Tag: vox populi

  • Ngopi Seteko Ketiduran Mah Lanjut

    Ngopi Seteko Ketiduran Mah Lanjut

    SERANG, BANPOS – Kopi merupakan minuman yang disukai semua kalangan, baik yang muda maupun orang tua. Minum kopi dikenal banyak orang sebagai salah satu cara menghilangkan rasa mengantuk terutama saat sedang bekerja.

    Namun, menutur saya kopi bukan obat penghilang ngantuk. Tapi hanya sebatas minuman yang diminum untuk menemani saat bekerja dan bersantai.

    Kenapa saya bilang begitu, karena saya membuat kopi satu gelas besar pun seperti tidak berefek dalam menghilangkan kantuk. Saya pun menyimpulkan, sebanyak apapun kopi yang diminum bukan rasa ngantuk yang hilang, akan tetapi kembung yang dirasa kala kebanyakan minum kopi.

    Kopi memang mengandung kandungan kafein yakni zat yang digunakan untuk meredakan rasa kantuk, sehingga seseorang dapat tetap terjaga. Selain itu, kafein juga sering ditemukan di dalam obat untuk meredakan migrain. Walaupun dapat mengurangi rasa kantuk, perlu diingat bahwa kafein tidak bisa menggantikan waktu tidur yang hilang.

    Ketiduran, itu yang sering saya alami. Katanya dengan meminum kopi rasa ngantuk bisa hilang, tapi ketiduran tetaplah ketiduran. Ngantuk tetap lah ngantuk. Mau sebanyak apapun dan sepahit apapun kopinya kita minum, rasa mengantuk tetap datang.

    Dari situlah saya simpulkan, bahwa minum kopi bukan cara yang efektif menghilangkan rasa ngantuk. Dan meminum kopi bukan cara terbaik untuk lepas dari rasa mengantuk. Obat terbaik untuk menghilangkan rasa ngantuk yaitu dengan tidur.

  • Wartawan Imut Bukan Bodrek

    Wartawan Imut Bukan Bodrek

    BEGITU terhormatnya profesi seseorang yang bergelut di dunia jurnalistik atau lebih dikenal sebagai wartawan, membuat banyak oknum yang mengaku-ngaku sebagai wartawan demi mendapatkan keuntungan pribadi dari banyak orang yang tidak mengenal betul siapa dan seperti apa wartawan yang sebenarnya.

    Biasanya, oknum tersebut sering disebut sebagai wartawan ‘Bodrek’. Akibat ulah mereka, kini banyak pihak dan masyarakat selalu mengerutkan dahinya ketika mendengar kata wartawan.

    Tak terlepas saya, seorang pria yang imut, lucu dan lugu ini. Sejak awal saya bergabung dengan salah satu media massa terbaik se-Asia Tenggara yakni Banten Pos, banyak narasumber yang tidak percaya bahwa saya adalah seorang wartawan dengan alasan saya yang masih terlihat sangat muda dan menggemaskan.

    Namun juga, tidak sedikit dari mereka yang membusungkan dada dan memberikan nada tinggi seolah menekan saya sesaat setelah saya memperkenalkan diri sebagai wartawan.

    Dengan berbekal surat tugas dari Pimpinan Redaksi, akhirnya mereka mengakui sembari sedikit bercerita soal pengalaman-pengalaman yang mereka dapatkan setelah menemui Wartawan ‘Bodrek’.

    Sebelumnya saya cukup senang diizinkan untuk mengisi kolom Vox Populi yang ada di Banten Pos, selain saya bisa memasang foto di halaman utama koran, tentu ini juga jadi alasan agar masyarakat dan narasumber-narasumber nantinya tau bahwa ‘Pria Imut’ ini adalah seorang Wartawan “Beneran”.

    Saya pernah beberapa kali melakukan perubahan gaya style atau fashion saat melakukan peliputan. Mulai dari menggunakan pakaian formal dan rambut klimis, rambut berwarna biru atau pirang, hingga mengenakan pakaian selayaknya wartawan-wartawan senior yang sering saya jumpai ketika melakukan peliputan.

    Sayang beribu sayang, apa yang saya lakukan malah membuat banyak pihak semakin meragukan saya sebagai Wartawan, bukan karena style ternyata, namun karena anugerah yang Allah berikan pada saya dengan memiliki wajah yang menggemaskan.

    Tapi, meski demikian, tak sedikit dari mereka yang masih trauma dengan wartawan bodong yang trust issue tersebut dilontarkan kepada saya.

    Padahal sudah jelas, saya datang dengan tujuan melakukan peliputan, wawancara bahkan meminta klarifikasi dari narasumber-narasumber yang saya tuju tanpa meminta bahkan tidak sedikitpun berharap diberikan uang, karena memang saya sebagai Wartawan Profesional telah mendapatkan gaji dari perusahaan.

    Padahal, sudah jelas dalam Pasal 1 ayat (4) UU Pers dikatakan “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”.

    Teratur dalam artian terus-menerus, dengan tujuan melakukan pengumpulan informasi dan pemberitaan dengan benar, akurat dan berkualitas. Itu pesan yang saya ingat dari pimpinan.

