Tag: UU Kesehatan

  • Bamsoet Dukung Penyelesaian Sengketa Kesehatan

    Bamsoet Dukung Penyelesaian Sengketa Kesehatan

    JAKARTA, BANPOS – Ketua MPR sekaligus Dosen Tetap Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo (Bamsoet) menjadi salah satu penguji dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Amin Ibrizatun.

    Berprofesi sebagai dokter di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Amin Ibrizatun mengangkat judul disertasi tentang ‘Kepastian Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Kesehatan Melalui Upaya Mediasi’.

    Bamsoet menjelaskan, pada dasarnya dalam penyelesaian sengketa terdapat dua bentuk, yakni di luar pengadilan (non litigasi) dan melalui pengadilan (litigasi). Terkait penyelesaian sengketa di luar pengadilan, salah satunya diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30/1999 tentang Arbitrasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menegaskan bahwa sengketa dapat diselesaikan melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan secara litigasi.

    “Karena itu, prinsip mediasi dalam penyelesaian sengketa kesehatan melalui Lembaga Khusus, sebagaimana yang menjadi temuan dalam penelitian disertasi ini, sangat bisa diterapkan dan layak untuk ditindaklanjuti Pemerintah dan DPR,” ujar Bamsoet saat menjadi penguji dalam Ujian Sidang Terbuka Promosi Doktor Hukum Universitas Borobudur Amin Ibrizatun, di Universitas Borobudur, Jakarta, Kamis (27/7).

    Ketua DPR ke-20 ini menjelaskan, mediasi sebagai upaya mendapatkan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa kesehatan, merupakan isu yang menarik dan monumental. Terutama setelah disahkannya UU Kesehatan oleh DPR bersama pemerintah pada Selasa (11/7). Selain UU Kesehatan, aturan hukum lainnya yakni pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1/2016.

    “Untuk memudahkan proses mediasi, juga diperlukan dukungan dari para advokat yang menjadi kuasa hukum bagi para pihak yang bersengketa. Advokat bisa memberikan nasihat hukum yang konstruktif didalam proses mediasi sehingga para pihak dapat menemukan titik temu perdamaian,” jelas Bamsoet.

    Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum UNPAD ini menerangkan, sepanjang periode 2016-2019 tercatat dari berbagai sumber, jumlah sengketa kesehatan di peradilan umum mencapai 362 kasus. Di tahun 2020 meningkat menjadi 379 kasus. Berbagai sengketa tersebut bahkan masih ada yang belum bisa diselesaikan di meja pengadilan umum.

    “Melalui terobosan mediasi, berbagai sengketa kesehatan tersebut bisa cepat mendapatkan kepastian hukum baik bagi pelapor maupun terlapor. Sekaligus menjadi perlindungan bagi tenaga kesehatan/tenaga medis agar dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, mereka tidak lagi dihadapkan pada masalah hukum pidana sebelum adanya mediasi yang dilakukan melalui lembaga khusus,” pungkas Bamsoet.(RMID)

  • YLKI Sebut Regulasi di Indonesia Lemah terhadap Produk Adiktif

    YLKI Sebut Regulasi di Indonesia Lemah terhadap Produk Adiktif

    JAKARTA, BANPOS – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyampaikan keprihatinan atas masih lemahnya regulasi kesehatan terhadap produk adiktif di Hari Anak Nasional, yang diperingati setiap tanggal 23 Juli, hari ini.

    Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan UU Kesehatan yang baru-baru ini disahkan oleh DPR, dinilai masih minim dalam melindungi generasi muda dari dampak buruk produk tembakau.

    “Banyak pihak yang sangat kecewa terhadap pengesahan UU Kesehatan oleh DPR tersebut,” kata Tulus, dalam keterangannya, Minggu (23/7).

    Ia mencontohkan, aspek pengendalian tembakau, terutama dalam hal iklan, promosi, dan pemasaran produk tembakau, tidak mendapatkan penguatan yang memadai dalam UU Kesehatan tersebut.

    Tulus menyebut 5 poin penting merespons lemahnya regulasi pada produk adiktif, yang pertama adalah, anak dan remaja jadi target utama marketing rokok, Menurut Tulus, industri rokok terus mengincar anak-anak dan remaja sebagai target utama dalam iklan, promosi, dan pemasaran produk tembakau.

    “Hal ini tercermin dari iklan rokok yang masih terpampang di dekat area sekolah (kurang dari 100 meter), warung-warung yang menjual rokok di sekitar lingkungan sekolah, hingga kehadiran SPG produk rokok di sekitar area pendidikan,” jelas Tulus.

    Yang kedua adalah, YLKI menganggap usulannya tidak digubris DPR. YLKI dan jaringan organisasi pengendalian tembakau telah mengusulkan serangkaian perubahan dan penguatan terhadap regulasi pengendalian tembakau dalam RUU Kesehatan.

    “Namun, sayangnya, usulan-usulan tersebut tidak diberikan perhatian serius oleh PANJA DPR. Akibatnya, DPR tetap mengesahkan RUU Kesehatan tanpa adanya perubahan dan penguatan untuk melindungi anak dan remaja dari dampak negatif produk tembakau, terangnya.

    Selanjutnya adalah terkait potensi meningkatnya prevalensi merokok pada anak. Dengan lemahnya regulasi pengendalian tembakau dalam UU Kesehatan, YLKI mengkhawatirkan bahwa prevalensi merokok pada anak dan remaja yang saat ini mencapai 9,1 persen dapat meningkat drastis menjadi 15 persen dalam lima tahun ke depan.

    Poin penting berikutnya adalah, meningkatnya generasi cemas bukan generasi emas. YLKI menegaskan bahwa kelemahan dalam regulasi pengendalian tembakau akan berdampak signifikan pada generasi muda dan kualitas bonus demografi pada tahun 2045.

    Anak-anak yang terpengaruh oleh maraknya iklan dan promosi produk tembakau dapat menghadapi berbagai masalah kesehatan di masa depan.

    “Dengan masifnya prevalensi merokok pada anak akan melahirkan ‘generasi cemas’, bukan generasi emas, sebagaimana diklaim oleh pemerintah,” tudingnya.

    Selain itu YLKI menduga ada intervensi dari industri rokok. YLKI menduga bahwa intervensi dari industri rokok dapat menjadi salah satu penyebab lemahnya regulasi dalam UU Kesehatan.

    “Ini hal yang lazim, industri rokok akan memandulkan substansi sebuah regulasi yang bertujuan pengendalian konsumsi. Kalau perlu industri rokok akan membatalkan (delete) suatu regulasi,” ‘sesalnya. (PBN/RMID)