Tag: wahidin halim

  • SK Gubernur Banten Digugat

    SK Gubernur Banten Digugat

    SERANG, BANPOS – Pemprov Banten dalam pelaksanaan seleksi Komisi Informasi (KI) Banten disebut tidak mengikuti tahapan yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (PerKI) nomor 4 tahun 2016. Dalam seleksi itu, Pemprov Banten tidak menjalankan tahapan uji publik bagi 15 calon Komisioner KI.

    Karenanya, Gubernur Banten, Wahidin Halim, selaku pihak yang mengeluarkan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019 yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023 digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena SK itu dianggap tidak sah.

    Diketahui, gugatan tersebut dilakukan oleh salah satu pegiat informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Saat ini proses persidangan di PTUN tersebut akan memasuki tahap pembacaan replik dari penggugat atas jawaban eksepsi yang disampaikan oleh tergugat.

    Kepala Bidang Aplikasi Informatika dan Komunikasi Publik pada Diskominfo Provinsi Banten, Amal Herawan Budhi, membenarkan bahwa terdapat gugatan terhadap Gubernur Banten dengan objek gugatan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019.

    “Itu masih berproses yah, replik dan duplik. Baru hari Rabu kemarin ada sidang. Jadwalnya sampai Agustus nanti,” ujar Amal Herawan Budhi saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (7/6).

    Menurutnya, gugatan tersebut karena disebutkan ada tahapan yang tidak dilakukan dalam seleksi Komisioner KI Banten, yakni uji publik.

    “Kalau lihat substansinya itu kan ada yang terlewatkan yah. Karena kebetulan produk SK Gubernur yang keluar itu merupakan subtansi dari langkah yang tidak dilakukan oleh DPRD pada saat uji publik. Jadi gugatannya itu dalam seleksi tidak meminta pendapat dari publik,” katanya.

    Namun berdasarkan hasil komunikasi dengan DPRD Provinsi Banten, Amal menerangkan bahwa pihak DPRD mengatakan telah melakukan uji publik dengan meminta pendapat dari para konstituennya.

    “Jadi pak Ojat selaku penggugat menganggap bahwa DPRD tidak melaksanakan tahapan uji publik. Tapi kami konfirmasi kepada Komisi I mereka menyatakan bahwa mereka kan punya konstituen. Mereka ada yang menanggapi itu. Jadi di iklan koran tidak disebutkan klausul itu,” ucapnya.

    Oleh karena itu, DPRD Provinsi Banten langsung melakukan tahapan uji kelayakan dan kepatutan kepada 15 calon Komisioner KI tersebut dan menghasilkan 5 nama Komisioner KI yang akhirnya disahkan melalui SK Gubernur, yang saat ini menjadi objek gugatan.

    Menurutnya, gugatan tersebut lebih mengarah pada personal komisionernya, bukan pada instansi Komisi Informasinya. Bahkan ia mengatakan bahwa seharusnya yang menjadi tergugat dua merupakan DPRD Provinsi Banten, bukan KI Banten.

    “Dari sisi gugatannya juga disitu yang tergugat dua malah KI yah. Seharusnya kalau menurut saya sih yang ikut tergugat adalah DPRD yah,” terangnya.

    Namun menurutnya, apabila PTUN memutuskan bahwa gugatan yang dilakukan oleh penggugat diputuskan menang, maka Pemprov Banten akan mengikuti segala keputusan hukum yang ditetapkan.

    “Itu harus keputusan hukum ketika selesai gugatan. Kalau kami kan akan mengikuti saja keputusannya seperti apa,” ucapnya.

    Terpisah, Ojat Sudrajat selaku penggugat mengatakan bahwa gugatan yang ia lakukan merupakan langkah hukum atas adanya tahapan seleksi yang tidak dilakukan oleh Pemprov Banten. Tahapan itu yakni uji publik.

    “Tahapan yang diduga tidak dilakukan yaitu uji publik yang seharusnya dilakukan sebelum fit and proper test. Hal itu diatur dalam PerKI Pusat nomor 4 tahun 2016 tentang pedoman pelaksanaan seleksi dan penetapan Komisi Informasi pasal 19 ayat 3,” ujarnya kepada BANPOS, Sabtu (7/6).

    Ojat menilai, DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik karena Gubernur Banten dalam surat yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten dengan nomor 555/3779-Diskominfo/2019, hanya meminta DPRD melakukan uji kepatutan dan kelayakan saja.

