SERANG, BANPOS – Kuasa hukum PT Pelita Enamelware Industry, Henny Karaenda melaporkan sejumlah demonstran kepada pihak kepolisian.
Hal itu ia lakukan, lantaran Henny mengaku bahwa dirinya telah mendapatkan tindak kekerasan dari para demonstran yang berdemonstrasi di depan PT Pelita Enamelware Industry pada Jumat (22/9).
Henny menuturkan, kejadian itu bermula saat dirinya mendapati adanya puluhan mantan pegawai perusahaan tersebut berdemonstrasi di depan pintu gerbang PT Pelita Enamelware Industry pada Jumat (22/9) lalu.
Karena hal itulah kemudian Henny mengaku tidak bisa pulang, lantaran akses jalan dihalang-halangi oleh para demonstran.
Dianggap telah menghalangi akses jalan untuk keluar, Henny pun kemudian keluar dari mobilnya bermaksud untuk menegur para demonstran yang menghalangi jalan tersebut.
Pada saat itulah kemudian Henny menuturkan, para demonstran menolak untuk menyingkir, dan justru malah melakukan tindak kekerasan kepadanya.
Menerima perlakuan tindak kekerasan, pada hari itu juga, ia lantas kemudian segera melaporkan para terduga pelaku kepada pihak kepolisian.
“Karena itu saya langsung visum dan melaporkannya ke Polda Banten saat hari itu juga,” ujarnya kepada awak media pada Kamis (28/9).
Tidak hanya sekali tindak kekerasan itu Henny terima. Ia mengaku, tindakan serupa ia kembali terima pada Selasa (26/9).
Sama halnya dengan kejadian yang pertama, Henny pun kali ini akan melaporkan sebanyak 35 orang mantan pegawai PT Pelita Enamelware Industry ke pihak kepolisian.
“Untuk yang ini, saya rencananya akan kembali melaporkan 35 orang ke Polres Serang besok pagi (Jumat, 29 September 2023) karena ada ancaman kekerasan ke saya,” ujarnya.
Kronologi demonstrasi dilakukan, setelah pihak PT Pelita Enamelware Industry melakukan PHK terhadap 35 karyawan akibat tidak masuk kerja, yang kemudian menimbulkan adanya aksi demonstrasi.
Dijelaskan Henny, bahwa pada 23 Agustus 2023 PT Pelita Enamelware Industry menerima surat permohonan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari 35 orang pekerja.
Atas hal itu, pihak perusahaan dan 35 pekerja bersama kuasa hukumnya melakukan pertemuan perundingan bipartit pada 5 September 2023.
Hasil perundingan, perusahaan menolak permohonan mereka dan mempersilahkan para pekerja kembali bekerja sesuai jadwal. Namun pihak pekerja menolak keputusan perusahaan dan menyatakan tidak ingin bekerja lagi.
Oleh karena seluruh 35 pekerja tidak masuk kerja, bahkan setelah diberikan dua kali surat peringatan dan panggilan secara patut namun tetap tidak datang dan tetap tidak hadir bekerja maka, sesuai UU Cipta Kerja, ke 35 pekerja tersebut terpaksa dikenakan PHK.
“Karena mangkir lebih dari 5 hari kerja berturut-berturut, akhirnya perusahaan lakukan PHK,” papar Henny.
Henny menjelaskan, perundingan bipartit telah dilakukan sebanyak enam kali. Termasuk mediasi dan klarifikasi dengan Disnaker Kabupaten Serang.
“Perusahaan memenuhi undangan klarifikasi dari Disnaker Kabupaten Serang 21 September 2023, namun pihak dari mantan pekerja tidak ada yang hadir,” ucapnya.
“Awalnya mereka meminta PHK suratnya masuk tanggal 23 Agustus 2023 ke kita dan disitu mereka juga meminta uang pesangon, setelah Audiensi dengan pihak PT karyawan dan juga Disnakertrans Kabupaten Serang disepakati adanya uang pisah sebesar 1 juta rupiah,” sambungnya.