    Maka dari itu, tujuan saya menulis naskah ini adalah selain untuk menegaskan bahwa saya adalah Wartawan “ASLI”, juga berharap dapat menyadarkan bahwa siapapun tidak perlu takut dengan kata ‘wartawan’.

    Sebab, tujuan kami terutama di Banten Pos ini untuk mengedukasi masyarakat, memberikan informasi kepada masyarakat serta menyampaikan fakta. Bukan untuk memeras atau bahkan memberikan ancaman. (*)

  • Tak Sadar Eksploitasi Anak

    Tak Sadar Eksploitasi Anak

    Di era modern ini, masyarakat semakin sering untuk mengabadikan berbagai momen karena kemudahan teknologi. Bahkan, dalam sebuah Smartphone, kini lebih diutamakan kualitas kamera dibandingkan komponen lain, karena masyarakat saat ini saling berlomba-lomba menjadi yang paling ‘eksis’ dibandingkan yang lainnya.

    Tak terlepas untuk mereka para orang tua yang memang selalu melakukan dokumentasi terhadap anak-anak mereka demi berbagai kepentingan, mulai dari sekadar mengabadikan momen untuk kenangan, hingga kepentingan hasrat ‘eksis’ tadi dengan mengharap pujian dan “like”, untuk anak-anaknya yang sedang lucu-lucunya.

    Sebenarnya, tidak ada niatan untuk menulis ini, namun setelah saya sedikit bercerita kepada redaktur saya tentang hasil diskusi saya bersama berbagai pegiat dan aktivis yang berfokus kepada anak dan perempuan, ia menyarankan dengan sedikit memaksa agar hasil diskusi tersebut disalurkan melalui tulisan di kolom Vox Populi yang kini ada di koran Banten Pos.

    Sebelumnya, saya yang sebagai Wartawan Banten Pos untuk wilayah Lebak pada awal 2023 lalu bergabung dalam Media Sahabat Anak Kabupaten Lebak. Selain bertemu dengan berbagai Wartawan, saya juga banyak berdiskusi dengan pegiat dari berbagai instansi dan lembaga baik dari pemerintah maupun organisasi independen.

    Baru-baru ini, saya melakukan diskusi terkait ‘eksploitasi anak’ yang sangat jarang disadari oleh masyarakat atau bahkan oleh orang tuanya sendiri.

    Hal ini berkaitan dengan apa yang saya tulis di awal, banyak orang tua bahkan orang dewasa yang secara terus menerus melakukan dokumentasi melalui foto maupun video, hanya untuk kepuasan pribadi tanpa memikirkan bagaimana perasaan anak yang bisa saja secara mental mereka, enggan atau merasa risih saat dipublikasikan seperti itu.

    Dalam salah satu artikel yang pernah saya baca, kegiatan ini bernama Sharenting yang berarti Oversharing dalam Parenting. Menurut ahli hukum asal Amerika, Stacey B. Steinberg, Sharenting tersebut beresiko membahayakan bagi anak mulai dari kejahatan kriminal, penculikan hingga dimanfaatkan oleh pelaku pedofilia atau kelainan sex yang berorientasi kepada anak kecil.

    Selain orang tua, hal yang membuat kami geram dalam diskusi saat itu adalah banyaknya tokoh-tokoh yang memanfaatkan anak sebagai alat meningkatkan popularitas, apalagi di masa sekarang yang lagi panas-panasnya menjelang Pemilu, hehehe.

    Misalnya, mereka yang memiliki niat baik untuk berbagi santunan namun harus selalu di dokumentasikan saat si anak sedang mencium tangan pemberi. Mungkin, karena sudah biasa begitu akhirnya hal ini dilumrahkan. Namun, kadang orang dewasa ini tidak sadar sebenarnya ada tekanan mental bagi anak yang malu untuk dipublikasikan, tapi karena yang dilawan adalah ‘orang tua’, mereka jadi tidak bisa melawan.

    Ya meskipun dalam 10 hak anak yang ditetapkan tidak ada soal itu, namun saya mencoba menyimpulkan bersama pegiat anak bahwa dalam 10 hak anak yang wajib dipenuhi, terdapat hak identitas dan hak perlindungan. Nah, berarti dalam perlindungan identitas inilah yang harus diperhatikan oleh masyarakat terutama kita sebagai orang dewasa.

    Sejatinya memang kita orang dewasalah yang harus peka terhadap anak-anak, bukan menunggu si anak mengatakan apa yang mereka inginkan atau yang tak mereka sukai tapi ujung-ujungnya kita hanya menjawab dengan “halahhh”. (*)

  • Kota Serang Butuh Investor

    Kota Serang Butuh Investor

    JIKA kita sering melalui kawasan pasar lama, pasar kepandean atau pasar rau tentu yang ada di benak kita adalah keprihatinan. Penataan yang belum maksimal menjadikan kawasan-kawasan tersebut kurang rapih bahkan mendekati kumuh.