    “Kalau saya melihatnya kenapa DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik, karena surat dari Gubernur pada tanggal 5 November 2019 hanya meminta uji kepatutan dan kelayakan kepada DPRD Provinsi Banten, tidak meminta uji publik kepada dewan,” terangnya.

    Terkait pernyataan dari pihak Diskominfo Provinsi Banten yang mengatakan bahwa DPRD telah melakukan uji publik melalui konstituennya, Ojat mengaku hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia meminta agar segala pernyataan dapat berlandaskan aturan yang.

    “Gini ya, syarat melakukan uji publik itu pada pasal 19 ayat 3 berbunyi paling lambat tiga hari setelah diterimanya nama-nama calon Komisioner KI yang diajukan oleh Presiden/Gubernur/Walikota/Bupati, DPR atau DPRD mengumumkan nama-nama tersebut pada dua surat kabar nasional dan/ local untuk dua kali terbit dan dua media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut, untuk mendapatkan masukan atau penilaian dari setiap orang,” jelasnya.

    Dalam jawaban eksepsi tergugat, Ojat mengatakan tergugat melampirkan bukti bahwa mereka telah mempublikasikan hal tersebut kepada media massa. Akan tetapi, Ojat menegaskan hal tersebut tidak sesuai dengan aturan. Sebab, tanggal yang tertera dalam publikasi telah melewati waktu yang ditentukan yakni tiga hari setelah diterima nama-nama calon KI.

    “Begini aja, ini surat tanggal 5 November. Diterimanya tanggal 8 November. Seharusnya kalau memang mereka mengikuti aturan, paling lambat dalam mempublikasikannya yaitu tanggal 11 November. Tapi bukti yang dilampirkan justru publikasi pada tanggal 1 hingga 3 Desember,” terangnya.

    Selain itu, publikasi yang dilampirkan dalam jawaban eksepsi pun menurut Ojat, bukanlah publikasi 15 nama calon Komisioner KI. Akan tetapi, publikasi bahwa akan dilakukannya uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Provinsi Banten. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan aturan.

    “Nah sekarang kalau mereka berargumentasi bahwa dewan memiliki konstituen, lalu bagaimana dengan masyarakat yang dianggap bukan konstituennya bagaimana. Artinya itu sudah mulai mengotak-ngotakkan masyarakat. Padahal uji publik itu bisa siapa saja,” tegasnya.

    Mengenai gugatan yang dianggap tidak tepat sasaran karena menjadikan KI sebagai pihak yang tergugat, Ojat mengaku itu merupakan hal yang keliru. Sebab, ia sama sekali tidak menggugat KI Banten, akan tetapi menggugat Pemprov Banten dalam hal ini Gubernur Banten selaku pihak yang mengeluarkan SK.

    “KI tidak saya gugat, yang saya gugat adalah Pemprov dalam hal ini pak Gubernur karena yang mengeluarkan SK adalah beliau. Saya juga tidak menggugat dewan, karena dewan tidak mengeluarkan SK tersebut. Kecuali memang dewan yang mengeluarkan SK. Adapun KI menjadi tergugat intervensi dua, itu bukan saya yang menentukan. Dewan pun menjadi tergugat intervensi satu, namun memang tidak mengambil haknya untuk memberikan jawaban,” ungkapnya.

    Ojat menerangkan, akhir dari gugatan yang ia inginkan sudah pasti sama dengan yang tertera dalam petitumnya. Yakni agar pengadilan dapat mengabulkan gugatan secara sepenuhnya, menyatakan batal atau tidak sahnya SK Gubernur, mewajibkan tergugat untuk mencabut SK dan tergugat membayar biaya perkara.

    “Apabila gugatan dimenangkan, maka masalah strukturalnya dirubah atau diulang seleksinya, itu kembali kepada hak prerogratif pak Gubernur. Namun secara otomatis kepengurusan yang sekarang ini batal,” ucapnya.

    Selain itu, apabila memang gugatan yang ia sampaikan dimenangkan oleh PTUN, maka dalam petitum kedua yang ia sampaikan adalah agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Kenapa? Karena ternyata saya melihat DPA KI yang bermasalah. Dalam DPA mereka itu disahkan tanggal 27 Desember 2019. Tapi mereka menggunakan standar satuan harga (SSH) yang justru Pergubnya baru disahkan pada 30 Desember 2019,” katanya.

