haeri mengatakan, ia merasa sangat puas atas keputusan hasil sidang dengan memvonis Alwi Husen Moulana selama enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar serta larangan menggunakan akses internet.

    “Vonis 6 tahun penjara itu memang sudah seharusnya, salah satu yang mungkin progresif adalah hakim menambahkan larangan menggunakan internet selama delapan tahun, itu yang kami soroti dan apresiasi,” kata Imam kepada wartawan, usai sidang.

    Meskipun begitu, lanjut Imam, pihaknya akan kembali melakukan pelaporan terdakwa Alwi Husen Moulana terkait pidana lainnya, seperti tindak pidana pengancaman, penganiayaan, pemerkosaan yang dilakukan oleh pelaku kepada korban.

    “Ini baru setengah jalan, kami akan terus melakukan pelaporan terkait yang kami kira adalah perbuatan pelaku yang masih banyak dan belum ada di persidangan ini, dan akan kami persiapkan terlebih dahulu,” terangnya.

    “Kalau puas dalam koridor UU ITE itu sudah maksimal, tapi kalau untuk menyesuaikan rasa keadilan keluarga tentu saja kami ingin lebih dari ini, karena disebutkan juga oleh Hakim bahwa melihat apa yang terjadi pelaku ini sudah menghancurkan kehidupan korban atau adik kami. Keluarga juga kena dampaknya maka dari itu enam tahun itu tidak sebanding, maka dari itu kami akan melaporkan kembali pelaku dengan bukti yang sudah kami kumpulkan,” ungkapnya.

    Sementara itu, pasca sidang putusan kasus revenge porn tersebut, ratusan mahasiswa melakukan aksi solidaritas di depan Gedung PN Pandeglang.

    Ratusan mahasiswa yang melakukan aksi solidaritas tersebut terdiri dari beberapa organisasi, diantaranya Lingkar Studi Feminis, EK-LMND Pandeglang, BEM FH Untirta, BEM KBM Untirta, LBH Rakyat Banten, Kumandang Banten, Forum BEM se-Pandeglang, Dema UIN SMH, BEM Jentera, dan Aliansi Perempuan Banten.

    Aksi solidaritas yang diwarnai teatrikal tersebut berjalan cukup kondusif, para massa aksi saling bergantian menyampaikan tuntutan-tuntutan mereka terhadap PN Pandeglang lewat orasi-orasinya.

    Salah satu massa aksi, Muhamad Abdulah mengatakan, bahwa aksi solidaritas yang dilakukan merupakan bentuk keprihatinan terhadap situasi hukum di Pandeglang, dan kepedulian atas apa yang diterima oleh korban kasus revenge porn.

    “Aksi solidaritas yang kita lakukan ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap penegakan hukum di Pandeglang, dan juga bentuk kepedulian kita terhadap korban kasus revenge porn yang tidak mendapatkan keadilan,” kata Muhamad Abdulah.

    Dijelaskannya, bahwa dalam proses penegakan hukum kasus revenge porn di PN Pandeglang banyak sekali kejanggalan yang dirasa sangat merugikan pihak korban.

    “Banyak kejanggalan dalam proses hukum kasus revenge porn yang dialami oleh salah satu mahasiswi asal Pandeglang, yang tentunya sangat merugikan pihak korban,” terangnya.

    Ia menegaskan, pada hari Selasa (10/7) lalu merupakan agenda sidang pembacaan putusan kasus revenge porn di PN Pandeglang, namun malah berubah menjadi agenda pledoi.

    “Hari itu seharusnya agenda sidang putusan, namun hakim malah memberikan waktu lagi bagi terdakwa untuk mengajukan pledoi, padahal hak pledoi terdakwa sudah diberikan pada saat sidang tuntutan kemarin,” ungkapnya.

    Selain kecewa terhadap kinerja hakim PN Pandeglang, Abdul mengatakan bahwa para massa aksi juga kecewa terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU), karena tidak aktif dalam membela korban, dan malah cenderung mengikuti kemauan kuasa hukum terdakwa.

    “JPU yang seharusnya aktif menjadi garda terdepan dalam membela kepentingan korban, dan paling lantang menolak pledoi, ini malah mengikuti kemauan kuasa hukum dari terdakwa,” ucapnya.

    Oleh karena itu, lanjut Abdul, ia berharap agar hakim PN Pandeglang bisa menjaga independensinya agar setiap keputusan hukum yang diambil dapat mencerminkan keadilan, bukan cenderung memihak ke satu sisi.

    “Kami berharap hakim harus putus secara maksimal, dan menjaga independensi agar hukum berjalan dengan adil,” ungkapnya. (DHE/ENK)

  • Kuasa Hukum Korban Revenge Porn Pandeglang Angkat Bicara, Sampaikan Sejumlah Kejanggalan

    Kuasa Hukum Korban Revenge Porn Pandeglang Angkat Bicara, Sampaikan Sejumlah Kejanggalan

    PANDEGLANG, BANPOS – Kuasa hukum mahasiswi korban Revenge Porn asal Pandeglang, Rizki Arifianto, angkat bicara terkait dengan kasus yang tengah viral di media sosial setelah diunggah oleh kakak korban dengan nama pengguna Twitter @zanatul_91.

