JAKARTA, BANPOS – Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah menggodok revisi Undang-Undang (UU) tentang Ombudsman. Kinerja lembaga pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik ini dinilai belum maksimal.
Anggota Baleg John Kenedy Azis menuturkan, revisi ini hendaknya mengacu pada performa yang ditorehkan Ombudsman. Performanya tidak jauh berbeda dengan Komisi Yudisial (KY) dalam pengawasan penyelenggaraan di sistem peradilan.
“Ombudsman ini hampir sama dengan KY. Kalau saya mengatakan antara ada dan tiada. Kalau dikatakan ada lembaganya, ada. Pegawainya ada, pimpinannya ada, tetapi apa prestasinya Ombudsman ini yang perlu sama-sama kita cermati,” kata John di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin.
Berangkat dari prestasi dan performa itulah, sambung dia, Ombudsman ini perlu diperbaiki melalui revisi undang-undang yang menaunginya, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. Apalagi undang-undang ini usianya sudah cukup tua, kurang lebih 15 tahun diterapkan sampai hari ini.
Kennedy bilang, Ombudsman dapat menjadi lembaga yang disegani Kementerian/Lembaga (K/L) lain tergantung dari hasil kerja. Kalau hasil kerjanya baik, tentu dia akan menjadi lembaga yang disegani. Untuk mencapainya diperlukan sistem kerja yang baik, didukung undang-undang yang baik pula.
“Sehebat-hebatnya suatu K/L, kalau seumpamanya tidak ada hasil kerjanya, (padahal) anggarannya besar, ininya (kewenangannya) besar, tentu nggak bakal dianggap,” katanya.
Permasalahannya adalah bagaimana agar hasil temuan Ombudsman ini dapat ditindaklanjuti. Sebab seringkali terjadi, temuan itu seringkali berulang. “Sehingga temuan yang didapat Ombudsman ini kemudian tidak menjadi temuan lagi. Karena kadang-kadang temuan itu berulang-ulang ditemukan. Ditemukan lagi, ditemukan lagi,” katanya.
Temuan itu bisa berupa hasil koordinasi bawahan dengan atasannya. Padahal sejatinya, atasan harus memberikan teguran kalau anak buahnya melakukan pelanggaran. “Kalau dulu disebut ya katakanlah korupsi berjemaah. Bagaimana caranya (agar tidak berulang), ini yang jadi atensi kita semua,” tegasnya.
Anggota Komisi VIII DPR ini juga sering menemukan, kadang suatu lembaga tidak menghiraukan suatu temuan K/L karena adanya tumpang tindih kewenangan. Apalagi saat ini pengawasan dan penindakan itu semua ikut mengatur. Mulai dari internal, inspektorat, yang pada akhirnya ikut menegur, menemukan, dan memberi sanksi. “Jadi tumpang tindih,” katanya.
Makanya, dia berpendapat dalam revisi ini, sangat penting untuk mengatur terkait sanksi. Dalam arti, bagaimana menerapkan sanksi, mengeksekusi sanksi sehingga aparatur negara yang membuat penyimpangan itu menjadi kapok.
“Ini yang perlu dimantapkan, bagaimana mendudukkan tupoksi Ombudsman dengan dengan sebenar-benarnya. Sehingga kedepan tidak akan ditemukan lagi atas penyimpangan terhadap suatu pekerjaan di K/L,” tambah dia.
Sementara Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul menuturkan, pihaknya telah melakukan berbagai penyempurnaan atas revisi RUU Ombudsman ini berdasar masukan dari para anggota dewan. Di antaranya soal rekomendasi Ombudsman yang seringkali tidak ditindaklanjuti oleh K/L.
Karena itu, pihaknya mengusulkan tambahan draf RUU ini, khususnya di pasal 38 yaitu, ‘terlapor atau atasan terlapor dapat dijatuhi sanksi oleh pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ombudsman dapat melaporkan pejabat bermasalah yang tidak melaksanakan rekomendasi kepada menteri pendayagunaan aparatur negara.
“Jadi ini salah satu instrumen bagi Ombudsman untuk mengingatkan atau memperkuat rekomendasinya,” katanya.(PBN/RMID)