    Menurutnya, hal tersebut memiliki potensi adanya kerugian keuangan daerah pada kejadian tersebut. Oleh karena itu, berlandaskan UU nomor 30 tahun 2014 pasal 65, ia meminta agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Jadi ketika ada penundaan, maka apabila mereka meminta banding, ini tidak bisa berjalan seperti biasa. Artinya, kegiatan normatifnya tidak akan bisa dilakukan,” tandasnya. (DZH/ENK)

  • WH: Jangan Mencari Kerja di Banten

    WH: Jangan Mencari Kerja di Banten

    SERANG, BANPOS – Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) mengimbau para pencari kerja (Pencaker) tidak berspekulasi untuk datang ke Banten, pasca-Lebaran saat ini. 

    “Jangan mencari kerja di Banten. Saat ini Banten sedang sulit lowongan kerja,” kata WH, Rabu (27/5).

    Sebagai informasi, Data Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Banten pada tanggal 20 Mei 2020 mengungkapkan sebanyak 27.569 karyawan dirumahkan. 

    Sementara jumlah karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mencapai17.298 orang. 

    Sedangkan jumlah perusahaan yang tutup mencapai 59 perusahaan.

    Imbauan WH disampaikan  untuk antisipasi pendatang baru atau pencari kerja ke Banten yang mengiring arus balik lebaran.

    Dijelaskan, dalam Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pihaknya tidak menutup atau menghentikan aktivitas produksi pada industri. Namun demikian, industri harus melaksanakan protokol kesehatan dalam proses produksinya. Sehingga berdampak pada jumlah dan jam kerja karyawan.

    Jelang Idul Fitri 1441 lalu, Gubernur juga menghimbau masyarakat Provinsi Banten Tidak Mudik Lebaran 2020 untuk menghindari dan memutus penyebaran Covid-19.

    Imbauan itu memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).(RUS/PBN)

  • WH Surati Jokowi, Ada Poin yang Misterius

    WH Surati Jokowi, Ada Poin yang Misterius

    DENGAN dalih menyelamatkan penyelenggaraan pemerintahan, pada 23 April lalu, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) memindahkan rekening kas umum daerah (RKUD) dari Bank Banten ke Bank Jabar Banten (BJB), serta berniat melakukan merger antara Bank Banten dan BJB. Dan dampak yang terjadi masyarakat berbondong-bondong mengambil uang secara besar-besaran dan terjadilah rush money dan kepercayaan masyarakat seketika itu sirna terhadap Bank Banten.

    Belum lama ini, WH juga menyampaikan pemberitahuan kepada DPRD Banten terkait dengan rencana pinjaman daerah ke BJB sebesar Rp800 miliar tanpa bunga. Dan ini juga yang menyebabkan kegaduhan kedua, kebijakan WH selama bulan suci Ramadan. Yang pertama adalah, pemindahan RKUD, terjadi rush money disaat pandemik Covid-19.

    Dan langkah WH yang dianggap sensasional dan terkesan terburu-buru atau panik ditengah tidak ada kejelasan keinginannya melakukan merger Bank Banten dan BJB, dengan berkirim surat langsung kepada Presiden Jokowi. Surat tertanggal 29 April itu ditembuskan kepada Menteri Keuangan yang juga selaku Ketua KSSK, Mendagri, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gubernur Jawa Barat, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua DPRD Banten.

    Dalam surat yang dikirim WH terdapat 10 point, namun tidak tercantum point 5. Dari 4 langsung ke point 6. Dalam surat bernomor 580/933-BPKAD/2020, Perihal progress pasca Letter of Intent (LOI) antar Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

    Dalam surat tersebut, WH bercerita bahwa kondisi Bank Banten saat ini sudah dianggap memiliki beban dan tangunggan yang harus ditunaikan, termasuk WH menyebutkan Bank Banten pada posisi loan to deposito ratio (LDR) 105,17 persen. Disebutkan juga bahwa Bank Banten memiliki pinjaman PKUB yang berasal dari bank-bank pembangunan daerah lainya sebesar Rp340 miliar.