    Kita ketahui, APBD Kota Serang yang hanya sekitar Rp1,3 triliun membuat pemerintah daerah tak dapat berbuat banyak, apalagi Pemkot Serang tengah fokus dalam mengurusi kebutuhan dasar masyarakat. Seperti bidang infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.

    Solusinya, agar kawasan-kawasan tersebut dapat sedap dipandang ialah harus ada pihak-pihak ketiga yang serius menggarapnya. Yah, dibutuhkan kerja keras dan keseriusan yang lebih lagi dari stakholder agar dapat menggaet investor.

    Jika berhasil, akan banyak keuntungan yang didapat pemerintah. Akan banyak penyerapan kerja saat proses pembangunan, juga akan ada uang yang masuk dari hasil kerjasama pihak ketiga itu. Serta akan ada perputaran uang yang banyak saat bangunan dipakai untuk keperluan perdagangan dan jasa.

    Informasi yang saya dapat, untuk menata ketiga kawasan tersebut dibutuhkan tak kurang dari Rp1 triliun. Tentu itu bukan uang yang sedikit, harus ada pemodal besar yang mendanani program tersebut.

    Saya, yang bagian dari masyarakat Kota Serang percaya, investor besar tersebut cepat atau lambat akan segera masuk. Namun, alangkah lebih baiknya jika prosesnya lebih cepat. Atau mungkin ada pengusaha lokal atau pengusaha banten sendiri yang sanggup untuk mengerjakannya. Kenapa tidak, pemerintah daerah mencoba untuk membuka proposal penawarannya. Jika memang bagus, tidak ada salahnya untuk diberikan kepercayaan kepada pengusaha lokal kita sendiri.

    Itu baru di tiga kawasan, karena kita juga tahu. Kota Serang banyak juga memiliki titik-titik strategis lainnya. Belum lagi ada pasar-pasar rakyat lainnya yang butuh perhatian dan butuh pemodal agar kawasan dapat berkembang. Sedih aset miliaran rupiah dibiarkan begitu saja karena kurangnya terobosan.

    Juga di kawasan kasemen misalnya, berapa ratus hektare lahan milik Pemda yang belum tergarap maksimal. Meski di kawasan pertanian, jika dapat dimaksimalkan sistem pertaniannya maka hasilnya juga akan maksimal. (*)

  • Sambat Kelakuan Pejabat

    Sambat Kelakuan Pejabat

    Karena Vox Populi (bahasa Latin) itu jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘Suara Rakyat’, maka saya akan menuliskan kompilasi keluh kesah dari masyarakat, terkait dengan kelakuan pejabat, siapapun itu ya.

    Kenapa sih pejabat itu sok jual mahal? (Basri, Kota Serang). Memang sih, baik yang ASN, pejabat politis, maupun pejabat di instansi pemerintahan lainnya, kerap mengklaim diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Sehingga jika mereka benar-benar menjalankan tugas sebagai seorang abdi, harusnya sih jangan jual mahal, dan mengabdilah sepenuh hati demi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

    Pejabat pemerintah itu kan pejabat publik, kenapa kok kelakuannya malah kayak pejabat ‘private’? (Yuu soo, Lebak). Memang ada jarak antara pejabat dengan masyarakat. Bisa dimaklumi sih, karena mereka punya bawahan yang biasa bekerja di lapangan untuk mengurus hal-hal teknis. Kalau sudah menduduki jabatan, biasanya mereka cuma mengurus hal-hal yang sifatnya perencanaan dan strategis saja. Sabar ya.

    Bisakah jadi pemangku jabatan yang amanah lagi adil, juga selaras ucapan dengan tindakannya? Bukan hanya pandai dan lihai bermanis ria dalam masa-masa kampanye (Asrar Loka, Cilegon). Biasanya korban kampanye calon nih. Perlu diketahui, dalam merealisasikan janji-janji politik itu terkadang memang harus menunggu satu periode RPJMD. Bahkan terkadang harus dua periode, makanya petahana pasti mau maju lagi, biar bisa terealisasi beneran.

    Jangan pamer-pamer kekayaan sih, jiwa misqueen saya kan memberontak jadinya! (Arya, Tangerang). Sepakat! Nonton Tuan Krab di kartun Spongebob yang mandi pakai uang saja bikin kesel, eh malah liat video pejabat BUMD ‘makan’ duit gepokan di atas piring. Kenyang kagak, gondok iya.

    Rakyat dilarang main slot, cukup wakil rakyat saja (Harum, Pandeglang). Yang lagi viral itu ya? Ingat, itu adalah oknum, yang ketahuan. Teman-teman pasti sudah baca liputan utama Banten Pos edisi Jumat (21/7) kemarin kan? Liputan utama kita berjudul ‘Kuasa Zeus di Tanah Jawara’ menggambarkan bagaimana kakek Zeus itu bisa membawa hamba-hambanya untuk melakukan ‘kesalahan’ lainnya, seperti pinjam uang di Pinjol, yang akhirnya merugikan diri dan keluarga sendiri. Semoga beliau oknum wakil rakyat itu, tidak terjebak oleh kakek Zeus dan melakukan ‘kesalahan’ lainnya demi Max Win.