Lantaran tidak terjadinya kesepakatan, para mantan karyawan menilai uang pisah sebesar 1 juta dirasa kurang. Kemudian pihak Disnaker Kabupaten Serang dan Pengawas Disnaker Provinsi Serang yang mendatangi ke Perusahaan namun lagi-lagi pihak mantan pekerja tidak mau bertemu dan melakukan klarifikasi.
Dari Pengawas Disnaker Provinsi Serang menyimpulkan bahwa yang dituntut pendemo bukanlah mengenai hak normatif melainkan perselisihan hak sehingga menyerahkan kepada Disnaker Kabupaten Serang untuk memediasi kedua pihak.
“Disnaker Kabupaten Serang untuk mediasi namun pihak pendemo keberatan jika mediasi di Kantor Disnaker Kabupaten Serang dan meminta mediasi di Pabrik dan pihak Perusahaan menyetujui,” katanya.
“Selasa aksi lagi tapi tidak ada surat pemberitahuan, akhirnya Jumat audiensi, hasilnya ditambah 3 juta menjadi 4 juta mereka dapat uang pisah, itu juga bayar kita kita itu dicicil,” lanjut Henny.
Lanjut Henny menjelaskan bahwa sampai saat ini aksi demokrasi dari mantan karyawan masih berjalan.
“Semalam saja aksi sampai jam 10 malam, setiap hari sampai puluhan orang. Yang diinginkan perusahaan kan mereka sudah di-PHK dan kita ajak bekerja kembali tapi tidak mau bekerja,” ungkapnya.
Sementara itu, Ferry Renaldy Parkitisi Hukum dari kantor Law Firm Renaldy & Partners menilai, unjuk rasa di PT Pelita merupakan peristiwa yg biasa
“Unjuk rasa diatur dalam uu nomor 9 tahun 1998 dalam menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tulisan harus sesuai dengan aturan, kita ini negara hukum, apapun itu harus sesuai aturan hukum,” kata Ferry kepada awak media.
Jika melanggar kata Ferry, hal itu ada konsekuensi secara hukum yang bisa ditempuh, misalnya pihak yang dirugikan akibat unjuk rasa yg melanggar aturan hukum, bisa mengambil langkah hukum.
“Terkait proses penyelesaian sengketa tenaga kerja, sesuai aturan ada 3 hal dalam penyelesaian: 1. Bipartit, Tripartit (Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), dan PHI. Maka menurut saya selesaikanlah permasalahan hukum dengan aturan hukum yg berlaku, bukan dengan cara-cara yang bertentangan aturan hukum,” tutupnya.
Dihubungi terpisah Akademisi Fakultas Hukum UNIS, Ahmad Fajar Herlani mengatakan, setiap warganegara mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan pendapat.
“Dalam hal ini seluruh pihak yang berkepentingan pada hubungan industrial dalam konteks menyampaikan pendapat dilindungi oleh negara dan konstitusi,” katanya.
Menyampaikan pendapat dalam bentuk demonstrasi, lanjut Fajar, merupakan hak konstitusional warganegara yang terdapat pada UUD 1945 amandemen 4 pasal 28.
Dalam tatanan Undang-Undang penyampaian pendapat dalam bentuk demonstrasi diatur pasal 1 angka 3 UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, dimana demonstrasi diartikan kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, secara demonstratif di muka umum.
Setiap peserta yang mengadakan demonstrasi mempunyai kewajiban yang diatur pada pasal 6 UU No. 9 Tahun 1998 yakni; menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, mentaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 6 tersebut menjadi kewajiban yang harus ditaati bagi pihak yang mengadakan demonstrasi.
“Jadi dalam hal ini siapapun yang melaksanakan demonstrasi wajib tunduk pada aturan yang berlaku, jika ada pihak yang melakukan pelanggaran hukum maka pihak tersebut bisa dijatuhkan sanksi hukum yang berat,” ucapnya. (CR-02)
Tinggalkan Balasan