    ‘Memohon kepada Bapak Presiden melalui fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat merealisasikan kesepakatan LOI dałam menyelamatkan dana Pemprov dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari serta menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Bank Banten dan membantu kelancaran pelaksanaan LoI melalui pendelegasian Peraturan OJK sebagaimana dimaksud dałam pasał 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang didalam diharapkan terdapat norma-norma yang memudahkan dałam proses merger atau kerjasama di bidang perbankan,” demikian point 10 isi surat WH yang dikirim ke Jokowi.

    Sekretaris Komisi IV pada DPRD Provinsi Banten, Fitron Nur Ikhsan ‘menguliti’ surat tersebut. Pada poin pertama surat tersebut, dituliskan bahwa telah dilakukan pembahasan antara pihak Bank Banten dan pihak Bank BJB serta pihak Pemprov Banten yang difasilitasi oleh OJK dalam rencana penggabungan (merger) antara Bank Banten dengan Bank BJB. Menurut Fitron, hal ini aneh lantaran Pemprov Jabar tidak dilibatkan dalam pembahasan itu.

    “Pembahasan tidak melibatkan Pemprov Jabar. Padahal LOI adalah antara Pemprov Jabar dan Pemprov Banten. Gubernur Banten ngebet banget merger ke BJB. Tapi Gubernur Jabar kayaknya gak peduli,” katanya.

    Dalam poin kedua, Fitron mengatakan bahwa Bank BJB tidak bisa sekadar menjawab mau merger atau akuisisi sebelum mereka melakukan proses uji tuntas atau Due Diligent (DD), yang mencakup financial DD, operational DD dan legal DD. Hasil dari DD tersebut akan disampaikan kepada seluruh pemegang saham BJB dalam rangka mengambil keputusan apakah feasible dan menguntungkan jika merger dengan BB.

    “Proses DD ini biasanya dilakukan dengan penunjukan auditor yang independen. Rasanya Gubernur Jabar tidak bisa mengambil keputusan sendiri, karena mereka hanya memiliki 38 persen saham di BJB. Sementara BJB adalah perusahaan TBK. Biasanya keputusan strategis seperti ini harus masuk di RUPS sehingga quorum mayoritas pemegang saham,” terangnya.

    Pada poin ketiga, WH menuliskan bahwa Bank Banten telah melakukan komunikasi secara intens dengan OJK untuk membantu pemenuhan likuiditas dari bank BJB dapat segera terealisasi. Fitron mengatakan, secara jelas dalam poin itu WH mengemis kepada bank BJB untuk membantu likuiditas dari Bank Banten.

    “Bank Banten bertepuk sebelah tangan dan membuktikan bahwa LOI bukan sesuatu yang direncanakan dan diminati kedua belah pihak, melainkan keterpaksaan di pihak bank BJB. Saya lagi mikir harga diri sebagai warga Banten,” terangnya.

    Poin 4 huruf a dan point b disebut Fitron sangat jelas alasannya dan masuk akal. Tapi juga sekaligus membuktikan bank BJB tidak berminat mengambil risiko memasukan uangnya ke Bank Banten. Bahkan ia kembali menyebut bahwa WH bertepuk sebelah tangan dan harus mengemis walaupun ada LOI.

    “Huruf c, bank BJB menyarankan Bank Banten untuk minta bantuan likuiditas ke LPS. Kenapa Gubernur gak pernah coba lakukan ini? Dari awal harusnya Gubernur lakukan ini. Faktanya tidak pernah ada kajian untuk minta bantuan LPS. Bahkan di surat ini pun tidak ada tembusan ke LPS,” ungkapnya.

    Lucunya, Fitron mengatakan bahwa pada surat resmi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi ternyata terdapat keteledoran. Sebab, terdapat satu poin yang longkap, yakni poin nomor 5.

    “Nomor 5 kok gak ada yah? Dari 4 langsung ke 6. Teledor ini surat ke presiden seperti ini,” ucapnya.
    Poin 6 dan 7 dikritisi secara singkat oleh Fitron. Dalam poin 6, disebutkan bahwa bank BJB menyatakan bahwa proses take over kredit ASN akan berlangsung agak lama. Sedangkan pada poin 7 disebutkan hanya melaporkan progres pemindahan data.

    “(Seharusnya) proses take over kredit ASN bisa cepat dilakukan kalau bank BJB (memang) berminat bantu likuiditas Bank Banten. Poin 7 hanya melaporkan progres pemindahan data,” ujarnya.

    Fitron mengatakan, pada poin 8 menjelaskan kondisi likuiditas Bank Banten sangatlah buruk. Hal ini menurutnya mencerminkan manajemen yang buruk serta ada permasalahan pada pengawasan Bank Banten.