    Jangan nunggu viral baru dikerjain (Remi, Kota Serang). Kalau kemarin ada yang bilang-bilang mau people power, sebenarnya memang warganet sih yang konkret gerakannya. Beberapa hal memang baru dikerjakan dengan benar, ketika warganet sudah bersuara. Di Lampung misalnya. Lampung ya, bukan Banten.

    Mengutip pernyataan Kumorotomo (2000) dan Widjaja (2003) dalam jurnal yang ditulis oleh Fabiola Daulima yang berjudul ‘Implementasi Etika Pejabat Publik di Sekretariat Daerah Kota Tomohon’, disebutkan bahwa seorang pejabat publik seharusnya terikat dengan etika administrasi publik. Etika administrasi publik mengatur bagaimana asas etis, pedoman perilaku, kebajikan moral, hingga norma-norma bagi pejabat publik dalam melaksanakan fungsinya dan memegang jabatan.

    Menurut Widjaja (2003), salah satu fungsi dari etika jabatan administrasi publik itu sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku dan tindakan pejabat publik dinilai baik, tidak tercela dan terpuji. Lebih jauh, Saefullah (2012) menyampaikan jika etika pejabat administrasi publik itu ada untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, dan melindungi kepentingan publik dari penyimpangan itu.

    Dalam pembentukan etika, sumber utamanya tentu dari masyarakat. Karena itulah, standar etis atau tidaknya perilaku tersebut, ditentukan oleh masyarakat. Apalagi untuk standar etis yang tidak diatur dalam aturan perundang-undangan. Tafsir kolektif masyarakat akan baik buruknya perilaku, itulah yang harus diperhatikan oleh para pejabat.

    Sambatan dari masyarakat yang di awal tulisan ini sudah disampaikan, tentu harus menjadi pikiran tersendiri bagi para pejabat publik, apakah benar demikian? Memang jika dilihat, sambatan yang ditulis ini terlihat ringan. Tapi, penilaian ringan inilah yang seharusnya dikhawatirkan oleh para pejabat publik. Sebab, pejabat publik harus menjadi teladan bagi publik.

    Coba bayangkan, ketika masyarakat ditangkap karena bermain judi online, tapi ternyata pejabat publiknya justru bermain juga? Atau ketika sambatan tentang ‘viral baru dikerjakan’ yang maknanya ‘pejabat gak mendengar keinginan masyarakat’, dibalik jadi ‘masyarakat gak mendengar keinginan pejabat’ dan akhirnya males bayar pajak. Pendapatan Asli Daerah (PAD) kita nanti makin jeblok dong! (*)

  • Bu Risma Salah Marah

    Bu Risma Salah Marah

    Siapa sih yang tidak kenal bu Risma? Wanita yang bernama lengkap Tri Rismaharini ini terkenal saat menjabat sebagai Walikota Surabaya, tidak tanggung-tanggung, dua periode Risma pimpin kota dengan simbol Hiu dan Buaya tersebut. Pada masa kepemimpinannya, Bu Risma telah mencapai berbagai prestasi gemilang dalam bidang tata kelola sampah dan pembangunan infrastruktur. Karena prestasinya yang luar biasa, banyak yang menganggap Bu Risma memiliki kemampuan yang sangat baik, bahkan setara dengan seorang menteri.

    Meskipun telah meraih ratusan penghargaan yang layak diperhitungkan, masyarakat terkadang lebih mengingat gaya kepemimpinan Bu Risma yang sering dianggap mirip dengan Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta. Gaya kepemimpinannya yang tegas dan tanpa ragu untuk menunjukkan kemarahannya terkadang mencuri perhatian.

    Salah satu contoh gaya kepemimpinan tersebut terjadi saat Bu Risma mengunjungi Kabupaten Pandeglang, salah satu kabupaten miskin di Banten. Sebagai Menteri Sosial, ia hadir untuk memberikan penghargaan kepada APH yang dianggap berhasil mengungkap kasus perdagangan orang (TPPO). Saat itu, Bu Risma turut melihat langsung pelaku TPPO yang baru saja ditangkap oleh pihak kepolisian.

    Seperti yang kita ketahui, Bu Risma akhirnya marah kepada pelaku TPPO tersebut dan meminta agar hukumannya sangat berat, karena dianggap tidak menunjukkan penyesalan. Namun, sayangnya pada hari yang sama, terjadi aksi protes masyarakat terkait dugaan pemotongan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) di Pandeglang. Hal ini sepertinya tidak diketahui oleh Bu Risma, sehingga ia tidak sempat mengomeli pelaku yang diduga terlibat dalam pemotongan bantuan tersebut.

    Bantuan PKH dan kasus TPPO pada dasarnya memiliki akar permasalahan yang sama, yaitu kemiskinan dan pengangguran. Orang-orang tergoda oleh iming-iming gaji tinggi meskipun harus bekerja di luar negeri, karena di daerah mereka tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai. Namun, program-program pemerintah yang seharusnya membuka lapangan kerja dan mengurangi angka kemiskinan masih belum berhasil, bahkan diduga menjadi sarana penyalahgunaan bagi oknum yang memanfaatkan kondisi kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat.

    Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis pada bulan Agustus 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pandeglang, angka kemiskinan di wilayah tersebut mengalami penurunan selama tahun 2022. Namun, angka pengangguran justru mengalami peningkatan. Pada tahun tersebut, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Pandeglang mencapai 114.650 jiwa atau sekitar 9,32 persen dari total penduduk. Sementara itu, angka pengangguran meningkat menjadi 9,24 persen atau sebanyak 50.910 orang. Melihat kondisi ini, seharusnya Bu Risma dapat menyalahkan pihak yang bertanggung jawab atas penanganan masalah kemiskinan dan pengangguran di masyarakat, bukan hanya pelaku TPPO saja.

    Dalam menghadapi tantangan kemiskinan dan pengangguran, diperlukan kerja sama yang kuat antara pemerintah dan masyarakat. Penting bagi pemerintah untuk melibatkan berbagai pihak dalam merancang dan melaksanakan program-program yang efektif guna mengatasi masalah ini.

    Selain itu, transparansi dan pengawasan yang ketat juga dibutuhkan agar program-program bantuan sosial dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Dengan demikian, diharapkan upaya mengurangi kemiskinan dan pengangguran dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat yang membutuhkan.

    Saya harap, suatu saat nanti Bu Risma berani untuk marah-marah ke pemegang kebijakan, karena lalai untuk mensejahterakan masyarakatnya.

  • Soal Zakat, yang Tak Tuntas di Untirta

    Soal Zakat, yang Tak Tuntas di Untirta

    AKHIR Mei lalu, saya kebetulan diundang menjadi salah satu pembicara dalam sebuah Talk Show yang digelar Forum Zakat di kampus Untirta. ‘Temanya adalah Peran Mahasiswa dalam Membangun Masyarakat Melalui Gerakan Zakat’.

    Sebenarnya diskusi berlangsung menarik. Selain saya, kegiatan talk show diisi pembicara yang termasuk pakar-pakar zakat di Provinsi Banten. KH Zainal Abidin Suja’i yang merupakan pakar dari Baznas Banten, lalu ada Kepala Bidang Penerangan Agama Islam, Zakat dan Wakaf Kanwil Kemenag Banten, Masyhudi, dan narasumber dari Forum Zakat Perwakilan Provinsi Banten, Dewi Nurmaliza.

    Sebenarnya talk show berlangsung menarik, setidaknya bagi saya. Banyak insight baru yang saya dapatkan dari narasumber lain. Sayangnya, waktu yang terbatas membuat diskusi seperti berjalan terburu-buru. Karena itu, saya merasa talk show itu belum tuntas buat saya, dan saya mencoba menuliskan apa yang ingin saya sampaikan disini. Mumpung juga, pekan ini umat Islam akan merayakan Hari Raya Idul Adha.

    Yang sangat menarik perhatian saya dalam talk show itu adalah pernyataan Bapak Masyhudi soal potensi zakat di Banten. Menurutnya, Banten memiliki potensi zakat lebih dari Rp1 triliun per tahunnya. Dari jumlah itu, perputaran zakat di Banten mencapai Rp600 miliar per tahun.

    Namun, dari jumlah itu, baik Baznas maupun 21 lembaga amil zakat yang ada di Banten baru mengelola Rp60 miliar lebih. Artinya masih ada lebih dari Rp500 miliar dana zakat yang tidak terkoordinir dan dikelola secara mandiri oleh individu maupun kelompok-kelompok masyarakat.

    Kondisi ini tentu menjadi peluang bagi para mahasiswa ataupun kelompok muda lainnya untuk terjun di bidang zakat. Karena, sebagai sistem ekonomi syariah, zakat memiliki multi flyer effect yang sangat besar bila dioptimalkan secara baik.

    Selain bisa membangkitkan ekonomi umat melalui beragam program pemberdayaan, zakat juga bisa menjadi lapangan pekerjaan, terutama bagi mahasiswa. Mahasiswa dengan cara berpikir yang kekinian, tentu sangat dibutuhkan untuk menciptakan inovasi-inovasi baru, baik ketika mereka bergabung dengan lembaga amil zakat yang ada maupun membentuknya secara mandiri.

    Yang jadi masalah, selain soal zakat fitrah, soal zakat secara umum terhitung asing di dunia mahasiswa. Terutama di kampus-kampus konvensional yang kurikulumnya tidak banyak memberi ruang pada ilmu keagamaan. Para pembicara di talk show itu juga mengakui masih minimnya literasi tentang zakat yang bisa menjadi referensi mahasiswa.

    Karena itu, penting adanya sebuah gerakan membangun budaya zakat mulai dari generasi muda. Di era kekinian, berbagai platform media, baik media massa maupun media sosial bisa dimaksimalkan oleh para penggerak zakat maupun lembaga zakat yang ada.