    Rizki mengatakan, pada awal pendampingan yang pihaknya lakukan, pihaknya memang menduga bahwa perkara tersebut merupakan pemerkosaan. Namun, pihaknya memutuskan untuk membawa perkara tersebut ke ranah pidana ITE.

    Kasus tersebut pun ditangani oleh tim Cyber Crime pada Ditreskrimsus Polda Banten. Rizki menuturkan, pihaknya menyayangkan kurangnya komunikasi dan tidak informatifnya pengadilan dan Kejaksaan, terhadap pihak korban.

    “Tidak ada informasi perkembangan perkara bahwa persidangan sudah dimulai sejak tanggal 16 Mei 2023. Menurut kami ini sangat janggal,” ujar Rizki melalui keterangan tertulisnya.

    Ia menuturkan bahwa kuasa hukum korban baru mendapatkan informasi mengenai persidangan, pada sidang kedua. Sehingga pihaknya selaku kuasa hukum, tidak melihat dan tidak memiliki dakwaan terhadap pelaku.

    “Kami tidak tahu dakwaannya apa. Sebab kami tidak diberitahu ada persidangan. Kami meminta dakwaan kepada jaksa penuntut, malah menghindar. Belakangan kami baru tahu ternyata mereka tidak mengharapkan keberadaan pengacara untuk mendampingi korban sebagaimana pernyataan saudara korban di Twitter,” ungkapnya.

    Ia menegaskan bahwa korban memiliki hak untuk didampingi kuasa hukum. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam pasal tersebut menurut Rizki, korban berhal memperoleh perlindungan dan pendampingan hukum.

    “Termasuk juga dalam penjelasan UU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Advokat pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 68 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. Menurut kami, Kejaksaan telah melakukan framing keliru jika menyatakan kepada korban agar tidak perlu didampingi pengacara,” terangnya.

    Menurut pihaknya, proses persidangan tersebut harus menemukan kebenaran materiil. Pengadilan Negeri Pandeglang ditegaskan olehnya, harus berorientasi pada pemulihan hak korban dan mengedepankan perlindungan korban kekerasan seksual.

    “Ini malah sebaliknya. Proses persidangan ini gelap dan tidak transparan. Menurut kami hakim harusnya lebih aktif menilai bukti-bukti, in criminalibus probationes bedent esse luce clariores, dalam perkara pidana bukti itu harus lebih terang dari cahaya. Saat pemeriksaan saksi korban, video yang menjadi alat bukti utama tidak bisa ditayangkan dengan alasan laptop tidak support. Bayangkan, bagaimana majelis hakim bisa menilai bukti-bukti persidangan?” tegasnya.

    Keanehan-keanehan dalam proses hukum menurut Rizki, sudah dirasakan sejak awal. Misal, saat kuasa hukum meminta agar nama korban tidak ditampilkan dalam website SIPP, yang terjadi justru sebaliknya yakni pelaku yang disembunyikan namanya.

    “Sidang kedua, rencananya tanggal 30 Mei 2023, namun diundur menjadi 6 Juni 2023. Setelah melihat nama korban muncul dalam aplikasi, kami juga bersurat kepada pengadilan agar nama korban tidak dimunculkan. Namun yang terjadi nama terdakwa yang hilang, nama korban masih muncul. Kok seolah-olah yang dilindungi privasinya adalah terdakwa, bukan korban yang jelas-jelas dirugikan jika data pribadinya tersebar,” ungkapnya heran.

    Keluarga korban juga sempat mengeluh mengenai kondisi persidangan yang seperti dijelaskan kakak korban dalam cuitannya melalui Twitter. Oleh sebab itu, kuasa hukum akan mengirimkan laporan pada instansi terkait mengenai kejanggalan-kejanggalan tersebut.

    “Menurut kami ini ada keanehan, deliknya adalah UU ITE persidangan terbuka. Namun saat pengacara dan keluarga korban hadir di persidangan, persidangan dinyatakan tertutup tanpa alasan yang jelas,” katanya.

    Kakak korban, Iman Zanatul Haeri, mengatakan bahwa kejanggalan yang muncul selama proses persidangan membuat pihaknya mengambil keputusan, untuk membawa perkara tersebut ke khalayak publik.

    Ia menuturkan, setelah berdiskusi panjang, kuasa hukum dan keluarga memutuskan untuk membuka kasus ini secara publik. Berharap dukungan dari masyarakat luas agar memantau proses peradilan yang dianggap banyak kejanggalan.

    “Betul, itu keputusan kami. Pengacara sudah berusaha keras di dalam persidangan. Keluarga berharap dengan melapor ke posko PPA Kejaksaan, kami akan mendapatkan rekomendasi yang adil dan fair. Ternyata tidak, saya dimarahi karena lapor. Jika keadilan di PN Pandeglang tidak kami dapatkan, yasudah biar kita gelar kebenaran di twitter,” ungkapnya.

    Iman juga menyayangkan respon Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di Universitas Negeri Ageng Tirtayasa yang dinilai lamban dalam menangani kasus ini. Pasalnya, baik korban maupun pelaku merupakan mahasiswa Untirta.

    “Sejak Januari 2023 kami sudah melapor ke Satgas PPKS Untirta, Februari juga kami memenuhi undangan pihak satgas. Namun setelah itu tidak ada kabar lagi. Baru muncul malam tadi menghubungi setelah viral. WA saya tidak dibalas selama tiga bulan. Memang harus viral dulu,” tandasnya. (DZH)