    “Potret global Bank Banten membutuhkan Rp1,5 triliun untuk menormalisasi jalannya perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam proses DD, perhitungan kebutuhan dana akan lebih detail termasuk juga perhitungan berapa besar kredit macet yang ada di Bank Banten. Info terkini kredit macet di Bank Banten ada sekitar Rp2 triliun. Jadi kasarnya, kebutuhan dana penyehatan Bank Banten sekitar Rp3,5 triliun,” jelasnya.

    Poin 9, Fitron menegaskan bahwa apabila melalui pendekatan bisnis to bisnis, bank BJB tidak akan mau mengambil alih Bank Banten atau melakukan merger. Sehingga saat ini, WH sedang mengharapkan penyelamatan secara gratis dari Presiden Jokowi.

    “Dengan pendekatan bisnis to bisnis, tidak mungkin BJB mau ngambil alih Bank Banten atau melakukan penggabungan karena sudah pernah dijajaki oleh BRI dan CT Corpora dan hasilnya batal masuk. Gubernur sedang berharap penyelamatan gratis dari presiden,” tegasnya.

    Pada statement penutupan, Fitron mengatakan bahwa WH terlihat begitu frustasi dan khawatir kalau merger tidak terealisasi. Kalau bisa merger gratis, Gubernur berharap kecerobohannya akan bisa ditutupi.

    “Kalau sampai gagal realisasi, Bank Banten akan terpuruk tanpa peminat dan kemungkinan dilikuidasi (tutup). Kalau Bank Banten tutup, pemprov harus menyiapkan dana besar untuk menutupi kewajiban kepada pihak ketiga,” katanya.
    Secara tegas, Fitron menyebutkan bahwa surat gubernur kepada presiden menunjukkan bukti bahwa proses merger bukanlah sesuai yang direncanakan dan diinginkan. Pihak bank BJB pun menjadi korban karena dipaksa menerima penggabungan dengan dalih Covid-19.

    “Padahal saya menduga ini adalah langkah panik OJK karena kecolongan atas kecerobohan pememindahan RKUD tanpa melakukan kajian yang proper. Saya juga dari awal sudah meminta dilakukan penyehatan, bukan pembiaran,” ucapnya.
    “Kalaulah Bank Banten bukan bank milik pemerintah, langkah gubernur sudah tepat. Tapi karena Bank Banten milik kita (orang) Banten, langkah yang harusnya dilakukan bukan seperti sekarang,” tandasnya.

    Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten, Ade Hidayat menilai kebijakan yang telah diambil oleh WH selama Ramadan ini menyulitkan pemerintahan. Dengan memindahkan RKUD Bank Banten ke BJB dan rencana merger bank, membuat pemprov panik. Dan akhirnya berkirim surat ke Jokowi mengenai kondisi daerahnya.

    “Saya pikir karena tidak ada komitmen dari gubernur yang pada bebarapa waktu lalu membiarkan kondisi Bank Banten tidak semakin sehat. Andai saja saat penyertaan modal yang pertama dianggarkan untuk Bank Banten, saya rasa ceritanya akan berbeda, tapi karena tidak ada keinginan gubernur, yang ada sekarang malah melakukan pinjaman daerah Rp800 miliar ke BJB tanpa ada bunga. Ini kan bertambah aneh. Pinjam uang ratusan miliar kepada BJB yang merupakan perusahaan TBK atau terbuka, tanpa ada bunga. Ini ada apa loh? Jangan-jangan ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari,” ungkapnya.

    Oleh karena itu lanjut Ahi (sapaan Ade Hidayat), pihaknya dalam waktu beberapa hari akan memanggil Kepala BPKAD Banten, Rina Dewiyanti guna mempertanyakan mengenai pinjaman daerah tersebut.

    “Pekan ini kita undang Kepala BPKAD, kalau tidak Rabu atau hari Kamis, suratnya akan kami kirim Senin besok (hari ini, red),” ungkap Ahi seraya mengingatkan Rina untuk datang, jika tidak pihaknya juga akan memanggil Sekda Banten, Al Muktabar.

    Menyinggung surat WH yang disampaikan ke Jokowi pada akhir bulan April itu diakuinya terkesan terburu-buru. Hal ini dapat dilihat dari point per point yang hilang satu.