    Hari ini informasi bisa diakses secara massal melalui berbagai platform digital. Dan bisa di-blasting melalui perangkat yang setiap saat menempel dengan penggunanya. Paltfortm digital ini juga yang hari-hari ini menjadi trend setter, bahkan bisa merubah budaya dan gaya hidup banyak orang berdasar ketertarikannya masing-masing.

    Nah, di sinilah amil zakat harus aktif berperan agar zakat ini bisa menjadi gaya hidup bagi generasi muda dengan memanfaatkan berabagai platform media sosial maupun media massa.

    Saya punya contoh menarik, misalnya bagaimana puasa Ramadan sekarang menjadi sebuah budaya populer yang bukan hanya dijalankan oleh umat muslim. Karena, sejak youtube menjadi salah satu platform mainstream di dunia digital, kita bisa melihat banyak sekali orang-orang nonmuslim yang mencoba untuk menjalankan puasa, baik hanya sehari, seminggu, bahkan selama bulan Ramadan.

    Dari ikut-ikutan demi merasakan sensasi berpuasa, ataupun hanya sekedar demi membuat konten, tidak sedikit orang nonmuslim yang mendapatkan insight baru soal Islam, bahkan tak sedikit yang memilih hijrah dan menjadi mualaf. Ini menjadi bukti bagaimana penyebaran informasi bisa merubah gaya hidup dan pandangan orang tentang sebuah ritual keagamaan.

    Nah, ini menjadi tantangan untuk menjadikan zakat juga bisa menjadi gaya hidup. Tentu lembaga amil zakat dengan semua platform digitalnya, dan tentu saja pers yang juga punya beragam platform untuk menyebarkan gerakan zakat, bisa mengemas zakat dalam sebuah gerakan yang menarik, lebih masiv dan berdampak besar.

    Karena itu, sangat diperlukan informasi-informasi yang menginspirasi dan memotivasi orang untuk menjadi penggerak zakat. Saat ini tak terlalu banyak informasi inspiratif yang menjadi konsumsi media massa.

    Media massa cenderung lebih suka memberitakan orang miskin yang tinggal di dekat kantor bupati misalnya, ketimbang peran lembaga zakat mengerakkan ekonomi masyarakat di sebuah desa.

    Padahal, saya menjamin, cerita perjuangan kader atau pengurus lembaga amil zakat saat terjun ke suatu daerah juga pasti menarik dan memiliki news value yang tinggi. Karena salah satu unsur dalam teori kelayakan berita adalah human interest, yaitu berita-berita yang menggugah perasaan atau memotivasi pembaca untuk melakukan hal serupa dengan apa yang diberitakan.

    Dalam cerita inspiratif itu misalnya, Kita bisa gambarkan mulai dari perjalannnya, proses perjuangannya sampai kesuksesannya menjalankan misi zakat yang diembannya. Atau kita bisa menggambarkan bagaimana kondisi suatu keluarga atau suatu kelompok masyarakat yang bisa berubah karena sentuhan lembaga zakat.

    Cerita-cerita inspiratif ini tentunya bisa menggerakkan generasi muda untuk lebih mengetahui seluk-beluk zakat dan bagaimana mengelola zakat atau terlibat langsung dalam lembaga-lembaga amil yang ada di Banten.

    Nah, tentunya penyebarluasan informasi ini menjadi hal yang tidak kalah penting. Karena itu dituntut kreatifitas dari lembaga zakat untuk memanfaatkan semua celah platform yang ada agar informasi yang disebarkan bisa memberi trigger kepada generasi muda agar menjadikan sektor zakat menjadi cita-citanya kelak.

    Bukan hanya itu, berdasarkan Undang-undang Zakat atau UU Nomor 23 tahun 2011, generasi muda atau mahasiswa juga bisa berperan ikut menjadi pembina dan pengawas untuk lembaga-lembaga zakat yang ada. Jadi generasi muda bisa mengekspresikan ide-idenya tentang pengelolaan zakat melalui lembaga-lembaga zakat yang ada. Wallahualam Bisshawab.(*)

  • Odong-odong Marak Lagi

    Odong-odong Marak Lagi

    MASIH Terngiang akan peristiwa nahas kecelakaan kendaraan angkutan massal odong-odong atau yang biasa disebut kereta kelinci yang tertabrak Kereta Api di Perlintasan KAI Kampung Silebu, Desa Sukajadi, Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang pada Selasa 26 Juli 2022 lalu.

    Belum genap setahun setelah kecelakaan maut  menewaskan sepuluh orang warga Kelurahan Pengampelan, Kecamatan Walantaka, Kota Serang. Tiga orang diantaranya anak-anak dan satu balita lainnya tewas setelah menjalani perawatan di rumah sakit beberapa pekan. Kini, di kampung-kampung baik di Kota maupun Kabupaten Serang sudah marak kembali keberadaan angkutan massal yang sistem keselamatannya masih dipertanyakan.

    Yang lebih mencolok, sekarang kita juga bisa melihat banyak odong-odong yang berasal dari kawasan timur utara Banten diantaranya tanara maupun kronjo, mauk dan Tanara yang melintas di jalan pantura menuju kawasan religi banten lama, Kota Serang.

    Padahal, setelah kejadian tersebut Pemkot Serang berjanji akan menertibkan keberadaan odong-odong tersebut. Pun dengan aparat keamanan yang membidangi persoalan angkutan, seperti tutup mata akan maraknya keberadaan odong-odong. Padahal, secara aturan, kendaraan odong-odong hanya diperkenankan dioperasionalkan pada kawasan pariwisata.

    Disatu sisi, angkutan ini menjadi sarana alternatif penghibur anak-anak dari pengaruh buruk gadget. Namun, disisi lain, tak ada tindak lanjut atas peristiwa tragis kecelakaan odong-odong. Padahal, bisa saja dilakukan uji kelayakan kendaraan pada odong-odong serta pengecekan surat-surat kendaraan tersebut.

    Sudah semestinya pemerintah juga perlu menegakan aturan yang sudah ada. Dengan harapan, peristiwa kecelakaan maut yang terjadi di perlintasan silebu tidak terulang di tempat lain.

    Juga dengan Disbub Kabupaten dan Kota Serang yang seolah membiarkan kendaraan roda empat yang syarat modifikasi tersebut bebas berkeliaran di jalan raya. Aparat kepolisian selaku alat negara yang mengatur keamanan dan ketertiban masyarakat dan sempat menangani perkara odong-odong pun ikutan terdiam seolah tak pernah terjadi sesuatu akan keberadaan odong-odong. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya bengkel-bengkel modifikasi odong-odong yang beroperasi.

    Padahal, baik pemerintah melalui dinas perhubungan serta aparat kepolisian melalui satlantasnya dapat dengan mudah menegakan aturan-aturan tentang angkutan kendaraan yang beroperasi di jalan raya.

    Kita tak boleh tutup mata atas peristiwa diatas, dan harus menjadikannya pelajaran. Jangan ada lagi kendaraan angkutan massal yang tidak laik berkeliaran di jalan raya. Terlebih lagi, mereka mengangkut sanak saudara kita.(*)

  • Luar Sekolah, Tanpa Pendidikan

    Luar Sekolah, Tanpa Pendidikan

    Saat ini, orang tua atau wali murid sedang disibukkan dengan proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai tingkat. Salah satu proses memberikan hak pendidikan kepada anak yang seringkali justru dipenuhi berbagai “drama” di dalamnya. Permasalahan pendidikan sendiri terkadang hanya disorot dalam rutinitas musiman semata.

    Padahal sebagaimana diketahui, tantangan dalam dunia pendidikan di Provinsi Banten saat ini cukup kompleks, mulai dari akses pendidikan sekolah yang belum merata dan paradigma masyarakat terhadap pentingnya pendidikan formal bagi anak-anak mereka. Hingga masalah pendidikan informal yang ada di luar sekolah.

    Rata-rata lama sekolah di Banten juga cukup rendah. Data tahun 2023 mencatat bahwa rata-rata lama sekolah hanya mencapai 9,13 tahun, setara dengan tingkat sekolah menengah pertama (SMP) saja. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak anak yang tidak melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

    Anak-anak yang tidak mendapatkan akses pendidikan formal di sekolah menghadapi berbagai permasalahan di masa depan. Mereka mungkin mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan karena tidak memiliki ijazah atau kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan. Lebih penting lagi, hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak tidak terpenuhi, yang dapat berdampak negatif pada perkembangan pribadi dan kesempatan masa depan mereka.

    Namun, hal ini bukan berarti anak-anak yang bersekolah tidak memiliki permasalahan sendiri. Beberapa berita terakhir menunjukkan bahwa meskipun bersekolah, anak-anak belum tentu memiliki pendidikan karakter yang memadai. Masalah perilaku kenakalan di kalangan anak sekolah semakin meningkat dan menjadi perhatian serius. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat untuk mendidik dan membentuk karakter, ternyata juga dapat menjadi ruang bagi anak-anak untuk mempelajari perilaku negatif dan potensial menuju tindakan kriminal.

    Beberapa kenalan guru sempat mengaku kesulitan untuk membendung perilaku negatif ini. Yang akhirnya, mereka harus menyerah dan lebih fokus untuk mengajar pengetahuan, ketimbang mendidik karakter anak. Di sekolah anak hanya diajar.

    Saat di luar sekolah, pendidikan informal di lingkungan masyarakat yang seharusnya menjadi sarana penting dalam mendukung pembentukan karakter anak-anak ternyata tidak berjalan maksimal.

    Terkadang, kita sebagai bagian dari masyarakat yang seharusnya memiliki peran dalam pendidikan informal sering abai terhadap perilaku kenakalan remaja, dan cenderung enggan untuk menegur tindakan yang tidak baik atau cuek terhadap perilaku anak di lingkungannya. Kita seringkali kurang peduli atau tidak memiliki kesadaran yang cukup akan pentingnya peran dalam pendidikan informal ini.

    Malas untuk membubarkan gerombolan anak usia sekolah yang masih berkeliaran dan nongkrong di malam hari. Atau pura-pura tidak melihat saat ada tindakan yang kurang terpuji dilakukan mereka.