    “Kalau surat itu saya pribadi menilainya hanya curhatan gubernur. Dan untuk proses merger itu tidak mudah. Saya rasa pemprov hanya bertepuk sebelah tangan saja yang berharap merger Bank Banten ke BJB,” imbuhnya.(DZH/RUS/ENK)

  • Mahasiswa Kritisi Kinerja Gubernur Banten

    Mahasiswa Kritisi Kinerja Gubernur Banten

    Aksi mahasiswa PMII di Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten, Selasa (1/10/2019).
    SERANG, BANPOS – Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) PKC Provinsi Banten, menggelar aksi demonstrasi menjelang HUT Banten ke 19 di Kawasan Pusat Pemerintah Provinsi Banten (KP3B), tepatnya di Kantor Gubernur Banten, Selasa (1/10).

    Dalam aksinya, mahasiswa menilai, menjelang tiga tahun kepemimpinan Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) dan Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, tidak nampak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat secara umum. Bahkan, janji politik yang tertuang dalam visi misi dan program prioritas belum mampu mengejar target-target capaian pembangunan.

    “Ini menjadi salah satu indikator kegagalan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy dalam memimpin Banten,” ujar ketua PKC PMII Banten Ahmad Solahudin dalam rilisnya.

    Dalam aksinya, ia menilai visi-misi Gubernur dan Wagub Banten dalam hal memperbaiki tata kelola pemerintahan tidak maksimal. Selain itu, reformasi birokrasi dengan mewujudkan good governance and good will melalui keterbukaan informasi publik, juga tidak dilakukan. Sebagaimana dalam catatan LHP LKPD BPK RI Perwakilan banten, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp620.344.000 untuk belanja software website.

    “Namun ternyata, ini fiktif. Bahkan, websitenya pun tidak memuat informasi tentang data penunjang pembangunan daerah seperti RPJMD dan RKPD,” tegasnya.

    Solahudin menuntut janji Gubernur dan Wagub Banten dalam membangun dan meningkatkan kualitas infrastuktur pendidikan berkualitas yang saat ini dinilai hanya narasi kosong. Belum lagi, kata dia, dugaan korupsi yang terjadi di Dinas Pendidikan, baik pada persoalan korupsi pengadaan komputer Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) atau yang lain, yang sampai saat ini belum juga menemukan titik terang.

    Gubernur dan Wagub Banten juga berjanji untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan berkualitas serta pengembangan RS Provinsi menjadi RS rujukan regional dan pengobatan gratis dengan menggunakan E-Ktp.

    “Alih-alih terealisasi, justru hanya fiksi. Begitu juga isu kesehatan jiwa yang sampai saat ini belum juga diperhatikan, apalagi diprioritaskan dengan cara membuat regulasi yang menunjang,” tuturnya.

    Selain itu, para mahasiswa juga menuntut agar Banten bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme, menuntaskan persoalan pengangguran yang masihbtinghibdi Banten dan penegakan Perda CSR No 5 Tahun 2016.

    “Tegakan Perda No 4 Tahun 2016 tentang keenagakerjaan. Jika gubernur dan wakil gubernur Banten tidak sanggup memimpin, maka lebih baik mundur,” kata Pengurus Kordinator Cabang PMII Banten Ahmad Solahudin dalam tuntutannya.

    Sementara itu Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) saat menemui mahasiswa menyampaikan apa-apa saja yang telah dilaksanakan dan dilakukan oleh Provinsi Banten selama kepemimpinannya bersama Wagub Andika Hazrumy, karena diyakini jika banyak mahasiswa yang belum tahu berbagai program pembangunan yang tengah dan telah dilaksanakan provinsi Banten saat ini.

    Ia juga menyampaikan terimakasihnya atas kritik yang disampaikan Mahasiswa kepada Pemprov Banten, hal ini merupakan bukti kecintaan mahasiswa kepada Provinsi Banten.

    Ia menjelaskan berbagai program yang dipertanyakan mahasiswa dan dianggap tidak berjalan diantaranya persoalan pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Gubernur Banten langsung menjawab tuntutan mahasiswa melalui pengeras suara dipakai koordinator aksi. WH juga mengajak mahasiswa untuk ikut melihat bersama-sama berbagai program pembangunan tersebut dan membuka ruang bagi para mahasiswa di Banten dalam memberikan masukan kepada Pemrov Banten. (RUS)