    Selain itu, beberapa faktor lain yang mempengaruhi kurangnya peran masyarakat dalam pendidikan informal adalah kurangnya keterlibatan orang tua, kesibukan dalam kehidupan sehari-hari, dan ketidaktahuan akan pentingnya memberikan perhatian dan pengarahan yang positif kepada anak-anak di sekitar mereka. Adanya ketidakpedulian atau ketidaksensitifan terhadap perilaku anak-anak yang tidak pantas juga dapat menghambat upaya pembentukan karakter yang baik.

    Seringkali, orang tua baru bereaksi setelah pihak kepolisian melakukan penindakan. Namun, seperti sindiran dari salah satu video polisi yang sempat viral. Orang tua baru menangis minta anak dibebaskan, setelah sebelumnya diabaikan.

  • Ketika Ideologi ‘Dikebiri’ Popularitas 

    Ketika Ideologi ‘Dikebiri’ Popularitas 

    HARAP-HARAP cemas berakhir klimaks. Setelah sebelumnya beredar informasi yang menyebutkan Mahkamah Konstitusi bakal memutuskan sistem Pemilu Tertutup pada pemilu 2024, akhirnya lembaga penguji konstitusi itu masih melanggengkan sistem terbuka.

    Dengan keputusan ini, pemilih masih akan mencoblos, partai politik, atau Nomor urut atau nama caleg. Tak ayal, keputusan ini mendapat sambutan hangat, terutama dari Bakal Calon Legislatif (Bacaleg). Karena dalam beberapa bulan terakhir, mereka lah yang paling menunggu-nunggu keputusan ini.

    Wacana terbuka-tertutup yang ramai sebelumnya, memang mengganjal banyak hal yang sudah menjadi tradisi Pemilu di Indonesia. Banyak Bacaleg wait and see, menghitung untung-rugi sebelum menjalankan aksi.

    Yang menarik dari putusan itu sesungguhnya adalah alasan dari para penggugat. Mereka menganggap sistem pemilu proporsional terbuka telah dibajak para caleg pragmatis yang hanya bermodalkan popularitas tanpa ikatan ideologis dengan parpol. Akibatnya, ketika mereka menjadi anggota legislatif seolah-olah hanya mewakili diri sendiri.

    Alasan ini, sebenarnya cukup masuk akal. Figur populer belum tentu memiliki kompetensi dalam mengemban amanat rakyat di gedung perwakilan. Tak sedikit pula figur populer yuang justru ‘tenggelam’ di lembaga legislatif karena kalah vokal dan kalah kualitas dari para politisi ‘beneran’.  

    Bila ditelisik lebih jauh, kecenderungan parpol untuk merekrut figur populer, tak lepas dari keinginan parpol maupun figur itu sendiri. Parpol butuh suara sebanyak-banyaknya, sementara sang figur juga ingin memberikan pengabdiannya kepada bangsa, meskipun secara kualitas tak sedikit juga yang minus. 

    Hubungan simbiosis mutualisme antara popularitas figur dan raihan suara parpol memang berpengaruh cukup siginifikan. Buktinya adalah banyaknya figur populer nonpolitisi yang akhirnya duduk sebagai wakil rakyat.

    Para figur populer ini tentu tak serta merta menjadi wakil rakyat. Mereka juga menjalani kaderisasi dan pendidikan politik dari partainya masing-masing. Tetapi, sejauh mana pendidikan ‘singkat’ itu bisa memberi pengaruh kepada pola pikir dan pola aksi figur tersebut? Rasanya kita tak bisa terlalu berharap dari sini.

    Perekrutan figur populer memang menjadi shortcut bagi sebagian besar parpol di Indonesia. Menciptakan kader ideologis memang mahal dan butuh waktu panjang. Di sisi lain jalur instan lebih menarik karena bisa mengabaikan banyak proses.

    Kondisi ini tentu juga menjadi tanggung jawab parpol. Sebagai lembaga politik, mereka seharusnya bisa melahirkan tokoh-tokoh politik yang matang oleh proses perjuangan. Karena hanya dengan proses lah bisa lahir politisi-politisi yang benar-benar memiliki kompetensi, memiliki popularitas karena pengabdian dan pemikirannya yang bermanfaat untuk bangsa dan masyarakat. 

    Tapi, rasanya masih terlalu jauh berharap titik ideal politik Indonesia itu bisa terwujud dalam waktu dekat. Karena, dalam sistem pemilu sejak era reformasi, paradigma kebanyakan parpol masih begitu-begitu saja. Karena mereka masih berpikir bagaimana meraup suara sebanyak-banyaknya, ketimbang memberi manfaat sebesar-besarnya.

    Jadi, nikmati saja dulu sistem yang ada. Bagaimana pun, ini yang kita miliki saat ini. Kedepannya tentu kita berharap parpol bisa meningkatkan kualitas demokrasi kita dengan menyuguhkan kader-kader terbaiknya yang bukan hanya memiliki popularitas, tetapi juga kompetensi dan kualitas untuk menjadi garda terdepan perubahan bangsa menuju ke arah yang lebih baik.(*)